“Saya bingung, Mas. Mau milih siapa. Partai semuanya korup, capres juga belum ada yang benar-benar jelas visi-misinya.”
Nama supir taksi itu Muhammad Iqbal. Umurnya sekitar 40-an akhir dan suaranya menggelegar dalam–seperti seorang aktor panggung berpengalaman. Saya menimpalinya dengan pertanyaan, karena ingin tahu apa yang ia tahu.
Ia menjelaskan soal partai-partai politik. Yang pemain lama, korupsinya bukan main. Golkar, jelas. PDIP pernah jual aset negara ketika menang dan kabarnya jadi partai terkorup versi ICW. PKS? Jangan tanya. Sepanjang perjalanan dari Margonda ke Lenteng Agung (dua daerah dengan mayoritas simpatisan PKS, bahkan di Depok, walikotanya adalah orang PKS) kami membicarakannya dengan kesal. Semua dimulai ketika taksi melompat gara-gara jalan di depan Gerbatama UI dibangun setengah-setengah. Yang puluhan tahun berlubang parah sudah diganti beton, namun jalan sebelumnya–dari arah Depok–rusak parah. Lalu kami berlanjut bicara korupsi PKS, dari sapi hingga–biasa laki-laki– fustun.
Partai-partai lain pun tak ada yang benar-benar bersih. Bahkan Gerindra, partai baru itu, juga dicurigai si bapak supir taksi ini karena visi-misinya kurang lebih sama dengan partai-partai lain: menurunkan kemiskinan, alokasi dana ini-itu, anti korupsi. Klise lama diulang-ulang dengan bumbu statistik baru.
Masalah capres, pak Iqbal nampaknya tahu benar konsekuensi memilih. Pilih Prabowo, maka kemungkinan kita akan dimusuhi Amerika dan investor–Ide-ide yang diajukan Prabowo memang terkesan berani. Prabowo pun jelas sekali ingin menjual keberaniannya. Dan efek jeleknya, menurut pak Iqbal, adalah kemungkinan krisis yang akan melanda. Meski begitu, ia tetap merasa Indonesia butuh pemimpin yang tegas dan berani bertindak. “Bangsa ini sudah benar-benar kehilangan muka semasa SBY. Dari Malaysia yang merendahkan kita, mencuri tradisi kita, hingga nasib TKI kita di luar negeri yang terus-terusan hanya jadi pembantu.”
Soal TKI itu dia juga menyinggung soal Satinah: negara dan penyalur banyak untung, tapi tak mau bayar untuk menebus warganya yang tereksploitasi. Mental banyak orang juga sudah rusak karena banyak yang antipati terhadap nasib Satinah. Padahal mereka tak tahu nasib TKI dan kehidupannya di negeri orang.
Sementara itu capres kuat lain, Jokowi, menurutnya belum pantas jadi presiden. Masalah krusial Jakarta toh belum ada yang benar-benar selesai. Masih berkutat pada yang itu-itu saja. Padahal ia sempat yakin, seandainya Jokowi konsisten menjadi gubernur sampai habis masa jabatannya, akan ada hal-hal yang benar-benar terasa perubahannya. Sementara jika jadi presiden, ia akan terseret banyak arus yang cuma menjadikanya boneka–toh pada akhirnya, kue kekuasaan akan dibagi-bagi partainya sendiri atau partai koalisi. Pembagian kekuasaan kan inti demokrasi.
Sayangnya, di Indonesia, bagi-bagi kuasa adalah sebuah kompetisi, bukan kerjasama. Kompetisi untuk menjadi paling kaya dan glamor. Persetan sistem pemerintahan jalan atau tidak. Persetan juga militer siapa yang punya, kata dia. Biasanya dijual ke multikorporasi, kata saya. Asal rakyat dijaga tidak lapar (juga tidak kenyang), dan tetap bodoh, toh pemerintahan jalan-jalan juga–kesimpulan kami ketika belok Lenteng Agung.
Jokowi dan PDIP dikhawatirkan akan menjajakan negara ini pada pihak luar. Tingginya minat investor waktu Jokowi resmi mencalonkan diri itu pedang bermata dua: satu, Indonesia bakal dapat suntikan dana dan dua, eksploitasi SDA akan tambah parah.
Calon presiden lainnya hanya kami singgung sedikit. Surya Paloh, ARB dan Rhoma Irama kami tertawakan. Dahlan Iskan dan Gita Wiryawan, pak Iqbal tak begitu tahu banyak. Ia secara pribadi dan terang-terangan nampaknya mengidolakan Mahfud MD. Tapi tetap: percuma kalo kabinet dan MPR/DPR nya bapuk. “Apalagi yang jadi pertanyaan terbesar saya, kok bisa orang sehancur Akhil Mochtar jadi anggota bahkan ketua MK?” Tanyanya geram, “Memang tak ada fit and proper test? Baikgron cek?”
“Mahfud yang sudah lama di MK, dan anggota yang lain pasti tahu ada yang busuk di MK.” Kata saya sok jago beropini. “Tapi mereka toh diam-diam saja, asal nakalnya main bersih.”
Akhirnya, pak Iqbal hanya menanggapi dengan mengulang pertanyaan yang sama:
“Mau dibawa kemana bangsa ini?”
Sayang sekali saya sampai ke tujuan dengan cepat. Jarang saya bisa bicara politik seseru itu di Taksi. Saya bayar dan kasih tip 5000 rupiah, untuk sebuah perjalanan singkat yang konstruktif.