Tulisan ini adalah sebuah peringatan keras. Kalau kita tidak hati-hati bicara di publik umum, menulis di blog secara kontroversial atas hal-hal yang sifatnya opini dan risetnya dangkal, hanya bisa berujung pada sebuah gerakan sosial yang tidak bisa kita kendalikan.
Melihat Pemilihan Presiden 2014, sudah seharusnya kita resah. Kita resah karena mimpi buruk dari kubu Prabowo dan Jokowi soal ‘urgensi perubahan’ ternyata jadi kenyataan. Urgensi yang tadinya cuma bahan kampanye, yang oleh intelektual-intelektual barat dijadikan topeng setan untuk Prabowo, dan oleh penulis-penulis setan di VOA-Islam dan PKS Piyungan dijadikan bahan provokasi kampanye hitam ternyata benar-benar bisa memprovokasi. Kita resah, karena pembacaan Prabowo dalam wawancara Allan Nairn soal “Indonesia tidak siap untuk demokrasi… masih banyak kanibal di sini…” ternyata benar-benar bisa terjadi. Kita juga harusnya resah, karena intelektual-intelektual dan kelas menengah kita tidak menyadari efek tindakannya ketika melakukan kampanye terbuka: kekerasan simbolik di tingkat elit, bisa menjelma kekerasan fisik di tingkat bawah.
Tulisan ini adalah sebuah peringatan keras. Kalau kita tidak hati-hati bicara di publik umum, menulis di blog secara kontroversial atas hal-hal yang sifatnya opini dan risetnya dangkal, hanya bisa berujung pada sebuah gerakan sosial yang tidak bisa kita kendalikan. Elit-elit politik yang bermain, Prabowo dan Jokowi, sudah terlihat berusaha mati-matian untuk tampil damai dan kompak—walau kenyinyiran seringkali bocor. Bayangkan, sedikit saja gesture bisa diinterpretasi dengan sangat berlebihan: dari penolakan cipika-cipiki di elit, berakhir dengan tampar pipi kanan-kiri di akar rumput. Tulisan ini adalah hasil diskusi saya, seorang pendukung Jokowi yang sejak awal menolak untuk menaruh angka capres di avatar saya atau aktif mengkampanyekan Jokowi walau hampir seluruh lingkaran intelektual saya adalah pendukung Jokowi—dengan beberapa sahabat pendukung Prabowo. Sahabat-sahabat saya ini tidak akan saya publikasikan namanya, karena keadaan panas saat ini bisa membuat mereka malah mengalami ‘bully’ yang parah. Tulisan ini adalah murni tanggung jawab saya sebagai ilmuan, dan jika anda ingin kroscek, anda bisa langsung hubungi saya secara pribadi.
Harus diakui, dalam lingkaran intelektual saya, para pendukung Jokowi adalah orang-orang yang jago argumen, spin-doctors, terdidik dan melek sejarah. Permasalahan yang terjadi adalah seringkali kawan-kawan saya, para Jokowers ini, tidak melihat latar belakang lawan debat/diskusi mereka. Di dunia nyata, mereka berhadapan dengan keluarga yang konservatif, mudah terhasut oleh berita sensasional macam, ‘Jokowi Komunis, ‘ atau ‘Jokowi boneka Amerika’, atau ‘Jokowi anggota Iluminati.’ Di dunia maya, ini jadi perang debat kusir dengan menunggangi ribuan kuda liar tanpa kacamata. Pada akhirnya, lawan bicara mereka dari kubu Prabowo yang berasal dari kelas menengah yang buta sejarah, kurang referensi dan hasil sistem pendidikan gagal orba, alih-alih tertarik pindah kubu malah cuma bisa bilang: “Pokoknya Prabowo!” Sementara itu, para pendukung Prabowo dari kalangan lingkaran intelektual saya adalah orang-orang yang cenderung berdebat dengan logika yang berbeda. Mereka juga melek sejarah, tapi interpretasinya pun berbeda. Dalam lapak Facebook atau diskusi terbuka, menurut saya mereka cenderung kalah (ini subjektif, opini profesional saya). Tapi harus ditekankan, bahwa kekalahan mereka bukan semata-mata karena masalah data—yang memang sering dimenangkan oleh jokowers karena kebanyakan pendukung Jokowi adalah praktisi yang mumpuni di bidangnya, seperti wartawan atau analis ekonomi.
