Filsafat, Memoir, Racauan

Penyakit Mental Bukan Alasan Untuk Playing Victim

Semua dosa masa lalu kamu seperti selingkuh, kabur dari tanggung jawab, atau apapun yang bikin kamu “jahat”, nggak bisa kamu lempar ke penyakit mentalmu (PM), walau PM kamu bisa jadi bahan pertimbangan persidangan dan hukuman, konsekuensi tetap ada. Seorang ibu yang menggorok leher anaknya, terlebih dahulu akan menghadapi konsekuensi hukum, lalu jika terbukti sakit jiwa ia akan diinstitusikan entah untuk berapa lama, dan ketika sudah bisa fungsional ia akan dikembalikan ke masyarakat untuk menghadapi konsekuensi sosial dari tindakannya–itu kalau ia tidak diasingkan, yang mana kemungkinan ia akan diasingkan.

Photo by Joanne Adela Low on Pexels.com

Apalagi kalau kamu kaum minoritas dengan disabilitas psikososial, bukan berarti kamu harus diistimewakan. Saya kenal seorang gay yang juga aktivis, terkena bipolar dan positif HIV, dan dia adalah salah seorang role model saya. Dia bekerja dengan penuh passion, membantu banyak orang, dan di saat yang sama berusaha bertahan hidup. Dia tidak minta diistimewakan, dan berusaha membuat LGBT menjadi sesuatu yang biasa saja, yang bisa diterima oleh masyarakat dan semua orang sebagai bagian dari mereka. Itu perjuangan besarnya, sementara penyakit mental dan fisik, jadi selingan saja. Dari dia saya belajar arti hidup. Minoritas harus bikin dunia yang ideal buat dia, yang mana jadi minoritas adalah biasa aja, bukan diglorifikasi, tapi diperjuangkan.

Tahu soal penyakit mentalmu artinya kamu belajar, berobat, dan terapi untuk mengenal dirimu sendiri dan tahu batas-batasmu sebagai manusia, tahu red flag-mu, jadi kamu bisa mencegah nyusahin orang dan nggak mengulang kesalahanmu sebelumnya. Jadi nggak bisa kamu bilang bahwa tindakanmu itu murni disebabkan penyakit mentalmu. Tindakan seperti usaha bunuh diri, atau menyakiti kawan dengan kata-kata kasar karena kamu meledak, adalah pilihanmu sendiri yang disebabkan oleh pengalaman sosial, politik dan, ini yang penting, biologis-mu. Tetap saja semua salahmu. Terima itu, evaluasi diri, jangan diulangi. Jangan minta dimengerti kalau kamu sudah menyakiti orang lain. Menyakiti orang lain itu SALAH. Titik.

Jangan minta diistimewakan, dan menyalahkan dunia dan orang lain yang nggak ngertiin kamu. Kamu harus ngerti diri sendiri dulu, dan menjelaskan kondisimu kepada orang lain BUKAN supaya kamu jadi istimewa, tapi supaya orang yang kerja sama kamu gak kamu tipu. Ini masalah konsensualitas. Jangan bilang kamu bisa terima pekerjaan dengan tekanan besar, jam kerja panjang, padahal kamu sendiri pernah melakukan itu dan kumat dengan cara manic (ngamuk-ngamuk) atau depresi (dengan ghosting dan kabur begitu saja, ninggalin tanggung jawab). Atur manicmu, supaya nggak depresi. Peka lah dengan diri dan lingkunganmu, belajar, evaluasi, eksekusi, evaluasi lagi, belajar lagi.

Sebelom bikin project bareng, orang yang kerja sama kamu harus tahu batas-batasmu jadi bisa kerja bareng dengan fair. Kamu juga harus konsisten dengan persyaratan yang kamu bikin sendiri di awal. Kalau dari awal kamu sudah kasih tahu dia bahwa kamu bipolar, atau sedang berusaha mengatasi depresi, dan dia orang yang terbuka pikirannya untuk bersama kamu mengatur waktu dan beban kerja yang ideal buatmu, kerja lah dengan konsisten, komitmen tinggi terhadap waktu kerja dan tentunya waktu istirahat. Pastikan juga ketika gejalamu mulai keluar, tersedia support system yang bisa bantu kamu. Bukan kamu diistimewakan, tapi bagian dari rencana seandainya kamu butuh break. Kerja adalah teamwork, bangun management team yang baik dan manusiawi.

