Filsafat, Memoir, Racauan

Islam dan Saya (Bagian III dari IV)

SMP dan SMA saya adalah sekolah negeri. Tidak banyak interaksi saya soal agama di sana kecuali bergabung dengan Remaja Mushola sebentar hanya untuk merasa terasing. Saya terasing karena saya mulai suka baca. Di SMP, guru bahasa Indonesia saya adalah salah seorang yang paling menginspirasi untuk menghabiskan novel-novel klasik balai pustaka dari Siti Nurbaya Marah Rusli sampai Salah Asuhan Abdoel Moeis. Keduanya novel yang sangat dewasa untuk ukuran anak SMP, dan saya jadi agak-agak pervert karenanya. Saya ingat pernah terkunci di perpustakaan sekolah karena membaca Tenggelamnya Kapal Van Der Wijk karya HAMKA sampai langit gelap (filmnya tidak sekeren Novelnya, serius!). Saya membaca di pojokan perpustakaan yang selalu sepi, jadi mereka mengunci perpustakaan itu tanpa tahu kalau saya masih di dalam. Untungnya ada penjaga sekolah yang patroli malam itu dan membukakan saya.

tenggelamnya-kapal
Foto: 4.bp.blogspot

Bacaan-bacaan membuat imajinasi saya liar. Saya ingat ketika SMP, selain di perpustakaan sekolah saya juga menghabiskan waktu dan uang saya untuk membaca buku, novel, novellette dan komik di perpustakaan pasar Kramat Jati. Waktu itu satu buku sekitar Rp. 500 jika baca di tempat, dan Rp. 1000 jika dibawa pulang dengan uang jaminan. Di masa SMP itu pula saya pertama kali habis membaca Frankenstein dalam bahasa Indonesia yang ditinggalkan om Saya, Om Donny, di rumah Kebagusan. Lalu Om Dicky (adik bungsu Mama saya) juga memberikan saya novel Si Jamin dan Si Johan karya Merrari Siregar yang isinya ada soal gubuk candu tahun 70-an dan membuat saya penasaran pengen nyimeng. (download bukunya di sini)

si jamin dan si johan
Foto: Bukubukubekas

Di SMA bacaan saya semakin menggila. Saya mulai membaca Tetralogi Buru Pramoedya  Ananta Toer dan mulai punya mimpi-mimpi menjadi Minke–tampan, intelektual, sekular, dan playboy. Waktu itu buku Pram masih dilarang, dan saya membaca stensilan milik Om Djody, kakak Mama saya. Begitu tergila-gilanya saya pada Pram, bahkan gebetan saya waktu SMA adalah refleksi dari Annelies: cewek cantik kulit porselen yang rapuh. Galaunya tidak ketolongan! Sialan imajinasi si Pram!

435733_20140908101540
Yang saya baca covernya mirip ini tapi fotokopian.

Tentunya sejak saya jadi pembaca akut, dunia saya mulai berubah. Saya bergaul dengan Shaka Mahottama (kepala redaksi Pos Ronda) dan sering meminjam buku di perpustakaan pribadinya. Ketika kuliah saya semakin menggila karena koleksi Asep (sahabat saya sekaligus basis Wonderbra), lebih gila lagi: dari eksistensialisme, buku-buku puisi sampai novel-novel erotis semua dia punya dan saya lahap. Lalu saya mulai keblinger. Membaca Nietzsche, membaca Sartre, membaca Marx, membaca Dostoyevski, jadi Ateislah, Tuhan itu bohong ilusi dan sebagainya. Buku-buku mempengaruhi hidup saya dengan begitu kerasnya. Bahkan ketika mabuk-mabukan, seringkali saya ambil buku dan membaca–kadang dalam keadaan mabuk, kemampuan baca dan imajinasi saya meningkat jauh. Saya ingat sahabat saya, Pawl, Pernah keheranan melihat saya bicara sendiri di kosan. Saya berdiskusi dengan Nietzsche dan Riffaterre setelah membaca buku mereka bolak-balik buat skripsi saya.

Karena keranjingan baca dan kegalauan hormonal, keluarga saya menjadi semakin saya asingkan. Saya tidak mengerti sama sekali logika mereka, dengan agama mereka, dengan praktik hidup yang kontradiktif dengan apa yang mereka percaya. Agama menjadi semakin seperti dongeng untuk menakuti anak-anak. Saya bahkan memutuskan untuk pergi dari rumah karena masalah ini (dan banyak masalah personal lain yang tak relevan untuk diceritakan). Putus dengan keluarga sama dengan putus dengan Islam–saya menjadi pemberontak penuh, saya lawan Tuhan!

Nantinya saya tahu bahwa saya salah besar. Saya salah besar tentang banyak hal. Tentang manusia dan Tentang Tuhan. Dan tentang diri sendiri.

Bersambung ke bagian IV

Lihat bagian I

 

5561412422_7d09e1b02f_o
photo: flicker.com

 

Filsafat, Memoir, Racauan

Kontrol

Sudah saatnya berhenti bicara dan kembali mengurung diri dalam membaca. Membaca diri sendiri dan membaca dunia luar dan membaca buku-buku. Dunia terlalu hingar bingar dan suara kita hanya bisa berpengaruh jika disuarakan dengan pikiran yang matang, saat yang tepat dan restu Tuhan.

Lama kelamaan saya semakin menyadari, bahwa tubuh saya sesungguhnya benar-benar sebuah mesin biologi. Kemanusiaan adalah fabrikasi akal. Inspirasi adalah ledakan-ledakan serpihan energi dalam kata dan imaji. Bahwasannya sekuat-kuatnya kita, ketika saatnya patah maka kita akan patah. Ketika saatnya lumpuh, kita akan lumpuh.

Saya berusaha mencapai sebuah kontrol diri yang tidak mungkin digapai. Sebuah pencerahan spiritual dan intelektual, ketika semua bisa saya kontrol. Kenapa harus dikontrol? Karena keliaran dan kekacauan itu begitu mudah dan instingtual buat manusia. Bahkan ketika kita anti struktur, ketika kita ingin menghancurkan kontrol yang tiran, totalitarian, kita butuh struktur yang juga tiran dan totalitarian pula yang mewujud dalam konsistensi dan komitmen kehidupan.

Kontrol itu tak mungkin tergapai karena kita akan tua lalu melumpuh lalu mati. Komitmen dan konsistensi akan terlanggar. Namun itu kenyataan yang dipercaya para nihilis. Saya belum punya kontrol itu. Belum di tahap komitmen dan konsisten. Maka ketidakmungkinan tersebut bukanlah hal yang valid untuk saya.

Yang penting kini adalah berusaha berpikir jernih dan membuat kesalahan seminimal mungkin. Seperti bermain musik klasik atau progresif. Karena Blues ada di darah, ia bisa berjalan dengan sendirinya. Namun klasik dan progresif ada di otak, terstruktur, terkontrol.

Image

Saya ingin memiliki itu dan semoga Tuhan membantu saya. Karena sungguh, jika ia memutuskan untuk mengambil akal saya, maka selesailah semua ini tanpa ada kesempatan lain.