Politik, Racauan, Workshop

Managemen Konflik part 1: Konflik Hadir dari Cara Orang-orang menghadapi Konflik

Konflik itu tanda kehidupan. Semua orang pasti menghadapi konflik. Tapi justru, karena caranya beda-beda, maka mereka nggak ketemu pemecahanya, komunikasi jadi ancur, hubungan ancur, output… Ya pasti ancur. Jadi ketika terlibat sebuah konflik, kita harus tahu dulu bagaimana cara kita dan orang lain menghadapi konflik, terus kerjasama buat cari cara terbaik untuk mencapai tujuan bersama.

Untuk mengidentifikasi konflik, kita harus paham cara yang sering kita atau orang lain lakukan untuk menghadapi konflik, karena cara-cara inilah yang seringkali justru menghasilkan konflik besar, kalau tidak bisa diatur dengan baik dan tidak dikenali. Ada banyak cara orang menghadapi konflik. Salah duanya adalah kabur, atau mati. Tapi itu ga usah kita itung lah ya. Nggak menyelesaikan masalah. Ini aja, ada 5 cara orang yang cukup berkomitmen untuk tuk menyelesaikan projectnya (bukan masalahnya).

1. Cara kolaborasi

Orang yang menangani konflik dengan cara kolaborasi lebih mementingkan proses daripada hasil, dan cara ini hanya bisa dilakukan kalau prosesnya panjang, intens, dan banyak ngobrol. Tujuannya untuk mencapai hasil terbaik buat semua pihak. Masalah, kalau cara kolaborasi ini dipakai dalam waktu singkat dan terhadap orang-orang yang masih asing. Yang ada bukannya kolaborasi, tapi hasil yang carut marut.

2. Cara Menghindar

Ada orang yang lebih suka menghindari konflik dengan cara mengesampingkannya. Bisa aja ketika dikesampingkan, memang karena ada hal lain yang lebih krusial untuk diurus dulu. Tapi jadi buruk kalau konflik dikesampingkan karena takut untuk dihadapi, atau malas untuk dibahas, terus kamu malah diam aja. Akhirnya akan jadi menumpuk dan sistemnya collapse.

3. Cara Akomodatif

Ada yang ketika mengalami konflik, cenderung lebih mengalah dan memberikan akomodasi terhadap permintaan orang lain. Ini bisa menyelesaikan masalah, tapi bisa membuat masalah lebih besar karena nantinya si orang akomodatif ini bisa tereksploitasi. Cara ini hanya boleh dilakukan  kalau tujuannya bukan hasil, tapi memperkuat hubungan sosial.

4. Cara kompetitif

Ini biasanya dilakukan oleh orang yang berpikir hasil-hasil-hasil. Di sini dia tidak perduli akan orang lain atau grupnya, yang penting hasilnya bagus. Dia bahkan bisa mengerjakan semua sendirian, sangat tidak baik untuk dinamika grup. Konflik tidak diurus, diselesaikan  secara sepihak dengan kekuatannya sendiri. Usahakan jangan pakai cara ini, karena ini merusak hubungan antar personal. Plus, ini bisa bikin gila.

5. Cara Kompromi

Ini biasanya dilakukan oleh people pleaser, untuk memuaskan semua pihak. Biasanya cara ini kita lakukan ketika kita sudah menyerah terhadap hasilnya dan tidak ada waktu lagi. Cara ini efektif untuk bikin konflik dan project kelar. Tapi harus diingat, tidak ada satupun orang akan puas.

Kamu sendiri tipe apa? Jawab dalam hati saja.

**

Nah, kalau kita sudah paham cara-cara orang untuk menghadapi konflik, kita jadi punya mata elang dalam melihat beberapa cara orang-orang dalam menyelesaikan konflik. Sebagai manager/producer/director, kita harus sadar kita cenderung seperti apa, dan bikin jarak: lihat orang-orang di grup kita kayak gimana.

Sekarang mari masuk ke cara mengatur konflik yang mengandung orang dengan cara yang beda-beda dalam menghadapi konflik.

Meta sekali bukan? Konflikception? Hahaha..

1. Peka terhadap konflik

Biasanya kalau saya, selalu mulai dengan apakah ada perubahan-perubahan mood dalam ruang kerja. Itu bisa dilihat dari bagaimana orang-orang ngobrol, gosip-gosip terkini, atau… Bagaimana orang-orang TIDAK NGOBROL. Kalau tidak terbaca, perbanyak komunikasi dengan bertanya soal pendapat mereka soal projectnya. Bisa juga dilakukan dengan japri, biar tahu motivasi tiap orang dan cara-cara orang itu menghadapi konflik.

