Filsafat, jurnalistik, Kurasi/Kritik, Memoir, Politik, Racauan

Gerakan Sosial Indonesia: Dari Tritura ke Era Algoritma

Sejarah Indonesia setelah 1945 bisa dibaca bukan hanya sebagai sejarah negara, tetapi sebagai sejarah rakyat yang berulang kali mengguncang fondasi kekuasaan. Gerakan sosial besar pasca-kemerdekaan selalu lahir dari pertemuan antara aktor, ideologi, medium, dan kebudayaan. Dari pamflet dan spanduk hingga hashtag dan AI generatif, cara rakyat berorganisasi terus berevolusi.

Yang berubah adalah bahasa zamannya. Yang tetap sama adalah kerentanan negara menghadapi energi sosial yang tak bisa dipetakan.


1950–1965: Era Kaum Ideologi

Indonesia muda diisi oleh partai-partai besar yang menguasai ruang publik: PKI dengan Lekra-nya, PNI dengan nasionalisme Sukarnois, serta HMI dan NU dengan Islam politik. Mahasiswa adalah aktor penting, menjadi perantara antara elite partai dan masyarakat kota.

Medium utama gerakan adalah pamflet, koran partai, dan radio. Imajinasi kolektif dibentuk lewat sastra realisme sosialis, lagu rakyat, dan retorika revolusi. Pada masa ini, ideologi diperlakukan seperti algoritma manual: diyakini bisa memetakan jalan revolusi dengan pasti.


1966: Tritura dan Gerakan Moral Mahasiswa

Ketika inflasi melambung dan kepercayaan publik pada Sukarno runtuh, mahasiswa kota tampil dengan Tri Tuntutan Rakyat: bubarkan PKI, rombak kabinet Dwikora, turunkan harga.

Gerakan ini sederhana, moralistik, dan mudah ditangkap. Tiga tuntutan yang mereduksi kompleksitas bangsa menjadi format yang ringkas—sebuah bentuk awal “datafikasi politik.” Mahasiswa menjadi wajah moral bangsa, meskipun hasil akhirnya adalah naiknya Orde Baru yang kemudian membungkam mereka sendiri.


1998: Reformasi

Tiga dekade kemudian, krisis moneter menghancurkan legitimasi Orde Baru. Mahasiswa kembali jadi aktor utama, tetapi kali ini mereka tak sendirian. Buruh, LSM, jurnalis, dan jaringan internasional ikut menopang.

Mediumnya berubah: bulletin fotokopian, radio kampus, telepon rumah, hingga televisi swasta yang menyiarkan mahasiswa menduduki gedung DPR. Budayanya pun bergeser: jeans belel, musik indie, forum kos-kosan. Ideologi tak lagi dominan; tuntutan lebih pragmatis: demokratisasi, anti-KKN, dan mundurnya Soeharto.

Hasilnya jelas: rezim jatuh. Namun oligarki lama tetap berakar, hanya berganti wajah dalam demokrasi liberal.


2019–2020: Reformasi Dikorupsi & Omnibus Law

Dua dekade setelah Reformasi, generasi baru turun ke jalan. Isunya: RUU bermasalah, pelemahan KPK, dan Omnibus Law.

Aktor kali ini adalah mahasiswa, aktivis digital, dan influencer. Mediumnya: Twitter, Instagram, meme, livestream. Budayanya: kopi susu literan, totebag, sneakers, ilustrasi digital. Gerakan ini bersifat interseksional—menggabungkan feminisme, lingkungan, anti-oligarki, dan hak minoritas.

Namun, fragmentasi isu membuat tuntutan sulit dipadukan. Negara beradaptasi dengan cara baru: buzzer, framing media, dan UU ITE. Solidaritas lahir, tapi algoritma platform ikut menentukan siapa yang viral dan siapa yang tenggelam.


2025: Gerakan Algoritmik

Hari ini, protes kembali mengguncang. Dipicu oleh isu tunjangan DPR yang dianggap berlebihan, dan tragedi Affan Kurniawan—pengemudi ojek yang meninggal tertabrak kendaraan taktis polisi.

Aktor gerakan meluas: mahasiswa, pekerja kreatif, sopir ojek online, ibu-ibu pengguna WhatsApp. Simbolisme organik muncul: palet warna hijau–pink, hijab pink Bu Ana, angka “17+8” sebagai mnemonic tuntutan. Estetika digital menjadi bahasa solidaritas.

