Ethnography, Racauan

Keniscayaan Komunitas | Bagian 2: Anatomi Stagnasi dari Solidaritas ke Ketergantungan

Ringkasan

  • Generasi pertama membangun; generasi kedua sering hanya menikmati. Itu pola antropologis universal, bukan sekadar psikologis.
  • Solidaritas komunitas yang dulu membebaskan berubah menjadi zona nyaman yang menumpulkan etika kerja.
  • Nilai “kita bekerja bersama” merosot menjadi “orang lain akan mengerjakan ini.”
  • Ketergantungan yang dilembutkan oleh bahasa idealisme membuat komunitas tampak hidup, tetapi secara moral mati.
  • Tanda stagnasi paling jelas: kerja menjadi simbolik, bukan kontribusi nyata.

Setiap komunitas lahir dari kebutuhan — dan kebutuhan adalah bentuk paling murni dari kecerdikan manusia.

Ketika sumber daya langka, manusia menemukan cara untuk berbagi. Ia menciptakan sistem barter, ritus gotong-royong, atau lembaga patronase untuk bertahan hidup bersama. Solidaritas adalah inovasi paling awal manusia. Namun sejarah menunjukkan bahwa begitu kebutuhan itu terpenuhi, solidaritas perlahan berubah bentuk. Ia kehilangan daya dorongnya dan menjadi kebiasaan, bahkan candu.

Fenomena ini berulang dalam hampir setiap fase peradaban manusia. Setelah Revolusi Neolitik, manusia tidak lagi bergantung pada perburuan, melainkan pada hasil pertanian yang stabil. Surplus pangan memungkinkan terbentuknya struktur sosial baru — pemimpin, imam, pengrajin, dan birokrat. Tapi seiring meningkatnya keamanan, lahirlah generasi yang tak lagi memahami penderitaan pendahulunya. Mereka lahir dalam kenyamanan yang dibangun oleh orang lain, lalu menganggap sistem itu akan menopang mereka selamanya. Seperti anak bangsawan yang tumbuh di istana, mereka menikmati buah kerja keras masa lalu tanpa merasa perlu menanam lagi.

Dalam bahasa antropologi, kita menyebut ini sebagai kemerosotan fungsional dalam sistem sosial stabil. Jared Diamond menulis dalam Collapse bahwa peradaban yang paling berisiko bukanlah yang miskin sumber daya, tetapi yang sukses — karena kemakmuran menciptakan ilusi keberlanjutan.

Bangsa Maya, misalnya, mengembangkan sistem irigasi dan arsitektur yang luar biasa, tapi gagal menyesuaikan diri dengan perubahan iklim dan tekanan populasi. Mereka menganggap sistem lama yang telah menyelamatkan nenek moyang mereka akan selalu cukup. Dalam setiap lapisan sejarah, pola ini sama: manusia menjadi korban dari stabilitas yang mereka ciptakan sendiri.

Bangsawan Maya: Detail lukisan dinding yang menggambarkan elit Maya dengan pakaian upacara yang rumit, dikelilingi oleh hieroglif.

Kita bisa melihat pola serupa dalam bentuk yang lebih kecil — komunitas modern yang lahir dari idealisme. Banyak organisasi nirlaba, lembaga budaya, atau kolektif seni dimulai dari solidaritas sejati: beberapa orang berkumpul karena frustrasi terhadap sistem industri yang tertutup. Mereka menciptakan ruang alternatif di mana nilai kemanusiaan, kolaborasi, dan pendidikan menjadi inti. Namun setelah beberapa tahun, ketika ruang itu mulai mapan dan fasilitas tersedia, idealisme yang dulu mengikat mulai melemah. Mereka tidak lagi berjuang bersama melawan kelangkaan; mereka mulai bernegosiasi atas kenyamanan.

Solidaritas berubah menjadi ketergantungan moral. Yang dulu disebut gotong-royong kini bergeser menjadi pembenaran untuk tidak bekerja keras:

“Kita semua setara, jadi tak perlu ada hierarki.”

Yang dulu dimaknai sebagai kepercayaan berubah menjadi kelonggaran:

“Kita saling memahami, jadi tak perlu disiplin.”

Dan yang dulu dimulai sebagai gerakan belajar bersama, kini menjadi tempat berlindung bagi mereka yang takut diuji dunia luar.

