Politik Estetika
Dalam The Politics of Aesthetics (2004), filsuf Jacques Rancière menjelaskan bahwa estetika bukan sekadar soal selera, tetapi soal bagaimana dunia indrawi dibagi: siapa yang boleh terlihat, siapa yang boleh bersuara, dan siapa yang dianggap mampu merasakan atau memahami sesuatu. Setiap karya seni lahir di dalam pembagian politik ini. Menurut Rancière, setiap karya seni yang dibuat, agar dapat menarik dan mengambil perhatian, harus memberikan rasa atau pengindraan baru kepada para penikmat atau penontonnya. Setiap seni berusaha mengintervensi kenyataan penikmat atau penontonnya dengan membuat mereka fokus pada hal-hal di dalam frame, dalam ruang dan waktu yang terbatas, sehingga penonton terlepas dari kenyataan dan masuk ke dalam karya seninya.
LKMK dan Pangku melakukan intervensi estetis dengan dua konfigurasi politik yang berbeda. LKMK fokus pada politik trauma, melalui estetika horor-impresionisme gelap; sementara Pangku fokus pada politik kelas pekerja melalui estetika realisme sosial. Beda cara, dengan tujuan yang sama: mengambil kesadaran penonton selama film berlangsung, dan memberikan para tokoh dan setting di dalam film sebuah tempat di pikiran penontonnya.
Trauma sebagai dissensus
LKMK bekerja dengan logika estetika yang Rancière sebut dissensus—retakan dalam cara dunia biasanya dirasakan. Dissensus terjadi ketika film memperlihatkan sesuatu yang tak seharusnya dilihat di kenyataan hidup sehari-hari: kekerasan pada anak, ibu yang tak sanggup melindungi, atau memori traumatik yang semua orang akan kubur. Adegan-adegan pelacuran, pemerkosaan, penguburan janin adalah hal-hal yang menjijikan dan kita tolak di dunia nyata. Tapi LKMK bukan sekedar horor naratif yang bercerita tentang hantu, iblis atau setan yang datang dari luar diri. LKMK adalah horor persepsi: kita dipaksa menonton apa yang biasanya kita buang dari memori kita.
Tapi sebelum kita melanjutkan, saya harus jujur mengaku bias saya dalam menilai LKMK. Film ini sulit untuk saya nikmati karena saya adalah fans berat Joko Anwar, produser, penulis, dan editor filmnya. Selama menonton, saya terdistraksi oleh semua referensi dan simbol-simbol film-film lain Joko, dan ini membuat LKMK sesungguhnya cukup sulit untuk saya nikmati. Rasanya, LKMK adalah album musik Mesin Waktu: Teman-teman Membuat Film Joko Anwar. Dan sebagai kritikus yang sering menulis soal Jokan, rasanya seperti dejavu.
Kita mulai dengan lemari Alif yang punya makna seperti Pintu Terlarang (2009). Bedanya dengan Pintu Terlarang berwarna merah yang di dalamnya dunia kenyataan Gambir (Fachry Albar), lemari yang menyimpan rahasia Alif ada di kamar kerjanya secara gamblang dan Alif yang tidak amnesia sudah tahu rahasia apa yang ada di situ. Ini mengingatkan saya dengan lukisan L’Apparition karya Odilon Redon (1840-1913), yang seringkali bereksperimen dengan bentuk-bentuk mengabur, hantu-hantu dari dalam diri. Ini yang membedakan style LKMK dengan Pintu Terlarang: cara mempresentasikan kotak pandora.
Kamar kerja Alif dibuat menjadi sebuah tempat introversi, tempat dimana rahasia ditata, dan karya dikerjakan dengan obsesi pada hal-hal detail. Ketika kehilangan ingatan, semua ketakutan Alif, dari mulai wajah dibalik kelambu, atau suara-suara yang mengerikan, bocor ke alam sadar dan bermanifestasi menjadi berbagai macam halusinasi horor. Bahkan sofa tempat Alif menangis dan ketakutan sendirian, mengingatkan saya pada lukisan Luc Tuyman, Black Light, sebagai tempat yang kelam dan menyedihkan untuk menjadi sendirian, kesepian, dan tersiksa oleh pikiran sendiri.
Tentunya lukisan-lukisan ini saya tampilkan sebagai relasi bebas di otak saya tentang bagaimana membuat sebuah horor psikologis: mengondisikan ruang, dan bermain dengan isi kepala penonton dalam ruang-ruang itu. Sisanya kamera, lighting dan audio, serta akting mendalam dari Rio Dewanto akan bekerja dengan sendirinya, menyiksa penonton dengan abjeksi. Siksaan yang sayangnya tidak bisa saya nikmati, karena tidak ada hal baru buat saya. Dissensus yang ditawarkan: janin, imaji pocong, seksualitas, herosase seahorse, atau apapun itu yang minta dibaca di film ini, bukan lagi keretakan. Itu semua adalah jelmaan rezim estetika Joko Anwar.
