Diambil dari status Facebook 21 Februari 2016.
Saya punya seorang sahabat yang sangat alim, lalu menjadi gay. Saya kenal dia sudah lama, kami sering shalat bareng ketika saya masih rajin dan dia belum ‘open’. Tapi saya sudah tahu kecenderungan bahwa dia gay, sudah lama sekali.
Saya ingat dia sangat-sangat homophobik. Saya sering sekali menggodanya, karena ketakutan dia yang paling utama adalah ‘digrepe-grepe cowok’. Dia juga sangat-sangat takut pada banci. Di situ saya mulai curiga, jangan-jangan dia sebenarnya homo. Dan karena saya tahu dia risih kalau dipegang-pegang, saya malah tambah pegang-pegang dia just for fun.
Saya bilang sama dia bertahun-tahun yang lalu: daripada lu hidup dalam ketakutan, coba lu kenalan sama gay, gue kenal-kenalin deh. Tentu saja dia jijik setengah mati. Entah karena satu atau lain hal, kami jarang nongkrong lagi. Mungkin karena saya mulai sibuk berteater, lulus kuliah dan bekerja. Tapi saya juga sempat merasa bersalah, jangan-jangan bercandaan saya keterlaluan sampai ia marah dan malas bersahabat dengan saya.
Saya bertemu dia lagi beberapa tahun kemudian. Dia sudah mapan bekerja dan gayanya jauh beda: pakai baju ketat V neck, nampak necis, dan… openly gay–khususnya pada teman-temannya. Karena sudah lama tidak ketemu, langsung malam itu kami berdua nongkrong di Margonda. Kami beli bir dan mengenang masa muda. Dia cerita bahwa keluarganya sampai sekarang belum tahu kalau dia gay, dan beberapa kali dia dijodohkan dengan perempuan. Tentu saja ini membuatnya stres. Bapak-ibunya sudah kasih ultimatum umur. Saya tahu keluarganya konservatif dan sangat strict–soalnya dulu saya sering nyontek PR agama sama dia, dan ini anak pengetahuan agamanya naujubile deh. Ketauan dibentuk jadi ‘muslim taat’ dari orok.
Dia merasa tahu keluarganya karena itu dia tidak pernah terbuka. Satu hal yang menarik, menurut dia keluarganya pun tahu kalau dia gay, tapi karena tidak menerima mereka tidak bertanya dan pura-pura tidak tahu. Seringkali keluarganya memperkenalkannya dengan kiai atau dengan psikolog konservatif yang membahas soal orientasi seksual untuk menyudutkannya agar ‘mengaku dan mau sembuh.’ Hasilnya adalah main kucing-kucingan yang membuat saya tertawa-tawa dan membuat dia cemberut karena saya tertawa-tawa atas penderitaannya.
Saya tidak bisa kasih pemecahan soal keluarganya. Saya juga sudah lama tidak menghubungi dia, entah apa hari ini dia sudah kawin apa belum. Malam itu dia sempat berterima kasih pada saya karena ‘menggodanya’ dan menyarankannya untuk kenalan dengan komunitas gay. Dia bilang, sebelum dia melakukan saran saya itu, dia pernah berusaha untuk ‘sembuh’ dan akhirnya sempat depresi. Baru dia bisa menerima bahwa dia tidak mungkin ‘lurus’ lagi.
FYI, dia belum pernah di’tusbol’ atau dipengaruhi oleh gay lain ketika dia merasa tidak mungkin ‘lurus’. Saya adalah pemuda heteroseksual yang jadi setan di awal-awal kegalauannya. Tapi saran setan saya dia mentalkan mentah-mentah sampai dia agak-agak memusuhi saya. Dia akhirnya menemukan dirinya sendiri. Dan saya tidak pernah menyesal pernah jadi ‘setan’-nya, toh dalam kucing-kucingan itu dia nampaknya jauh lebih bahagia dan gembira–bahasa inggris untuk gembira adalah…
gay.
PS: setelah dia openly gay, saya tidak pernah grepe-grepe dia lagi. Takut dibalas… hahahhahaa… Nggak asik banget kalo saya grepe dia tanpa nafsu dan dia grepe saya dengan napsu.
Kalo ga pake napsu kan nggak dosa.
Satu pemikiran pada “Tentang Sobat yang Dulu Alim Sekarang Gay”