Pada titik ini, nilai-nilai luhur seperti kolektivitas dan kesederhanaan kehilangan dimensi etisnya. Ia menjadi alat pembenaran stagnasi.

Manusia adalah makhluk adaptif, tetapi juga rasionalisasi terbaik bagi kemalasannya sendiri. Dalam konteks komunitas kreatif, banyak anggota yang meyakini bahwa “tidak mencari uang” adalah bentuk kemurnian moral, padahal di balik itu tersembunyi ketidakmampuan mengelola tanggung jawab. Mereka lupa bahwa etos non-profit bukan berarti bebas dari etika profesional.

Yuval Noah Harari pernah menulis bahwa yang membedakan Homo sapiens dari spesies lain bukan hanya kemampuan berimajinasi, tetapi kemampuan berimajinasi bersama. Kita bisa menciptakan fiksi kolektif seperti “negara”, “agama”, atau “komunitas kreatif” — dan percaya padanya seolah nyata. Namun di saat fiksi itu tidak lagi dihidupi oleh tindakan nyata, ia berubah menjadi ritual kosong. Kita bisa terus berbicara tentang “semangat awal”, “tujuan bersama”, atau “keluarga besar”, padahal di bawah permukaannya hanya tersisa rutinitas tanpa produktivitas.

Inilah tahap kedua dalam rantai kegagalan sosial: ketika nilai-nilai yang dulu menyelamatkan sistem, kini justru menghambatnya berevolusi.

Antropologi mengenal fenomena serupa dalam masyarakat pasca-kolonial. Banyak negara yang merdeka dengan idealisme anti-imperial justru gagal membangun sistem pemerintahan modern karena terlalu lama hidup dalam narasi perjuangan. Para pemimpinnya tetap berbicara tentang “perlawanan” bahkan setelah mereka sendiri menjadi penguasa. Mereka lupa bahwa menjaga kemerdekaan membutuhkan bentuk baru dari perjuangan — bukan lagi melawan penjajah, tetapi melawan kemalasan dan ketidakefisienan internal.

Begitu pula dalam organisasi modern. Ketika komunitas yang dulunya menentang sistem akhirnya menjadi bagian dari sistem, mereka harus berani mengubah bahasa moralnya. Jika tidak, solidaritas berubah menjadi nostalgia; nostalgia menjadi penghalang; dan penghalang menjadi alasan kegagalan.

Kita sering mengira kegagalan terjadi karena kurangnya dana, koneksi, atau bakat. Tapi sebenarnya, sebagian besar kegagalan sosial berasal dari ketidakseimbangan antara kebebasan dan tanggung jawab. Kebebasan tanpa tanggung jawab melahirkan anarki lembut — bentuk di mana semua orang merasa punya suara, tapi tak ada yang mau bekerja. Dan tanggung jawab tanpa kebebasan melahirkan birokrasi — struktur yang rapi tapi mati rasa.

Di antara dua kutub itulah komunitas modern sering terjebak: terlalu bebas untuk disiplin, terlalu takut untuk menjadi profesional.

Jika kita kembali ke kerangka Freakonomics, stagnasi semacam ini adalah rantai kegagalan mikro: satu orang tidak menyelesaikan tugasnya; orang lain tidak menegur karena takut konflik; koordinasi memburuk; kepercayaan berkurang; dan akhirnya sistem berhenti berfungsi. Tak ada ledakan, tak ada bencana besar — hanya erosi perlahan dari kepercayaan dan kompetensi.

Namun tidak semua stagnasi harus berakhir dengan kehancuran. Dalam sejarah, ada fase di mana masyarakat berhasil keluar dari kebuntuan dengan cara mengganti mitosnya. Eropa abad ke-18, misalnya, mengganti mitos teologis dengan mitos rasionalitas. Gerakan koperasi pada abad ke-19 mengganti mitos kapitalisme individual dengan solidaritas produktif. Dan revolusi digital pada abad ke-20 mengganti mitos industri dengan inovasi dan kolaborasi global. Setiap kebangkitan besar dimulai ketika manusia berani mengubah narasi tentang dirinya sendiri.

Artinya, ketika sebuah komunitas modern gagal, bukan karena para anggotanya jahat, malas, atau bodoh — tetapi karena cerita lama yang dulu mempersatukan mereka tidak lagi relevan. Dan di sinilah dilema paling tragis muncul: mereka mencintai cerita itu terlalu dalam untuk melepaskannya. Tapi, seandainya pun sebuah komunitas modern bisa berkembang menjadi korporasi mapan, kegagalannya juga bisa lebih parah.