Terlepas dari itu semua, seperti yang saya katakan di awal tulisan, saya menemukan konflik tekstual antara Rafki Hidayat dan Kevin Raharjo. Jika menonton film pendek Rafki, Punai (2015), saya merasakan etnografi berkelindan dengan fiksi dan kritisisme yang kental. Itu bisa kita lihat dalam budaya dan bahasa Minang di film LKMK. Rafki juga menulis film Kafir: Bersekutu dengan Setan (2018), yang bercerita tentang ibu yang terlibat ilmu sihir dan membawa musibah ke keluarganya. Rafki, menurut saya, lebih fokus pada isi daripada gaya–itupun dalam Kafir dan Punai saya merasakan pacing yang cukup lambat demi menyampaikan eksposisi.
Di sisi lain Kevin Rahardjo buat saya adalah filmmaker sylistic dengan gambar yang indah. Sebagai programmer, saya berhadapan dengan film Kevin sekitar dua kali, dan sangat kagum dengan premis yang ditawarkan dan visual yang dipresentasikan. Tapi ceritanya seringkali saya rasa belum tergarap baik. Ketika Rafki dan Kevin hadir sebagai dua sutradara dalam satu film, tentunya saya berharap banyak ini menjadi kolaborasi sempurna, seperti Son Goten dan Trunks yang bergabung fusion di dalam Dragon Ball. Hasilnya, saya merasakan nadi LKMK secara story adalah seperti film Rafki, dan secara treatment visual, gerakan kamera, gaya pencahayaan, seperti film-film pendek Kevin. Harusnya sempurna, namun saya terganjal oleh simbol-simbol dan referensi yang terlalu dekat.
Saya sangat-sangat maklum atas semua hal ini, termasuk intervensi Jokan yang begitu besar. Di MondiBlanc Film Workshop, tempat saya mengajar dan menjadi Executive Producer untuk film-film para peserta workshopnya, pernah dibuat satu film dengan dua sutradara. Pembagian kerja begitu ideal, yang satu mengurus aktor, yang lain mengurus treatment visual. Tapi rencana bukanlah medan perangnya: di praproduksi, banyak keberatan tidak terkatakan, dan di set, perbedaan jadi terasa lumayan kencang. Bedanya dengan Rafki dan Kevin, MondiBlanc bukanlah sebuah ekologi produksi yang mumpuni. Aktornya sesama peserta workshop, DoP-nya kadang seangkatan, kadang senior yang belum pernah pegang film industri. Kudos utama saya berikan kepada Rafki dan Kevin yang mampu membuat film di dalam sebuah tim solid yang dibangun dua dekade, dimana mereka adalah anak baru. Untuk film LKMK bisa selesai dengan kualitas setinggi ini, membutuhkan filmmaker muda pemula yang rendah hati, mampu berkomunikasi efektif melintasi gap satu generasi dan antar generasi, serta mengatur ekspektasi. Saya tidak akan kasih pembenaran bahwa ini “film pertama.” Film berkualitas adalah film berkualitas, titik.
Karena menurut saya, jika saja saya bukan fans Joko Anwar, saya mungkin bisa menikmati kesakitan-kesakitan di dalam film ini.
Rezim Estetika Pangku
Ini adalah penutup dari tulisan panjang ini, yang saya buat dalam sela-sela menghindari orang di JAFF 2025. Saya menghindar karena bertemu kawan-kawan di festival membuat kepala saya penuh dengan ide dan bikin ngebet ingin menulis. Di setiap festival panjang, saya akan rehat untuk menulis tentang film dan teman-teman. Tahun 2025 ini spesial karena kondisi Indonesia sedang tidak baik-baik saja. Banjir Bandang melanda Sumatra dan Aceh karena, mengutip Hilmar Farid di Jakarta Post, Self-Inflicted wound (luka yang disebabkan diri sendiri), dari kerusakan hutan dan kerakusan kota selama puluhan tahun. Pemerintah baru yang naik dengan cara-cara picik seperti mengubah konstitusi dan politik gentong babi, menghasilkan masa depan yang tidak pasti untuk Indonesia secara umum, dan dunia film secara khusus. Usaha industri film Indonesia yang menghadirkan film-film hasil demokratisasi, sebenarnya sedang terancam dengan ketidakpastian kebijakan kebudayaan—misalnya RUU Omnibus Kebudayaan, yang draftnya (hingga saat tulisan ini ditulis) menyederhanakan heteregonetias dan moda produksi kebudayaan di Indonesia. Film akan masuk ke dalamnya: sebuah superstruktur yang sudah dihancurkan di tahun 1998, akan berusaha kembali masuk ke dalam cara kita membuat film.
