English, Filsafat, jurnalistik, Kurasi/Kritik, MalesBelajar, Politik, Racauan, terjemahan

Solving the Paradox of Journalism Ethics in a Post-Truth World


In a world where social media algorithms decide what you see before your morning coffee kicks in, journalism is going in a paradoxical tightrope. We live in an era where the truth is sliced, diced, and served in byte-sized portions. Derivative content—the kind of news snippets that populate your feed—has become the dominant way people consume information. It’s a convenient, snackable approach to news, but it also hands readers a buffet of perspectives, letting them pick the narrative they want to believe. But here’s the rub: with great content comes great responsibility both for journalists and readers.

Photo by Nano Erdozain on Pexels.com



The Social Media Slice-and-Dice

Imagine news as a hearty loaf of bread. Back in the day, people consumed the whole loaf (or at least a thick slice) by watching the evening news or reading a full newspaper article. Today, social media takes that loaf, runs it through a mandoline slicer, and presents us with crumbs. One crumb might highlight the tragedy, another the politics, and yet another the odd humor in a situation. Readers scoop up the piece that suits their palate—and ignore the rest.

On one hand, this democratization of perspectives seems like a good thing. Want to focus on environmental impact? There’s a clip for that. Curious about the economic angle? Here’s a tweet-thread. But the danger lies in how easily people retreat to their echo chambers. Instead of seeing the full picture, audiences build their reality on carefully curated crumbs. And as they scroll, algorithms nudge them further into their comfort zones, reinforcing what they already believe.

The Reader’s Role: Stay Hungry, Stay Critical

Here’s where readers come in. Let’s be honest: critical thinking is like flossing—everyone agrees it’s important, but not enough people actually do it. In a post-truth world, where facts are up for debate and opinions masquerade as news, readers need to sharpen their skepticism. This isn’t about distrusting everything but about asking the right questions: Who’s behind this content? What’s their agenda? What’s missing from this angle? If readers fail to look beyond the crumb, they’ll never find the loaf.

But let’s not let journalists off the hook just yet. While the responsibility for critical consumption lies with the audience, journalism still has an ethical obligation to provide the tools and context for that critical thinking.

The Journalist’s Role: Breadcrumbs with Purpose

Journalists don’t get a free pass just because they’re handing out crumbs. If anything, their responsibility grows in this fragmented media landscape. Each social media post, each 30-second video, each meme even, should do more than grab attention—it should invite inquiry. Journalism needs to stick to its code of conduct, not by avoiding social media but by using it as a gateway to balance and depth.

For example, a tweet about a policy decision shouldn’t just say, “X happened.” It should nudge readers to ask, “Why did X happen, and what’s the broader impact?” A TikTok breaking down a controversial statement should end with, “Here’s where you can learn more.” In short, every social media post should be a call to action: Dig deeper. Stay critical. See the bigger picture.

This doesn’t mean spoon-feeding objectivity (after all, journalism isn’t a nanny). It means creating a bridge between the viral and the verified, encouraging readers to move beyond the headline or the soundbite and into the rich, nuanced world of full-fledged reporting.

Balancing Ethics with Reality

Let’s face it—journalists are working in a hyper-competitive, click-driven environment. But ethical journalism isn’t about pandering to clicks; it’s about creating content that resonates and respects the audience’s intelligence. It’s about presenting multiple angles without being manipulative, and about holding up a mirror to the truth, even when it’s uncomfortable.

The goal? Empower the audience to choose not just what they want to believe, but what they ought to know. Journalism must give audiences access to the whole loaf while respecting their right to take just a slice. But it’s that ethical nudge—embedded in every crumb—that ensures journalism remains journalism, even in a post-truth world.

The Call to Action: A Two-Way Street

So, what’s the solution to the paradox? It’s not about choosing between crumbs or loaves, headlines or deep dives. It’s about weaving critical thinking into every layer of media consumption. Journalists need to craft content that balances accessibility with accountability. Readers need to step up and demand more than surface-level stories.

In a world where perspectives are tailored, biases are baked in, and truths are contested, journalism’s greatest act of service is to create not just content, but context. And readers? They need to meet the profession halfway by embracing curiosity over comfort.

Because in the end, the post-truth world doesn’t mean the truth is dead—it just means we all have to work harder to find it.

Alam, Eksistensialisme, Perlawanan, Puisi, terjemahan

Giting Suci (puisi Jim Morrison)

Kubilang padamu….
Tak ada pahala yang bisa mengampuni kita
Karena membuang subuh

Dulu semua hal begitu
sederhana dan lebih membingungkan

Satu malam musim panas, waktu jalan ke dermaga
Aku bertemu dua gadis muda
Yang pirang bernama Kebebasan
Yang gelap bernama Ikatan
Kami ngobrol dan mereka cerita padaku
Sekarang dengarkan ini:

Aku akan cerita soal Radio Texas dan dentuman besarnya
Dibawa halus, perlahan dan gila
Seperti bahasa baru
Menggapai kepalamu dengan amarah, Yang dingin dan tiba-tiba dari seorang Nabi

Aku akan cerita soal sakit hati dan kehilangan Tuhan
Berkelana, kelana di malam sia-sia
Di daerah ini tak ada bintang

Di sini kita menyatu, giting suci

Jika kamu suka dengan terjemahan ini, traktir saya kopi dong. Biar saya semangat nulis dan nerjemahin terus. Klik tombol di bawah ini yaaa…

Eksistensialisme, Perlawanan, Puisi, terjemahan

Film (Puisi Jim Morrison)

Oleh Jim Morrison

Judul asli, “The Movie” Dari album American Prayer.

