Politik, Racauan

Masalah AI dan Etika Hak Cipta


Masalah ini yang paling sering dibicarakan ketika kita ngobrol soal Artificial Generative Intelligence dengan Large Language Model seperti ChatGPT atau Dall-e dari Open AI. Sebagai supertools mereka mendapatkan data dari dua sumber. Pertama input data dari 40 persen lebih internet yang dilakukan baik oleh karyawan atau oleh bot mereka. Data ini diakui sebagai data milik publik atau yang diambil dalam kerangka hukum yang jelas. Tapi ketika data itu digenerate oleh OpenAI dia menjadi sesuatu produk baru, yang nilai intelektualnya jadi diragukan punya siapa. OpenAI juga tidak mungkin memasukan nama para kreator yang sudah dimashup menjadi satu generative product. Tidak mungkin ada atribusi yang jelas kecuali kutipan pasti dari buku atau penulis, atau pemikiran teoritis atau akademik yang sudah sahih dari pemikir atau tokoh publik yang statementnya lumayan terkenal.

Photo by Mati Mango on Pexels.com

Data lain yang dipakai OpenAi tentunya data user yang diambil dari propmpting dan percakapan, input data, diskusi dan lain-lain. Di sini user mengajarkan AI untuk menyeseuaikan dirinya dan bertambah cerdas karena user ikut memasukan data-data baru, tapi jadi muncul pertanyaan tentang hak cipta dan privasi. Apakah user memberikan izin untuk menggunakan semua data mereka dengan AI? Atau apa yang terjadi jika data yang digunakan terkait dengan informasi rahasia atau privasi, seperti data medis atau finansial?

Masalah AI dan etika hak cipta semakin kompleks ketika kita membicarakan tentang penggunaan teknologi ini dalam konteks karya seni, media, dan hiburan. Misalnya, program generative seperti Dall-e dapat menciptakan gambar dan ilustrasi yang menakjubkan, namun siapa yang memiliki hak cipta atas karya tersebut? Apakah OpenAI atau pengguna yang memberikan data prompt dan inspirasi?

Ini semua tidak ada jawabannya, bahkan ketika kita bertanya kepada ChatGPT. Mereka berdalih bahwa semua tergantung kepada user, padahal user itu goblok. Lihat lah efek sosial media! Entah sekacau apa peradaban kita ke depan dengan teknologi ini. Jadi yang bisa dilakukan sekarang, belajar terus dengan kritis tentang teknologi ini, jangan pakai terlalu banyak, tapi juga jangan ditolak. Tulisan ini misalnya, dibantu paragraph AI dari wordpress hanya untuk masalah kerangka tulisan dan input dari AI itu pada akhirnya juga tidak saya pakai. Saya juga akan memakai sebuah disclaimer baru setiap kali saya memakai AI dalam tulisan saya. Ini penting karena saya ingin mempertahankan kredibilitas saya sebagai penulis dan peneliti.

***

Tulisan ini adalah tulisan otentik saya dan saya memakai AI untuk mencari data, fact check, dan diskusi soal struktur. AI seperti ChatGPT atau Paragraph AI dipakai hanya sebagai referensi model. Saya tulis ulang semuanya dengan kata-kata saya sendiri, Jika kamu suka yang kamu baca, traktir saya kopi, dan ajak saya ngobrol dikolom komentar. Mari kita jaga manusia tetap menjadi kreator yang otentik, dengan kesalahan-kesalahan, eksperimen dan akal bulus kita.

Memoir, Politik, Racauan

Facebook Makan Teman

Beberapa bulan yang lalu, untuk menyambut ‘hari teman’ (friends day), facebook membuat fitur video. Isinya adalah foto-foto dan kenangan-kenangan dengan teman-teman dekat di Facebook. Mereka dengan detil mengukur statistik dan data yang menghitung waktu pertemanan, banyaknya hubungan, intensitas hubungan itu, dan saya yakin juga banyak pembicaraan pribadi soal itu.

Saya cukup kaget melihat hasil video friends facebook (yang akhirnya tidak saya posting). Artificial Intelligence yang mereka buat semakin hari semakin canggih membaca saya. Sebagai pengguna aktif bertahun-tahun, saya mulai merasa diintai dan ditelanjangi. Apalagi, di timeline suka muncul foto-foto atau status lama yang awalnya berantakan tanpa makna, tapi lama kelamaan juga mengenali saya lebih daripada saya mengenali diri sendiri: tiba-tiba beberapa pengingat ini rekat dengan kejadian yang saya obrolkan dengan orang lain di dalam messenger. Messenger saya tidak aman!

Begitupun soal iklan di bagian samping kanan. Awalnya tidak ada maknanya sama sekali kecuali sebagai iklan. Tapi semakin lama, saya tahu mereka mengikuti trend searching saya di google dengan lebih akurat. Dulu mereka cuma ikut trend saya secara harian, sekarang mereka sudah punya database saya bertahun-tahun dan tahu selera saya yang awalnya saya pikir berubah-ubah.

Ini artinya cuma satu: Facebook tidak hanya punya data-data yang saya berikan, mereka juga punya data-data yang TIDAK saya berikan, yang mereka dapatkan melalui mesin analisis dan rekaman-rekaman lain yang mereka sembunyikan. Facebook memang sudah terkenal tidak transparan soal bagaimana mereka mengolah data-data penggunanya. Mereka pura-pura bego dengan membuat slide foto di video friends day jadi agak-agak tidak nyambung supaya bisa kita edit.

Ini mulai mengganggu. Saya tidak masalah jika data-data yang saya masukan ke dalam facebook dijual untuk korporasi iklan samping. Saya juga tidak masalah mereka tahu siapa saja orang yang saya stalk. Saya memakai facebook dengan pengetahuan bahwa facebook mengintai saya juga. Itu bukan masalah. Saya toh masih bisa mendownload data-data saya di facebook. Dan tiap tahun mereka membuat laporan transparansi tentang siapa saja yang meminta data mereka.

Tapi apa yang saya takutkan sekarang bukan cuma data saya yang mereka punya. Saya takut akan kemampuan analisis engine-nya atas data saya tersebut. Daya interpretasinya sudah keterlaluan, dan melebihi apa yang sudah saya berikan pada mereka. Dengan kemampuan interpretasi tersebut, mereka bisa mengorek hal-hal yang saya tidak masukan ke dalam facebook. Mereka mengintervensi dunia nyata saya.

Saya tidak punya rahasia, tapi dunia pribadi saya bukan urusan siapa-siapa kecuali saya sendiri. Saya ingin punya kebebasan membaginya dengan siapa, termasuk dengan facebook. Ada yang saya ingin bagi dengan dia, ada yang saya tak ingin bagi. Tapi kelakuan Facebook seperti curhat pada seorang kawan yang tiba-tiba menyewa detektif untuk kepo lebih jauh mengurusi urusan saya.

Lalu di timeline, kawan-kawan yang bersebrangan dengan saya secara politis juga mulai banyak jadi baik. Awalnya saya heran, apa mereka berubah. Saya cek page mereka, dan ya, mereka tetap posting hoax, atau postingan-postingan yang paling sering saya troll. Saya masih bisa melihatnya kalau tidak saya cari–artinya ini cuma satu: berdasarkan logaritma saya dan kawan-kawan, facebook mulai menyensor apa yang ada di timeline saya. Asu.

Saya sebenarnya tidak keberatan kalau ada ilmuan yang mendata saya dengan psychotechnology atau pendekatan psikologi-sosial yang lain untuk mendata perilaku saya–toh saya telah membaca banyak skripsi dan tesis soal itu. yang saya keberatan, ilmuan-ilmuan ini juga menggunakan data yang telah dibuat dibuat privat oleh pengguna Facebook. Analisa data yang private berdasarkan interpretasi logaritma yang kita bisa lihat di video-video, iklan, bahkan status kawan-kawan di timeline sungguh mengkhawatirkan.

Lalu setelah kemenangan Trump dan kasus Facebook yang membocorkan data pengguna Amerika pada Rusia–yang berakhir pada persidangan Mark Zuckerberg, dan penjualan data pengguna pada korporate seperti Apple dan Huawei, saya semakin yakin untuk membatasi penggunaan facebook, kecuali untuk kerja.

Saya banyak bekerja menggunakan platform page mereka–saya mengurus beberapa akun facebook komunitas, kantor, dan band sendiri. Karena itu saya mengurangi penggunaan facebook untuk keperluan pribadi. Namun kehati-hatian ini sebenarnya tak guna-guna amat, secara mereka toh sudah punya lengkap logaritma saya. Dan dengan membuat setiap konten dan terhubung dengan sebanyak-banyaknya orang, saya memberikan mereka uang banyak. Saya menyuapi facebook teman-teman saya, ia benar-benar makan teman. Ini pekerjaan yang mirip bayar untuk sekolah–yang mana di sekolah, saya kerja jadi murid. Tokai.