2. Sans sisbro, ambil jarak
Jangan tegang dulu, ambil jarak dan inget-inget orang kayak apa yang sedang konflik. Kalau kamu yang terlibat dalam konflik itu, minta tolong mediasi aja. Tapi jangan ambil dua pilihan ini: fight or flight. Jangan berantem, dan jangan kabur. Terus gimana? Bikin komunikasi yang dewasa, terstruktur dan berdebat secara bergiliran dengan saling mencatat dan mendengarkan keluhan orang. Jadilah NETRAL dan FOKUS KE FAKTANYA. Dan yang terpenting besarkan hati untuk terima fakta bahwa kamu salah.

3. Selidiki situasinya

Sebelum menghadapi konfliknya, ambil waktu buat menyelidiki dengan bertanya  pada pihak-pihak lain yang terkait. Pastikan tidak ada praduga. Bicara pada orang yang berkonflik secara terpisah dan pastikan kamu paham sudut pandang mereka. Biasanya kalau saya sih, saya tanya balik dengan pernyataan mereka untuk memastikan, “jadi lu ngerasa si anu nggak peduli sama project ini, dan banyakan lu yang kerja?”
Atau “Jadi lu ngerasa si Una susah dihubungin dan ga bilang dia butuhnya apa?”

4. Ambil keputusan cara ngehandlenya.

Coba, setelah masalah teridentifikasi, jawab pertanyaan berikut:

– Ini masalah lebay trivial, atau bisa jadi serius buat keseluruhan project? Lebay trivial tuh kayak, “gue ga suka dia banyak ketombe, geli aja.” Masalah serius kayak, “gue nggak suka dia banyak ketombe, ini kan pabrik coklat dan kerjaan dia ngaduk coklat cair. “

– Harus dibawa ke organisasi atau institusi, apa bisa ditanganin sendiri? Kalo cuma ribut antar orang yang ide kreatifnya clash, mungkin bisa dibicarakan internal. Tapi kalo pelecehan seksual, well hajar bae ke bos-bos.

– Ini masalah di dalam lingkaran kamu sendiri, atau jangan-jangan struktural dan harus dibawa ke atasan? Struktural berarti ada masalah aturan main. Coba dibicarakan apa aturan mainya bisa diubah.

– Ada hubungannya dengan legal nggak? Awas jangan sotoy, hukum harus dibicarakan sama orang hukum.

– Perlu kah diwakili oleh organisasi/serikatmu?

– Apakah kamu harus ambil keputusan prerogatif sendiri, atau harus ngumpulin orang untuk musyawarah mufakat atau voting? Semua kembali ke masalah waktu dan output projectnya.

– Apakah butuh waktu untuk emosi mereda sebelum melanjutkan project?

Jawab semua ini, lalu mulai “kerjakan” Solusi masalahnya. Ya, solusi bukan dicari, dia dikerjain satu-satu sampe beres.

5. Kasih semua orang ngomong tanpa interupsi

Kalo ada waktunya, kasih semua orang waktu buat bicara tanpa ada interupsi. Kalo bisa, ngobrol satu-satu sama semua orang yang terlibat secara privat. Pastikan data yang kamu dapat tidak tersebar atau kamu kasih tahu orang lain.

6. Setelah masalah per individual terkumpul, pertemukan semua orang.

Lihat mana yang mereka bisa katakan secara publik dan mana yang nggak. Emosi boleh ada tapi harus dikontrol. Diskusi harus kamu jalankan, tapi juga harus siap intervensi ketika diskusinya terlalu panas. Selain itu, ekplore alasan-alasan kenapa orang tidak setuju. Minta solusi dari semua orang. Ambil waktu istirahat, lalu berefleksi. Setelah itu ambil keputusan dan minta komitmen tiap orang untuk keputusan itu.

7. Pastikan konsisten dan Evaluasi

Jangan pikir masalah sudah kelar. Terus evaluasi dan peka terhadap konflik baru atau lanjutan. Konsisten pada keputusan yang sudah diambil.

8. Evaluasi diri sendiri untuk mencegah konflik mendatang

Jangan lupa buat evaluasi cara kamu dalam menangani konflik. Apa yang bisa bikin kamu lebih efektif salam menangani konflik itu? Apa saja yang harus kamu pelajari? Mungkin kamu juga perlua training dalam komunikasi, atau ethnografi untuk mengumpulkan data. Perbanyak bergaul, dan selalu belajar dari konflik.

***

Seperti biasa, Terima kasih sudah membaca sampai habis. Blog ini jalan dengan sumbangan, dan saya ingin bisa berusaha konsisten menulis. Kalau tulisan ini membantu kamu, jadilah patron saya dengan mentraktir saya kopi dengan klik di tombol di bawah ini. Thanks for reading.

Adapted from peoplehum.

English, Memoir, Racauan

Dysphoria #1: Self-made Hell

This is a work fiction. All resemblance with the reality is on purpose. Explicit content.

