Anthropology, Ethnography, Film, Filsafat, Gender, Racauan

Ibu Kita Lonte, Lalu Mau Apa? Kajian Legenda Kelam Malin Kundang dan Pangku untuk Indonesia

Citra Tubuh Perempuan

Teori feminis memandang bahwa masyarakat membagi perempuan ke dalam dua kategori moral: ibu (mother) dan pelacur (whore). Dualisme ini diproduksi oleh sistem patriarki untuk memastikan kontrol atas tubuh perempuan dan distribusi kerjanya. Dalam konteks film, kategori “ibu yang lonte” menjadi anomali moral yang mengguncang skema patriarkal: perempuan yang mengasuh sekaligus bekerja seksual. Dalam kedua film yang sadar gender ini, patriarki ditentang secara paradoksikal: pelacur adalah ibu, vice versa.

Tiga Ibu yang Kelam

Dalam LKMK, ada tiga ibu tokoh utama, Alif (Rio Dewanto): Amak Aminah/Farida (Vonny Anggraini) dan Amak (Nova Eliza), Amak Aminah adalah ibu ideal yang diimpikan Alif untuk menjadi ibunya, dan Nadine (Faradina Mufti) istri Alif dan ibu Emir (Jordan Omar). Ia adalah seorang aktris gagal bernama Farida yang dibayar Alif untuk berpura-pura jadi ibunya. Amnesia Alif membuat aktor bayaran ini menjadi ibu, mertua, dan nenek keluarga Alif lebih dalam daripada rencana Alif ketika ia belum amnesia–sehingga Farida terbawa peran Aminah yang ia mainkan. 

Perlu digarisbawahi, Vonny Anggraini membuktikan keluasan dan keluwesan keaktorannya di film ini dalam akting dalam aktingnya. Secara subjektif, sebagai orang yang banyak menonton film yang dibintangi Vonny, di film ini ia berhasil mengantarkan pertunjukkan terbaiknya karena ruang eksplorasi keaktoran yang begitu besar dalam tokoh yang diciptakan bertemu dengan skill keaktorannya yang ditempa banyak sekali film lintas genre. Paradoks ibu/pelacur kita temukan dalam diri tokohnya, bahwasannya Amak Aminah tak lebih dari pertunjukkan yang dibayar oleh seorang lelaki. 

Ibu kedua yang dicitrakan di LKMK adalah Nadine, istri Alif, sebagai perwakilan perempuan kosmopolitan modern. Salah satu adegan yang harus digarisbawahi adalah adegan intim antara Alif dan Nadine di kamar mandi, yang menunjukkan ketelanjangan sebagian (Partial Nudity), ciuman dan penetrasi yang dilakukan dibawah koordinasi Koordinator Keintiman Putri Ayudya. Urutan adegan diinisiasi oleh Alif yang melihat istrinya mandi dan mengajak berhubungan, intimasi dibalas Nadine dalam posisi keduanya berdiri di bawah shower. Dominasi Nadine menjadi tegas dengan adegan post-coitus ketika Nadine bukan hanya berhasil membuat suami yang ia khianati kembali padanya, tapi menunjukkan kebebasannya bicara kata-kata kotor (profanity). Ini merepresentasikan hubungan egaliter antara suami-istri. Tapi ketika Alif berhasil mengingat pengkhianatan Nadine, maka kata “lonte” dilemparkan sebagai sebuah label untuk ibu yang paradoksikal: tidak setia pada rumah tangga.  

Ibu ketiga adalah Amak (Nova Eliza), ibu asli Alif. Amak menjadi pelacur setelah kabur dari suaminya yang toxic bersama Alif kecil (Sulthan Hamonangan). Alif kecil harus melihat ibunya melacur, menguburkan bayi-bayi ibunya yang diaborsi, dan pada akhirnya diperkosa oleh lelaki di kamar yang sama dengan ibunya juga sedang melakukan hubungan seks. Adegan ini lagi-lagi dilakukan dibawah pengawasan Koordinator Keintiman, dengan teknik POV Alif Kecil, yang tidak menunjukkan adegan Alif kecil dan pemerkosa di dalam frame yang sama. Ini menjadi twist utama film, dan adegan paling disturbing

Ini paradoks yang paling mengganggu saya di film ini: persepsi ibu sebagai pelacur diperlihatkan dalam kerangka patriarki yang ia ingin lawan. Pelacuran tidak dianggap sebagai pekerjaan, tapi sebagai penyelewengan moral. Menurut Kamala Kampadoo dalam buku Companion to Sexuality Studies (2020), perlu ada pembedaan antara pekerja sex (sex worker) dengan perdagangan budak seks (sex traficking). Istilah pekerja seks hadir dari teori feminist materialisme dan sexual libertarian yang menempatkannya sebagai bagian dari perburuhan–bahwa yang melatari pekerja seks adalah kebutuhan ekonomi individu yang mengerjakannya. Sementara itu, perdagangan budak seks hadir dari feminis radikal yang menempatkan pelacuran sebagai kekerasan terhadap perempuan. 

Dalam LKMK, kita melihat posisi Amak sebagai pekerja seks yang tidak terlindungi dan tidak mampu melindungi anaknya. Dalam konteks ini, ada satu pertanyaan yang hadir dan menggangu saya lagi: Alif kecil pada akhirnya membunuh ibunya, yang tak berdaya melindungi dirinya dan anaknya sendiri. Alif menjadi seorang anak yang melakukan feminisida kepada ibu yang lemah dan tidak kompeten menjalankan perannya sebagai ibu. Secara struktur penokohan, ini jadi pelanggaran karena sepanjang naratif; tidak ada motivasi kuat Alif membunuh ibu, yang seperti dirinya, adalah korban.