Dan relakanlah kalau sebuah project nggak bisa kerja dengan orang kayak kamu. Kalian belom jodoh aja, ga usah sakit hati atau ngotot–itu distorsi kognitif yang harus kamu hindari. Nggak semua orang harus kamu puaskan, dan kamu bukan pusat dunia. Asalkan kamu bisa belajar bicara dengan santun, sopan, terstruktur, maka hubungan bisa terjaga. Itu yang terpenting, berusaha untuk menjaga hubungan tetap baik dan adil. Saya tahu ini bukan hal mudah. Saya penderita bipolar 1 yang berjuang untuk jadi fungsional, sejak awal 2019. Dan setelah obat dan terapi bertahun-tahun saya masih juga belajar menerima kesalahan, memperbaikinya, meminta maaf.

Tapi saya memohon untuk tidak diistimewakan, ketika manic saya banyak ide dan sebelom mulai project saya sudah minta tolong dikontrol ide-ide saya. Dan saya membiasakan untuk ragu dan objektif kalau ide yg saya ajukan tenyata buruk. Saya minta tolong pada support system saya untuk mendukung fungsionalitas saya dengan jadi kritis pada saya, mengingatkan saya ketika red flag tidak saya sadari.

Ketika depresi saya melambat tapi semua pekerjaan bisa selesai. Ada cara terapi saya untuk “merobot”, yang penting deliver dengan hasil yang baik dan TIDAK HARUS SEMPURNA. Jangan kerja sama saya kalau maunya kesempurnaan. Dan tanpa kesempurnaan pun, kualitas kerja saya sejauh ini tidak berkurang. Ada standard yang selalu bisa saya raih.

Jika lagi bisa, saya membantu kawan-kawan. Tapi jika tidak bisa, saya sudah siap dengan patah hati, atau kecewa, atau berduka. Saya tidak akan menyalahkan diri saya lagi atas hal yang tidak dalam kontrol saya. Setiap orang membawa trauma dan deritanya sendiri-sendiri, dan takdirnya masing-masing yang ditentukan oleh keacakan hormon, pengalaman, dan keputusan orang lain, terlalu ribet untuk otak saya bisa tangkap semua. Yang penting, saya sadar ada ilusi yang menggoda: ilusi bahwa saya adalah pusat semesta, ilusi bahwa saya kuat menanggung semua, ilusi bahwa dunia kompak untuk menekan saya. Kenyataanya, kebahagiaan cuma masalah hormon dan kimia di tubuh.

Kebahagian itu bisa dibuat, dan tak harus dicari apa lagi ditunggu. Penyakit mental itu mekanisme pertahanan kita supaya tahu diri, bukan perisai untuk kita jadi semena-mena. Jangan jadikan sakit mental pembenaran, kekhilafan adalah kesalahan dan kesalahan punya akibat yang harus dibayar.


Terima kasih sudah membaca. Kalau kamu suka yang kamu baca, boleh traktir saya kopi agar bisa membantu saya membayar domain dan hosting blog ini, dan membuat saya merasa tidak sendirian. Bahwa ada yang membaca tulisan saya. Terima kasih.

Filsafat, Racauan

5 Cara Bunuh Diri Paling Etis: Sebuah Suicide Note

Orang bunuh diri ga ada yang etis, apalagi kalau dia punya peran banyak untuk banyak orang. Tapi etis adalah sebuah konsep yang terukur jadi bisa aja oxymoronic, kayak es paling panas atau api paling dingin, atau idiot paling pintar atau jenius paling goblok.

Terus seperti banyak penelitian sosiologi, orang bunuh diri itu lebih sering karena kesadaran sosial yang menimbulkan penyakit mental berupa depresi dan distorsi kognitif, dalam konteks spesifik. Misalnya, dia sadar dia jadi beban banyak orang, makanya mau mati. Dalam konteks lain seperti penyakit kronis hal ini tidak berlaku. Mati bunuh diri karena penyakit kronis jelas bisa dibenarkan. Tapi kalau hutang, patah hati, atau krisis eksistensial, itu jelas penyakit mental, bukan penyakit kronis. Orang berpenyakit mental sedapat mungkin dilarang bunuh diri karena itu bukan kesadaran asli mereka. Dalam bahasa filsuf eksistensial Jean Paul Sartre, kesadaran mereka “palsu,” dipengaruhi oleh ideological state apparatus, hormon, dan syaraf yang sengklek.

