Cinta, Filsafat, Memoir, Racauan

Diri dan Melankolia

Apa itu diri? Menurut filsuf Soren Kierkegaard, diri adalah relasi-relasi yang menghubungkan relasi satu ke relasi yang lain dalam kehidupan seseorang. Artinya, diri tidak pernah menjadi sesuatu yang tetap, tapi selalu berkembang dan berjejaring hingga seseorang itu mati dan dirinya tertinggal sebagai relasi-relasi di diri orang lain.

Pusing kan? Biar tidak jatuh, coba pegangan dulu. Nah, kamu baru saja membuat relasi dengan yang kamu pegang. Kalau kamu pegang nganu mu, maka itulah bagian dari dirimu. Dan relasi itu tidak bisa putus begitu saja, bahkan ketika nganu mu tidak lagi kamu pegang, kamu ingat rasanya, walau kadang lupa namanya.

Maka mari bicara soal relasi-relasi yang putus di kontrak sosial tapi tetap ada di dalam diri. Sesungguhnya inilah relasi terberat yang tak pernah pergi, dari patah hati hingga ditinggal mati. Dan relasi ini menimbulkan sebuah rasa bernama: melankolia.

Buat saya pribadi, melankoli adalah sebuah kerinduan pada sesuatu yang pernah ada namun tak lagi tersedia. Seperti phantom limbs, ilusi yang hadir pasca amputasi, melankoli menyeruak seperti horor ketika kita merasa tangan atau kaki atau organ tubuh kita masih ada padahal sudah hilang. Dan kita belajar melankoli sedari kita bayi. Tahap ini disebut oleh psikoanalis Sigmund Freud sebagai tahap Post-Oedipal.

Post-Oedipal adalah tahap menyakitkan dalam hidup semua orang ketika ia sadar bahwa ibunya, yang selama ini ia cintai sebagai bagian dirinya, telah lepas secara penuh. Ya, patah hati pertama semua orang adalah terhadap figur ibu-nya sendiri. Untuk mengerti konsep ini, saya harus sedikit menjelaskan tiga tahap Oedipus Complex dalam psikoanalisis Freudian.

Tahap pertama adalah pre-Oedipal. Dalam tahap ini seorang bayi merasa bahwa ia dan ibunya adalah satu badan: itulah dirinya, sebuah relasi antara bayi yang masih menyusu dengan ibunya, dimana si bayi mengidentifikasi dirinya sebagai organ si ibu. Sementara ibunya sendiri perlahan mengalami melankolia pula, ketika ia sadar bahwa anak yang ia kandung 9 bulan dan selama ini jadi bagian tubuhnya, pelan-pelan terpisah darinya.

Tapi si anak belum tahu itu sampai ia berhenti menyusu dan mulai bisa berdiri dan berjalan. Tahap pre-Oedipal berhenti ketika si anak mulai bisa mengidentifikasi dirinya sebagai manusia lain. Ia mulai mengenal dirinya sendiri, yang berbeda dengan ibunya. Namun ia masih berada di dalam kasih sayang dan perlindungan si ibu. Di sini ia masuk ke tahap Oedipal: si anak mencintai si ibu.

Tahap itu berhenti ketika tekanan sosial dan pendewasaan organ-organ kelamin membuat si anak harus berpisah secara seksual dari si ibu. Di sini ia mulai galau dan mengalami melankoli itu: post-oedipal. Maka si anak mulai mencari model untuk mengalirkan libidonya, dan ketika ia jatuh cinta pada orang lain, sifat kebayi-an Oedipal nya timbul kembali.

Saya ingin membawa teori klasik ini ke ranah yang lebih luas, bahwasannya tahap post Oedipal bukan hanya berlaku untuk heteroseksual, tapi juga untuk spektrum lain dalam seksualitas. Karena hubungannya tidak semata-mata seks, tapi juga masalah attachment, atau keterikatan, satu individu dengan individu lain. Sebuah ketakutan klasik dalam cara bertahan hidup binatang mamalia: ketakutan akan ditinggalkan (fear of abandonment).

