Memoir, Racauan

Berteman Dengan Kriminal

Kita semua hidup berkoeksistensi dengan berbagai macam manusia, banyak dari mereka adalah orang punya kepercayaan yang sangat berseberangan dengan kita. Saya punya beberapa teman, sahabat dan keluarga yang bersebrangan sama saya pandangannya soal perempuan, kekerasan seksual dan LGBT. Malah ada seorang keluarga saya yang berpendapat bahwa semua orang LGBT harus direhab, dan dia kesal dengan negara yang tidak memperbolehkan itu. Tapi saya tetap berteman dengan mereka, sampai saat dimana saya harus melawan mereka; misalnya nanti ketika negara menangkap orang-orang LGBT dan mulai memaksa rehab. Mungkin saya akan pasang topeng Guy Fawkes dan menggali terowongan ke gedung DPR.

Photo by TheBooringLens on Pexels.com

Tapi bisa jadi saya munafik. Semunafik bapak saya yang selalu bilang ke adik saya kalau dia bermasalah sama polisi, bapak saya nggak akan bantu. Kenyataanya almarhum papa pernah pasang badan buat adik saya ketika ia benar-benar kena masalah yang bisa bikin dia di penjara. Saya bisa jadi munafik juga. Saya bisa jadi orang yang plin-plan ketika sahabat saya atau saudara saya tersangkut kasus. Dan mereka yang kenal saya pasti tahu kalau saya pernah membela orang yang kena kasus (soal yang ijo-ijo), biar dia nggak masuk pengadilan. Walaupun dalam hati saya, saya mendukung legalitas ganja, tapi ketika saya membantu orang yang tertangkap dengan mengakali sistem negara, saya telah turut serta membantu kriminal. Soal membiarkan orang kriminal bebas, saya mungkin punya pengalaman. Sayangnya saya nggak bisa cerita detail. Saya takut keluarga mereka atau ‘circle’ saya yang kenal dengan mereka, atau bahkan mereka sendiri membaca artikel ini terus saya dapat masalah. Karena mereka bisa lepas dari jeratan hukum gara-gara punya backingan kuat. Sangking kuatnya, nanti saya kena masalah bukannya keadilan ditegakkan, saya malah masuk penjara karena UU ITE.

Jadi kita bikin pake abstraksi saja. Dari pengalaman saya, saya kenal pelaku kriminal dengan kejahatan yang sangat parah: menghilangkan nyawa orang lain; kejahatan parah: bandar besar sabu, pelecehan seksual dan penyiksaan; dan kejahatan ringan: ganja, klepto, maling karbitan. Semuanya memusingkan. Kita mulai dari yang paling parah, karena deadlock banget.

Ada dua orang yang saya kenal pernah menghilangkan nyawa orang dan bisa bebas jalan-jalan. Satu laki-laki yang sampai sekarang masih suka petantang petenteng, satu lagi perempuan yang terakhir ketemu 8 tahun lalu dan adalah salah satu orang paling baik yang saya kenal. Yang lelaki mabuk, nabrak orang lalu lari ke keluarganya minta perlindungan. Yang perempuan mabuk, nabrak orang, lalu dilarikan keluarganya karena takut malu punya skandal–padahal teman saya itu sempat meraung-raung minta dipenjara saja. Dua-duanya teman saya dan punya backingan kuat. Saya jadi inget ibu-ibu di film Georgia yang berusaha melindungi anak-anak lelakinya yang memperkosa orang hingga meninggal, dengan alasan “mereka masih muda, masa depan merka masih panjang.” Hidup ini memuakkan, dan saya jadi saksinya. Bystander, tidak bisa apa-apa melihat sistem yang memang memihak pada penguasa. Sentimen precariat ini sering bikin depresi, seperti saat ketika saya menulis artikel ini. Saya tidak membela dan tidak berhak menuntut mereka. Saya mendengar, menyimak, dan selalu ada rasa yang aneh ketika saya bertemu orang-orang ini.

