Anthropology, Ethnography, Film, Filsafat, Gender, Racauan

Ibu Kita Lonte, Lalu Mau Apa? Kajian Legenda Kelam Malin Kundang dan Pangku untuk Indonesia

Anak Lelaki Pelacur dalam Superstruktur Minang dan Pantura

Patriarki hadir dari distribusi kerja para lelaki yang tidak mengenal kehamilan dan masa dependen selama hamil dan membesarkan anak. Secara sederhana, dalam masyarakat patriarki, anak lelaki adalah ‘alat produksi’ yang lebih memiliki nilai daripada anak perempuan, karena sistem ini menarasikan lelaki sebagai penguasa, pengolah, pengatur, dan penindas yang aktif. Tapi ini semua, seperti banyak kajian Marxist-feminist mengatakan, ada di tataran superstruktur dan bukan di base produksinya. Artinya pada praktiknya, perempuan adalah penggerak roda ekonomi dan pengaturan rumah tangga utama dalam sebuah masyarakat, yang bukan hanya mengurus dapur-sumur-kasur, tetapi juga seringkali bekerja, mencari uang, dan berkolaborasi untuk membesarkan anak bersama-sama dalam sebuah komunitas. 

Ibu-lonte di dalam LKMK dan Pangku adalah perempuan penggerak ekonomi dan perawat anak. Namun ada konteks yang berbeda antara dua daerah di Indonesia dalam melihat anak pelacur, dan ini berhubungan erat dengan superstruktur di kedua daerah. Di Padang, yang notabene matrilineal dan didominasi kepercayaan Islam, perempuan pelacur adalah bukti kegagalan matrilineal, karena anak akan membawa nama ibu. Ketika seorang ibu dari suku Minang menjadi pelacur, bukan hanya dosa dan stigma agama yang ia emban, anaknya akan langsung kehilangan hak simboliknya. 

Amak dan Alif tidak hidup di dalam komunitas, tetapi dalam sebuah gubuk buangan. Sebagai anak pelacur di dalam konteks Minang, dimana Alif tidak hidup dalam sebuah ‘kampung’ atau ‘lokalisasi’, otomatis ia mengambang dan rentan eksploitasi. Identitas kelaki-lakian Alif dipupuk oleh trauma-trauma, yang berlapis-lapis dan membuatnya menjadi karakter yang keras ketika dewasa untuk menekan trauma-trauma itu ke dalam alam bawah sadarnya–dimana trauma berubah menjadi hantu dan teror yang setiap saat bisa memakannya. Hantu dibuat dari paranoia, rasa bersalah, dan rasa malu–dan ini yang mendasari kelaki-lakian Alif.

Sementara itu, Bayu hidup sebagai anak kampung, bukan anak pelacur, karena ia lahir di dalam konteks komunitas yang solid. Ia memiliki jejaring pengaman, keluarga, nenek, kakek, tante, om, bahkan kakak lelaki (Gilang, dimainkan oleh Devano Mahendra), yang memberikannya rasa aman dan masa kecil yang penuh permainan dan kasih sayang. Ini dimungkinkan karena di Pantura, pelacuran adalah bagian dari kegiatan ekonomi yang biasa. Stigma terhadap anak pelacur dinegosiasikan oleh komunitasnya, dan tekanan maskulinitas tidak sekeras di Minang. Anak-anak dalam konteks Pantura di film ini adalah bagian dari tenaga kerja buruh. Stigma mulai hadir ketika negara hadir dengan naratif ibuisme negara khas Orde Baru, di mana peran ibu adalah subordinat di bawah bapak, dan anak tanpa bapak akan langsung termarjinalkan. 

Dalam sebuah nasib yang mengenaskan, Alif dan Bayu punya masalah yang sama dengan superstruktur. Dalam LKMK, dikisahkan Alif kabur ke kota dan dengan bakat menggambarnya, ia diangkat anak oleh seorang seniman, dibesarkan dan dididik, hingga menjadi seniman pebble art, atau melukis di atas kerikil. Ia menikah dengan anak bapak angkatnya, Nadine. Posisi sosial didapatkan lewat menghapus identitas masa lalu. 

Dalam Pangku, takdir Bayu berbeda. Ia besar sebagai tukang mie ayam, melanjutkan usaha ibunya. Rumahnya membesar, adik perempuannya bisa sekolah, tapi ia tetap ada di dalam konteks komunitas Pantura. Kemiripan antara LKMK dan Pangku adalah penghilangan identitas Alif dan Sartika–yang sejak awal film tidak diceritakan asal-usulnya. Keduanya, Alif dan Sartika, dengan sengaja menghilangkan identitas masa lalu untuk memulai babak baru dalam sebuah kekerabatan dan ekologi yang baru pula. 

Tokoh lelaki lain dalam LKMK adalah Iqbal, pengacara sekaligus selingkuhan Nadine; serta para lelaki di desa Alif: bapaknya dan para pelanggan ibunya. Tidak ada satupun lelaki baik selain Alif dan Emir, bahkan extras atau supporting adalah lelaki-lelaki kriminal atau antagonistik. Alif sendiri pun, sebelum kehilangan ingatan, dianggap lelaki yang dingin, anti sosial, dan menyebalkan. Tapi bukan hanya lelaki yang antagonistik. Dalam LKMK, semua tokoh kecuali Emir dan Alif kecil, punya motivasi dan rahasia terpendam yang gelap. Farida adalah aktor kelas bawah yang tinggal di kolong jembatan, seorang penipu, yang dibayar Alif untuk pura-pura jadi ibunya. Nadine adalah istri yang berselingkuh. Lelaki dan perempuan dalam film ini sama-sama laknat. Konstruksi maskulinitas di dalam LKMK jadi hanya masalah kekuatan otot dan manipulasi, baik terhadap orang lain, atau diri sendiri, sementara perempuan yang tidak mampu memanipulasi akan mati sengsara menjadi pelacur dan dibunuh anak sendiri. 

Pangku, sementara itu, menempatkan semua tokoh menjadi baik hati tapi terjebak situasi. Pilihan-pilihan didasarkan pada kebutuhan dasar dan imajinasi soal keluarga dan cinta. Tokoh Hadi, misalnya, mengimajinasikan dirinya menjadi bapak yang maskulin, yaitu bapak yang baik, membahagiakan istri, mengasuh anak lelaki dan menjadi tulang punggung keluarga. Imajinasi yang runtuh ketika istrinya, Annisa (Happy Salma), seorang TKI, pulang dari luar negeri dan membuka semua rahasia Hadi, menghancurkan semua maskulinitasnya dan membuatnya menjadi lelaki impoten.

Konstruksi anak lelaki dan maskulinitas di dalam kedua film jelas bertolak belakang, dan ini berhubungan erat dengan ideologi yang mendasari kedua film. LKMK hadir dengan ideologi kapitalistik, kelas menengah atas, individualisme dan berkutat dalam pengalaman psikologis untuk mencapai sebuah katarsis. Pangku hadir dalam ideologi realisme sosialis yang melihat lelaki dan perempuan sebagai alat produksi yang terjebak dalam marginalitas. Dan kedua pemahaman ini akan membawa kita ke bagian terakhir dalam tulisan ini: Politik Estetika. 

Klik di sini untuk menuju halaman berikutnya: Politik Estetika dalam LKMK dan Pangku
Atau kembali ke Daftar Isi.


Eksplorasi konten lain dari Esei Nosa

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

2 pemikiran pada “Ibu Kita Lonte, Lalu Mau Apa? Kajian Legenda Kelam Malin Kundang dan Pangku untuk Indonesia

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.