Kurasi/Kritik, Politik, Racauan

3 Hal Yang Membuat Pengungsi Rohingya tidak akan menjadi seperti pengungsi Yahudi di Palestina

UN Women/Allison Joyce

Pengungsi Rohingya tidak akan menjadi seperti pengungsi Yahudi di Palestina karena tiga hal.

Pertama, ketidakmampuan mereka untuk membentuk sebuah jejaring diaspora yang memiliki kekuatan ekonomi dan intelektual secara global membedakan mereka dari pengungsi Yahudi di Palestina. Diaspora Yahudi telah mampu memainkan peran krusial dalam memobilisasi dukungan internasional dan memberikan kontribusi signifikan dalam berbagai sektor ekonomi di seluruh dunia.

Kedua, perbedaan dalam budaya dan agama di antara pengungsi Rohingya menciptakan tantangan tambahan dalam membentuk identitas bersama dan solidaritas yang kuat. Sebaliknya, pengungsi Yahudi di Palestina sering kali dapat mengandalkan faktor-faktor ini untuk memperkuat ikatan mereka.

Ketiga, perbedaan dalam kepemimpinan politik juga menjadi faktor kunci yang memisahkan pengungsi Rohingya dengan pengungsi Yahudi di Palestina. Sementara pengungsi Yahudi dapat mengandalkan dukungan dari individu yang memegang kekuasaan di beberapa negara pasca-kolonial, pengungsi Rohingya kurang memiliki akses terhadap sumber daya politik tersebut. Oleh karena itu, melalui perbandingan ini, dapat dilihat bahwa pengungsi Rohingya memiliki tantangan yang berbeda dan mungkin memerlukan pendekatan yang unik dalam menanggapi kondisi mereka.

Kondisi yang hari ini terjadi adalah, akibat perang yang terjadi di Ukraina dan Gaza, serta banyaknya bencana kemanusiaan di berbagai belahan dunia, pengungsi Rohingya di Cox’s Bazar, Bangladesh menjadi terbengkalai. Mereka kekurangan bantuan kemanusiaan berupa makanan, air bersih dan tempat tinggal. Mereka juga terjebak oleh kekejaman geng-geng perdagangan manusia, narkoba dan senjata, serta perseteruan dua kelompok militan Arakan Rohingya Salvation Army dan Rohingya Solidarity Organization, yang menurut para UNHCR dan Human Rights Watch, membuat hidup di kemp pengungsian menjadi begitu berbahaya. Mereka tidak bisa berkerja dengan legal di sana, dan mencari uang dengan menjadi pekerja ilegal, untuk ditabung lalu membayar penyelundup untuk membawa mereka kabur dari pengungsian, mencari harapan baru dan bertahan hidup–dengan sasaran terdekat adalah Aceh, Indonesia. Harapannya, bisa mendapatkan kemanusiaan mereka kembali. Sebuah hal yang sangat sulit, apalagi ketika mereka dianggap “binatang di pekarangan orang.”

Jumlah pengungsi yang datang sejak November hingga hari ini mencapai 1684 orang, dan tentunya, Serambi Mekah tidak akan mampu menanggung mereka. Kini, usaha jejaring global dan kepiawaian pemerintah (yang sekarang dan akan datang), menjadi kunci untuk mencari cara mengatur gelombang pengungsi yang hadir. Pengungsi yang jauh sekali dari bangsa Yahudi, pengungsi yang tidak terdidik dan hidup terombang ambing di laut dan di darat.

Politik, Racauan

Kenapa Demonstrasi Umat Islam Ganyang Koruptor Takkan Pernah Ada

Ketika saya meliput demonstrasi 411 dan 212, saya menanyakan pertanyaan yang sama ke banyak orang soal Ahok, dan jawabannya semua sama: Ahok bersalah karena ia menistakan agama Islam. Ketika saya bertanya, apa ada hubungan demonstrasi ini dengan penggusuran, semua menjawab, “Itu masalah lain.” Sulit untuk tidak mengaitkan gerakan politik Islam 411 dan 212 dengan gerakan #2019gantipresiden, karena ada Persaudaraan Alumni 212 (PA 212) yang berusaha mencari tokoh Islam untuk menjadi pengganti Jokowi.

Related image

Artinya kesejahteraan-keadilan sosial dan isu kelas bukanlah hal yang penting untuk banyak umat muslim di Indonesia. Saya katakan umat Muslim, karena demonstrasi besar-besaran anti Ahok waktu itu melibatkan mobilisasi massa dari seluruh Indonesia. Dengan kata lain, saya rasa cukup valid kalau jutaan orang itu bisa merepresentasikan Gerakan Islam di Indonesia—terlepas apakaha insitusi besar macam Muhammadiyah atau NU merestui gerakan mereka atau tidak. Saya tidak ingin berspekulasi tentang keterlibatan dana-dana ajaib dalam gerakan-gerakan besar tersebut, ataupun peran oposisi politik termasuk gerakan makar (yang penangkapan tersangkanya cuma hangat-hangat taik entok).

Image result for just take my money gif

Namun banyak orang akan setuju, bahwa imbas gerakan Islam hari ini jauh lebih besar dari gerakan-gerakan pendahulunya, seperti gerakan mahasiswa, misalnya. Gerakan buruh pun yang sudah puluhan tahun dibangun, tidak akan mendapatkan hasil seinstan gerakan Islam. Pemerintah tentunya ikut ambil bagian dalam hal ini, dengan mendukung gerakan berbasis agama sambil waspada melihat siapa saja elit oposisi atau calon oposisi yang mengambil keuntungan dari gerakan-gerakan itu.

Image result for anies baswedan gif

Kelindan negara dan agama bukanlah hal baru. Tidak akan ada agama Kristen, misalnya, tanpa persatuan dan perjanjian Kerajaan Romawi dengan para martir dan Santo. Inggris takkan benar-benar ‘merdeka’, tanpa Anglikannya, dan Amerika Serikat tidak akan pernah menjadi negara Adikuasa tanpa etika Protestanismenya. Negara bersekongkol dengan agama itu biasa saja. Tapi agama sebagai perlawanan terhadap penguasa juga hal yang biasa. Muhammad takkan bisa menjadi Nabi, Rasul, dan penguasa Jazirah tanpa melawan kaum Quraisy. Yesus takkan menjadi besar kalau ia tidak disalib Romawi. Namun ujung-ujungnya, seperti pergerakan ideologi lain, ketika agama menang melawan negara, negara tinggal pindah agama (atau mendukung agama mayoritas) dan masalah selesai. Biasanya begitu.

Image result for trump christian catholic gif

Namun ketika kita bicara koruptor, kita bicara soal perbaikan sistem negara modern: transparansi dan proyek-proyek pembangunan ideologi modernitas. Korupsi adalah cara melancarkan kepentingan untuk menggolkan sebuah proyek, atau untuk mengembalikan modal politik. Sempat belum satu dekade lalu, korupsi menjadi salah satu cita-cita yang diinginkan banyak orang ketika ia jadi PNS/Birokrat atau politikus. Secara sederhana korupsi artinya tidak amanat, atau khianat. Itu adalah salah satu dosa besar dalam Islam. Lalu kenapa penistaan agama lebih penting dan lebih banyak massanya dari gerakan anti korupsi?

Satu hal yang pasti, gerakan anti korupsi tak punya aliran dana besar dan organisasi masssa yang sistematis. Pengusaha banyak diuntungkan oleh korupsi, jadi untuk apa memberikan kucuran dana anti-korupsi? Kecuali tentunya untuk memenangkan pertarungan politik, untuk menjebolkan proyek sebesar Meikarta, misalnya.

Terlebih lagi, kesadaran bahwa ada hubungan langsung antara pejabat korup dengan kemaslahatan hidup orang belum banyak. Kita masih terbiasa pada janji kampanye yang tidak pernah ditepati, dan kita juga sering memaklumi orang yang kita anggap jujur ternyata korup. Lebih kompleks lagi, beberapa orang yang jatuh karena korupsi biasanya ditengarai oleh sesama koruptor yang lebih besar, entah sebagai whistle blower, atau sebagai kambing hitam.

Gerakan Islam anti korupsi, pasti ada. Tapi kecil-kecil dan menyebar-nyebar. Tanpa koordinator dan kucuran dana besar, susah membesarkan gerakan ini. Sementara gerakan-gerakan politik besar seperi #gantipresiden2019 lebih mudah menggema–dengan para pengikut yang hardcore menghardik anak kecil dan ibu-ibu lawan politiknya, dimana pendukung dua kubu sama-sama tolol menggunakan CFD sebagai ajang kampanye prematur. Nyaris tidak ada gerakan besar untuk isu-isu spesifik seperti korupsi atau pelanggaran HAM. Kalau pun ada, mereka tidak bawa-bawa nama Islam.

Maka bagaimana Islam bisa tidak tercoreng, ketika pendomplengan namanya cuma dipakai untuk politik praktis dan terorisme? Mengapa, oh mengapa?