Moral Bengkok, Prosa

Elegi & Selebrasi Kota Pandemi

Sebuah cerita berantai dari MalesBelajar Group, bagian Malesbaca Podcast.

Jalanan Jakarta akhirnya mulai sepi, setelah orang-orang pada mati. Harus banyak tragedi untuk mengerti, bahwa segala yang terjadi bukan lagi teka-teki. Jelas sudah, semua ini takkan pernah sama lagi. 

Sebagian orang berkabung tak berujung, misalnya, mereka yang takkan pernah sempat lagi memanggil “Ayah” atau “Bunda” kepada setiap wajah yang terlalu sibuk menyelamatkan, sampai tak sempat menjeda atau kembali pada anak-anaknya. Tapi, untuk setiap elegi, selalu hadir selebrasi tersembunyi. “Tahun depan kita nikah ya, istri dan anakku sudah dikubur di Rorotan tadi pagi,” kata seorang lelaki pada kasihnya di video call. 

Namun bagi mereka yang ditinggalkan, semua hancur sudah, tak ada kesempatan. Hanya kata ‘seandainya’ yang sudah tak bermakna apapun lagi di situasi ini. Luka-luka yang tak terlihat hanya bisa dirasakan perih pedih, air mata saja bahkan tak bisa menggantikan sakitnya. 

Dan untuk mereka yang bertahan di tengah kemelut sunyi, di bawah lampu merah hidup terus berjalan. Rudi, misalnya. Ia adalah pedagang kemoceng dadakan. Baru kemarin lusa ia diusir dari perempatan – dua kilometer arah ke kota. Mobil sebesar rumah dan tameng sebesar pintu menepuk pundaknya, meminta lahan dia sehari-hari berjualan untuk dijadikan salah satu titik pertahanan. 

“Apakah tempat tinggal orang-orang makin kotor karena semakin dihuni, ya?” 

Satu dari sekian banyak pikiran yang dipersilahkan Rudi berdesir sembari ia menunggu lampu kembali merah.

Sementara di bawah lampu merah, tikus got hingga tikus dalam rumah megah, semua ketakutan. Sang tudung hitam membawa sabit berkeliling melaksanakan tugasnya, menghabisi mereka yang memang sudah waktunya. Di hari-hari ini, ia pun lelah bekerja.

Mau di got ataupun istana, mau bodoh ataupun pintar, mau pelacur ataupun pelanggan, kita semua hanya tikus yang menunggu giliran: untuk kerja, kawin, beranakpinak, dan hari ini, jadi eksperimen test reaktif-nonreaktif; positif-negatif, dan berbagai macam vaksin.

Ada sampel darah yang tercecer pecah, di jalan, di rumah ibadah. Orang-orang sibuk, mencoba menyeka yang bisa mereka seka. Namun apa yang lebih sia-sia dari merasa bisa? Arogan.

Di sayup raung ambulan, ada bocah yang duduk tenang menonton televisi. Ia memicing mata, meyakinkan diri kalau wajah yang asik berbicara dalam layar pernah ia temui sebelumnya.

“Buk, itu bosnya Bapak kan?” 

Ibunya tidak menjawab, namun matanya sembab.

“Buk, Ibuk kenapa?”

Mata ibu nanar. Ada hal-hal yang tak ingin ia beritahu kepada Rico, anaknya. 

“Yang mencintai saya duduk sendiri menjelang pukul dua belas malam di ruang tamu.” Katanya hantu itu memperhatikan kekasihnya.

“Ia lelah, namun waktu begini bukan lagi hal yang bisa sering ia nikmati. Galau. Begitu tebal. Begitu khas masa muda. Tidur boleh menunggunya beberapa jenak lagi.” 

“Saya memandangnya dari tempat gelap di luar jendela sejak pukul delapan. Satu jam sebelum anak pertamanya Rico tertidur, satu setengah jam sebelum anak keduanya, Sheila, yang berumur setengah tahun terbangun dan menangis selama setengah jam.” 

“Kini semua telah tertidur, begitu pula Henry, bayi besar yang ia nikahi tiga tahun lalu, yang membelikannya gawai yang tengah kugenggam ini sebagai hadiah ulang tahunnya yang ke 27 tahun.” 

“Ucapan inalillahi berkali-kali menggetarkan gawai yang kucuri ini. Kabar tentang kematianku tak boleh menunda tidurnya lagi. Mencuri gawai semalaman takkan menjadikanku pencuri. Lagi pula siapa yang mau mengadili hantu? Hantu baru sepertiku pula.”

Si hantu mencuri gawai kekasihnya. 