Photo by cottonbro on Pexels.com

Tipe kejahatan kedua adalah bandar narkoba besar, pelecehan seksual dan kekerasan seksual. Bandar narkoba besar sudahlah. Ini kasus sudah jelas kalo nggak hukuman mati di nusa kambangan, hidup foya-foya aja. Ada teman yang sekarang dipenjara seumur hidup. Ada juga yang foya-foya dan senoat saya wawancara sebagai narsum berita saya. Tapi mari kita fokus di kekerasan seksual aja. Kali ini, teman-teman saya yang melindungi pelaku yang melecehkan mereka. Ini berkaitan erat dengan video ceramah yang sedang viral soal melindungi aib keluarga. Saya punya beberapa teman–artinya lebih dari dua, yang berusaha menjaga supaya ‘aib’ keluarga tidak keluar dari rumahnya. Mereka datang ke saya karena saya dianggap, entah, mungkin berpengalaman, mungkin moralnya terlalu fleksibel, atau apa. Mereka cerita dan bikin saya muntah di dalam mulut. Ada yang dipukul suaminya, di bagian punggung. Sampe biru-biru. Ada yang diperkosa suaminya. Dan saya sudah bilang, saya punya koneksi ke pendamping KDRT, saya bisa membantu mereka kabur ke Yayasan yang bisa menaungi mereka. Tapi mereka malah marah sama saya, dan takut saya membocorkan aib keluarga mereka. Mereka cuma ingin ada yang mendengar, tapi tidak ingin diusut. Tidak ingin dibela. Salah satu dari mereka ada yang saya suruh mengadu kepada orang tuanya, dan cerita kalau dia pernah melakukan itu tapi malah disuruh pulang ke rumah suaminya dan menyelesaikan masalah keluarga dia. Nampaknya tradisi pukul dan perkosa bini ini, buat beberapa orang dari golongan tertentu itu biasa aja, dan mengeluh soal itu jadi lebay. Menyedihkan. Pada akhirnya saya minta tolong, saya bilang, “kalau kamu tidak mau menolong dirimu sendiri, tolong jangan pernah lagi cerita ke saya soal ini. Ceritalah kalau kamu siap melawan. Saya stand by.

Kenyataannya, mereka tidak pernah lagi cerita sama saya. Semua orang pegang deritanya masing-masing, pada akhirnya, Pilihan masing-masing.

Photo by Damian Barczak on Pexels.com

Tipe ketiga bikin pusing ini pagi buta. Kalau soal yang ijo-ijo, saya udah cerita di atas. Itu kasus yang jadi biasa aja di Jakarta, cepu ngisi kuota. Tapi yang ini lain lagi. Saya punya seorang kawan, dan ini kisah yang sedang terjadi, yang dituduh mencuri namun tidak pernah terbukti. Sudah beberapa kali proyek yang ada dianya, ada barang hilang. Dan dia selalu terbuka untuk diperiksa dan tidak pernah ketahuan. Rumor beredar di kalangan kru, bahwa dialah pencurinya, tapi toh tidak ada yang berani frontal menuduh karena memang tidak ada buktinya. Orang-orang cuma main halus aja, nggak ngajak-ngajak dia proyek. Akibatnya, rejekinya mandeg. Dan dia mulai curhat sama saya minta tolong pinjam uang atau kasih dia kerjaan. Hasil kerjaan dia bagus. Dia orang yang telaten dan mau kerja keras. Tapi tidak ada yang mau kerja sama dia, atau kalau pun mau, kerja jadi tidak nyaman karena orang takut bawa barang. Saya kasihan. Tapi saya nggak bisa egois dan memasukan dia ke tim yang sudah sering omong belakang soal dia. Dan saya juga sulit untuk bicara sama dia kalau teman-teman yang dia anggap teman sebenarnya sangat tidak nyaman. Akhirnya, yah, saya masih berpikir sih mau apa. Kita lihat saja inspirasi ilahi.