Tidak cuma itu, kekalahan argumen mereka lebih sering juga karena lawan bicaranya seringkali bermaksud debat, bukan diskusi. Argumen mereka yang sebenarnya valid, langsung dicap tidak valid hanya karena mereka memihak Prabowo: si fasis, si dalang kerusuhan 1998—sesuatu yang proses hukumnya memang belum diselesaikan. Validitas ini akan saya jelaskan lebih lanjut dalam analisa saya soal para pendukung di lingkaran intelektual saya ini.
Tulisan ini akan dibagi dalam tiga sub-bab. Yang pertama pemahaman mengenai orde baru dan peran Prabowo, sebagai wacana utama yang sering didengungkan. Kedua, menyoal teknik pemenangan kedua capres. Dan Ketiga, soal potensi konflik yang dapat terjadi dari dua hal sebelumnya ditinjau dari disparitas wacana sosial-politik Sovereignity (keberdikarian negara) dengan Governmentality (Pemerintahan Bersama).
Hantu-hantu Orde Baru
Bagaimana kedua kubu melihat Orde Baru? Pendukung Prabowo melihat orde baru dalam cara yang berbeda-beda. Sebagian dari mereka ada yang melihat orde baru sebagai dunia utopis yang damai, romatisme yang dirindukan, atau memasang stiker “Penak Jamanku, tho?” Saya akan singkirkan orang-orang seperti itu dari diskusi ini—orang-orang semacam ini jelas kontra-produktif. Saya hanya akan melihat pendukung Prabowo yang mengakui bahwa orde baru adalah sisi kelam Indonesia dimana kemerdekaan ekspresi dibungkam, rakyat hidup dalam keadaan aman tapi terancam, dan korupsi merajalela.
Kekelaman dan kekejaman orde baru adalah sebuah fakta—bahkan Prabowo Subianto sendiri mengakuinya. Pendukung Prabowo yang terdidik dan kritis melihat orde baru jauh dari itu. Mereka, beberapa adalah aktivis muda partai Gerindra, melihat orde baru sebagai sebuah struktur dan sistem yang masih dipakai hingga saat ini. Reformasi tidak semerta-merta membersihkannya. Orang-orang yang berkuasa, dan dianggap memfitnah Prabowo, masih ada dan punya kuasa yang besar. Orde baru adalah sebuah struktur dan sistem yang tidak mungkin dihilangkan dari elit politik Indonesia. Siapapun yang jadi presiden, Jokowi atau Prabowo, bagian Orba takkan hilang dari perpolitikan Indonesia. Dalam kacamata ini, Orde Baru harus dilihat bukan dalam dunia fisik semata: orang-orang yang dekat dengan cendana seperti Prabowo, Wiranto, SBY, AM. Hendropriyono, Agum Gumelar, Habibie, dll. bukanlah satu-satunya elemen Orde Baru. Orde Baru dan Reformasi bukanlah Tesis dan Antitesis. Orde baru harus dilihat sebagai sebuah sintesis antara rezim sebagai tesis dan reformasi sebagai antitesisnya. Dalam hal ini, maka orang-orang seperti Amien Rais, Megawati, Rendra, Setiawan Djody, juga harus dilihat sebagai bagian dari sintesis Orde Baru. Secara lebih luas, Orde Baru juga termasuk para aktifis mahasiswa 1998 yang menjatuhkan rezim—mereka mau bagaimanapun dididik dan dibesarkan dalam masa orde baru.
Di sisi lain, pendukung Jokowi melihat Orde Baru sebagai hantu dan Jokowi sebagai langkah awal untuk memulai perjuangan yang ‘bersih’ dari hantu itu. Sebelum Jokowi muncul ke permukaan, harapan soal pemerintah dan parlemen tidak ada di sana. Kita bisa lihat dari menangnya GOLPUT setiap Pemilu Legislatif. Jokowi Effect, membuat orang-orang bersatu untuk sebuah harapan perubahan yang tidak bisa ditawarkan secara lebih ‘murni’ oleh Prabowo yang adalah mantan menantu Soeharto. Yang mereka sering lupa, itu semua cuma kedok. Kita sama-sama tahu di belakang siapa Wiranto dan Hendropriyono berdiri. Kita sama-sama tahu, bahwa naiknya Jokowi hanya sebuah awal; bukan berarti Orde Baru sebagai struktur dan sistem hilang begitu saja.
