Malam ini aku akan bicara tentang sebuah kenyataan bahwa aku sudah tidak lagi banyak pertanyaan tentang kehidupan ini. Umurku hampir 40 tahun dan banyak pepatah dari berbagai macam budaya di dunia ini yang bilang bahwa kehidupan dimulai ketika seorang manusia berumur 40 tahun. Katanya umur 40 itu artinya kita sudah mengalami banyak masalah-masalah baik kehidupan percintaan kematian dan segala hal yang membuat kita menjadi utuh sebagai seorang manusia. tiga tahun lagi umurku 40 dan mungkin ada benarnya ketika aku merasakan tubuhku dan emosiku kini jauh lebih stabil daripada sekitar 3-4 tahun yang lalu. Aku tidak lagi banyak pertanyaan, dan aku juga tidak lagi banyak keinginan-keinginan macam-macam untuk menjelajahi kehidupan. Aku cuma ingin mengerjakan sesuatu yang aku rasa aku jago. Aku ingin bekerja dalam menjalankan rencanaku yang sudah kurasa mapan untuk terus kujalankan sampai aku mati nanti.
Pramoedya Ananta Toer bilang bahwa semakin tua seorang manusia akan semakin keras seperti pohon. Mungkin itu yang terjadi padaku, aku semakin keras seperti pohon. Tapi aku merasa bahwa aku cukup fleksibel dan penuh toleransi atas hal-hal yang terjadi hari ini kepada banyak orang, teman-temanku, kekasihku, keluargaku sedang mengalami banyak masalah-masalah yang aku rasa aku pernah mengalami juga. Jadi aku hidup seperti orang bijak yang seakan-akan sudah mengerti banyak hal padahal sebenarnya belum. Walau aku sekarang dalam kondisi di mana aku tidak tahu apa yang belum aku mengerti tentang kehidupan ini.
Beberapa bulan terakhir ini aku merasa bahwa banyak sekali orang yang datang padaku untuk minta nasihat atau minta wejangan seakan-akan aku adalah seorang Pertapa yang sudah lama sekali tinggal di gunung dan punya banyak kebijaksanaan. Padahal aku cuma seorang paruh baya yang punya banyak pengalaman-pengalaman pahit yang sebagian kemungkinan adalah khayalan atau bacaan yang pernah aku baca dan termanifestasi menjadi semacam pengalaman. Walaupun sekarang aku jauh lebih jujur untuk mengaku bahwa aku tidak tahu. Dulu kalau ada orang yang bertanya padaku tentang pendapatku soal masalah kehidupannya, aku akan berusaha untuk menjawabnya dengan sok tahu atau aku akan mencari tahu apa yang bisa kubantu untuk menyelesaikan masalah orang itu. Tapi hari-hari ini Aku merasa apa adanya saja. Kalau aku tidak tahu ya aku bilang tidak tahu dan kalau masalah dia menarik, aku akan cari tahu. Tapi kebanyakan aku tidak ingin cari tahu karena aku juga sudah banyak masalah. Kebanyakan masalahku adalah pekerjaan, percintaan, atau keluarga yang aku sendiri belum menemukan bagaimana cara menyelesaikannya.
Walau kalau boleh sombong, aku bisa bilang bahwa aku tahu bagaimana cara menyelesaikannya Tapi semua itu harus dikerjakan pelan-pelan dan butuh waktu. Aku punya banyak rencana untuk menyelesaikan semua masalah itu, tapi ya, energiku terbatas. Jadi seringkali banyak rencana-rencana yang sudah aku buat dan kujalankan, menjadi mulur dan lama tapi aku sadar bahwa yang membuat aku bisa bertahan adalah sebuah pengertian bahwa hidup ini tidak harus sempurna. Aku hanya perlu untuk tahu kapan waktunya berhenti dan istirahat. Dan aku tidak akan mau lagi meneruskan sebuah pekerjaan atau rencana yang tidak realistis untuk dilakukan ketika tubuhku meminta aku untuk berhenti, atau otakku, atau jiwaku merasa bahwa ini terlalu berat. Walau begitu aku cukup puas dengan hasil kerjaku beberapa bulan terakhir ini. Bahwasanya terlepas dari kemanjaan tubuh dan psikologiku, aku masih cukup produktif.
Walaupun produktivitasku tentunya jauh daripada yang pernah kulakukan ketika aku masih bekerja untuk kantor berita Amerika. Dulu aku bisa mengerjakan 3 sampai 4 video per hari. Hari ini mungkin aku cuma bisa mengerjakan satu atau dua pekerjaan sehari. Makanya penghasilanku juga tidak besar-besar amat. Tapi aku cukup puas sekarang dengan semua kekurangan ini. Ada rasa was-was tentunya karena setiap bulan seperti selalu kurang uang. Kebanggaan karena walaupun kurang tapi aku punya perusahaan, yayasan, murid-murid, dan semua infrastruktur untuk membuat sebuah produk multimedia, video, dan audio.