Apa hubungan konteks ini dengan estetika dalam film Pangku? Kita bisa mulai dari rezim estetika yang ada di film ini.
Dalam Politik Estetika, selalu ada yang ingin mengontrol bagaimana kita melihat dunia. Kekuatan politik negara berusaha mengontrol apa yang baik dan buruk dalam sebuah politik top-down, melalui undang-undang yang dibuat dalam logika kepentingan, bukan logika riset dan pembacaan terhadap rakyat. Modernitas memaksa estetika untuk dibentuk oleh rezim yang merasa punya kuasa untuk mengatur, melarang, mendistribusikan apa yang baik dan buruk, tinggi dan rendah, yang boleh dan tidak boleh. Padahal setiap manusia punya selera dan pandangan hidup yang dibentuk pengalaman, referensi, dan trauma masing-masing. Di dalam konteks inilah, rezim harus dikembalikan kepada estetika sendiri: rezim estetika.
Rancière memaparkan bahwa rezim estetika (aesthetic regime) adalah momen ketika seni berhenti tunduk pada aturan tentang apa yang “layak” digambarkan. Dalam masa orde baru, misalnya, seni hidup dalam hierarki: ada tema terhormat dan tidak terhormat; ada bentuk yang dianggap mulia dan bentuk yang dianggap rendah; ada tubuh yang boleh ditampilkan dan tubuh yang harus disembunyikan, ada ibu dan pelacur. Logika ibu yang pelacur adalah sebuah retakan pada propaganda Ibuisme Negara Orde Baru. Ibu yang pelacur adalah rezim estetika yang hadir dari base atau kenyataan produksi di lapangan.
Perlu dicatat bahwa ibu yang pelacur di film Pangku sangat berbeda dengan LKMK. Dalam LKMK ibu yang pelacur dieksploitasi, diperbudak, disiksa. Dalam Pangku ibu yang pelacur didukung, mendukung, dirawat, merawat, dan bekerja seperti buruh lain. Keduanya adalah retakan dalam rezim Orde Baru tapi dalam arah yang berbeda: yang satu feminis radikal yang ingin menghilangkan eksploitasi pada budak perempuan; yang satu lagi feminis materialisme yang ingin memberikan hak dan keamanan bagi pekerja seks. Pangku fokus kepada isu yang kedua: materialisme.
Dalam pendekatan materialisme, kita harus membicarakan realisme sosial (social realism), sebuah genre seni pengembangan realisme Eropa di Amerika Serikat. Realisme sosial menggambarkan kondisi nyata masyarakat tanpa intervensi dari negara atau kapital, tanpa kepentingan untuk pencitraan dan penceritaan mengambil atau mempertahankan kekuasaan kelas. Di Indonesia, salah satu pelopor realisme sosial adalah S. Sudjojono yang menggambarkan masyarakat bawah dengan apa adanya.
“Saudara Trisno, ada satu faktor dalam hidup saya, yang juga saya anggap besar. Faktor itu ialah faktor masyarakat. Meskipun saya benci pada masyarakat sekarang, tapi saya juga cinta pada masyarakat tadi. […] Masyarakat saya ialah masyarakat yang hanya baru bisa mengerti realitet yang gampang. Realitet ‘langit’ dia tidak mengerti. Realitet dia adalah realitet nasi. […] Teori kini tinggal teori, nasi sih perlu.”
S. Sudjojono, ‘Sudjojono Tentang Sudjojono’, Mimbar Indonesia, 1950
Teori adalah bagian superstruktur: teks dan konsep. Namun masyarakat Sudjojono, seperti masyarakat dalam film Pangku, adalah base tempat kehidupan dibuat, diderita, dan dihadapi sehari-hari. Film bukanlah kenyataan dan realisme adalah cara membuat seni yang mendekati kenyataan. Maka cara sutradara Reza Rahadian mendekati realisme sosial ini, menurut saya bisa jadi sangat mirip dengan Sudjojono: dengan pendekatan mata jiwa.
“Lebih jelas lagi umpamanya: Seorang pelukis hendak melukis seekor burung. Pelukis harus melihat burung dengan perantaraan matanya. Dari mata tadi, jiwanya mendapat cap burung, lalu mengadakan suatu proses psikologis di dalam. Sesudah proses ini terjadi, maka barulah dia melukis dengan perantaraan tangannya. Jalanya jadi demikian: burung-matajiwa; jiwa-tangan-gambar burung.”