Bersambung ke bagian III: Rantai Kegagalan: Evolusi Moral yang Mandek. Terbit Senin.


Terima kasih telah membaca sampai habis. Website ini jalan dengan sumbangan, iklannya tak menghasilkan, dengan lisensi Creative Commons, Atribution, Non commercial. Kamu boleh pakai konten ini selama memberikan link sumber dan bukan untuk tujuan komersial. Kalau kamu suka dengan yang kamu baca, silahkan traktir saya kopi murah.

Berlangganan

Masukan email kamu untuk dapatkan update. Gratis.

Film, Kurasi/Kritik, Racauan

Kalau Bangsanya Bener, Filmnya Bakal Bagus dengan Sendirinya

Setelah kerja di industri media sejak tahun 2005, saya memutuskan untuk fokus ke pendidikan soal film dengan basis produksi–artinya saya akan bikin film sambil belajar dan mendidik sampai saya mati. Dari film-film kita yang bikin “Indonesian Fever” di berbagai festival internasional dunia, kita bisa melihat bangsa kita berkembang. Padahal ini baru di tahap di mana masyarakatnya belum semaju itu. Ada yang keracunan MBG, ada orang hilang lagi, tapi banyak film bagus yang terjadi, dengan dana yang sebenarnya nggak bisa dibandingin sama Korea Selatan apalagi Holywood, namun penceritaan, teknis dan kolaborasinya punya bentuk-bentuk yang keren.

Yang Diceritakan dan Yang Dilarang

Cerita sebuah bangsa tidak hanya soal kisah apa yang ditulis, tetapi juga kisah apa yang dilarang. Film selalu berhadapan dengan batas: apa yang boleh, apa yang tabu, apa yang harus disamarkan dalam simbol. Di Iran, sutradara menyelipkan kritik sosial lewat metafora anak kecil atau perjalanan sehari-hari. Di Cina daratan, penyensoran bekerja bahkan sebelum kamera dinyalakan—sejak praproduksi naskah. Larangan inilah yang sering justru memunculkan lapisan artistik yang canggih: bagaimana menyampaikan hal-hal yang tidak boleh diucapkan dengan bahasa visual dan sinematik.

Indonesia tidak seketat itu dalam hal sensor ideologis, tapi problemnya lain: cerita sering tunduk pada selera pasar. Yang laku diulang, yang menantang pasar jarang diberi kesempatan layar. Maka industri lebih sering mengikuti, ketimbang membentuk.

Teknologi: Siapa yang Punya Akses?

Film juga adalah soal teknologi. Kamera, lensa, perangkat editing, hingga efek visual. Teknologi menentukan standar estetika global: bagaimana sebuah gambar dianggap “cinematic,” bagaimana suara terdengar “bersih.” Pertanyaan pentingnya: siapa yang punya akses?

Negara besar menyediakan teknologi mutakhir bagi para filmmaker mereka. Negara berkembang sering hanya bisa mengejar, atau menambal dengan kreativitas. Ada film-film Indonesia yang secara teknis bisa menyamai standar Hollywood—jernih, presisi, mahal. Tapi jumlahnya masih terbatas, dan sering kali hanya terjadi karena adanya sokongan finansial ekstra, bukan karena sistem yang terbangun.

Kolaborasi Adalah Ruwet

Sisi paling krusial justru ada di sini: kolaborasi. Film adalah kerja kolektif. Tidak ada film yang lahir dari satu orang saja, meski nama sutradara sering dikultuskan. Di balik satu film, ada ratusan, bahkan ribuan negosiasi: sutradara dengan produser, penulis dengan aktor, kru dengan investor, pekerja lapangan dengan birokrasi perizinan.

Di negara dengan sistem produksi rapih, kolaborasi ini terasa militan: disiplin, efisien, tidak redundant. Tapi di banyak tempat, termasuk Indonesia, kolaborasi justru sering berantakan. Tidak ada standar yang konsisten, pendidikan film masih timpang, SOP longgar, regulasi tidak berpihak pada pekerja, dan struktur industri lebih sering diatur oleh kekuasaan informal ketimbang sistem formal.