Teknik Kampanye Yang Menyulut: Antara Propaganda dan Mesin Politik
Kita singkirkan dulu Negative Campaign atau Black Campaign. Keduanya dilakukan oleh kedua kubu dan percuma membicarakannya—hanya akan melahirkan tuduh menuduh dan debat kusir. Mari secara lebih jauh, kita bicarakan teknik simbol dan teknik komunikasi yang digunakan kedua kandidat. Kali ini saya akan membahas tulisan dari Indoprogress yang secara terbuka mendukung Jokowi.
John Roosa dalam Indoprogress menulis, “PENIRU Soekarno yang mana yang akan Anda pilih? Yang mengenakan peci hitam, seperti yang dulu dikenakan Soekarno atau yang ke mana-mana menggaungkan slogan-slogan Soekarno?” Menurut Roosa, kedua kandidat memakai unsur Soekarno dengan cara yang berbeda. Prabowo menggunakan unsur eksterinsik Soekarno Tua yang feodal dan seperti kata Soe Hok Gie, “Mirip Raja Jawa,” sementara Jokowi menggunakan unsur intrisinsik ‘kerakyatan’ dan ‘kekirian’ dari Soekarno.
Di sisi yang sama, Rianne Subijanto menulis soal teknik komunikasi melalui analisis wacana kritis penggunaan media. Secara garis besar, tesis yang diajukan Rianne melihat teknik kampanye Prabowo menggunakan unsur-unsur propaganda klasik yang memfokuskan dirinya pada satu pemimpin super. Menurut Rianne, gaya rezim Orde Baru sangat terasa dalam propaganda kampanye Prabowo. Sementara itu, Jokowi lebih mencitrakan ‘kekitaan’, kedekatan pada rakyat untuk bersama-sama membangun Indonesia. Banyak sekali masyarakat yang menjadi relawan—khususnya orang-orang dari industri kreatif. Analisa ini juga bisa dibuktikan dari wawancara situs Jakarta Beat dengan Rudolf Dethu dan Wendi Putranto, dari komite Rock The Vote: sebuah event musik untuk memberi kesadaran politik sebagai bagian dari kampanye relawan Jokowi.
Dengan rendah hati, saya ingin mengkritik bahwa kedua tulisan ini kehilangan satu poin penting, yaitu bagaimana politik praktis di Indonesia dijalankan. Mereka gagal melihat ‘logika dalam’ (inner logic) yang berlaku di dalam kedua kampanye: Inner Logic Orde Baru.
Bagaimana seseorang bisa jadi calon presiden di Indonesia saat ini? Mereka membutuhkan (1) mesin politik, dalam hal ini partai politik; (2) mereka butuh dukungan militer/purnawirawan; dan (3) mereka butuh back up finansial. Prabowo dan Jokowi jelas memiliki kedua-duanya. Mesin politik Prabowo jelas koalisi partai politiknya. Ketika kongsi Gerindra-PDIP pecah karena Jokowi, maka Prabowo harus ambil manuver: menjanjikan kedudukan dan posisi pada partai-partai koalisi yang melawan Megawati. Golkar, PPP dan PKS adalah mesin politik yang berjalan baik; mereka tidak akan kekurangan suara dalam pemilu legislatif. Partai Demokrat juga baru-baru ini menyatakan bergabung dengan kubu Prabowo–walau seperti biasa SBY tetap berusaha bikon statement-statement tak langsung.