Maka terjadilah shot semacam ini:
Sinematografi realisme sosial menyatukan dua dunia di dalam satu frame. Dunia ibu yang bekerja, dan dunia nenek yang merawat cucunya. Semua disatukan dalam sebuah materialisme: ibu yang pelacur, pelanggan, matron, dan anak lelaki si pelacur. Penonton melihatnya terpisah dalam garis tengah, sementara tokoh ada di ruang yang sama: sebuah warung remang dimana kerja dan keluarga menyatu.
Sebagai aktor dengan pendalaman luar biasa di setiap filmnya, Reza mengerti bagaimana jiwa dan rasa harus selalu jujur di dalam membuat tokoh. Permasalahannya bagaimana jiwa yang menangkap kenyataan sosial tadi menjadi tangan dan tubuh yang melaksanakan produksi: mengarahkan semua departemen untuk melukis realisme sosial di dalam film. Ideologi bermain keras di dalam rezim estetik ini: ia memberikan batas-batas etika, kesantunan, dan solidaritas yang filmmaker (sutradara, produser, penulis, sinematografer, sound designer, aktor dan semua kru) lihat dalam kenyataan sosial, menangkapnya, menatanya dan menuangkannya ke medium seni mereka.
Satu hal ironi yang sudah menjadi realitas sosial-kapitalistik kita: film Pangku dirayakan di festival film dalam dan luar negeri, dibicarakan di ruang-ruang sosialite, ditulis kritiknya di sebuah kafe dengan harga kopi 10-20 kali lipat harga kopi pangku pantura, dan menjadi komoditas seni yang menyentuh kelas menengah atas. Seperti lukisan-lukisan Sudjojono yang bisa ditemukan di pelelalangan seni internasional dengan harga puluhan bahkan ratusan ribu dollar. Kepentingan seni realisme sosial adalah untuk mengubah persepsi pembuat kebijakan, menyampaikan apa yang ada di base ke superstrukturnya.
Dalam setiap karya realisme sosial tidak ada subjeknya yang minta dikasihani. Interseksionalitas dan kolaborasi adalah bagian utama dari kemanusiaan kita, yang hanya bisa didapat ketika supestruktur berhenti mengimajinasikan dirinya sendiri, dan mulai melihat kenyataan material yang bisa mereka ubah dengan menggerakan kepedulian dan perubahan sosial dari bawah; memperbaiki ketimpangan intelektual, kelas, dan ekonomi. Pangku dan semua seni realisme sosial adalah salah satu jalan penting kenyataan kelas bawah menyentuh imajinasi kelas atas dan mengakhiri rezim penguasa, menegakkan rezim estetika.
***
Di tahun 2024-2025, film Indonesia menguasai 65% bioskop Indonesia. Infrastruktur film dibangun intens pasca pandemi, didukung Negara yang membiarkan otokritik terjadi. Kini ketika semuanya baru menuju titik terang, Legenda Kelam Malin Kundang dan Pangku, dua film debut dengan rezim estetika yang memberikan mereka kebebasan mengeksplorasi trauma individual dan trauma sosial, menjadi tanda di sebuah persimpangan jalan. Di jalan ini, kita harus waspada, tidak asal bicara tetapi berstrategi menghadapi sebuah mesin besar yang menyederhanakan kompleksitas kebudayaan. Mesin yang punya algoritma dalam melihat lahan basah untuk dieksploitasi dan berusaha untuk mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya, dengan menyederhanakan kompleksitas film sebagai produk budaya. Kedua film ini harusnya bisa mengajarkan mereka membaca dan membuka pikiran: bahwa ibu Pertiwi sedang bersusah hati. Air matanya berlinang dalam banjir dan bencana alam, karena beberapa anak-anak rakus yang berebut harta dan kuasa, lupa caranya mencintai ibunya, dan membiarkan ibunya melonte tanpa kasih sayang.
Klik di sini untuk kembali ke Daftar Isi.
Terima kasih telah membaca sampai habis. Website ini jalan dengan sumbangan, iklannya tak menghasilkan, dengan lisensi Creative Commons, Atribution, Non commercial. Kamu boleh pakai konten ini selama memberikan link sumber dan bukan untuk tujuan komersial. Kalau kamu suka dengan yang kamu baca, silahkan traktir saya kopi murah.





Tulisan ini bagus bangett 👍
Terimakasih Mama. Tapi bias ma, karena anak-anak Mama pasti paling pinter dan paling ganteng buat Mama. Hahhaa