Umpamakan ada orang dengan kesadaran penuh, minim penyakit fisik atau mental, mau mati; kita pasti bertanya-tanya kenapa dia mau mati? Apa masalah hidupnya? Well, itu urusan dia dan pertanyaan itu urusan kita yang bisa bikin kita gentayangan setelah mati. Tapi mari kita umpamakan ada orang semacam itu, bagaimana cara ia bunuh diri biar etis? Biar kerusakan yang ia hasilkan nggak gede-gede amat? Ini lima cara paling masuk akal buat bunuh diri yang bisa kamu pake kalau kamu mau. Saya lagi pake cara ke lima, jadi tulisan ini bisa jadi surat bunuh diri saya. Sabar ya, bacanya.

1. Bunuh Emosimu

Kalau kamu banyak hutang, patah hati, dendam atau benci sama orang atau diri sendiri, masih punya perasaan jijik atau muak, baiknya kamu selesaikan dulu semua itu. Bunuh diri butuh keyakinan, dan kalau kamu nggak yakin, kamu bisa gagal mati, ragu-ragu. Bisa-bisa kamu kayak sapi kurban yang disembelih setengah-setengah, jadi masih lari-lari dengan kepala oglek-oglek dan darah muncrat ke baju baru bocah-bocah lebaran. Pastikan perasaan kamu sudah netral, kamu udah ga cinta atau benci sama dunia dan orang lain. Emosimu harus mati dulu. Jangan lanjut kalau belom.

2. Bunuh eksistensi sosialmu

Kata filsuf Kierkegaard, diri itu adalah relasi-relasi di dalam diri dan di luar diri, jadi kamu adalah pemalas kalau yang kamu bunuh cuma fisikmu aja. Bunuh semua diri kamu dong! Bunuh relasimu!

Kamu salah kalau sampai berpikir membunuh relasimu dengan orang lain artinya membuat orang lain benci padamu, atau kamu jadi bajingan dan dimusuhi masyarakat. Kebencian cuma akan memperkuat relasimu dengan orang lain, karena kamu bisa jadi terkenal ketika orang benci kamu. Kunci dari membunuh relasimu adalah, “menghilang secara sosial secara perlahan-lahan.” Caranya bagaimana?

Buat orang-orang percaya sama kamu, bahwa kamu akan baik-baik saja, dan mereka akan baik-baik saja tanpa kamu. Buat mereka biasa aja ketika kamu nggak ada, hingga ketika kamu bener-bener nggak ada, yah… Gak ada yang nyari kamu. Nggak ada yang sadar atau kaget, ketika kamu ga muncul-muncul. Intinya, semua orang yang kamu kenal ini harus jadi independen, kuat, berdigdaya, dan lebih keren dari kamu. Jadi, kalaupun ada pertanyaan kamu dimana, paling selalu ada yang jawab, “Dia mah orangnya begitu. ” Di situ eksistensi sosialmu hilang dan kamu nggak diomongin siapa-siapa.

3. Matilah dalam kesadaran penuh

Pilihan bebas itu perlu banyak syarat, salah satu syaratnya adalah konsensualitas, harus tahu implikasi dan sebab akibatnya. Jangan mabok terus mati, itu bukan bunuh diri, itu kecelakaan atau mati konyol. Pastikan kamu sober. Pastikan juga semua rasa terasa dan kamu ga mati rasa secara fisik dan mental. Karena kalau mati rasa, kamu tidak membunuh dirimu, kamu cuma membunuh mayat hidup saja. Curang itu.

4. Pastikan badanmu nyaman

Seperti terpidana mati yang bisa request macam-macam, pastikan makan kamu enak, minum enak, ML enak. Puas-puasin dirimu dengan keduniaan yang nggak bakal kamu dapet lagi kalau kamu mati. Hal-hal bahagia yang sederhana. Jalan-jalan, jalan sama anjing.