Di sisi lain, negara pun tidak tinggal diam. Dari PAM Swakarsa kini bertransformasi menjadi buzzer, influencer sewaan, hingga cyber troops dengan analisis sentimen otomatis. AI bukan lagi sekadar alat, tapi aktor politik.

Di pihak gerakan: AI dipakai untuk membuat poster, infografik, voice-over, dan strategi kampanye.

Di pihak negara: AI dipakai untuk pengawasan, disinformasi, dan framing digital.


Arena politik bukan lagi sekadar jalan raya, tetapi server dan model AI yang saling berkompetisi.



Kesimpulan: Dari Ideologi ke Algoritma

Jika ditarik garis panjang, gerakan sosial Indonesia berevolusi:

1950–1965: ideologi sebagai algoritma manual.

1966: moralitas mahasiswa dengan tuntutan sederhana.

1998: pragmatisme kolektif menjatuhkan rezim.

2019–2020: estetika digital, solidaritas algoritmik.

2025: AI sebagai aktor baru, mengubah format tuntutan dan cara represi.


Negara tetap konsisten dengan satu hal: represi, propaganda, dan adaptasi setengah hati. Rakyat pun tetap konsisten dengan satu hal: menemukan bahasa zamannya untuk menuntut perubahan.

Hari ini, bahasa itu adalah algoritma dan AI. Bukan lagi Tritura, bukan lagi bulletin fotokopian, tetapi perang antar-narasi yang dipercepat mesin.

Dan pola paling logis dari semua ini bukan revolusi instan, melainkan tekanan berulang yang menghasilkan koreksi kelembagaan. Demokrasi Indonesia akan dipaksa menyesuaikan diri, bukan oleh satu manifesto tunggal, tapi oleh jutaan sinyal, hashtag, dan citra digital yang dikurasi algoritma—dan kini, ikut ditulis oleh AI.

podcast, Politik, Racauan

Eps 3: Ras | Black Lives, Cina, Papua?

Kenapa Black Lives Matter tapi Papua Lives Nggak?

Kita mulai dari bicara trend hashtag internet dulu. Jadi pengguna internet di Indonesia, yang bisa mengerti wacana nasional, dan mau mendengarkan podcast ini adalah kelas menengah kota. Dari #metoo movement sampai black lives matter, adalah wacana global yang dimengerti oleh beberapa orang saja.

Tapi tahukah kalian, wahai kelas menengah Indonesia, bahwa black lives itu memiliki konotasi post kolonial. Orang kulit hitam itu bukan hanya yang dari Afrika, tapi juga yang dari Karibia, atau bahkan orang-orang Tamil atau India yang tinggal di negara barat. Bisa juga orang-orang Aborigin di Australia, atau bangsa-bangsa di New Zealand yang tanahnya diambil oleh kulit putih.

Ini masalah pasca penjajahan. Tapi ada banyak perbedaan konteks yang harus kita bicarakan di sini.

Orang kulit putih di Indonesia menyebut diri mereka expat. Tapi kita nggak pernah menyebut imigran Arab, Cina, atau rasa lain yang bukan kaukasia sebagai expat. Secara gaji pun, expat jauh lebih tinggi daripada bangsa lain yang numpang kerja di sini. Dan yang paling rendah gajinya ya bangsa sendiri. Satu sisi memang ada masalah skill, tapi banyak juga yang masalahnya memang bias dan inferiority complex orang kita.

Lalu kita juga harus bicara soal ‘rasisme’ di negara kita. Kita rasis pada dua macam ras: Cina dan Indonesia Timur–makin ke timur makin kita (baca: Indonesia Barat) opresif dan asingkan. Kedua permasalahan soal rasisme di negara kita ini sifatnya sangat struktural, karena berasal dari propaganda pemerintah. Dari zaman kolonial, misalnya, golongan dibagi dalam golongan eropa, timur asing, dan pribumi. Di Timur Asing, orang Cina punya tempat khusus. Ketika orang Eropa sampai di Jawa pertama kali, imigran Tionghoa sudah membuat persawahan di bibir-bibir sungai, dan mengajarkan orang Jawa bertani. Ya, beras kita berasal dari orang Cina, begitu juga banyak bagian budaya melayu yang lain dari peci, baju koko, sampai sarung.