Jadi sebenarnya kalau dipikir-pikir aku cukup kaya secara sosial, politik, dan finansial. Kaya di sini tentunya beda dengan kaya seperti yang dirasakan oleh banyak kawan-kawan atau saudara-saudaraku yang punya pekerjaan tetap dengan gaji besar. Penghasilanku tidak bisa besar tapi aku berhasil menghidupi orang lain yang lewat dalam kehidupanku. Apakah itu sebuah kebanggaan? Tentunya tidak. Karena orang-orang yang kuhidupi rata-rata seperti aku miskinnya dan bingungnya. Dalam kehidupan paling tidak aku berhasil menyediakan tempat dan waktu untuk mereka sampai mereka bisa berdiri di atas kakinya sendiri, dan bisa hidup dengan lebih layak setelah lepas dari tempatku titik itu yang sangat kuharapkan.
Sementara itu aku? Aku rasa tempatku di sini, di titik antara kaya dan miskin, waras dan gila, mapan dan papa, hidup dan mati. Mungkin banyak orang yang akan melihat bahwa aku seperti merawat kesia-siaan. Banyak juga orang yang akan mencemooh karena ketika teman-teman seusiaku sudah menjadi direktur atau punya posisi di sebuah perusahaan, aku masih menjadi pengusaha kecil menengah yang punya usaha seadanya dan tidak berpenghasilan besar. Ada orang-orang yang kurasa akan menyepelekanku karena uangku habis untuk bikin usaha ini tanpa berpikir panjang tentang keluargaku.
Dalam kondisi ini aku mapan dan tidak mapan, aku menjadi sebuah paradoks yang cukup meragukan untuk banyak orang. Apalagi untuk orang-orang yang berharap aku akan menjadi besar atau sukses lagi seperti dulu. Ada hal yang sebenarnya aku juga sesalkan, ketika aku tidak lagi mampu untuk mengejar apa yang orang inginkan dari aku. Aku sudah tidak ada energi atau keinginan, bahkan aku bisa benci pada orang yang menuntutku menjadi sesuatu yang lain. Aku pernah punya trauma karena aku berhasil mencapai apa yang orang inginkan dari aku, yaitu menjadi laki-laki yang berdigdaya, cukup kaya, mapan–dan di situ aku merasa pelan-pelan tidak punya diri dan akhirnya aku menjadi gila. Aku tidak mau lagi hidup untuk memberikan kepuasan kepada orang lain, kepuasan yang dia inginkan, tapi tidak dia butuhkan. Aku cuma akan membantu mereka yang butuh, bukan mereka yang ingin. Dan di situlah aku akan menemukan diriku sendiri sebagai orang yang punya fungsi dan apa adanya saja.
Ini semua adalah sebuah kesimpulan yang aku ambil setelah aku berhenti memakai obat-obatan untuk merawat penyakit mental yang kuderita aku merasa terapi nafas, CBT, dan segala macam terapi tulis sudah membantu aku untuk menjadi seorang laki-laki, kakak, anak, kekasih, mantan suami yang fungsional. Fungsional dalam arti aku tidak merepotkan orang lain. Walaupun aku tidak bisa lebih banyak berkontribusi seperti dulu ketika aku masih punya cukup uang dan pekerjaan tetap, tapi hari ini aku merasa jauh lebih baik. Aku merasa lebih stabil secara mental dan spiritual, aku merasa independen secara finansial walau aku tidak bisa menanggung orang lain selain diriku sendiri.
Walau jika kita memakai pikiran konservatif, apa yang kulakukan seperti melihat semut di pulau lain tapi gajah di pelupuk mata tidak kelihatan. Bawa aku mampu untuk menyekolahkan orang di Jawa tengah tapi aku tidak mampu untuk membuat Mama dan adikku hidup lebih layak. Tapi dari dulu aku merasa lebih mudah menghidupi orang lain daripada menghidupi diriku sendiri. Aku lebih mudah menjual barang orang daripada barangku sendiri. Aku lebih mudah untuk membantu orang lain daripada membantu diriku sendiri. Aku heran kenapa bisa begitu.