Ketika kita hendak mempertahankan relasi percintaan dengan orang lain di tahap post Oedipal kita, rasa ketakutan ini begitu besar. Kita seperti anak kecil yang mencari ibunya yang hilang. Hilang arah dan orientasi. Hingga ketika kita benar-benar ditinggalkan pasangan kita, rasa itu memuncak dalam sebuah kegamangan bahwa kita sudah dewasa dan harusnya tidak lagi merasa seperti itu. Tapi separuh jiwa kita hilang di kenyataan, tapi begitu nyata adanya di pikiran: sebuah phantom limbs.

Dan ini bukan hanya untuk percintaan dengan kekasih. Bisa juga rasa itu hadir ketika kehilangan sahabat kita, atau orang tua kita, atau siapapun yang berarti banyak di hidup kita. Dari sudut pandang neurosains, diri kita dibentuk oleh trilyunan syaraf yang disebut synapses. Syaraf-syaraf di otak ini tumbuh dan menguat bersama relasi-relasi yang terbentuk dari hubungan kita dengan lingkungan dan orang-orang lain. Dan ketika hubungan itu terputus, synapses kita terganggu dan membuat tubuh berraksi dengan menutup hormon tertentu dan membuka hormon yang lain. Membuat kita menangis sambil menertawai diri sendiri karena di usia ini, kita kembali seperti bayi yang merindukan ibunya yang pergi.

Hormon kebahagiaan tidak diproduksi dengan baik, stress bertambah, agresi keluar untuk menguranginya. Dan ini adalah saat-saat terburuk hidup kita. Kita berusaha untuk tetap membuat relasi-relasi itu ada, dengan mencoba menggapai-gapai orang yang kita cinta tapi tidak lagi bisa mencintai kita. Buat apa? Sampai kapan?

Sampai luka di sinapsis kita sembuh sendiri. Tapi Kierkegaard menemukan, bahwa luka itu akan kita bawa sampai mati. Dia akan terulang kembali dengan relasi-relasi baru yang kita buat dan putus. Tidak akan pernah ada kekebalan itu, sampai syaraf dan hormon kita beradaptasi, atau kita sudah cukup tua untuk jadi fungsional dan mengejar relasi-relasi itu. Hingga di satu titik diri kita berhenti membuat relasi baru.

Kematian adalah penyembuh keputusasaan, akhir dari segala melankolia. Kematian adalah kepastian absolut dari kehidupan. Ia pasti datang, dan selalu bisa dipercepat. Lalu kenapa kita tidak mati saja? Karena masih banyak relasi-relasi lain yang membuat kita tetap hidup. Orang yang bunuh diri, adalah orang yang merasa bahwa kehidupannya akan merusak diri orang lain. Kematian bukanlah hal yang egois, tapi sebuah hal altruistik, untuk memberikan ruang kepada diri-diri lain yang masih sanggup hidup untuk menderita dalam melankolia.

***

Terima kasih sudah membaca sampai habis. Website ini butuh bantuan kamu untuk tetap ada, jika kamu merasa kalau apa yang ditulis di sini ada gunanya, boleh lah kamu traktir saya segelas kopi untuk motivasi. Tekan tombol dibawah ini, duhai kawanku yang baik:

Filsafat, Memoir, Racauan

Hidup Manual Lebih Baik daripada Matic

Pagi ini ada insiden: sebuah mobil Alphard yang kinclong dan baru menabrak tembok kosan saya dengan sangat parah, kecepatan tinggi, hingga bagian depanya hancur, cairan warna hijau keluar dari mobil, dan asap keluar dari mesin. Kejadian ini berlangsung dengan sangat konyol.

Saya hendak mengambil jemuran dari teras lantai dua, ketika saya lihat Alphard mewah sedang mundur untuk putar balik. Saya dengar alarm belakang mobil itu sudah bunyi cepat sampai melengking panjang menandai mobil sudah tidak bisa mundur. Tapi kenapa dia terus mundur saya bingung. Apa dia mabuk? Pelan-pelan bagian belakangnya menabrak tiang listrik sampai bunyinya seperti tulang remuk diremas besi pelan-pelan… “KRKKK… ” Ia baru mengerem. Dan kejadian selanjutnya begitu mengejutkan:

Tiba-tiba saja mobil itu ngegas dengan sangat cepat! Kencang sekali seperti melompat, dan sontak menabrak tembok di depannya. Seorang teman saya yang sedang lari pagi lewat di depan mobil itu bilang, “Takut ketabrak gue. “