Film sebagai Barang Mewah

Maka benar jika film adalah barang mewah. Ia hanya bisa lahir ketika ketiga sisi itu—cerita, teknologi, kolaborasi—bertemu dalam proporsi seimbang. Jika salah satu timpang, hasilnya akan terlihat. Film dari negara berkembang bisa saja kaya cerita dan kolaborasi, tapi teknologinya terbatas. Atau teknisnya sempurna, tapi ceritanya kosong karena tunduk pada pasar.

Indonesia punya potensi besar. Akses ke teknologi ada. Kreativitas cerita pun melimpah. Tapi tanpa keseimbangan yang serius—cerita yang berani bicara representasi, teknologi yang merata, serta kolaborasi yang terstruktur dengan SOP, pendidikan, dan dukungan legal—jangan harap industri ini bisa benar-benar maju.

Film adalah cermin peradaban. Kalau film kita masih berantakan, mungkin itu juga cermin dari bagaimana kita mengelola bangsa.

Anthropology, Ethnography, Filsafat, Kurasi/Kritik, Memoir, Politik, Racauan

Keniscayaan Komunitas | Bagian 1: Ritual ke Institusi

Ringkasan

  • Setiap institusi besar hari ini berakar dari sesuatu yang jauh lebih sederhana: ritual kecil manusia purba yang mencoba bertahan hidup.
  • Ketika pertanian melahirkan surplus, solidaritas berubah menjadi struktur; kuil menjadi birokrasi pertama umat manusia.
  • Sejarah menunjukkan pola yang sama: iman menjadi administrasi, spontanitas menjadi hierarki, dan makna digantikan oleh efisiensi.
  • Institusi tidak runtuh secara tiba-tiba; mereka membusuk perlahan, dimulai dari saat mereka berhenti berevolusi.

Sejarah manusia adalah sejarah tentang organisasi emosi menjadi sistem.

Dari kelompok pemburu di Afrika Timur hingga korporasi global abad ke-21, manusia bertahan bukan karena kekuatan fisiknya, tetapi karena kemampuannya membangun jaringan kepercayaan di antara orang-orang yang tidak saling mengenal. Setiap komunitas, lembaga, atau perusahaan yang kita kenal hari ini lahir dari upaya yang sama: mengubah rasa kebersamaan menjadi struktur. Namun di balik keberhasilan itu, tersimpan benih dari kegagalannya sendiri — stagnasi.

Kegagalan, sebagaimana disinggung dalam Freakonomics: How to Succeed at Failing, bukanlah satu kejadian tunggal. Ia adalah rantai panjang kesalahan kecil yang dibiarkan, keputusan yang tidak dikaji ulang, dan keyakinan lama yang dipertahankan dalam dunia yang sudah berubah. Dalam konteks evolusi sosial, kegagalan muncul ketika ekosistem nilai berhenti beradaptasi terhadap lingkungan yang ia ciptakan sendiri.

Untuk memahami fenomena ini, kita perlu mundur puluhan ribu tahun, ke masa ketika komunitas manusia belum mengenal konsep “lembaga.” Saat itu, kekuasaan dan moralitas bersumber dari ritual — tindakan kolektif yang mengikat emosi individu menjadi harmoni sosial. Di suku-suku awal Homo sapiens, kepercayaan terhadap roh, alam, dan leluhur menjadi dasar solidaritas. Tak ada gaji, tak ada struktur manajemen; hanya rasa saling bergantung.

Namun seperti dicatat Jared Diamond dalam Guns, Germs, and Steel, kompleksitas sosial tumbuh seiring dengan pertanian dan kepemilikan lahan. Saat manusia berhenti berpindah, mereka harus menciptakan mekanisme baru untuk mengatur produksi, penyimpanan, dan distribusi hasil panen. Dari sinilah muncul bentuk pertama lembaga: kuil, lumbung, dan sistem kasta. Ritual masih ada, tapi kini dijaga oleh kelas administratif — para imam, juru tulis, dan pejabat. Apa yang dulu spontan berubah menjadi institusional.

Transformasi ini membawa kemajuan besar: stabilitas, surplus pangan, kota, dan ilmu pengetahuan. Namun ia juga membawa konsekuensi: kehilangan fleksibilitas.Kehidupan sosial yang dulu cair menjadi hierarkis. Nilai yang dulu diikat oleh rasa tanggung jawab bersama berubah menjadi kontrak sosial yang kaku. Para imam dan pejabat yang awalnya melayani masyarakat kini menjadi penjaga status quo. Ketika ritual berubah menjadi prosedur, makna pun menipis.