Ibu tak akan pernah lagi mau melihat gawainya pula. Sebuah pencurian langsung gagal, ketika pemiik barang sudah tak sudi melihat barang yang tercuri. Ibu terus menatap nanar ke arah televisi–bukan, ke sesuatu yang jauh, seperti menembus televisi, tembok, perkampungan dan beton-beton Jakarta.

Setiap kali wajah ibu tengadah, langit mendunglah yang ia lihat.  Saat itu Desember dan hujan selalu turun dengan deras.  Di mana-mana kau bisa melihat air.  Jika sedang tidak hujan, air menggenang di  mana-mana.  Jalanan becek, lumpur dan sampah yang terbawa air saat hujan adalah pemandangan khas Jakarta musim hujan. 

Di sela jalan layang jalin-terjalin, ia melihat wajah-wajah lusuh berburu recehan dari para pengendara motor di lampu merah. Dari bangku rumahnya, ia menatap wajah seorang pria di bawah jembatan layang.

Sudah delapan bulan ini pria itu kehilangan pekerjaan. Sebelumnya ia adalah kru panggung yang terbiasa keliling Indonesia bersama para musisi papan atas Indonesia. Sebelumnya uang nafkah selalu cukup untuk dia dan keluarganya; cukup satu kabar untuk mengakhiri semua itu, “pandemi.”

“Ya mau bagaimana lagi?” si pria itu bicara dengan matanya. “Memang semua jiwa sedang sedih. Entah yang masih punya badan atau sudah terpisah. Tapi baguslah, karena hampir semua cerita berakhir sendiri atau melankoli.” 

Sambil bernyanyi dengan suara serak, hati kecil pria itu terus bertanya, “Kenapa tidak gila saja?”

Ia menginginkan kegilaan, agar bisa melupakan rentetan kata yang tak berujung, dan mampu merekah angan bagai setan yang membangkang. Meludahi tuhannya, meraih kebebasan seperti apa yang semua orang sedang perjuangkan. Orang gila tidak bersedih, hanya sakit atau mati.

Tapi pria itu punya dua anak dan seorang istri yang sakit di rumah. Dan mereka bertiga belum gila, dan sayangnya… belum mati juga. Kalau salah satu dari mereka mati, ia mungkin bisa mendapatkan cita-citanya untuk jadi gila. 

BERSAMBUNG…

Penulis:
Nosa Normanda
Lidya Sihombing
Dinda Suci Lestari
Avigayil Enautozoe
Rafi Abdurrahman
Adinegoro Natsir
Rangga Dewanto
Rachman Muchlas
Rozaq Ariwahyono

Filsafat, Politik, Racauan

Manusia Era Pandemik

Akulah manusia era pandemik, gampang panik, sering manik, dan suka gimmick seperti film Tilik, aku suka bergidik, sosmed orang kukulik lalu aku sirik, tapi nggak suka dihardik balik. Oh, dan makananku organik, pesan online tinggal klik.

Kelasku menengah, sering jengah gampang gerah nggak mau pasrah dan paling suka marah. Kalau beragama, banyak orang kutuduh bid’ah, kalau tidak beragama banyak orang kutuduh jadah.

Internet duniaku, rumahku kantorku, smartphoneku terhubung dengan otakku. Demi cintaku aku rela jadi otaku, karena semakin kulihat mukaku semakin yakin aku oralaku. Mengejar standar aku tak mampu, cuma orang jelek yang mau padaku padahal tinggi Nian standarku, tapi itu bukan masalahku karena sekarang ada laptopku, ponselku lebih pintar dari aku, VPNku, VR ku, Vagina Palsuku, Vigelku, Vintage gameku, anti Virusku.

Anti Virusku online dan offline, orang bilang aku impoten, tidak berpotensi dan tidak keren, karena aku kurang ngetren, nggak punya fren, dan dibilang cemen. Padahal aku paling ngetren, karena sebelom PSBB diteken, isolasiku udah permanen.

Aku siap menyongsong masa depan yang kosong, karena bukannya sombong, lututku sudah kopong karena kebanyakan dipong artis dewasa nipong dari situs JAV odong-odong.

Kesepian tak jadi masalah, yang penting tak kena musibah. Gempa, tsunami, pandemi, gunung merapi, tak membuatku gelisah. Karena tiada musibah paling bikin resah, selain kuota dan sinyal wi fi yang musnah dari rumah.

*) kalau kamu suka sama apa yang kamu baca, Traktir gue kopi dong di bit.ly/traktirnosa. Biar gue bisa merasa bahwa ada yang baca dan dengerin aja jadi lebih semangat bikin. Heheheh…