Kawan saya berjalan menuju mobil yang mundur pelan-pelan. Bagian depan sebelah kanan hancur total. Asap keluar. Klaksonnya rusak terus berbunyi, membuat tetangga-tetangga pada keluar. Kawan yang hampir tertabrak mengarahkan supir supaya bisa melipir dan membuka jalan. Sambil klakson terus berbunyi, saya lihat supir itu berusaha memasukan balon keselamatan yang pastinya keluar dari setirnya. Ia lalu berkata keras-keras kepada semua orang yang berkumpul: “Gasnya terjepit sandal saya! ” Sulit dipercaya, dia panik karena bagian belakang menabrak tiang listrik, lalu ganti gigi dan langsung nabrak depan? Tidak masuk akal.

Tak lama setelah itu saya menuju kantor. Saya pikir, mungkin kalau mobil itu manual, kejadiannya tidak mungkin separah itu. Saya ingat Papa saya sangat anti mobil matic, karena hal-hal seperti ini. “Papa takut nggak bisa ngontrol. ” Yes, Pap. Bener juga. Kalo gigi 1, ngebut dikit lepas kopling pasti mati. Dan kalo kaki kanan kejepit, kaki kiri masih terbiasa injak rem. Tiba-tiba dalam 15 menit menuju kantor, saya berpikir soal hidup. Seperti lagi Drive oleh Incubus.

Tubuh kita tak lebih dari mesin biologis. Dan kita bisa belajar dari mesin, untuk memperpanjang waktu hidup kita dengan berkualitas. Tiap pagi dipanaskan, baru mulai bekerja. Jadi bangun tidur, jangan langsung kerja. Pemanasan dulu, relaksasi, baru… Tidur lagi… Maksud saya mandi lalu bekerja.

Seandainya jarak tempuh adalah pekerjaan dan tujuan adalah cita-cita, maka perjalanan kita dimulai dengan doa, dan digapai sedikit-sedikit saja sesuai kemampuan mesin kita. Setelah dipanaskan, kita mulai perjalanan kita.

Gigi 1, perhatikan rpm. Jangan ganti gigi sebelum rpm sampai ke angka 3 atau 4. Lambat memang, tapi tidak perlu juga ngesot dan drifting di awal-awal. Biarkan kita rasakan jalanan, ingat kapan ada polisi tidur, tanjakan, dan belokan.

Jangan lupa rem dan lihat kiri-kanan sebelum berbelok. Tujuan kita tidak pernah lurus, tapi sembarangan belok bisa berakibat fatal buat kita dan orang lain. Karena di luar sana selalu ada orang yang mulai lebih dulu dari kita dan bisa jadi sudah cepat. Menghalangi jalannya akan membuat kita ditabrak. Terdengar sederhana, tetapi sebenarnya sulit. Sulit untuk mengalah, apalagi kalau orang yang sudah ngebut itu slebor entah karena pengen cepat sampai karena mules, atau memang gila saja.

Tapi tak guna toh menyalahkan orang lain. Biarkan saja ia lewat seperti semua pikiran buruk dan pikiran jahat yang ada di belakang pikiran kita. Biarkan anjing-anjing menggonggong, gerombolan hyena lewat mengejar gerombolan rusa. Toh kita tidak sedang ikut berburu. Baru kita lanjutkan perjalanan, ketika sudah ada ruang buat kita. Sabarlah, ruang akan terbentuk. Dari kita lahir, kita toh sudah menyeruak keluar dari rahim dan menyerusuk masuk ke dunia.

Gigi 2. Cepat sedikit. Kasihan yang di belakang, tapi perhatikan di depan. Jika ramai, pertahankan gigi dua dan satu. Tidak guna gigi tiga jika kita harus berguncang-guncang di dalam. Ketenangan adalah tujuan utamanya. Usahakan ketika mengganti gigi, tidak terasa persneling kita pindah. Santai, sabar, injak kopling perlahan ketika kecepatan sudah stabil. Depan ada ruang, pindah gigi

Gigi 3. Percepat. Kasihan mereka yang di belakang kita sulit mengejar. Tapi jalan kota jakarta non-tol tidak begitu butuh gigi 4, santai saja di gigi 3. Kopling bisa mulai dilepas sampai lalu lintas mulai padat lagi. Jalan kecil berkelok-kelok juga tidak butuh gigi 4. Kita justru harus banyak rem, dan turun gigi. Hidup sesuai konteks. Tidak ada gunanya kebut-kebutan di jalan kecil lalulintas ramai.

