Film, Gender, Kurasi/Kritik, Memoir, Racauan

Quo Vadis, Henricus Pria?

Tulisan ini buat mbak yang komen di IG cinemapoetica. Ya, saya patriarki. Itu ideologi yang dipakai semua orang hari ini. Dan saya feminis, karena saya melawan ideologi itu, termasuk melawan diri dan privilise saya sendiri sebagai lelaki heteronormatif, yang berusaha untuk terus evaluasi diri. Yes, thank you, saya tidak kenal kamu tapi saya menghormatimu. Semoga bahagia dan sehat-sehat, ya.

Ketika rumah produksi Penyalin Cahaya menyebarkan kabar bahwa penulis naskahnya dicoret dari kredit karena menjadi terduga pelaku pelecehan seksual, saya sangat galau. Saya sedang ada di tengah project film panjang pertama saya, 6 film pendek yang saya eksekutif produser sedang jalan post produksi dan satu sedang distribusi, dan saya sudah melabeli diri saya sebagai pembuat film aktivis, arus pinggiran, khusus NGO dan misi humanitarian, plus saya self proclaimed feminist, tapi… Saya anxious dipenuhi rasa bersalah!

Karena faktanya, saya adalah laki-laki heteroseksual yang dibesarkan di dalam budaya patriarki, dan saya belajar soal seksualitas dan feminisme ketika saya kuliah, untuk lebih mengerti ibu saya yang seperti gambarannya Betty Friedan dan gebetan saya yang seperti Helene Cisoux. Itu pun, dalam masa-masa kuliah dan pasca kuliah yang rock and roll (saya punya 2 album rock and roll dan pernah punya groupies), saya bergaul dengan lumayan banyak perempuan. Dan seremnya, saya takut ada yang saya lecehkan tapi saya nggak sadar karena saya bias patriarki. Karena seperti kata Hannah Arendt, kejahatan itu banal. Anwar Congo nggak merasa bersalah membantai Komunis, sampe dia dipersalahkan zaman Baru yang melihat pembunuhan sebagai pembunuhan. Dan kebanyakan boomer yang melecehkan perempuan menganggap bahwa hal yang mereka lakukan normal- normal saja pada masanya. Intinya, banyak pelecehan terjadi karena kebodohan dan kekurangan kemanusiaan. Sejarah seringkali tidak bersifat linear, tapi paralel dan komparatif: seperti ditemukannya perbudakan manusia di jaman ini di rumah Bupati Langkat. Atau pemikiran beberapa aliran puritan Islam yang tidak mau hidup dengan teknologi karena tidak sesuai dengan cara hidup rasul.

Untuk memastikan saya tidak melecehkan mantan-mantan pacar, gebetan atau FWB, saya menjaga hubungan baik dengan kebanyakan dari mereka. Nggak semua soalnya ada yang sudah kawin, beranak, berbahagia dan suaminya insecure, jadi saya nggak hubungi lagi. Anyway, kasus Penyalin Cahaya bikin saya ga bisa tidur dan saya bikin draft tulisan yang isinya nama dan peristiwa dimana saya mungkin saja pernah melecehkan perempuan. Saya berusaha mengevaluasi diri karena takut nanti pas film saya jadi, ada yang mengadukan saya karena saya pernah tolol aja waktu muda. Tapi pas saya tulis, saya malah ketrigger sendiri—secara saya banyak dibikin nangis sama perempuan. Sad boi gitu, tapi mabok dan ngeblues, maklum belom jamannya Emo jadi saya terhindar dari punya poni banting.

Saya sedih diputusin tapi saya nggak pernah dilecehkan. Saya cuma not good enough to be their man. Saya juga nggak merasa melecehkan, karena toh saya bener-bener sayang sama mereka semua, dan saya sangat terbuka untuk tanggung jawab dan minta maaf pada mereka kalau mereka bilang saya menyakiti mereka. Tubuh saya penuh luka yang pantas saya dapatkan karena membuat mereka patah hati. Beberapa ada yang mereka kasih karena mereka kesal saya selingkuh terus jujur, tapi kebanyakan luka saya toreh atau saya pukul sendiri karena saya merasa bersalah menyakiti hati orang yang sayang sama saya. Ah, sudah ah. Sedih.