Kita hidup di masyarakat majemuk dengan sistem nilai yang berbeda-beda. Dalam konteks tertentu, hukum negara tidak punya nilai dalam konteks adat istiadat, keluarga, atau konsensus komunal. DUI, memukul istri, bisa selamat-selamat saja dengan circle dan budaya yang permisif. Saya punya juga beberapa teman yang ‘konon’ suka melecehkan orang lain secara seksual. Kenapa saya sebut konon, karena dalam pergaulan, itu sudah jadi trademark mereka. Saya tidak kenal dengan Haye tapi teman saya yang seperti itu yah ada. Yang congornya nggak bisa dijaga, yang suka ‘cek ombak’ dengan bicara seks kepada lawan jenis dengan tidak sopan, saya kenal. Tapi selama si korban ikut tertawa, atau tidak cerita sama saya bahwa mereka dilecehkan. Atau, mereka cerita tapi melarang saya intervensi, saya akan menghormati keputusan itu. Ada banget masa-masa dimana korban pelecehan seksual verbal cerita pada saya perilaku om-om dari sebuah lingkaran elit akademik yang genit, dan menyuruh saya untuk ‘let it go,’ padahal mereka yang kena. Saya paham juga sih logikanya kalo dasar hukumnya pun nggak ada, dan sistemnya secara track record jelek. Saya harap sekarang, dengan banyaknya pendamping, dan momentum-momentum besar untuk buka suara, mereka mau mulai mengurus traumanya.

Semeua tindakan itu, menolong seorang kriminal, membiarkan seorang kriminal, atau jadi bystander ketika kejahatan terjadi adalah hal yang manusiawi. Karena itulah ada struktur institusi yang lebih besar daripada hubungan keluarga atau pertemanan. Karena itulah ada negara. Tapi ketika negaranya terdiri dari orang-orang yang juga ‘kekeluargaan’, maka sistemnya akan korup, sekorup insting seorang individu yang punya kawan dan saudara.

Artikel ini direvisi tanggal 5 Februari jam 1:29 pagi.


Website ini berjalan dengan donasi kalian. Kalau kalian merasa yang kalian baca ada gunanya, boleh traktir saya kopi untuk bayar hosting dan domain, atau sebarkan saja artikel ini ke teman kalian yang punya kebutuhan baca ini. Terima kasih sudah membaca ya.

Gender, Moral Bengkok, Politik, Racauan

Momentum Pelecehan Seksual dan Kooptasi Oposisi Politik: Dari Sitok sampai @_haye_

Nama pelaku pelecehan  yang disidang massa twitter hari ini, 1 Februari, adalah  Hasan Yahya A (@_haye_) 

Image

Hari ini seorang pelaku pelecehan seksual verbal di twitter dihakimi massa twitter lewat space: digadang, dimaki, dan dihina habis-habisan, setelah ia melecehkan seorang perempuan yang ikut diskusi di Space Twitter di malam sebelumnya. Diskusi yang diikuti adalah tentang ekspedisi, pembuatan film dokumenter, dan aktivisme lingkungan, diadakan oleh orang-orang yang sudah terkenal kritis terhadap rezim, para whistle-blower yang dianggap pahlawan oleh banyak orang. Si peleceh juga adalah orang yang cukup aktif membahas politik dan ia punya lebih dari 20 ribu follower sebagai veteran perang cuitan. 

Ada masa ketika perang cuitan butuh konsentrasi luar biasa, dari kecepatan jari, logika berpikir, dan ketajaman kata makian. Dan si peleceh ini nampaknya adalah Lord of War untuk kata-kata tidak senonoh. Ia tidak punya katup untuk mengendalikan libido dan khayalan joroknya di jagad maya, dan ia pikir semua orang adalah penonton film porno. Rekam jejaknya dalam merendahkan perempuan sudah panjang, tapi kali ini, di tengah kampanye pembelaan sebuah grup aktivis kritis atas misi ekspedisi mereka, si peleceh masuk dan bikin hancur imaji yang sudah rusak. 

Ada pola yang terlihat jelas dalam kasus pelecehan seksual yang melibatkan kelompok politis. Awalnya fokus ke korban, lama-kelamaan akan dibawa menjadi wacana untuk menjatuhkan wacana politik. Dalam kasus Sitok Srengenge dulu, korban cuma jadi pintu masuk untuk merangsek komunitas Salihara dan Gunawan Mohammad. Suara pembelaan dan pendampingan lama-lama hilang dalam makian dan tuduhan-tuduhan kepada komunitas/institusi yang membawahi si pelaku kekerasan seksual. 