Masuk jalan tol. Padat tapi tidak merayap. Naik gigi 4. Minimal 40 km/jam. Tingkatkan kecepatan ketika jarak sudah aman, 60 km. Jalanan mulai sepi dan panjang. Kecepatan 75. Pindah gigi.

Gigi 5, kecepatan stabil di 80 menuju 100, ambil lajur tengah menuju kanan untuk menyalip. Usahakan tidak lebih dari 100. Usahakan di tengah saja, tidak ambil kanan terus. Jangan melanggar aturan. Jangan menyalip dari kiri. Tapi kadang kita bisa bersnang-senang.

Jalanan lurus. Kosong. Sekali-sekali coba 120 km/jam, dengan kepercayaan mobil terawat baik. Power steering bagus. Rem bagus. Sebentar saja lalu kau lihat lengkungan jalan, lepas gas pelan-pelan, turunkan kecepatan. Menuju gerbang keluar tol, kembali ke gigi 4. 3. 2. 1. Netral. Berhenti. Bayar tol. Keluar dan kembali menanjak pelan-pelan. Masuk kembali ke kota. Kalem lagi.

Sampai di tempat tujuan. Gigi 1. Parkir reverse dengan berbagai macam tips dan trik spion dan manuver. Dengarkan alarm belakang jika ada. Perhatikan spion kiri-kanan dan dalam. Hingga semua baik-baik saja. Posisi gigi netral. Tarik rem tangan. Kamu sampai ke tujuan. Istirahat lalu kerja.

Kopling, gigi, menjaga tetap aman menjaga kecepatan dan kontrol. Kontrol yang didapat susah payah dengan mati-mati mesin, loncat-loncat, dan tabrak menabrak, serempet menyerempet. Paling tidak kalau kaki tersangkut gas, tapi gigi 1, kecepatan cuma di bawah 20 Km/jam. Bayangkan jika gas terinjak dan kaki terjebak sandal di mobil matic. Kaki kiri tidak biasa bekerja, rem tidak bisa ditekan, rem tangan pun dilupakan. Maka bisa jadi hidup kita akan berakhir buruk dengan sangat konyol. Seperti mobil Alphard pagi ini di depan kosan saya.

English, Memoir, Racauan

Dysphoria #1: Self-made Hell

This is a work fiction. All resemblance with the reality is on purpose. Explicit content.

It is obvious that my loneliness is the main cause of all these fuss, unfaithfulness, the distorted feeling of entitlement. It is my most deceptive defensive mechanism–that the truth, in itself, is self destructing. I am alienating people in order to alienate myself from the hell that they construct.

Creating my own hell, is better than living somebody else’s heaven.

Thus, I hurt myself again, just to find a way to make me forget that I am lonely. I hurt myself with bulimia, with days of sleep, with obsessive scratching, cutting, and obsessive exercise when the manic came, sleepless nights, and after that I still want to punch any guy, or fuck any girl that I think deserve my fist or my dick. I am all open to fight or fuck because I’m sick of flight.

And I’d desperately love anybody who wants to love me. And I’d burn myself, sacrifice myself, ready to be crucify like Jesus H. Christ, and I’d beg people not to leave me until they’d got annoyed and see me as a freak and they need to leave me to stay sane because I’d drive them crazy, so I’d drive my car. I’d drive and drink myself hope to die on the road, hopefully with other assholes that swarming the highways of this city.

And all of it would be my fault. Nobody can blame or even care about my disorder, my upbringing, the system that I am in. I and only I, will be held responsible for all this mess that’s happening with my life and other people that I dragged.

The fucking shrink might say that this thought is cognitive distortion, self entitlement, but fuck you, the court, the people’s court cannot hold my disorder, my upbringing responsible for my actions. They cannot put those abstract nouns in jail, they could not rehabilitate my illness. It is I and only I, will be held responsible for my actions.