Lihat kembali di bucket list apa yang belum pernah kamu lakukan. Apa kamu terlalu jelek untuk punya pacar biar bisa selingkuh? Pilihanmu dua: bikin kamu jadi ganteng, atau cari orang-orang yang lebih jelek dari kamu untuk kamu pacari, dan yang lebih jelek lagi untuk kamu selingkuhi. Anyway, memang seks itu enak, tapi pernah nggak kamu nyimeng bareng temen dan musuh deket? Seks memang enak, tapi pernah nggak kamu makan kue tamblek mama saya? Nggak tahu kan kamu apa itu kue tamblek? Cobain dulu sebelom mati ya.

5. Cara mati paling lama dan menyakitkan

Metode ini saya temukan bersama sahabat saya Ervin Ruhlelana. Cara mati paling panjang dan sakit, dimana kita makan racun tiap hari, menghirup udara beracun, minum minuman beracun, ada di hubungan beracun, bahagia, patah hati, diulang terus menerus. Tragedi demi tragedi mengikis kita, menyiksa diri terus menerus dengan kesakitan dan kenikmatan. Cara mati paling sadis, lama, dan etis adalah: hidup.

Berani?

***

Kalau kamu berani, seperti saya, mungkin saatnya kamu membantu saya untuk mati secara etis dengan mempertahankan sebuah kesakitan nikmat bernama menulis. Traktir saya kopi dengan menekan tombol dibawah ini atau dengan kirim gopay ke saya… Smooth kan? I should’ve have tinder. Hehehe.

Filsafat, Memoir, Racauan

Saran Orang Depresi buat Mereka Yang Ingin Membantu

Beware, google is a bad therapist,” kata seorang shaman-intelektual yang kupercayai dengan hidupku. Tapi toh aku tetap ikuti lebih dari 4 tes depresi/anxiety dari google search dan mendapatkan hasil yang konsisten: moderate to severe depression, seek help.

Tenang saja Mbah google, aku sudah punya banyak bantuan yang kubutuhkan, aku akan baik-baik saja dalam hidup atau mati (mati yang baik: tanpa penyesalan dan nggak gentayangan). Aku mungkin sudah beberapa kali depresi, tapi ini mungkin yang terparah–faktor “U”, fleksibilitas sembuhnya jadi kaku. Cuma aku harus ngomong sesuatu pada kawan-kawan/saudara-saudara yang berusaha jadi pahlawanku: jangan. Jangan jadi pahlawanku. Aku anti-idol.

Image result for crying idol gif

***

Sesama penderita depresi, akan mengerti maksud Ketika aku depresi, kau bisa menasihati apa saja padaku, tapi tidak akan banyak pengaruhnya. Kalau kau ceritakan tentang perbandingan penderitaanmu–yang mungkin jauh lebih parah, tapi toh kau masih punya kontrol hingga tak depresi, jadi merasa bisa membantuku–yang aku pikirkan bukan penderitaanmu dan kesuksesanmu melewatinya, tapi aku jadi antipati padamu karena toh aku bukan kau dan masalah kita berbeda–plus kemungkinan ada banyak masalah lain di pikiranku yang kau tak tahu yang mungkin lebih parah daripada masalah yang kau ceritakan padaku.

Kau bisa menasihati untuk mencari kiai, psikolog, atau bantuan lain, tapi egoku akan menolaknya karena banyak pertimbangan. Aku agnostik sejati, Tuhan bisa membantu atau menghukumku secara acak tak ada sebab akibat logis dan aku akan terima itu. Penolakkanku juga bisa karena ideologis, bisa karena uangnya tak ada dan kalaupun ada tak rela dihabiskan untuk mengobrol dengan psikolog yang ‘pura-pura’ jadi temanku, atau sesederhana aku tak mau saja karena… well, aku sedang depresi.

Kau bisa mengajakku mengobrol tentang hal lain, tentang masalah orang lain, tentang kisah-kisah lucu, atau memori-memori untuk membuat fokusku pindah. Ini sering berhasil, tapi ketika depresi adalah prosesku untuk mencari pemecahan-pemecahan masalah, maka kau hanya akan mengganggu fokusku. Lebih baik aku tak dekat-dekat kau.

Kau bisa, dengan pengalaman dan kecerdasanmu, memberikan solusi-solusi atas masalah-masalah yang menjadi sumber depresiku; bahkan kau bisa memberikan argumen logis bahwa kenyataannya, masalahku sudah ketemu pemecahannya dan aku harus melaksanakan solusi itu perlahan-lahan, tidak terbawa pikiran dan tersesat kesedihan. Tapi toh, selesainya masalah-masalah terukur seperti finansial, asmara, keluarga, pertemanan, sosial, dan profesional kemungkinan besar tidak bisa menyelesaikan depresiku karena kompleksitas pikiranku. Di ruang-ruang tersembunyi setan itu bersembunyi dan menghantui, mengganggu tidur dan istirahatku, dan menutup pintu hatiku pada dirimu.

Kau bisa menawarkan padaku berbagai macam pelarian yang bikin kecanduan: agama, narkoba atau antidepressan resep dokter, minuman keras, olah raga, kerja, seks bebas, atau segala hal yang banal untuk menghabiskan uang dan tenaga secara percuma. Kepercumaan yang mahal hanya supaya tubuh kehabisan tenaga untuk ikut akal yang depresi. Kepercumaan yang bisa berakhir dengan radikalisme, penjara, kecelakaan lalu lintas, sakit jantung/stroke/liver/OD, rusaknya rumah tangga, atau kemiskinan, supaya aku bisa tetap berfungsi dengan baik secara sosial dan dianggap normal untuk beberapa waktu. Tapi tidak ada kecanduan yang baik. Kecanduan adalah amplifikasi kenikmatan yang tinggal sedikit, supaya banyak, tapi seperti hutang dengan rentenir: berbunga-bunga dan ketika aku tak bisa bayar, semua orang akan ikut menanggungnya, bukan cuma aku.

Ketika segala yang bisa kau lakukan tak mampu menyembuhkanku, dan aku berakhir gila atau mati (entah bunuh diri, entah kecelakaan, atau kematian tak wajar lainnya), kau bisa menyalahkan diri sendiri atas ketidakmampuanmu merawatku, atau kau bisa menyalahkan aku karena begitu egoisnya merepotkanmu dan banyak orang. Yang pertama, menyalahkan dirimu, bisa membuatmu depresi; yang kedua bisa membuatmu membenci orang gila/mati, dendam kesumat, menganggapku tidak bersyukur karena dengan segala kemampuanku, segala rizkiku, aku memilih gila atau mati. Kau tidak akan mau mendengar alasanku–mau itu altruistik demi kau dan peradaban, mau itu egoistik, atau spiritualistik, kau akan menanggapku jahat. Maka di kitab-kitab suci, orang bunuh diri punya tempat khusus di antara akhirat dan kehidupan, kaum precariat yang tersiksa abadi. Sebesar itulah kebencianmu nanti padaku atas kegagalanmu mencegah kegagalanku. Sampai akhirnya kau ikut depresi dan mati bersamaku, atau kau membangun egomu lagi, melanjutkan hidup, dan melupakan bagian buruk dari hidupku yang membuat hidupmu ikut buruk.

Image result for suicide gif

Lalu apa yang harusnya kau lakukan ketika aku depresi? Diam? Menemani sambil mendengar? Melayani dan memanjakanku seakan-akan aku sapi wagyu yang akan disembelih? Memusuhiku untuk mencegah kau ikut depresi? Mempercayai tindakanku yang tidak masuk akal? Memaksaku ke psikolog/RSJ untuk ditahan dan dirawat sebelum aku menyakiti diriku sendiri dan orang lain?

Saranku yang sedang depresi ini padamu yang merasa sedang sehat, kau berusahalah jadi orang yang berbahagia dan ceritakan kebahagiaanmu padaku. Jadilah orang ambisius, dan ceritakan perjuangan yang sedang kau lakukan, impianmu, rencanamu meraihnya. Buatkan aku harapan bahwa dunia itu baik, positif, dan umat manusia takkan bunuh diri dengan kebodohan dan depresinya. Buat aku yang sedang depresi ini punya peran dalam perjuanganmu–minimal sebagai pendengar lebih baik kalau ada proyek bareng. Jangan pikirkan depresiku, dengarkan saja ceritaku–itu cukup membantu asal kau tidak terbawa. Buat hal-hal seru denganku. Gunakan aku sampai aku mati, entah dalam waktu dekat, atau dalam waktu yang masih lama. Siapa tahu, kau yang bahagia mati duluan kan, lalu kalau aku masih depresi aku akan menyusulmu dengan bahagia pula, atau kalau aku sehat aku akan melanjutkan perjuanganmu.

Jangan ikut depresi. Jadilah keren, bantu dirimu sendiri maka kau akan membantuku. Seperti apapun akhirnya nanti.

Image result for anthony bourdain gif

Filsafat, Memoir, Racauan

Menjadi Ada Adalah Menjadi Bahagia

 

oscar-fingal-oflahertie-wills-wilde-3-011
Sumber Gambar: Art.zeflin.com

Oscar Wilde punya kata-kata yang sekarang jadi klise, “Hal yang lebih buruk daripada diomongin orang adalah tidak diomongin sama sekali.” Semua orang saya yakin punya perasaan ketakutan itu: ketakutan tidak diomongin sama sekali, ketakutan dianggap tidak ada. Bahkan mereka yang inginnya tidak diperhatikan dan bersembunyi dalam ke ‘biasa’ annya, sebenarnya juga takut kok tiba-tiba menghilang.

Ada seorang murid saya bernama Gammamoto yang membuat film berjudul Transparan. Ceritanya tentang maling yang ke dukun dan mendapat celana dalam ajaib yang bisa membuatnya transparan, asalkan ia tidak bersuara selama memakai celana dalam itu. Dukunnya bilang, akibatnya sangat gawat, jika pantangan itu dilanggar. Lalu Dengan celana dalam ajaib itu, ia mencuri uang di Koperasi. Ia berbahagia karena berhasil. Ia menciumi uang itu dan ia bersin. Akibatnya kalau ia bersuara adalah: ia akan menghilang selama-lamanya.

Maka komedi paling gelap dari cerita itu adalah, si maling hilang dari keberadaan, tapi punya kesadaran bahwa ia telah hilang. Ia terikat oleh kesadaran soal dunia yang tidak lagi melihat, merasakan keberadaanya. Dunia yang tidak bisa lagi ia raih atau ia ubah. Itulah yang paling menakutkan dari menghilang. Bayangkan keadaan lumpuh total seperti itu, tanpa tubuh, tanpa kemampuan untuk menggerakan apapun, menyuarakan apapun. Ada untuk diri sendiri, tapi tidak ada untuk yang lain–ini persoalan fenomenologi yang berat.

Percaya tak percaya, saya punya beberapa kawan yang benar-benar merasa tak kasat mata seperti si maling. Bahwasannya orang tidak peduli pada keberadaan mereka dan mereka pun berusaha untuk tidak peduli pada keadaan orang. Ada semacam insecurity yang sangat parah yang menghantui, seakan setiap karya, tulisan, seni atau perkataan mereka tidak diperhatikan siapapun. Tidak menarik untuk siapapun.

Perasaan seperti itu sangat berbahaya. Perasaan kecil, tak terlihat dan tak kasat mata dekat dengan depresi. Belum lagi kalau dicampur waham, sebuah cara pandang negatif atas semua hal. Orang memuji dikira kasihan padanya, orang mengkritik dikira menghina. Itu separah-parahnya eksistensi. Ketidakmampuan untuk tidak peduli, ketidakmampuan untuk bersenang-senang.

Saya juga kadang merasa seperti itu. Obat utama buat saya adalah melarikan diri dari perasaan itu. Bisa dengan makan makanan enak, nonton acara sampah, membuka 9gag, berolahraga (biasanya jogging lumayan membantu), chatting dengan sahabat atau bersenda gurau dengan istri, menonton film porno (untuk riset, biasa antropolog), dan tentunya, menulis. Jika tubuh dan pikiran tidak bisa dipaksakan untuk melakukan hal-hal itu, aih, artinya kamu butuh ritual agama atau psikolog.

Karena yang membuat manusia menjadi manusia adalah kemampuannya untuk membuat kebahagiaan, bukan mencari kebahagiaan. Cuma orang sakit yang tidak bisa bahagia.