Mungkin ini takdir, atau bakat atau apapun itulah. Tapi ya, kurasa aku harus terima saja apa yang sudah terjadi dan yang akan terjadi. Bahwasanya semua ini tidak dibangun begitu saja, karena aku juga yang memilih setiap jengkal hidupku untuk menjadi aku yang sekarang ini ada. Segala kegagalan, segala sakit hati, segala kebahagiaan dan kebencian adalah pengalaman-pengalaman yang membuat aku menjadi aku. Maka baiknya aku sudahi saja tulisan ini karena sepertinya aku akan berkembang selayaknya pohon yang keras yang tumbuh menuju matahari dan tidak bisa lagi untuk berkelok-kelok bercabang-cabang. Aku harap aku bisa terbang seperti Ikarus menuju matahari sampai akhirnya aku terbakar lalu mati.
Semua dosa masa lalu kamu seperti selingkuh, kabur dari tanggung jawab, atau apapun yang bikin kamu “jahat”, nggak bisa kamu lempar ke penyakit mentalmu (PM), walau PM kamu bisa jadi bahan pertimbangan persidangan dan hukuman, konsekuensi tetap ada. Seorang ibu yang menggorok leher anaknya, terlebih dahulu akan menghadapi konsekuensi hukum, lalu jika terbukti sakit jiwa ia akan diinstitusikan entah untuk berapa lama, dan ketika sudah bisa fungsional ia akan dikembalikan ke masyarakat untuk menghadapi konsekuensi sosial dari tindakannya–itu kalau ia tidak diasingkan, yang mana kemungkinan ia akan diasingkan.
Apalagi kalau kamu kaum minoritas dengan disabilitas psikososial, bukan berarti kamu harus diistimewakan. Saya kenal seorang gay yang juga aktivis, terkena bipolar dan positif HIV, dan dia adalah salah seorang role model saya. Dia bekerja dengan penuh passion, membantu banyak orang, dan di saat yang sama berusaha bertahan hidup. Dia tidak minta diistimewakan, dan berusaha membuat LGBT menjadi sesuatu yang biasa saja, yang bisa diterima oleh masyarakat dan semua orang sebagai bagian dari mereka. Itu perjuangan besarnya, sementara penyakit mental dan fisik, jadi selingan saja. Dari dia saya belajar arti hidup. Minoritas harus bikin dunia yang ideal buat dia, yang mana jadi minoritas adalah biasa aja, bukan diglorifikasi, tapi diperjuangkan.
Tahu soal penyakit mentalmu artinya kamu belajar, berobat, dan terapi untuk mengenal dirimu sendiri dan tahu batas-batasmu sebagai manusia, tahu red flag-mu, jadi kamu bisa mencegah nyusahin orang dan nggak mengulang kesalahanmu sebelumnya. Jadi nggak bisa kamu bilang bahwa tindakanmu itu murni disebabkan penyakit mentalmu. Tindakan seperti usaha bunuh diri, atau menyakiti kawan dengan kata-kata kasar karena kamu meledak, adalah pilihanmu sendiri yang disebabkan oleh pengalaman sosial, politik dan, ini yang penting, biologis-mu. Tetap saja semua salahmu. Terima itu, evaluasi diri, jangan diulangi. Jangan minta dimengerti kalau kamu sudah menyakiti orang lain. Menyakiti orang lain itu SALAH. Titik.
Jangan minta diistimewakan, dan menyalahkan dunia dan orang lain yang nggak ngertiin kamu. Kamu harus ngerti diri sendiri dulu, dan menjelaskan kondisimu kepada orang lain BUKAN supaya kamu jadi istimewa, tapi supaya orang yang kerja sama kamu gak kamu tipu. Ini masalah konsensualitas. Jangan bilang kamu bisa terima pekerjaan dengan tekanan besar, jam kerja panjang, padahal kamu sendiri pernah melakukan itu dan kumat dengan cara manic (ngamuk-ngamuk) atau depresi (dengan ghosting dan kabur begitu saja, ninggalin tanggung jawab). Atur manicmu, supaya nggak depresi. Peka lah dengan diri dan lingkunganmu, belajar, evaluasi, eksekusi, evaluasi lagi, belajar lagi.
Sebelom bikin project bareng, orang yang kerja sama kamu harus tahu batas-batasmu jadi bisa kerja bareng dengan fair. Kamu juga harus konsisten dengan persyaratan yang kamu bikin sendiri di awal. Kalau dari awal kamu sudah kasih tahu dia bahwa kamu bipolar, atau sedang berusaha mengatasi depresi, dan dia orang yang terbuka pikirannya untuk bersama kamu mengatur waktu dan beban kerja yang ideal buatmu, kerja lah dengan konsisten, komitmen tinggi terhadap waktu kerja dan tentunya waktu istirahat. Pastikan juga ketika gejalamu mulai keluar, tersedia support system yang bisa bantu kamu. Bukan kamu diistimewakan, tapi bagian dari rencana seandainya kamu butuh break. Kerja adalah teamwork, bangun management team yang baik dan manusiawi.
