
RAMA,
DI ARENA KEHIDUPAN HANYA ADA KESENDIRIAN
Pandangannya kabur. Ia jatuh terjerembab di lantai semen dan ia melihat genangan darah yang mengalir dari wajahnya. Suara orang berteriak-teriak bergaung. Perlahan ia lihat sesuatu melayang dengan lambat semakin cepat ke arah wajahnya: sebuah tendangan.
Dengan sigap ia lemparkan tubuhnya sendiri dengan kedua tangan yang menyentuh lantai, dan ia berdiri. Tendangan lawan gagal mengenai wajahnya. Sulit untuk melihat. Matanya sudah bengkak, dan darah membuatnya kelilipan.
Suara-suara bergemuruh. Ia melihat ke arah penonton yang garang. Semua nampak marah padanya. Ada yang marah karena ia tak juga mati, sisanya marah karena ia hampir kalah. Di arena itu bukan hanya para petarung yang bertaruh nyawa; para penjudi bisa habis ratusan juta bahkan millyaran dan taruhannya nyawa mereka bisa habis oleh lintah darat.
Pukulan mendarat di perut, lalu ketika si lawan hendak memukul wajah, ia menangkisnya tapi tetap terlempar ke belakang. Lawannya kali ini lelaki bertubuh kecil tapi begitu lincah. Pukulan-pukulannya tajam. Mata si lawan mengingatkannya pada diri sendiri ketika ia muda: berapi penuh ambisi. Sesuatu yang tak dimilikinya lagi sekarang. Ia hendak menyerah. Ini semua begitu melelahkan, pikirnya. Ia hanya bergerak dengan insting bertahan, bukan dengan keinginan untuk menang.
Memalukan, pikirnya. Ia yang sudah 10 tahun jadi petarung harus kalah karena seorang perempuan. Ya! Seorang perempuan! Betapa kisah yang picisan! Betapa lucu! Betapa—BHUAAAK!!! Pukulan mendarat di wajahnya dengan keras! Beberapa butir gigi menyembur bersama darah dan ludahnya!
Untuk entah ke berapa kalinya, ia terjerembab. Namun kali itu ia tertawa. Ia tertawa sangat keras dan buliran air mata keluar dari matanya, bercampur darah di wajah. Ia tertawa terbahak-bahak karena dalam sepersekian detik ketika ia menerima pukulan itu ia sadar:
Ini bukan film, bukan juga roman picisan soal seorang petarung. Tidak ada akhir bahagia dalam kisahnya. Karena tidak akan ada perempuan yang berteriak padanya untuk berdiri dan bertarung. Ia takkan datang. Tidak ada kekuatan cinta yang bisa membantunya berdiri dan jadi kuat.
Sekali lagi ia melihat bayangan lambat menujunya: kaki sang lawan hendak menginjak wajahnya…
Ia menahannya dengan kedua tangan. Ia berteriak keras dan melempar kaki itu, membuat lawannya mental ke belakang. Ia berdiri. Ia berlari sekuat tenaga menuju si lawan dan duduk di atasnya, mengunci lawannya. Ia pukul lawannya berkali-kali. Si lawan berusaha menahan dengan tangannya, tapi percuma. Pukulan bertubi-tubi itu tak henti-henti. Ia mukul perut, dada, wajah, tangan, ia mengepalkan tangannya dan memukul ubun-ubun lawannya sangat keras. Lawannya menjadi lemas, dan meregangkan pertahanan. Ia buka tangan yang menutupi wajah si lawan, dan memukulinya lagi dan lagi dan lagi.
Tidak ada wasit dalam pertarungan itu. Tidak ada yang menghentikannya. Wajah si lawan remuk, tapi ia tak juga berhenti. Semua orang berteriak-teriak kegirangan untuk beberapa menit, namun kemudian mereka diam. Mereka mulai menyadari bahwa si petarung gila! Ia tidak henti-henti memukul! Lawannya sudah mati, itu sudah jelas! Tapi pukulan itu terus bertubi-tubi.
Di bangku penonton terdepan, seorang gemuk berkacamata dengan setelan jas berwarna jingga memberi aba-aba kepada beberapa orang yang sepertinya anak buahnya. Sekitar 5-6 orang masuk ke arena pertarungan dan memisahkan si petarung dari mayat itu.
Sempoyongan dan terhuyung-huyung si petarung dibawa ke tengah arena, dan MC yang sedari tadi ketakutan melihat keganasan si petarung berteriak dengan mikrofonnya: “Hadirin Sekalian! Sambutlah! Juara kita dengan rekor menang paling banyak dan lama: Ramaaa!!!”
Sontak penonton berteriak kegirangan dan mengelu-elukan namanya: Rama! Rama! Rama!
Saat itu Rama tidak merasa menang, tidak merasakan kebahagiaan seperti kemenangan-kemenangan sebelumnya. Hari itu Rama kalah total.
Karena Sintanya tidak ada di situ. Ia merasa sendirian dan terasing.