Sementara Jokowi jelas disokong PDIP, partai pemenang Pemilu Legislatif. Kalau anda berpikir Jokowi dan PDIP adalah minoritas di parlemen, cuma karena kampanyenya melarang adanya atribut partai, anda salah besar. Jangan lupa bahwa partai-partai koalisi yang mendukung Prabowo adalah partai-partai yang sudah biasa dengan politik dua kaki, satu celup di sini, yang lain siap-siap celup di sana. Nantinya, ketika Jokowi terpilih, konstelasi di Parlemen akan berubah lagi. Anda jangan kaget, ketika tiba-tiba Golkar, PPP, PKS dan Demokrat melipir ke Mega begitu Jokowi menang. Lagipula sudah lama kita mengalami adanya disparitas antara parlemen dengan kabinet. Jangan diremehkan! Ketika seorang presiden sama sekali tidak mau negosiasi dengan parlemennya, dia bisa diturunkan dengan apik—melalui kampanye hitam dan negatif yang sangat massif hingga nanti anda sendiri yang kemarin mendukung, menjadi orang yang menurunkan sang presiden. Ingat Gus Dur kan?
SBY menjadi pelacur parlemen dengan bikin kabinet kacau balau adalah untuk mencegah kekuatan ini masuk dan menghancurkan rezimnya. Ini bukan semata-mata karena ia bodoh, lembek dan prihatin. Tim SBY pun punya perhitungan—banyak dari mereka lulusan kampus-kampus terbaik dunia, dan pemikir strategi politik yang cukup mumpuni. Jadi tak ada jaminan bahwa Prabowo atau Jokowi bisa ‘mengasingkan’ parlemen dengan mesin-mesin politik yang berjalan baik.
Kedua, dukungan purnawirawan militer. Dari pihak Prabowo, menurut Mantan Kepala Staf Umum TNI, Letjen (purn) Johannes Suryo Prabowo, ada 300 purnawirawan TNI/Polri yang mendukung Prabowo-Hatta. Sementara itu Wiranto mengatakan ada 170 Jendral Purnawirawan TNI/Polri yang mendukung Jokowi-JK. Tentu angka-angka ini juga dipakai sebagai alat bluffing oleh kedua kubu. Dukungan purnawirawan militer inilah bukti konkrit Orde Baru sebagai sistem dan struktur. Purnawirawan artinya sebagian besar dari mereka juga adalah produk orde baru. Sebagian besar dari mereka adalah orang-orang yang kemungkinan besar pernah diperintahkan rezim untuk melakukan operasi pengamanan disintegrasi di daerah-daerah Operasi Militer. Namun capres tanpa purnawirawan, bagai macan tanpa taring. Tanpa dukungan militer, kemungkinan kemenangan pasti mendekati nol persen—kecuali kalau kita rela memimpin massa untuk ditembak.
Elemen ketiga, finasial. Kita kesampingkan dulu penggalangan dana dari relawan untuk kedua Capres. Karena dibutuhkan uang dan koneksi sosial politik lebih banyak untuk menjadi seorang calon presiden. Dalam kubu Prabowo jelas ada Hatta Rajasa sang cawapres dan Hashim Djojohadikusumo, yang masih saudara kandung sang capres. Tapi ia tidak sendiri, bersamanya ada jaringan pengusaha lain seperti Abu Rizal Bakrie, Sandiaga Uno dan Harry Tanoe. Sementara itu di kubu Jokowi-JK ada JK yang juga Cawapres dan Sofian Wanandi. Dalam kedua kubu tentunya ada banyak lagi pengusaha yang tidak ingin dipublikasikan keterlibatannya. Ini sumber uang utama bagi kedua kandidat. Dana relawan? Itu cuma katalisator keterlibatan publik saja.
Untuk menyimpulkan sub-bab ini, memang analisa wacana kritis kampanye menunjukan perbedaan kedua kandidat. Namun inner logic yang dipakai tetap sama. Dan nantinya, ada hutang yang harus dibayar kedua kandidat. Ini harus kita perhatikan baik-baik, karena ini adalah pengetahuan dasar yang mesti kita tahu jika tujuan kita adalah perubahan progresif Indonesia, sebagaimana Marx menguraikan kapitalisme dengan mempelajarinya baik-baik.