Banyak Ibu di Pantura

Berbeda dengan LKMK, tokoh Sartika (Claresta Taufan) menjadi pekerja seks dalam lindungan komunitas. Ibu Maya (Christine Hakim) dan Pak Jaya (José Rizal Manua) menjadi matron dan patron, dan kawan-kawan seprofesi menjadi rekan dalam membesarkan Bayu (Shakeel Fawzi), anak lelaki Sartika. Dalam kajian antropologi dan sosiologi, tubuh perempuan merupakan sebuah “teks kebudayaan.” Di sana tertulis moralitas komunitasnya, dan dalam Pangku, pelacuran muncul bukan sebagai penyimpangan moral, tetapi tetapi sebagai rutinitas lokal dalam ekologi kemiskinan kelas buruh di Pantura. 

Kekerabatan di dalam Pangku tidak dibangun dalam ikatan darah, tapi dalam ikatan trauma. Mereka yang terpinggirkan dan terbuang menjadi saudara, dan solidaritas dibangun atas penderitaan. Hal-hal yang tidak terjelaskan, tidak dipertanyakan. Penderitaan tidak dilawan, tapi diterima dan dilalui seperti penyakit yang meninggalkan bekas luka permanen. Waktu berlalu dengan lambat, luka disadari terlambat, dan semua orang tersesat dan tertambat tanpa banyak sambat. 

Ibu Maya menjadi matron utama di ekologi ini: ia memiliki warung kopi Pangku dan membantu Sartika merawat Bayu, serta menjadi ibu untuk pelacur-pelacur lain. Ia adalah pengatur, penghitung, manager, nenek, dan pemimpin. Ekosistem bekerja di bawah bimbingannya, dan kebaikannya seperti tidak berbatas: tanpa praduga, hanya kerja. Dalam konteks matrilokal ini, ‘lokalisasi’ menjadi kata-kata untuk melabeli komunitas itu, sementara komunitasnya sendiri melihat tempat tinggal mereka sesederhana sebuah “kampung,” dimana salah satu pekerjaan yang mungkin adalah seks; yang tidak spesial dan tidak dirayakan. Di dalam film Pangku tidak ada visual seksual yang bombastis, hanya ada sebelum dan sesudah berhubungan, yang itupun seperti orang makan atau minum makanan biasa, bukan makanan mewah yang disantap penuh nafsu dan kerakusan. Narasi dan sentimentalitas disampaikan dengan santun, membunuh segala stereotipe tentang kelas bawah. 

Di sinilah tubuh perempuan sebagai teks kebudayaan yang mendikte moral komunitas bisa dibaca secara gamblang. Di tubuh para perempuan di mana moral bukan ditentukan oleh stigma tapi oleh fungsi kerja untuk menjadi dasar kehidupan. Logika moral yang dipakai adalah kenyataan yang bekerja, bukan imajinasi yang dipertanyakan dan dikritisi. Ini adalah pondasi (base) kehidupan yang dibangun lewat tubuh perempuan di film Pangku. Tapi ini membawa problematikanya sendiri. 

Untuk memahami masalah ini kita harus kembali ke teori klasik Marx tentang base dan superstructure. Dalam pengantar buku “A Contribution to the Critique of Political Economy” (1859),  Marx menulis bahwa base terbuat dari:

“Moda produksi kehidupan material (yang) mengkondisikan proses umum kehidupan sosial, politik, dan intelektual. Bukan kesadaran manusia yang menentukan eksistensi mereka, melainkan eksistensi sosial mereka yang menentukan kesadaran mereka.”

Semua tokoh dalam Pangku bekerja di dalam logika ini. Premis ini memungkinkan dunia filmnya tidak mempertanyakan, tidak mengkritisi, dan tidak melawan, karena kritik dan kebudayaan semacam itu hanya berlaku di tataran superstructure soal ilmu pasti, hukum, kesenian dan kebudayaan yang kita bicarakan sehari-hari sebagai sebuah konsep dan pertimbangan pembuatan kebijakan publik. Di dalam film Pangku, salah satu adegan kekalahan terhadap superstruktur adalah ketika Sartika hendak menyekolahkan Bayu, tapi ditolak karena Bayu tidak punya bapak. Birokrasi dan hukum yang menindas ini tidak ada hubungannya dengan base/moda produksi Sartika atau ekologi yang menopang kehidupannya. Malahan, superstruktur ini mendindas mereka, membatasi akses terhadap pendidikan.

Tapi tentunya perlu digarisbawahi bahwa kritik Marxisme ini tidak saya tujukan untuk film LKMK yang dibuat dalam konteks yang berbeda: konteks kapitalisme pusat kota dengan kepentingan film sebagai wahana dan pengalaman imersif, yang akan kita bahas di sub bab terakhir nanti. 

Klik di sini untuk menuju halaman berikutnya: Anak Lelaki Pelacur dalam Superstruktur
Atau kembali ke Daftar Isi.


Eksplorasi konten lain dari Esei Nosa

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

2 pemikiran pada “Ibu Kita Lonte, Lalu Mau Apa? Kajian Legenda Kelam Malin Kundang dan Pangku untuk Indonesia

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.