Kehidupan sosial yang dulu cair menjadi hierarkis. Nilai yang dulu diikat oleh rasa tanggung jawab bersama berubah menjadi kontrak sosial yang kaku. Para imam dan pejabat yang awalnya melayani masyarakat kini menjadi penjaga status quo. Ketika ritual berubah menjadi prosedur, makna pun menipis.

Biara dan para biarawan memperhatikan dua malaikat yang sedang bekerja.

Fenomena yang sama terjadi di hampir setiap fase sejarah sosial manusia. Gereja Katolik di abad pertengahan dimulai sebagai komunitas spiritual yang hidup dalam kemiskinan dan kesetaraan, tetapi seiring bertumbuhnya kekayaan dan kekuasaan, ia berubah menjadi birokrasi megah yang sering kehilangan hubungan dengan moralitas awalnya. Universitas, yang lahir dari biara, bermula sebagai tempat mencari kebijaksanaan; namun ketika ia menjadi institusi nasional dengan sistem akreditasi, ia mulai lebih sibuk mempertahankan reputasi ketimbang menumbuhkan pengetahuan.

Setiap lembaga besar pernah lahir dari gerakan idealis kecil. Tapi begitu ia menemukan sumber daya — tanah, uang, status — ia menghadapi dilema evolusioner: apakah akan terus beradaptasi, atau mengabadikan bentuk lamanya? Sebagian besar memilih yang kedua, dan di situlah proses entropi sosial dimulai.

Kita bisa melihat pola yang sama di komunitas modern: organisasi nirlaba, gerakan budaya, hingga ekosistem kreatif yang dimulai dari semangat kolektif. Mereka lahir dari kelangkaan dan semangat berbagi — sekelompok orang ingin menciptakan ruang alternatif di luar pasar. Tapi ketika ruang itu berhasil menarik perhatian, mendapatkan sponsor, bahkan membentuk badan usaha, ia mulai memikul beban baru: akuntabilitas, profesionalisme, dan efisiensi. Idealisme bertemu realitas birokrasi. Dan seperti yang sering terjadi dalam sejarah, banyak yang gagal menjembatani keduanya.

Seorang antropolog mungkin menyebut ini sebagai transisi dari moral economy ke market economy. Di dalam moral economy, hubungan antar manusia dijaga oleh rasa malu, rasa syukur, dan reputasi sosial. Di dalam market economy, hubungan itu digantikan oleh kontrak, target, dan gaji. Tidak ada yang lebih baik atau buruk — keduanya adalah sistem adaptif. Tapi ketika sebuah komunitas gagal mengenali momen transisi itu, ia akan terjebak di antara dua dunia: tidak cukup spontan untuk disebut komunitas, tidak cukup efisien untuk disebut perusahaan. Di sanalah kegagalan struktural tumbuh diam-diam.

Sejarah memberi kita banyak contoh. Ketika biara-biara Eropa memasuki masa kemakmuran di abad ke-14, mereka mulai membeli tanah dan mempekerjakan petani. Namun karena tetap menganggap diri mereka “pelayan spiritual,” mereka tidak menyesuaikan sistem pengelolaan ekonominya. Korupsi dan penurunan moral merajalela, memicu gelombang reformasi Protestan yang menghancurkan struktur lama. Begitu pula pada awal abad ke-20, banyak koperasi buruh di Eropa yang gagal bertahan setelah memperoleh modal besar, karena para anggotanya masih berpikir dengan mentalitas komunitas — bukan lembaga bisnis.

Semua pola ini menunjukkan hal yang sama: evolusi sosial tidak hanya membutuhkan visi, tetapi juga kemampuan untuk melepaskan bentuk lama ketika ia tak lagi fungsional.
Kegagalan bukan akibat niat buruk, tapi hasil dari kesetiaan berlebihan terhadap masa lalu.

Manusia, seperti yang dikatakan Harari, adalah spesies yang hidup dari fiksi-fiksi bersama. Kita membangun perusahaan, yayasan, dan negara di atas cerita: “kita bekerja untuk kebaikan bersama,” “kita menciptakan ruang bagi generasi muda,” atau “kita berbeda dari sistem korporasi.” Namun begitu fiksi itu tak lagi didukung oleh perilaku konkret — oleh kerja nyata, etos, dan kompetensi — ia menjadi sekadar mitos nostalgia. Seperti agama yang kehilangan mukjizatnya, organisasi pun kehilangan daya cipta spiritualnya.

