Buku, Kurasi/Kritik

Males Baca Homo Deus by Yuval Noah Harari

Buku kedua yang kami bahas di podcast @malesbacapoodcast ini, mungkin adalah hal yang bisa bikin kami masuk penjara karena penistaan agama. Tapi kami akan suruh yang nuntut untuk memenjarakan Harari dan penerbit saja, karena biasanya begitu di Indonesia. Yang salah buku, bukan pembaca apalagi yang malesbaca cuma bisa percaya. Haha!

Buku, Kurasi/Kritik, Uncategorized

Badut Zarathustra dan Labirin Ruhlelana (Bagian II dari V)

zarathustra clown

Lihat bagian I.

Saya adalah badut Zarathustra yang berdiri di ujung tiang, melihat tali tipis dan di ujung tali itu adalah bayangan diri saya yang menjadi overman. Di bawah sana orang-orang bagai semut. Memang, semua yang dilihat dari ketinggian adalah kesederhanaan.

Inilah cara saya mengambil makna dalam buku ini: saya tidak melihatnya sebagai karya sastra. Saya melihat buku ini sebagai sebuah labirin yang di dinding-dindingnya ada berbagai macam lukisan yang secara spesifik hadir sebagai anak haram zaman modern. Ervin Ruhlelana adalah hasil perkawinan antara modernitas barat dengan seorang pelacur bernama Indonesia. Seorang anak haram jadah.

Baca lebih lanjut

Film

Ketika Laron Bermetamorfosis Menjadi Kunang-Kunang: Sebuah Dongeng dalam Film Kunang-Kunang karya Zidny Nafian

kunang2

Pernah diterbitkan di Jakartabeat.

Saat tulisan ini dibuat, seorang kulit hitam tua di depan sebuah kafe di Washington DC sedang mengais-ngais sampah mencari makanan. Ia berbaju tebal dan membawa kereta dorong berisi seluruh hidupnya. Ia bergumam sendiri, dan saya tidak bisa mendengar dengan jelas gumamannya dari balik jendela kafe. Ironis. Homeless di Washington DC, salah satu kota terbaik di dunia, dengan banyak kelas menengah atas. Kota yang konon paling teratur di Amerika Serikat. Mereka (homeless) ada begitu banyak, dan setiap akhir pekan mereka akan berkumpul di taman-taman di dekat objek-objek wisata untuk mengemis pada turis. Saya pernah bertanya pada seorang kawan, warga negara Amerika, kenapa ada banyak sekali Homeless di kota ini. Ia hanya menjawab, “It’s none of my business, there are people getting paid to take care of that.” Mungkin kalau dia ke Jakarta dan bertanya pada saya tentang gembel-gembel di Jakarta, jawaban saya akan lebih sadis: “Bukan urusan saya. Itu salah mereka sendiri, kebanyakan dari mereka penipu kok.”

Baca lebih lanjut