Begitupun dalam banyak kasus-kasus lain. Hari ini, peleceh itu mungkin tak akan diadili sedemikian rupa kalau ia bukan bagian dari grup ekspedisi dan berceloteh di situ. Grup yang sejak minggu lalu ‘bacot-bacotan’ di twitter tentang betapa rendah mereka memberi value pada relawan dan betapa kaya nya salah satu dari mereka–konon si peleceh adalah salah satu board dari production house yang hari-hari ini jadi salah satu yang paling produktif dan jadi bagian proyek ekspedisi. Maka ketika kasus pelecehan di twitter ini meledak tadi pagi, makin hancur pula lah reputasi ‘circle’ proyek ekspedisi ini. Banyak korban-korban si peleceh mengambil momentum buat angkat suara, untuk mendukung korban terbaru. Dan ini menyediihkan.

Menyediihkan karena perlu momentum besar hingga pengadilan rakyat net ini bisa terjadi. Perlu proyek besar yang hendak digagalkan biar suara-suara terbungkam jadi keluar, padahal seharusnya satu kasus saja cukup untuk menghukum si peleceh ini. Salah satu keluhan paling menohok secara politik adalah dari Kalis Mardiasih, si mbak feminis muslimah muda favorit saya, yang menjabarkan betapa aktivisme perempuan selalu disuruh mengalah dan ditinggalkan, dibanding aktivisme-aktivisme lain. Hasilnya, lelaki-lelaki hipermaskulin yang tidak bisa mengendalikan congornya (dan anunya) ini membuat gagal proyek kawan-kawannya yang bisa jadi tulus. Menyedihkan sekali bahwa belum sampai kuartal pertama 2022, sebuah film peraih citra, dan sebuah rencana ekspedisi untuk menyelamatkan alam ternoda sampai bau sangit gara-gara satu orang. Dan seandainya misi gerakan perempuan tidak dikesampingkan, orang-orang ini takkan punya congor dan keberanian untuk melecehkan, korban bisa diminimalisir.

Ada orang-orang yang bilang,”Ini konspirasi untuk menggagalkan proyek kritis, ini semua permainan politik.”

Untuk orang-orang semacam ini saya mau bilang dengan tenang: taik lo.

Ini memang politis, tapi jangan mengkhayal ada sebuah kekuatan besar tak terlihat macam Pasukan Mawar atau BIN yang membuat sebuah konspirasi untuk membuat skandal dan menjatuhkan nama filmmaker/aktivis ini. Ini politis karena gerakan aktivismenya membunuh dirinya sendiri ketika dominasi laki-laki dan bahasa patriarki terus menerus digunakan sebagai narasi utama. Jadi tidak perlu rezim atau intel untuk bikin proyek aktivisme terliihat sangat MUNAFIK. Cukup dengan percaya sama teman tanpa recheck dan tanpa memiliki SOP mitigasi kalau kasus seperti ini terkuak. 

Politis di sini personal dan kolektif karena kasus pelecehan seksual sudah sebegitu mengkhawatirkannya hingga satu kasus saja jadi publik, banyak orang akan kesentil. Apalagi kalau kasus yang jadi publik itu dilakukan oleh seorang selebtwit yang mengaku intelektual dan sering bicara buku dan referensi. Maka belajar dari masa lalu, tidak ada salahnya mengambil momentum, tapi kita harus terus fokus pada tindakan pelecehan dan penanganan korban. Jangan sampai momentum yang diambil ini kembali menjadi ajang untuk, “tutup proyeknya, bubarkan PH-nya, cancel filmnya, hancurkan, bakar.” Sebuah proyek atau kantor yang menghidupi banyak orang, yang mengorbankan banyak hal untuk bisa survive dan membantu orang lain, ingin diluluh lantahkan karena ulah satu orang.

Sementara dalam kemarahan dan kekalapan itu, korban ditinggalkan di belakang. 

Jangan jahat. Jadilah manusiawi.

Tabik!

P.S.: Semoga semua institusi belajar untuk membuat SOP mitigasi ketika ada anggota mereka yang terlibat kasus seperti ini, jadi tidak menunda-nunda tindakan atau melakukan pembelaan-pembelaan tidak perlu. Konsolidasi dan cancel secepatnya orang itu sebelum jadi cancer buat orang banyak.


Website ini jalan dengan sumbangan. Kalau kamu suka apa yang kamu baca, boleh traktir penulisnya kopi dengan menekan tombol di bawah ini: