Sudah saatnya berhenti bicara dan kembali mengurung diri dalam membaca. Membaca diri sendiri dan membaca dunia luar dan membaca buku-buku. Dunia terlalu hingar bingar dan suara kita hanya bisa berpengaruh jika disuarakan dengan pikiran yang matang, saat yang tepat dan restu Tuhan.
Lama kelamaan saya semakin menyadari, bahwa tubuh saya sesungguhnya benar-benar sebuah mesin biologi. Kemanusiaan adalah fabrikasi akal. Inspirasi adalah ledakan-ledakan serpihan energi dalam kata dan imaji. Bahwasannya sekuat-kuatnya kita, ketika saatnya patah maka kita akan patah. Ketika saatnya lumpuh, kita akan lumpuh.
Saya berusaha mencapai sebuah kontrol diri yang tidak mungkin digapai. Sebuah pencerahan spiritual dan intelektual, ketika semua bisa saya kontrol. Kenapa harus dikontrol? Karena keliaran dan kekacauan itu begitu mudah dan instingtual buat manusia. Bahkan ketika kita anti struktur, ketika kita ingin menghancurkan kontrol yang tiran, totalitarian, kita butuh struktur yang juga tiran dan totalitarian pula yang mewujud dalam konsistensi dan komitmen kehidupan.
Kontrol itu tak mungkin tergapai karena kita akan tua lalu melumpuh lalu mati. Komitmen dan konsistensi akan terlanggar. Namun itu kenyataan yang dipercaya para nihilis. Saya belum punya kontrol itu. Belum di tahap komitmen dan konsisten. Maka ketidakmungkinan tersebut bukanlah hal yang valid untuk saya.
Yang penting kini adalah berusaha berpikir jernih dan membuat kesalahan seminimal mungkin. Seperti bermain musik klasik atau progresif. Karena Blues ada di darah, ia bisa berjalan dengan sendirinya. Namun klasik dan progresif ada di otak, terstruktur, terkontrol.
Saya ingin memiliki itu dan semoga Tuhan membantu saya. Karena sungguh, jika ia memutuskan untuk mengambil akal saya, maka selesailah semua ini tanpa ada kesempatan lain.
Satu pemikiran pada “Kontrol”