And what else should I do but to embrace what the universe has given me? I have eliminate the choice to take my own life because of the meds or because I’m a fucking coward. Anyway, I have no choice but struggle against a sea of trouble and by opposing hope to end them. Even though I know, that I will lose and drown and will face inevitable slow death. But at least I did fight back and refuse to flight.

At least I did good, at being brave. To open my eyes every day, and trying hard to get out of bed and go out to the world. To fight or to fuck. And if I have to lose love again, I think it’s just because I don’t deserve love. I am condemn to beg. For mercy, for love, for attention, only to toss it all out, when I feel lonely.

Because of this distorted feelings and thought, that I’d rather be alone, than be lonely. And the only way to be out of the misery of loneliness, is to break all ties and be perfectly alone to face the misery of the ubermench, the homo deus. Until there is no happines or misery any more, until there is no value in the narrative of my life.

It is when I became forgetful, mad, or die.

Sickness unto death.

This site is run by donation. If you like what you read, please be a patron at by clicking this link.

English, Memoir, Politik, Racauan

Three Type of Clients that You Should Avoid

WARNING!! EXPLICIT CONTENT!!

Doing business is harder during these pandemic time, everybody knows that. But how many of you did not get paid after such a hard work?

After down payment, after production, the final installment never arrived because the client think your performance is not good enough. And to file a lawsuit is logically contra-productive because lawyers, as Toby the devil said, belong to hell.

I never had those problems before the pandemic. But during this pandemic, with social distancing and zoom meetings which make communication harder, with work from home that forces me and my colleagues to work extra hours, losing our privacy, the amount of unpaid installment is high. During this pandemic, I’ve got three out of 12 partners or clients who refuse to pay final installment. So I’ve got to prepare an error fund in case these things happens, because I don’t want my employee to be unpaid especially in the situation that makes money as scarce as a real match on tinder.

And my ego is so freaking annoying because some of those missing installment is because I failed to praise the client/partner for their stupidity, and end up saying, like Soekarno to the USA during the cold War, “Fuck you and go to hell with your money. ” I should’ve learn from Soekarno that that attitude won’t make the USA went to hell. But it sure made Indonesia got into financial crisis and Soekarno got coup. Damn it you handsome feudalistic polyglotic polygamous polyamorous ultra masculine narcistic nationalistic first president! I should only read your political thinking and not the way you do business.

Anyway, the damages are already done. So I am thinking of making some sort of contigency plan in case stuff like this happens again in the future. If I can’t file a lawsuit, at least I can make a blacklist of clients that has a big possibility to not paying me. These are those clients:

This site runs on donation. If you like what you read, please donate to bit.ly/traktirnosa

Be my patron.

1. The Authoritarian Client


Instead of going to my office, they want me to move my whole office to their office so they can watch me work. I’ve got three projects going on simultaneously and I can’t afford to lose the other two for this one who came at me with orders as if I went to the same shitty academy like they were. Hey, I’m with George Floyd you mothafucker. And Epstein did not kill himself! Here is a song for you, you shirtless leech, sucker.

2. The Old Friend in Need


Fuck you dude. We’ve been working together for so long and I can’t believe you bail out when paying the final installment. I gave you a very low price that made me got almost nothing, and poof you gone like the current president son to his girlfriend, so I have to pay so many stuff. I know Placebo sang, “A friend in need a friend indeed,” BUT “a friend with weed is better. ” You ain’t got no weed, you made my wallet bleed.

And a “fee for friend” Should be way higher than a fee for stranger. Please don’t use that “fee for friend” proposal again.

3. The Cheaper Please Client


Here is the truth: the cheaper the client, the harder it is to satisfy them. This one client paid 5 Mills and I gave them two of my best students to make them an instagram ad for middle lower class audience.

Cheaper client tends to be cocky as if they know production. They want to cut the cost by asking to make a collaboration with their untrained team. Its going to be the deepest shithole in the worst toilet in hell. Nothing worst than a client who knows shit but claim to be an expert. Fuck you, I’ve been doing this for almost 20 goddamn years you fuckers. I only doing your project so my students can prove themself worthy of their skill. And they made you a great ad, from your awful resources you dipshit. But you are not satisfy just because your actors sucks. You were the one who picked them. Go to hell with your petite production money, fuckers.

So be very careful with those kind of clients. You have the rights to blacklist your clients.