Filsafat, Memoir, Racauan

Default Mode

“Dalam kekosongan dan kegagalan rencana, kita tidak selalu jatuh. Kadang-kadang, kita hanya kembali ke mode dasar—cara bertahan hidup yang sederhana tapi esensial.”

Di masa-masa ketika hidup berjalan sesuai rencana, kita sering keliru menganggap arah hidup adalah garis lurus yang tinggal diikuti. Kita merancang target, tenggat, tahapan, dan milestone seolah semua bisa disusun seperti pitch deck: elegan, rasional, penuh urutan.


Namun hidup bukan pitch deck. Ia penuh noise dan kontinjensi. Dan terkadang, bahkan sebelum kita sadar, arah yang kita anggap pasti bisa tercerai berai—oleh perang, inflasi, perubahan rezim, kematian, atau bahkan burnout yang datang diam-diam. Ini bukan cerita tentang kekalahan, tapi tentang fase ketika kita harus berhenti memaksakan kehendak, dan mulai memulihkan kendali dari dalam. Saya menyebutnya default mode.


Saat rencana hidup saya ambruk—sumber penghasilan terganggu, proyek-proyek besar tertunda, dan keinginan bikin film panjang terasa makin jauh—saya tidak langsung pivot ke rencana baru. Saya tidak “rebranding” atau “merestrategi.” Saya diam.

Diam bukan pasif. Diam adalah metode. Dalam diam, saya mengamati: apa komitmen yang belum saya tuntaskan? Siapa saja yang masih menunggu saya menyelesaikan sesuatu? Apa keterampilan yang masih bisa saya latih di sela ketidakpastian? Diam memberi ruang untuk mendengar ulang suara kecil yang pernah jadi pusat gravitasi saya: film sebagai jalan belajar dan mengajar.

Dari situ saya mulai bergerak, pelan-pelan, bukan dengan tujuan muluk, tapi sekadar menjaga ritme. Menjalani default—mode bertahan yang tidak butuh validasi, tidak butuh panggung, hanya butuh konsistensi kecil.

Di Jepang, konsep ikigai menawarkan kerangka hidup yang menarik. Persinggungan antara apa yang kamu cintai (passion), apa yang dunia butuhkan (mission), apa yang bisa kamu dibayar (vocation), dan apa yang kamu kuasai (profession). Namun dalam masa transisi, ikigai sering tampak seperti kemewahan. Kita tahu apa yang kita cintai, tapi dunia sedang tidak membutuhkannya. Atau kita tahu apa yang kita kuasai, tapi tak ada yang bisa membayar. Maka kita terjebak di antarrauang antara ekspektasi dan realitas.

Inilah medan eksistensial. Sartre menyebutnya nausea—perasaan absurd yang muncul ketika makna-makna eksternal runtuh, dan kita harus menciptakan makna sendiri. Heidegger menyebutnya being-towards-death, kesadaran bahwa waktu kita terbatas dan tidak ada sistem nilai eksternal yang benar-benar bisa menampung seluruh absurditas hidup.

Tapi saya juga melihat ini dari lensa praksis, dalam pengertian Paulo Freire. Bahwa belajar dan mengajar bukan proses linier, bukan relasi satu arah antara yang tahu dan yang tidak tahu, tapi tindakan sadar untuk mentransformasikan dunia—bahkan ketika dunianya sedang runtuh. Film buat saya adalah praksis. Ia bukan sekadar produk estetis, tapi alat untuk membaca ulang struktur, menyuarakan kegelisahan, membentuk ruang-ruang kecil pembebasan.

Kembali ke default bukan kekalahan. Ia adalah bentuk kebijaksanaan dalam kondisi terbatas. Seperti stoic yang memilih apatheia—ketenangan atas hal-hal di luar kendali. Atau seperti petani yang tahu bahwa musim tidak selalu bisa diatur, maka ia menyesuaikan ritme hidup dengan siklus tanah, bukan kalender Excel.

Dalam default mode, saya menjalankan hal-hal kecil dengan kesadaran besar: membuat tulisan pendek, mengajar satu sesi, mengarsipkan dokumentasi, menonton ulang film-film lama, menghubungi kembali kawan kolaborator. Tindakan kecil, tapi dengan orientasi tetap pada jalan panjang: membuat film, bukan sebagai puncak karier, tapi sebagai kompas hidup.

Mungkin dalam waktu dekat saya belum bisa syuting film panjang itu. Tapi bukan berarti saya berhenti jadi filmmaker. Karena jadi filmmaker tidak selalu berarti memproduksi film, tapi juga terus hidup dengan kepekaan, berpikir naratif, dan berbagi dalam proses kolektif belajar-mengajar.

Saya sedang default, tapi bukan berarti saya berhenti. Ini hanya fase diam sebelum arah baru ditemukan. Dan kadang, arah itu ditemukan bukan dari peta besar, tapi dari serpihan kecil: niat yang tulus, kerja yang konsisten, dan keberanian untuk tetap bergerak walau perlahan.

English, Film/Video, Memoir, Racauan

Filmmaking, Journalism, and the Relentless Pursuit of Building Things That Matter



For a long time, I struggled to define what I do. Am I a filmmaker? A journalist? An educator? A producer? A self-abusive project manager who somehow ended up doing all of the above?

The truth is, I build things—stories, communities, ecosystems, and sometimes, existential crises in the minds of my students. My work sits at the intersection of film production, journalism, and education, not because I’m indecisive, but because storytelling, at its core, is about understanding people, systems, and power structures. And you can’t do that from just one perspective.

So, I write, I direct, I teach, I produce. And somehow, I keep finding myself in the middle of things that grow bigger than I ever planned.


Between Film and Journalism: The Chaos That Keeps Me Going

I started in film. I liked the idea of creating something visually beautiful and narratively haunting. But early on, I realized I wasn’t interested in just making films—I wanted to dig deeper into stories that disrupt, unsettle, and rewire the way people think. That’s how I ended up in journalism and documentary filmmaking, where the challenge isn’t just crafting a story, but fighting for its survival in a world that is full of misinformation and selective memory.

Right now, I’m a Senior Digital Content Producer at BenarNews, Washington DC, working on digital journalism projects that blend investigative reporting, visual storytelling, and narrative filmmaking. It’s an industry where deadlines are violent, the stakes are high, and the job is, quite literally, to question everything. It keeps me stressed but sharp. It keeps me struggling and critical. And it reminds me that storytelling, when done right, is an act of defiance.

But journalism has limits. It informs, but it doesn’t always build. Which is why I created MondiBlanc Film Workshop—because if I wanted to see real change in the film industry, I had to stop waiting for it and start engineering the infrastructure myself.



MondiBlanc: The Accidental Revolution

MondiBlanc started as a simple idea: teach filmmaking in a way that actually prepares people for the industry, not just for theoretical debates about “auteurship.” What I didn’t expect was for it to grow into one of Indonesia’s most inclusive and community-driven film education platforms, training over 1,200 future filmmakers, actors, producers, and directors online, and hundreds of offline students in less than 10 years.

Along the way, G20 ICONIC (2022) and UNESCO’s “Backstage” (2021) recognized MondiBlanc’s work in accessible and sustainable film education—which is great for credibility, but more importantly, it proved something I’ve always believed:

Good filmmakers don’t come from expensive film schools. They come from strong ideas, sharp execution, and communities that actually give a damn.

So that’s what MondiBlanc became: a place where people learn by doing, fail fast, fail forward, and emerge better than before. And if they survive my teaching style? They’ll survive the industry just fine.


Filmmaking as a Weapon (and Sometimes a Mirror)

Some films entertain. Some disrupt. The best ones do both.

One of my most notable projects, Xabi: A Phantasmagoric Adventure, was a surrealist dive into mental illness in Indonesia, a subject people would rather ignore or romanticize. The film won the Jury Prize at The International NGO Film Festival 2022, proving that audiences do engage with difficult stories—if you tell them in ways that make it impossible to look away.



Beyond this, I’ve produced and edited award-winning short films and investigative documentaries, collaborating with organizations like Outpost New York, Hivos, LBHM, and the World Bank to craft stories that challenge power, provoke thought, and occasionally, make people very uncomfortable.

Because the job of a filmmaker—at least the kind worth paying attention to—isn’t to play it safe. It’s to poke, prod, and create something that lingers in people’s minds long after the credits roll.



The Future: An Industry That Works for More Than Just the Privileged Few

Right now, my focus is on expanding MondiBlanc into something bigger than just a workshop. The goal is to engineer an ecosystem where independent filmmakers can thrive without begging for scraps from big studios and broken funding systems.

That means:
– Building real industry connections, not just LinkedIn flexes.

– Teaching filmmakers how to navigate the business side, so they stop getting exploited.

– Creating a sustainable network of talent, because the best projects come from collaboration, not isolation.

I’m done waiting for the industry to change. It won’t. So we’ll build something better.


What I Actually Believe (And What I’ll Never Apologize For)

I believe that working and learning are inseparable—because if you’re not constantly questioning, evolving, and making peace with the fact that you know nothing, you’re probably becoming irrelevant.

I believe that there are no bad ideas—only lazy executions. The difference between a good film and an unwatchable one isn’t budget; it’s who had the patience to refine the raw idea into something sharp, urgent, and necessary.

I believe the film industry is overdue for a full-system reboot, and if no one else wants to press the reset button, I’ll do it myself.

And above all, I believe that good storytelling is an act of war against mediocrity, silence, and comfortable narratives.

So yeah. I build things. I teach. I create. And I keep learning.

If you’re a filmmaker, writer, or creator who gives a damn, let’s connect. Because the best stories?

They’re the ones we create together.

English, Filsafat, Memoir, Racauan

The Waiting


I stop waiting and work instead. Unless waiting is part of the work. But what work requires waiting, and being mindful while you wait?

Queuing is waiting, and I think of other work while doing it. In the car as a passenger, or even when I drive—my eyes on the road, hands on the wheel—my head would be over heels or around the world. But don’t worry; my mind is always more creative while I enjoy the ride. Unless there is familiar or good music. With familiar music, I sing and focus on the road, letting my heartbeat match the tempo as the music takes me.

But here is the thing. It’s not that I am impatient, but everything needs a deadline because death is the most absolute thing in the world. I am not saying YOLO or provoking FOMO in you. I am just saying, don’t let other people choose how to spend your life. It’s your life, and it’s not free. You are paying for it with time, money, and energy, so you have to make it worthwhile. Worthwhile, not fast or slow.

So eat, work out, hang out, work, love, and sleep well. The world is never about you; it does not revolve around you. But you are about you. Take control to let loose when you want. Let loose to take control when you need to. Be alert, and relax. You will learn.

Welcome to the wait. Now go, mind, go.

Memoir, Racauan

Etos kerja warisan orang tua

Saya tumbuh dalam keluarga yang penuh dengan cerita perjuangan. Papa saya, seorang perantauan dari Kalimantan, mengejar pendidikan D3 di Jakarta dengan keterbatasan finansial. Beliau bergantung pada bantuan keluarga dan bekerja serabutan untuk mencukupi kebutuhan kami. Di sisi lain, ibu saya lahir dalam keluarga yang cukup mapan (walau juga penuh perjuangan, namun golongannya sudah priyayi sejak awal), dengan latar belakang pendidikan tinggi dan kesempatan yang lebih terbuka di pulau jawa. Meski berbeda jauh dalam hal latar belakang, keduanya menunjukkan tekad yang sama untuk sukses.

Papa pernah jualan prangko, untung Rp 15 per perangko

Papa saya menempuh berbagai pekerjaan, dari menjadi supir angkot gelap, hingga membuka usaha logistik kecil-kecilan sendiri, tanpa pernah mencapai tingkat kesuksesan finansial seperti ibu saya. Sementara itu, ibu saya adalah seorang pekerja keras yang memiliki kecerdasan intelektual dan pergaulan yang luas. Dari menjadi wartawan hingga memiliki perusahaan iklan dan agensi, ibu saya selalu menunjukkan dedikasi yang luar biasa terhadap pekerjaannya.

Melalui pengalaman orang tua saya, saya menyadari bahwa keberhasilan dalam pekerjaan bukanlah sekadar tentang uang. Pekerjaan adalah tentang relevansi dan dampak positif yang dapat kita berikan kepada orang lain. Uang hanyalah alat untuk memenuhi kebutuhan hidup, bukanlah tujuan akhir. Dari contoh yang mereka berikan, saya belajar untuk tidak terjebak dalam ego dan untuk selalu bekerja dengan integritas.

Saya beruntung dapat melihat dua sisi dari koin ini. Dari satu sisi, keluarga ayah saya mewakili kelas menengah bawah, sementara keluarga ibu saya mewakili kelas menengah atas. Saya, berada di tengah-tengah, jadi punya tujuan bukan untuk kaya, tetapi menjadi manusia yang berharga dan relevan, dalam apapun bentuknya.

Saya jadi menetapkan tujuan untuk menjalani kehidupan yang berarti. Saya tidak ingin hanya mencari uang dalam pekerjaan saya, tetapi juga ingin memberikan kontribusi yang berarti bagi masyarakat dan dunia. Pekerjaan saya harus sejalan dengan nilai-nilai dan prinsip-prinsip yang saya anut. Saya percaya bahwa dengan tekad dan kerja keras, saya dapat mencapai tujuan tersebut.

Foto terakhir dengan Papa

Dunia terus berubah dan kompetitif, dan jadi pekerja keras adalah kunci untuk jadi pantas, decent. Punya kerja, punya peran, seberapapun hasilnya, membuat kepantasan itu. Kalau sampai kaya, itu bonus yang kudu segera disebar-sebar buat bikin orang-orang punya kerja. Ditumpuk jadi penyakit nanti.


Terima kasih telah membaca sampai habis. Website ini jalan dengan sumbangan, iklannya tak menghasilkan, dengan lisensi Creative Commons, Atribution, Non commercial. Kamu boleh pakai konten ini selama memberikan link sumber dan bukan untuk tujuan komersial. Kalau kamu suka dengan yang kamu baca, silahkan traktir saya kopi murah.