Dan mungkin di sinilah kita harus mengakui sesuatu yang menyakitkan:
tidak semua komunitas layak tumbuh.
Beberapa hanya lahir untuk membuktikan kemungkinan, bukan untuk menjadi institusi.
Yang lain bisa bertahan, tapi hanya jika mereka berani berevolusi secara moral — mengganti solidaritas pasif dengan tanggung jawab aktif.Tapi apakah bisa menjaga kemanusiaan dalam sebuah lembaga yang saling kelindan antara orientasi kapitalisme dan sosialisme?

Tapi apakah bisa menjaga kemanusiaan dalam sebuah lembaga yang saling kelindan antara orientasi kapitalisme dan sosialisme?

Bersambung ke bagian 2: Anatomi Stagnasi: Dari Solidaritas ke Ketergantungan


Terima kasih telah membaca sampai habis. Website ini jalan dengan sumbangan, iklannya tak menghasilkan, dengan lisensi Creative Commons, Atribution, Non commercial. Kamu boleh pakai konten ini selama memberikan link sumber dan bukan untuk tujuan komersial. Kalau kamu suka dengan yang kamu baca, silahkan traktir saya kopi murah.

Berlangganan

Masukan email kamu untuk dapatkan update. Gratis.

Dari Tantangan, Prosa

Menara yang Memanggil Malaikat

Kisah ini dibuat berdasarkan tantangan Amanda Iswan di Thread.net.
Kisah ini fiksi belaka, kesamaan dengan sejarah adalah disengaja.

Bapa Franciscus telah berumur sembilan puluh dua tahun ketika suatu malam musim dingin yang ganjil, Tuhan—atau sesuatu yang menyerupai Tuhan—memanggilnya naik ke menara biara. Udara beraroma lilin dan salju, tangga-tangga batu terasa seperti nadi dingin bumi yang berdenyut pelan. Setiap langkah adalah doa dan penderitaan; sendinya berderit, pandangannya kabur, namun panggilan itu terlalu jelas untuk diabaikan.

Di puncak menara, langit terbelah seakan waktu sendiri menganga. Dua cahaya turun, berputar bagai salib yang mencair di udara. Dari cahaya itu muncul dua bayi bersayap, cahayanya bukan putih tapi hangat seperti madu di bawah matahari sore. Bapa Franciscus menggendong keduanya. Sayap mereka menghilang, dan keduanya tertidur pulas di pelukannya. Ia menamai mereka Augustus dan Pieter.

Para biarawan tak mempercayai kisah itu. Mereka menganggap kepala biara tua itu telah diseret halusinasi menuju akhir hidupnya. Namun keesokan pagi, dua bayi itu benar-benar ada di ruang salib: kulitnya seputih halaman kosong, rambutnya melingkar lembut seperti huruf-huruf Yunani kuno. Maka legenda pun dimulai—dan legenda, sebagaimana dosa, selalu mencari tubuh untuk ditinggali.

Biara dan para biarawan memperhatikan dua malaikat yang sedang bekerja.

Augustus dan Pieter tumbuh tanpa tangis. Mereka berbicara sebelum waktunya, dan berbicara dengan cara yang aneh: seperti berbisik langsung ke batin siapa pun yang mendengarnya. Tak seorang pun di biara kelaparan atau bertengkar lagi; lebah-lebah di peternakan menjadi lebih jinak, hasil madu lebih manis, bir lebih harum. “Kami dan kalian sama-sama pelayan Tuhan,” ujar mereka. Dan kalimat itu menjadi hukum.

Mereka tampan dengan cara yang aneh. Augustus berambut hitam legam, kulitnya pucat, matanya berwarna almond yang menenangkan dan sekaligus menakutkan. Pieter berambut pirang, matanya biru muda, kulitnya secerah fajar. Dalam tiap gerak mereka terselip sesuatu yang bukan manusia—bukan karena keajaiban, melainkan karena ketiadaan cacat. Orang-orang berziarah ke biara, membawa luka, dosa, penyakit, dan pulang dengan kesembuhan atau kematian yang damai. Augustus dapat melihat masa depan; Pieter membaca tabiat. Bersama mereka, dunia menjadi hampir terlalu tenang.