It is obvious that my loneliness is the main cause of all these fuss, unfaithfulness, the distorted feeling of entitlement. It is my most deceptive defensive mechanism–that the truth, in itself, is self destructing. I am alienating people in order to alienate myself from the hell that they construct.

Creating my own hell, is better than living somebody else’s heaven.

Thus, I hurt myself again, just to find a way to make me forget that I am lonely. I hurt myself with bulimia, with days of sleep, with obsessive scratching, cutting, and obsessive exercise when the manic came, sleepless nights, and after that I still want to punch any guy, or fuck any girl that I think deserve my fist or my dick. I am all open to fight or fuck because I’m sick of flight.

And I’d desperately love anybody who wants to love me. And I’d burn myself, sacrifice myself, ready to be crucify like Jesus H. Christ, and I’d beg people not to leave me until they’d got annoyed and see me as a freak and they need to leave me to stay sane because I’d drive them crazy, so I’d drive my car. I’d drive and drink myself hope to die on the road, hopefully with other assholes that swarming the highways of this city.

And all of it would be my fault. Nobody can blame or even care about my disorder, my upbringing, the system that I am in. I and only I, will be held responsible for all this mess that’s happening with my life and other people that I dragged.

The fucking shrink might say that this thought is cognitive distortion, self entitlement, but fuck you, the court, the people’s court cannot hold my disorder, my upbringing responsible for my actions. They cannot put those abstract nouns in jail, they could not rehabilitate my illness. It is I and only I, will be held responsible for my actions.

And what else should I do but to embrace what the universe has given me? I have eliminate the choice to take my own life because of the meds or because I’m a fucking coward. Anyway, I have no choice but struggle against a sea of trouble and by opposing hope to end them. Even though I know, that I will lose and drown and will face inevitable slow death. But at least I did fight back and refuse to flight.

At least I did good, at being brave. To open my eyes every day, and trying hard to get out of bed and go out to the world. To fight or to fuck. And if I have to lose love again, I think it’s just because I don’t deserve love. I am condemn to beg. For mercy, for love, for attention, only to toss it all out, when I feel lonely.

Because of this distorted feelings and thought, that I’d rather be alone, than be lonely. And the only way to be out of the misery of loneliness, is to break all ties and be perfectly alone to face the misery of the ubermench, the homo deus. Until there is no happines or misery any more, until there is no value in the narrative of my life.

It is when I became forgetful, mad, or die.

Sickness unto death.

This site is run by donation. If you like what you read, please be a patron at by clicking this link.

Memoir, Racauan

Transisi

Pesanan Putri Ayudya

Sulit banget untuk hidup rutin dan teratur supaya sehat seperti di lagi radiohead Fitter Happier. Selalu saja ada yang mengganggu rutininitas dan kenyamanan yang sudah terbangun, apalagi ketika kerjaan lo adalah Seniman aktif. Waktu project ga ada, lo bisa teratur tapi begitu project masuk semua akan berantakan.

Tapi semakin tua, di umur 30an ini, gue semakin ngerasa butuh banget buat teratur. Karena masalah kesehatan fisik dan mental ternyata sangat bergantung sama bagaimana kita mengontrol dan mengatur kebiasaan. Artinya, setiap habis project, harus ada waktu rehat untuk kembali mengatur keseimbangan diri.

Repotnya kalau projectnya panjang. Project panjang yang keos, membuat lo stress dan waktu yang dibutuhkan untuk healing atau kembali ke keteraturan akan jadi lebih panjang dan sulit. Belom lagi kalau lo BU dan project datang kayak badai yang nggak kunjung selesai.

Tapi gue dapet ide lama yang terbarukan ketika nonton anime macam demon slayer. Dalam satu season, ada dua atau tiga episode mereka healing dan latihan mengimprovisasi diri. Kayak setiap luka parah yang lo dapet dari project, bisa membantu lo berkembang asal semangat lo ga patah dan cukup tahu diri kapan harus mulai bergerak dan berusaha seimbang lagi.

Stamina dan endurance juga akan bertambah, berbanding lurus dengan project yang tambah susah dengan keuntungan yang tambah gede. Tapi perlu diingat juga bahwa ada masa ketika lo perlu pensiun, jadi harus disiapkan masa itu. Normalnya umur 55, dan masa prima lo dimulai, seperti kata Stanislavski, umur 40.

Normalnya, ada waktu 15 tahun untuk jadi manusia super, dari umur 40-55. Rencana gue, gue akan bikin beberapa film panjang pada umur-umur tersebut. Sementara itu, bikin tim dan kumpulin duit dulu lah dengan MondiBlanc, Talemaker, dan tentunya kerjaan-kerjaan sampingan bercuan lumayan.

Life is good. Or probably because I’m on mood balancing drugs. But when I write this, life is good and I think I can be happy about it even for a moment.