Orang Eropa mengajarkan kita tata cara pemerintahan kolonial, merkantilis, sistem ekonomi yang opresif, dan kita mengikuti itu. Mereka juga mengajarkan kita untuk rasis, pada diri sendiri dan khususnya pada orang Cina. Di Indonesia, Cina seperti Yahudi di Amerika. Dibenci tapi dijilat kalau mereka kaya. Seandainya Drama Merchant of Venice diadaptasi di panggung drama Indonesia, judulnya bisa diganti Merchant of Glodok.

Dari zaman kolonial, orang Indonesia Tionghoa, istilah sopannya sekarang, sudah dibantai dan diopresi. Sejarah dan jenis grup etnisnya banyak sekali di Indonesia dan nggak mungkin gue paparkan. Tapi opresif dan stereotipenya selalu sama: kaya, pelit, serakah, dan makan babi, dan Komunis. Padahal gelombang imigran dari Tionghoa ke Indonesia sudah lama sehingga menghadirkan berbagai macam orang dan ideologi. Dari yang kabur zaman kerajaan, zaman nasionalis, dan zaman Komunis. Dari berbagai macam daerah dengan dialek dan etnisitas yang beda-beda. Tapi toh, kejadian etnosida (pembantaian etnis) di Indonesia sudah beberapa kali terjadi. Yang terbesar kira-kira tiga kali: zaman kolonial abad 1740, tahun 1965, dan tahun 1998.

Kalau kalian pikir itu buruk, jangan sedih. Papua lebih parah. Jadi kalian boleh lebih sedih lagi.

Kenapa Papua lebih sedih? Karena ketika orang Indonesia Tionghoa masih bisa jadi makmur, orang Papua nggak bisa. Jadi kaya mungkin, jadi makmur nggak mungkin. Bedanya apa? Orang kaya bisa punya duit dan ngasih sodara-sodaranya rejeki, orang Papua bisa kaya. Tapi orang Cina bisa makmur karena mereka ga hanya u ya duit, mereka bisa menciptakan lapangan pekerjaan, infrastruktur, kampus, dan rata-rata institusi-i stitusi milik Tiong Hoa Indonesia tuh mahal-mahal. Halo selamat datang di BSD dan Meikarta! Ciputra aku datang!

Tapi sementara itu Orang Papua masih pada piknik di tengah jalan trans papua. Tentara masih jalan-jalan dan buat banyak orang Indonesia mereka dianggap belum jadi manusia beradab. Disuruh-suruh Indonesia harga mati, mereka juga banyak yang mati. Trauma nya berkepanjangan.

Dan ketika kawan-kawan pada pasang IG post hitam-hitam, apa mereka bicara soal Papua? Siapa yang benar-benar berani?

Papua terlalu jauh dari Jawa, dan kita di negara kepulauan ini punya masalah komunikasi. Di Amerika saja yang hanya dipisahkan jalan-jalan dan bukan laut, komunikasi antara kulit putih dan kulit hitam sudah susah. Apalagi buat kita. Kebanyakan kita tidak tahu menahu apa saja yang sudah terjadi di Papua sana. Bagaimana tentara kita memperlakukan mereka. Dan kalau kita masih teriak-teriak NKRI terhadap permintaan mereka untuk merdeka, bisa jadi kita adalah bagian dari masalahnya.

Tidak sepantasnya kita mengaku-aku saudara sebangsa dan setanah air, kalau kontak kita lebih dekat dengan black lives matter di Amerika daripada di Papua. Kita nggak mau jadi penjahatnya, padahal kita adalah penjahatnya juga.

Semoga saja langkah pemerintah kita untuk membuat infrastruktur dan internet di Papua bisa benar-benar membuka komunikasi dengan orang-orang yang kita akui sebagai saudara sebangsa tapi kita biarkan dihardik selama puluhan tahun.

Dan kita harus siap-siap. Ketika infrastruktur di sana selesai dan komunikasi dimungkinkan, kita akan mulai banyak bentrokan. Bentrokan yang diperlukan untuk menyembuhkan luka lama mereka, atau memisahkan mereka dari kita. Selamanya.


Terima kasih sudah membaca sampai habis. Kalau kamu suka dengan konten ini, kamu harus tahu kalau website ini jalan dengan sumbangan kopi warung. Traktir yang nulis kopi biar tetap semangat riset dan punya waktu buat nulis yak. Klik tombol ini: