Tentang Dua Film
Di tahun 2025 ada dua film penting yang membicarakan ibu sebagai lonte: Legenda Kelam Malin Kundang (LKMK) dan Pangku. Dua film ini dibuat oleh sutradara baru yang didukung oleh ekosistem film Indonesia paling mutakhir. Saya hendak membaca kedua film dalam kerangka pikir pemahaman gender Indonesia yang dalam kedua promosi film diklaim sudah progresif; sadar gender, anti-eksploitasi, dan etis. Kritik ini berusaha mengukur progresivitas wacana gender yang dibawa kedua film. Keduanya dibuat dan ditulis oleh sutradara laki-laki terdidik, kelas menengah atas, dan paham isu gender.
LKMK memakai elemen-elemen impressionisme untuk menyampaikan rasa yang menyesakkan, penuh kekhawatiran, kemarahan, kesakitan dan simbol-simbol pembatalan kehidupan (atau kehidupan yang ingin dibatalkan). Sebuah tema yang seringkali keluar dalam film-film Joko Anwar, penulis, produser, dan editor film ini. Terlepas dari isinya yang eksplisit, Come and See Pictures, rumah produksi film ini, cukup terkenal dengan jam kerja yang lumayan sehat, etika yang dijunjung tinggi, termasuk penggunaan koordinator keintiman dalam adegan seksual dan adegan seksual yang melibatkan anak-anak.
Sementara itu, Pangku mendekonstruksi pengetahuan umum tentang Pantura dan pelacurannya dalam sebuah penggambaran realisme sosialis, di mana keringat dan peluh pekerja mewarnai perjuangan hidup seorang ibu dan anak lelakinya. Penulis Felix Nesi dan Reza Rahadian dikenal sebagai seniman yang peka pada isu sosial dan politik Indonesia. Riset lapangan yang kuat, menjadi pondasi yang dielu-elukan dalam film ini. Dalam bingkai-bingkai lukisan klasik, Pangku menjadi film yang nyaman ditonton keluarga dan mereka yang merindukan kelambatan, rasa yang perlahan mendalam, dan kepercayaan pada kemanusiaan.
LKMK dan Pangku dibuat oleh sutradara yang pertama kali menyutradarai film panjang. LKMK disutradarai oleh oleh duo sutradara Rafki Hidayat dan Kevin Rahardjo, yang jika Anda adalah cinefil atau sering terjebak di lingkaran sosial cinefil, kemungkinan besar pernah mendengar nama mereka. Keduanya punya gaya yang khas dalam film-film pendek mereka. Sebagai programmer film pendek 6 tahun terakhir ini, saya cukup penasaran dengan film yang dibuat oleh dua orang dengan gaya yang menurut saya bertolak belakang: yang satu etnografis realis, yang lain stylistic. Dan dalam LKMK, yang nanti akan kita bahas lebih dalam, saya merasa konflik tekstual itu terjadi.
Di sisi lain, Pangku diarahkan Reza Rahadian yang secara argumentatif bisa saya bilang sebagai aktor film Indonesia paling dominan sebagai peran utama dalam 20 tahun terakhir. Saking dominannya, perayaan 20 tahun karirnya jadi buku autobiografi, dan dijadikan tema rangkaian pementasan Titimangsa, sebuah Yayasan Nirlaba Kebudayaan, di Taman Ismail Marzuki, Jakarta; serta jadi bagian program di JAFF 2025 di Yogyakarta, Festival Film dan Pasar Film teramai di Indonesia tahun ini. Ini terjadi karena Reza adalah aktor, pemikir dan pembicara publik yang sangat mengontrol citra dan apa yang akan ia sampaikan secara teliti; dari panggung teater, layar bioskop, hingga ke demonstrasi di jalanan, telah ditapaki Reza.
Tulisan ini akan membahas tiga aspek penting yang saya lihat di kedua film. Petama adalah citra tubuh perempuan. Saya akan membahas bagaimana penggambaran tubuh perempuan dan tokoh perempuan menggerakan naratif dari sudut pandang kajian gender dan seksualitas. Kedua saya akan membicarakan anak lelaki seorang pelacur dengan mengkaji penataan konstruksi maskulinitas yang ada di dalam kedua film. Ketiga, saya akan membahas tentang politik estetika dalam kedua film dalam menyampaikan pengalaman sensorik (pengindraan) tokoh-tokohnya.
Klik di sini untuk menuju halaman berikutnya: Citra Tubuh Perempuan
Atau kembali ke Daftar Isi.
Eksplorasi konten lain dari Esei Nosa
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

Tulisan ini bagus bangett 👍
Terimakasih Mama. Tapi bias ma, karena anak-anak Mama pasti paling pinter dan paling ganteng buat Mama. Hahhaa