Dan relakanlah kalau sebuah project nggak bisa kerja dengan orang kayak kamu. Kalian belom jodoh aja, ga usah sakit hati atau ngotot–itu distorsi kognitif yang harus kamu hindari. Nggak semua orang harus kamu puaskan, dan kamu bukan pusat dunia. Asalkan kamu bisa belajar bicara dengan santun, sopan, terstruktur, maka hubungan bisa terjaga. Itu yang terpenting, berusaha untuk menjaga hubungan tetap baik dan adil. Saya tahu ini bukan hal mudah. Saya penderita bipolar 1 yang berjuang untuk jadi fungsional, sejak awal 2019. Dan setelah obat dan terapi bertahun-tahun saya masih juga belajar menerima kesalahan, memperbaikinya, meminta maaf.
Tapi saya memohon untuk tidak diistimewakan, ketika manic saya banyak ide dan sebelom mulai project saya sudah minta tolong dikontrol ide-ide saya. Dan saya membiasakan untuk ragu dan objektif kalau ide yg saya ajukan tenyata buruk. Saya minta tolong pada support system saya untuk mendukung fungsionalitas saya dengan jadi kritis pada saya, mengingatkan saya ketika red flag tidak saya sadari.
Ketika depresi saya melambat tapi semua pekerjaan bisa selesai. Ada cara terapi saya untuk “merobot”, yang penting deliver dengan hasil yang baik dan TIDAK HARUS SEMPURNA. Jangan kerja sama saya kalau maunya kesempurnaan. Dan tanpa kesempurnaan pun, kualitas kerja saya sejauh ini tidak berkurang. Ada standard yang selalu bisa saya raih.
Jika lagi bisa, saya membantu kawan-kawan. Tapi jika tidak bisa, saya sudah siap dengan patah hati, atau kecewa, atau berduka. Saya tidak akan menyalahkan diri saya lagi atas hal yang tidak dalam kontrol saya. Setiap orang membawa trauma dan deritanya sendiri-sendiri, dan takdirnya masing-masing yang ditentukan oleh keacakan hormon, pengalaman, dan keputusan orang lain, terlalu ribet untuk otak saya bisa tangkap semua. Yang penting, saya sadar ada ilusi yang menggoda: ilusi bahwa saya adalah pusat semesta, ilusi bahwa saya kuat menanggung semua, ilusi bahwa dunia kompak untuk menekan saya. Kenyataanya, kebahagiaan cuma masalah hormon dan kimia di tubuh.
Kebahagian itu bisa dibuat, dan tak harus dicari apa lagi ditunggu. Penyakit mental itu mekanisme pertahanan kita supaya tahu diri, bukan perisai untuk kita jadi semena-mena. Jangan jadikan sakit mental pembenaran, kekhilafan adalah kesalahan dan kesalahan punya akibat yang harus dibayar.
Terima kasih sudah membaca. Kalau kamu suka yang kamu baca, boleh traktir saya kopi agar bisa membantu saya membayar domain dan hosting blog ini, dan membuat saya merasa tidak sendirian. Bahwa ada yang membaca tulisan saya. Terima kasih.
Mati jadi biasa ya, kawan? Nggak ada waktu untuk berkabung. Karena bertubi-tubi kematian datang, tak sempat kita menarik nafas dan mendorong air mata.
Menangis cuma sebentar, habis itu kita lanjut karena kita pun jarang bisa melihat pemakaman. Semua terlalu sibuk dengan bertahan hidup. Panceklik semua.
Kehilangan sahabat dan saudara jadi biasa. Siapa sangka hari ini kita mengalaminya, dengan kemajuan teknologi dan kesehatan, masalah komunikasi, politik, menghambat jalur data dan aksi nyata. Lalu harus bagaimana?
Saya menolak pasrah. Saya buat konsolidasi dan gerakan lokal patron-pasien. Total sudah 40 orang lebih terbantu. Saya sendiri juga terbantu, karena makna hidup saya jadi terbangun dan terjaga. Gerakan ini masih jalan terus karena virus bermutasi terus. Sementara pemerintah lebih sibuk buka tambang membangun infrastruktur, kita sibuk cari uang, ada varian baru yang mengintai dan beberapa dari kita harus tetap waspada.
Untuk itu saya ucapkan banyak terima kasih kepada sahabat dan handai taulan sekalian. Terima kasih karena telah menjadi orang baik, yang menolak diam. Terima kasih karena kalian bertahan dan maju terus untuk menghadapi kenyataan pahit ini bersama-sama. Langkah kecil kita diikuti banyak orang, dan juga diderivasi menjadi pemecahan untuk banyak masalah lain yang membuntuti pandemi ini selain isoman. Contohnya masalah kesehatan jiwa. Tapi itu untuk hari lain.