Ketika mereka genap tujuh belas tahun, Bapa Franciscus meninggal dengan senyum samar, seolah ia tahu cerita belum selesai. Dan memang belum.

Suatu sore, seorang lelaki dari Austria datang ke biara. Namanya Al. Ia membawa anak laki-laki kurus berusia enam tahun yang tampak seperti bayangan yang terpisah dari tubuhnya. Kulit anak itu pucat, rambutnya gelap dan lepek, matanya terlalu besar untuk wajah sekecil itu.

“Aku telah kehilangan segalanya,” kata Al. “Tiga kali menikah, tiga kali gagal. Semua anak-anakku meninggal—kecuali dia. Mereka bilang dia pembawa sial. Tapi aku tak percaya anak ini iblis.”

Augustus menatap anak itu lama sekali. Di matanya, ia melihat masa depan yang seperti neraka terbuka: api, barisan manusia berbaris dalam kerapian maut, dunia yang terbakar oleh satu nama. “Tinggallah di sini,” katanya akhirnya. “Belajarlah dari lebah. Anak ini, biar kami yang ajar.”

Selama enam hari, Al belajar merawat lebah dan membaca Kitab. Anak itu belajar menyalin naskah suci, tapi lebih suka menggambar—wajah-wajah, garis-garis tegak, simbol-simbol aneh yang mirip salib terbalik tapi tidak sepenuhnya. Pieter mengajarinya sabar, sementara Augustus semakin sering menatap langit malam seperti menunggu wahyu atau hukuman.

Malam keenam, biara tenggelam dalam tidur. Augustus naik ke menara, seperti dulu Bapa Franciscus memanjat dalam usia renta. Ia membawa anak itu yang tertidur, menaruhnya di atas meja altar. Dari balik jubahnya ia keluarkan sebilah belati perak yang dipakai hanya pada pengusiran setan.

Namun sebelum bilah itu menyentuh dada anak, kilat menyambar. Awan menutup bulan. Pieter muncul, berlari menaiki tangga dengan napas tersengal. “Apa yang kau lakukan, Auggie?”

“Tugas kita jelas,” bisik Augustus. “Anak ini adalah yang ditunggu dunia. Ia akan menyalakan perang, membunuh jutaan manusia. Aku melihatnya.”

“Tapi mungkin kali ini ia berubah. Barangkali iblis di dalamnya dapat ditebus.”

“Tidak ada penebusan bagi api yang sudah menyala, Piet. Aku akan turun ke neraka agar dunia tidak perlu menyalakan neraka di bumi.”

Augustus & Pierre di Menara.

Pieter menahan tangan Augustus, mereka bergulat di bawah cahaya kilat. Belati itu terbalik, menembus dada Augustus sendiri. Darah menetes di altar. Ia tersenyum getir, menunjuk langit yang kini bercahaya emas. “Kita dipanggil pulang,” katanya. Sayap putih muncul dari punggung Pieter; ia mengangkat tubuh saudaranya dan terbang. Semua biarawan, termasuk Al, berhamburan ke menara dan menyaksikan mereka terangkat menuju cahaya.

Pieter menatap anak itu. “Jangan kecewakan aku, nak. Buat dunia lebih baik.” Lalu ia menghilang dalam cahaya, bersama Augustus, meninggalkan aroma madu terbakar di udara.

Bapa Markus, kepala biara, mendekati anak kecil itu. “Anakku, siapa namamu? Kau terberkati.”

Anak itu menatapnya dengan mata kelam yang memantulkan langit yang baru saja kehilangan dua malaikat. “Adolf,” katanya pelan.

Dan pada malam itu, di menara yang sama tempat malaikat turun, lahirlah kembali sejarah yang kelak membuat manusia ragu siapa sebenarnya yang diutus Tuhan—dan siapa yang dibiarkan-Nya untuk menguji seluruh iman umat manusia.

Alois dan Adolf.

Terima kasih telah membaca sampai habis. Website ini jalan dengan sumbangan, iklannya tak menghasilkan, dengan lisensi Creative Commons, Atribution, Non commercial. Kamu boleh pakai konten ini selama memberikan link sumber dan bukan untuk tujuan komersial. Kalau kamu suka dengan yang kamu baca, silahkan traktir saya kopi murah.