Sovereignity vs Governmentality: Sebuah Ilusi Pragmatis
Dari semua pembahasan di atas, kita tahu bahwa pencitraan kedua capres adalah pencitraan pragmatis. Intinya untuk bisa berkuasa dan mengatur negara ini—dan mari berpikir positif, bahwa keduanya punya misi memajukan Indonesia. Dari pembahasan Roosa dan Riane Subijanto, kita bisa melihat yang ditawarkan kedua kandidat adalah dua tipe pemerintahan yang berbeda: yang satu kekuasaan yang berdikari (sovereign) dimana negara menjadi pusat kuasa yang kuat dan dipandang sebagai sebuah entitas unggul dengan satu pemimpin super. Sementara yang lain kekuasaan yang memerintah bersama dimana setiap kebijakan akan mengatasnamakan rakyat (government). Efek dari kedua permainan wacana ini adalah keterpecahan masyarakat Indonesia. Mereka yang percaya akan ketegasan fisik, pengaturan tersentral, dan kuasa pemerintah pusat akan cenderung ke Prabowo. Sementara mereka yang percaya akan kekuatan rakyat dan daya kreativitas dalam sebuah indepensi publik dari pemerintah, lebih condong ke Jokowi.
Sayangnya keduanya sering lupa dua hal: (1) ini hanya kampanye, dan (2) efek keberpihakan yang bisa berakibat fatal. Koalisi partai saat ini adalah untuk kampanye. Rakyat ikutan partisipasi juga untuk kampanye. Setelah tanggal 9 Juli nanti, koalisi akan cari tempat duduk paling pewe dan tetap salam-salaman waktu lebaran. Sementara rakyat? Apakah rakyat bisa tetap salam-salaman waktu lebaran nanti? Ini yang mesti kita bahas.
Dalam teori Marxist kita mengenal Base dan Superstructure. Base, artinya kekuatan dan relasi-relasi produksi: hubungan antara bos dan pekerja, pembagian kerja dan hubungan antar properti. Ini sifatnya lebih ke daya guna (utility). Inilah yang ingin dibangun oleh kedua capres. Sementara itu superstructure adalah kebudayaan, institusi-institusi, struktur kuasa politik, peran politis, ritual dan negara. Ini sifatnya lebih praxis, artinya ditentukan bukan oleh daya guna, tapi oleh kebudayaan, hubungan simbolik dan sosial. Superstructure inilah yang seringkali lepas dari analisa para pendukung Jokowi. Superstructure yang didominasi oleh feodalisme, idolisasi, dan agama mayoritas. Seringkali di Indonesia, Base dan Superstructure, daya guna dan praxis, gagal untuk berdialektis/bersebab-akibat. Dan kampanye terbuka dalam masyarakat berdisparitas besar ini punya resiko besar pula: semakin tidak nyambung kedua hal itu, semakin parah konflik yang akan terjadi ketika dan pasca pilpres nanti. Kita harus berpikir ulang tentang manuver-manuver politik Prabowo dan Jokowi. Kita harus membuat, mengutip band Efek Rumah Kaca dalam lagu Kamar Gelap-nya, “Negatif menjadi Positif.” Yang mesti kita kawal bukan pemenangan salah satu capres. Yang mesti kita kawal adalah Pendidikan Demokrasi. Dan saya harus tekankan, JOKOWI TIDAK MEREPRESENTASIKAN DEMOKRASI karena inner logic-nya tetap sama.
Romo Magnis Suseno boleh bilang tidak mendukung Prabowo karena tidak setuju pada kelompok ekstrimis yang mendukungnya. Namun Romo juga mungkin lupa kalau kelompok ekstrimis paramiliter seperti FPI, FBR dan PP hadir di kubu Prabowo bukan karena agama atau ideologi—mereka toh tahu kalau keluarga Prabowo kebanyakan Kristen. Kita semua harus ingat bahwa mereka adalah ormas-ormas bentukan pemerintah, salah satu peninggalan rezim Orba, yang walau secara praxis berlafaskan agama atau ideologi, tapi secara daya guna pernah menjadi anjing-anjing militer. Prabowo menerima dukungan mereka karena ia tahu benar bagaimana menggunakan potensi-potensi ‘tentara rakyat’ ini, apalagi ketika APBN tidak cukup untuk membiayai TNI/POLRI secara keseluruhan. Kelompok-kelompok ini bisa dilatih, banyak dan murah—baik insentifnya ataupun nyawanya. Masih ingat Petrus yang menghasilkan mayat di jalan-jalan? Mereka selalu bisa dikontrol populasinya, seperti anjing liar di kota-kota yang akan ada event kelas dunia.
Saya sendiri tidak bisa menjawab bagaimana Jokowi bisa menekan kelompok-kelompok ekstrimis ini, yang di banyak tempat jadi martir dan pahlawan. Yang jelas, ketika disparitas dibiarkan makin besar gap-nya, ia akan mudah meledak. Bahkan di negara-negara maju kelompok paramiliter tetap akan ada, tapi berbeda epistemologinya. Managemen konflik dan organisasi harus dimiliki oleh siapapun yang jadi presiden nanti.
Untuk menutup tulisan ini, saya hanya ingin menegaskan bahwa kita sama-sama dari kedua kubu harus mengawal demokrasi. Dan demokrasi kita bukan seperti yang dibilang oleh para peneliti atau wartawan barat. Demokrasi kita bukan Prabowo atau Jokowi. Demokrasi kita adalah Prabowo DAN Jokowi. Jadi singkirkan jauh-jauh pikiran paranoid soal fasisme di Prabowo atau Komunisme di Jokowi. Kita kembali ke Pancasila. Ke Bhineka Tunggal Ika, yang walau bagaimanapun klisenya, dan bagaimanapun telah dipelintir kiri kanan, dimutilasi kepala dan dadanya, dicat merah dan putih, tetap adalah sebuah formula yang otentik milik kita.
Kawan-kawan dekat saya memilih Prabowo karena mereka percaya bahwa Orde baru sebagai struktur dan sistem adalah bagian dari kita dan Prabowo telah merencanakan dengan matang selama bertahun-tahun bagaimana negara ini berjalan.
Saya akan memilih Jokowi sebagai presiden karena ingin meneruskan intelektual-intelektual reformis sebelum saya untuk meresmikan presiden pertama yang tidak berasal dari Sistem dan Struktur Orba—sebagai langkah reformasi selanjutnya. Walau nanti kemungkinan, Jokowi bisa menjadi berwajah reformis berhati orba, namun saya merasa membutuhkan wajah itu, ilusi itu.
Siapa tahu bisa jadi kenyataan.
Dan bersama, kita provokator intelektual dari dua kubu capres, akan mengawal demokrasi versi kita, demokrasi Indonesia. Pekerjaan selanjutnya adalah: mari gandeng kawan yang berbeda bersama-sama ke bilik suara, dan temani mereka ketika galau saat capresnya kalah! Mari Provokasi kedamaian bukan keramaian semata.
Setelah itu kita bisa salaman ketika lebaran datang.
Sumber:
http://indoprogress.com/penulis/rianne-subijanto/ http://jakartabeat.net/wawancara/konten/wendi-dethu-kita-kekurangan-stok-artis-berkesadaran-politik
http://www.merdeka.com/foto/peristiwa/tni-polri-dukung-pencapresan-prabowo-subianto.html
https://id.berita.yahoo.com/kadin-pengusaha-pendukung-jokowi-atau-prabowo-itu-cuma-083540640.html
Akademis banget lu ah! Ruh Multiplynya ilang. Akademis n mulai rontok tradisi gw untuk itu. Tapi emang bolehlah analisa lo di bbrapa tempat, cumak di bagian akhir terendus aroma bikin adem. Dan itu ga asyik. kek ginian yg bikin gw mati angin untuk ngajak berantem.
Jokowi seolah2, atau prabowo diem2 itu sama aja. susah diadepin. Kek operasi senyap. Eh, jangan2 elu salah-satu tim mawar melati alibaba.
Hwakaka.. KONTOL LU NOS! <= ( Tebak Pendukung siapa gw ;))
lu mah gue tahu dari dulu antek remason! hahaha.
Gimana gue gak akademis coba? gaya multiply gue sekarang jadi KITSCH! semua orang pake!
Males kan gue. hahaha…
Lu dah lihat feature panjang penulisan sejarah eksperimen gue di jakartabeat belom?? soal jalan2 bareng soe hok gie?
Tuh gak akademik. Liarr seliar liarrnya yg gue bisa.
Kasih linknya brow. Gw haus… Haushh… Basahh!
ini yg ke tiga ya. yg pertama dan kedua linknya ada di situ. Kalo mau puas baca dari awal. hahaha.
http://jakartabeat.net/feature/konten/mahasiswa-dan-kerja-yang-tak-kunjung-selesai-part-iii-dunia-multi-dimensional-hingga-prabowo-subianto
Bwahahaaaa justru tulisan di atas itu tulisan pendukungnya prabowo wkwkkkkk
Gini mas, tidak ada yang lebih menghina buat seorang pendukung yang bodoh selain dihina kebalikannya. Jika anda dibully pendukung Jokowi, bilang: “kamu pasti pendukung prabowo, lagi bikin black campaign buat pendukung jokowi yang punya otak!!”
begitupun sebaliknya. kira2 begitu :-p
Nah, kalo dia pendukung prabowo, insyallah jadi sadar dan tahu malu. Kalau dia pendukung Jokowi insyallah jadi tahu diri.
Hati orang siapa yang tahu sih?
Terima kasih.. banyak orang awam seperti saya ini lebih suka berita2 provokatif dan malas belajar. Apalagi udah ketemu sama istilah2 yang dipake, ngak ngerti itu apa.
Semoga hari esok lebih baik..
bismillah,,semoga pd bs adem lg….ijin share ya
silahkan mas. Terima kasih sudah membaca.
Nos, adem nih. :p
Amin.
Gue inget Mas yudi pernah bilang, Kapitalisme membentuk disparitas, mengelola dan membiarkannya tetap ada. Seolah-olah sebagai sebuah persaingan yang masing-masing ekstrim polanya. Jadi ya, pertarungan di antara Jokowi-Prabowo ini ya intinya adalah: siapapun yang jadi presiden, dia pasti akan menguntungkan siapa yang ada di balik pasar.
Pertanyaan berikutnya pasar kayak apa yang mau dia untungkan? pasarnya siapa?
Gak masalah dia menguntungkan pasar, asalkan pasar yang dia untungkan FAIR TRADE. bukan FREE TRADE.
Sotoy loe, udah jelas-jelas Prabowo jauh lebih baik dari Jokowi. Rugi loe nulis panjang-panjang. Sok kritis. Liat aja nanti Prabowo pasti menang.
Ini juga biasanya pendukung Jokowi yg suka nyamar. Para pendukung prabowo tenang saja. kalian tidak terwakilkan orang-orang macam ini. Tetap pilih no. 1 tgl 9 nanti sesuai hati anda.
tulisan panjang di atas kayanya tulisan pendukungnya prabowo deh
ga usah dipikirin. Ini masa damai, segala yg ditulis jgn dianggep kampanye.
salam tiga jari.
NOSA KONTOL! GUA PENDUKUNG PRABOWO. POKOKNYA GUA PILIH PRABOWO! INI UDAH MASA TENANG, LO NGAPAIN SIH BIKIN TULISAN INI??! BIAR ORANG-ORANG PADA PILIH JOKOWI??! HA?? GUA GAK TERTARIK MEN BACA TULISAN PROPAGANDA LO! SOK PINTER LO. GAK BAKALAN ADA YANG TERPENGARUH BOS!!!! LULUSAN MANA SIH LO??? KOK GOBLOK.
Ini pasti pendukung jokowi, kayak Ahmad Dhani. Teruskan mas, hinaan anda ga bakal bikin kawan2 pemilih prabowo ilfil dan milih jokowi. #pokoknyaprabowo.
bwhahahaaa ini jg pasti pendukungnya jokowi
One of respectable writing. Mo share di fb ah
Mas, saya izin share tulisan anda via FB saya yaa.. Terima kasih
Ijin untuk share, ini benar-benar kritis, dan menguraikan dengan jelas keresahan saya juga atas dua belah pihak.
Uraian yang bagus. Izin untuk share ya. Saya harap rekan dan sahabat2 saya memahami sebagaimana uraian ini juga. Bahwa kita kita tetap satu bangsa yang menginginkan perubahan yg lebih baik, dari manapun perspektifnya.
Terima kasih. Salam.
pemikiran yang bagus….ijin share..
silahkan mas.
Reblogged this on MINE and commented:
This is so deep and so damn right