Akhirnya tulisan itu jadi draft aja yang entah kapan bakal saya keluarkan. Dan saya coba bikin kritik Penyalin Cahaya sebagai filmmaker saja. Tapi setelah saya tonton dua kali, saya langsung bosan dengan filmnya. Filmnya well crafted, bagus banget secara visual dan naratif, tapi nggak mengulik intelektualitas saya kayak film-filmnya Joko Anwar, misalnya. Penyalin Cahaya yaudah gitu aja. Paling kalo mau dikritisi, filmnya ga mengandung keistimewaan feminist secara visual: cewek-cewek di film itu tetap aja tereksploitasi dan jadi fetish buat cowok-cowok yang suka sama cewek feminist. Yes, seperti ada cowok-cowok fetish sama nenek-nenek, orang kerdil, anak kecil, dan perempuan cantik, ada juga cowok-cowok yang fetishnya sama dominatrix atau feminist. Kalau cowok-cowok yang fetish feminist ini adalah masokis, itu lebih baik daripada Penyalin Cahaya. Karena, dan ini simpulan saya sama Penyalin Cahaya:

Penyalin Cahaya secara visual dan naratif memberikan sebuah orgasme pada para lelaki patriarki dominan yang fetish pada feminist, bahwa pada akhirnya para perempuan yang melawan ini mereka kuasai, sistemnya kuasai. Di visual filmnya tubuh, punggung, dan ranah privat sudah diekspos ke penonton, memberikan kenikmatan. Dan cerita-cerita terfotokopi hanya sekedar buang-buang kertas ke jalanan. Secara visual keren, kertas kuning melayang di udara, tapi secara subtansi cuma jadi sampah di jalanan. Long live patriarchy.

Maka kesimpangsiuran kasus Henricus Pria, dan banyak pelecehan lain cuma menambah kuat statement film ini: cerita-cerita pelecehan itu sampah yang buang-buang kertas aja. Toh angka penonton dan penjualan di Netflix tetap tinggi, dan cerita korban berkeliaran seperti gosipan lambe turah saja.

Dan saya tetap tidak bisa tidur. Bukan karena saya merasa bersalah seperti ketika film ini tercekik wacana dan jadi trending dulu, tapi karena kasusnya seperti tulisan di pasir yang tersapu ombak waktu. Saya tidak bisa tidur memikirkan para perempuan yang trauma, terluka, dan melanjutkan hidup seperti veteran perang yang sengaja dibuat kalah dan traumatis. Saya tidak bisa tidur memikirkan, apa yang bisa saya lakukan besok, biar saya, murid-murid saya, generasi masa depan, tidak mengulang pelecehan yang sama. Karena bikin film soal pelecehan seksual, yang menang banyak penghargaan dan sempat bikin Peraturan Menteri no. 30 jadi hits, nggak bisa membuat korban diurus dengan lebih baik. Saya merasa helpless sebagai filmmaker.

Taik kucing semua kertas fotokopian itu. Saya akan bikin pendidikan film gratis aja buat filmmaker perempuan. Jadi mereka ga motokopi cerita, MEREKA SYUTING SENDIRI! Kalau kamu merasa kamu berbakat jadi sutradara, penulis, atau produser perempuan, tapi ga bisa sekolah film, daftar MondiBlanc!


Terima kasih sudah membaca tulisan ini. Website ini jalan dengan donasi. Jika kamu suka dengan yang kamu baca, kamu boleh sebarkan tulisan ini. Dan jika kamu mendukung saya untuk bisa terus konsisten menulis, boleh klik tombol di bawah ini dan traktir saya segelas kopi. Terima kasih.

2 pemikiran pada “Quo Vadis, Henricus Pria?

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.