Film akan dimulai dalam lima menit,
Suara datar itu mengumumkan,
Semua yang tidak dapat tempat duduk akan menonton pertunjukkan berikutnya.

Kita berbaris masuk perlahan, dengan lesu ke dalam ruangan.

Auditorium itu luas dan sunyi
Ketika kita sudah duduk dan ruangan menggelap, suara itu kembali lagi.

Ini bukan film baru, Anda sudah menyaksikannya berkali-kali, Anda sudah menyaksikan kelahiran, kehidupan, dan kematian Anda mungkin ingat sisanya,
Apakah dunia Anda baik ketika Anda mati?
Cukup baguskah untuk jadi sebuah film?

Aku mau keluar dari sini.

Mau kemana?

Ke sisi lain pagi.

Tolong jangan kejar awan-awan, pagoda.
Memeknya menjeratmu seperti tangan yang hangat dan nyaman.

Nggak apa-apa, semua temanmu di sini.

Kapan aku bisa ketemu mereka?

Habis makan.

Aku nggak lapar.

Uh, kamu yang dimakan.

Layar perak, layar teriak
Oooh… Nggak mungkin konsentrasi!

Website ini jalan dengan donasi. Kalau kamu suka yang kamu baca, boleh traktir penulis/penerjemah puisi ini kopi dengan menekan tombol ini:

Filsafat, Politik, Racauan, terjemahan

Zizek: Korona membawa Komunisme!

Diterjemahkan tanpa izin dari Monitor and Punish: Yes Please, di https://thephilosophicalsalon.com/monitor-and-punish-yes-please/

Banyak orang liberal dan kiri mengamati bagaimana wabah coronavirus telah melegitimasi dan menjustifikasi cara-cara kontrol dan regulasi yang pada awalnya tidak pernah terpikirkan di peradaban demokrasi Barat. Bukankah lockdown total di Italia seperti mimpi basah kaum totalitarian? Wajar kalau China, yang sudah lama mempraktikan kontrol sosial digital, terbukti menjadi negara yang paling siap untuk menghadapi wabah parah ini. Apakah ini artinya, dalam beberapa aspek, masa depan kita akan seperti China? Apakah kita sedang menuju ke masa darurat militer global? Apakah analisa Giorgio Agamben [filsuf Kiri Italia] jadi aktual lagi?

Tidaklah mengejutkan bahwa Agamben sendiri membuat kesimpulan macam ini: ia bereaksi terhadap wabah coronavirus secara berbeda dan radikal dari banyak pendapat umum. Ia bilang bahwa “segala tindakan gawat darurat yang kacau, irasonal, dan tak terjamin ini untuk wabah coronavirus” yang cuma versi lain dari flu, dan bertanya: ”kenapa media dan pemerintah seperti sangat berusaha membuat kepanikan, dan memprovokasi masa darurat, yang mengakibatkan sulitnya bergerak dan terhentinya kehidupan sehari-hari dan aktivitas kerja seluruh wilayah?”

Agamben melihat alasan untuk “respon berlebihan” ini adalah karena “meningkatnya keinginan masyarakat untuk menggunakan darurat sipil sebagai cara pemerintahan yang normal.” Keadaan ini membuat pemerintah dapat secara serius membatasi kebebasan kita dengan hukum eksekutif: “Sudah terlihat jelas buktinya bahwa larangan-larangan ini tidaklah pantas untuk apa yang menurut NRC (Konsulat Riset Italia) adalah flu biasa, tidak berbeda dari apa yang menimpa kita tiap tahun. /…/Kita bisa bilang bahwa ketika terorisme sudah basi untuk jadi justifikasi keadaan darurat, penemuan wabah dapat memberikan alasan ideal untuk memperbesar usaha-usaha kontrol tersebut tanpa ada batas.” Alasan kedua adalah “keadaan ketakutan, yang beberapa tahun belakangan ini telah ditanamkan ke dalam kesadaran individual dan diterjemahkan menjadi kebutuhan untuk jadi panik secara kolektif, yang ditawarkan wabah ini menjadi alasan yang ideal.”

Agamben menggambarkan aspek penting dari kontrol negara yang fungsional dalam wabah yang sedang terjadi. Tapi ada pertanyaan-pertanyaan yang tetap terbuka lebar: kenapa kuasa negara ingin mendorong panik seperti itu, yang buntutnya adalah ketidakpercayaan kepada negara (“negara tidak becus, tidak cukup kerja…”) dan mengganggu reproduksi modal? Apakah ini benar-benar maksud pemilik modal dan kuasa negara, untuk memicu sebuah krisis ekonomi global demi memberi semangat hidup untuk rezimnya? Tidakkah ada tanda-tanda jelas bahwa wabah ini bukan hanya mempengaruhi orang biasa tapi juga negara—apakah ini semua adalah strategi?

Reaksi Agamben adalah bentuk ekstrim dari pendirian kaum Kiri dalam membaca “panik berlebihan” yang disebabkan oleh virus sebagai gabungan antara praktik kuasa untuk kontrol sosial dan elemen rasisme langsung (“salahkan kebiasaan orang China”). Tetapi, interpretasi sosial semacam itu tidak membuat realitas ancamannya menghilang. Apakah realitas ini mewajibkan kita untuk secara efektif menutup kebebasan kita? Karantina dan usaha seperti itu, tentunya, membatasi kebebasan kita, dan Assange-Assange baru dibutuhkan untuk mengungkap penyalahgunaan kekuasaan dalam masa seperti ini. Tapi ancaman infeksi virus juga memberikan dorongan besar untuk bentuk-bentuk baru solidaritas lokal dan global. Orang-orang sudah benar untuk menyalahkan pemerintah mereka: Anda yang punya kuasa, tunjukkan Anda bisa apa! Tantangan yang dihadapi Eropa adalah untuk membuktikan bahwa apa yang dilakukan China bisa dilakukan dengan cara-cara yang lebih transparan dan demokratis.

“China memperkenalkan cara yang tidak bisa ditoleransi Eropa dan Amerika, karena mereka pikir cara China bisa menyakiti kebebasan mereka. Tapi sejujurnya, salah jika kita secara terburu-buru menganggap bahwa semua jenis pengindraan dan pembuatan model sebagai ‘mata-mata’ dan pemerintahan yang aktif sebagai ‘kontrol sosial’. Kita butuh cara yang lain dan kosakata yang lebih beragam untuk mengintervensi hal semacam ini.” [1]

“Kosakata beragam” artinya adalah cara-cara yang diperlukan untuk mengatasi wabah tidak seharusnya secara otomatis dianggap sebagai memata-matai dan mengontrol seperti dibilang pemikir seperti Foucault. Apa yang saya takutkan hari ini lebih daripada cara yang dilakukan China (dan Italia, dll…) adalah bahwa cara-cara ini tidak akan berhasil untuk menangulangi wabah ini, sementara penguasa memanipulasi dan menyembunyikan data.

Baik orang Kanan alternatif dan Kiri palsu menolak realitas sebenarnya dari wabah ini, mereka menyepelekannya dalam sebuah praktik reduksi konstruktivis-sosial, yaitu menolak kenyataan atas nama arti sosialnya. Trump dan anteknya berkali-kali bilang bahwa wabah ini adalah sebuah plot dari Demokrat dan China untuk membuatnya kalah di Pemilu berikutnya, sementara beberapa orang kiri menolak cara yang ditawarkan negara dan aparat kesehatannya karena dianggap anti asing, dan karenanya, ngotot tetap jabat tangan, dsb. Pendirian seperti ini tidak paham paradox yang sedang berlangsung: bahwasannya tidak berjabat tangan dan mengisolasi diri saat dibutuhkan ADALAH bentuk solidaritas hari ini.

Siapa yang hari ini bisa jabat tangan atau memeluk? Mereka yang hidup dalam kemewahan. Decameron karya Boccaccio adalah buku yang terdiri dari cerita-cerita yang disampaikan oleh tujuh perempuan muda dan tiga lelaki muda yang berlindung di sebuah villa pribadi di luar kota Florensia untuk kabur dari wabah yang menyerang kota. Elit-elit finansial akan mundur ke zona-zona tersendiri dan menghibur diri mereka dengan saling bercerita dalam gaya Decameron. (Kaum ultra-kaya sudah naik jet pribadi ke kepulauan kecil mereka di Karibia.) Kita, orang-orang biasa, yang harus hidup dengan virus, dibombardir oleh formula “Jangan panik” yang sudah diulang-ulang… dan semua data yang kita dapat cuma bikin tambah panik. Keadaan ini mengingatkan saya tentang masa muda saya di negara Komunis: waktu petugas pemerintah meyakinkan masyarakat untuk tidak panik, kita menanggap suruhan itu sebagai tanda bahwa mereka sendiri sebenarnya sedang panik.

Tapi kepanikan bukanlah cara untuk menghadapi ancaman. Saat kita bereaksi dengan kepanikan, kita tidak menganggap ancaman itu serius; sebaliknya, kita menganggapnya remeh. Coba pikir, betapa tololnya orang-orang yang memborong tissue toilet di Amerika: seakan-akan tissue toilet ada gunanya di masa wabah mematikan… Jadi, apa reaksi yang benar dalam menghadapi wabah coronavirus ini? Apa yang harus kita pelajari untuk menghadapinya secara serius?

Waktu saya bilang bahwa wabah coronavirus bisa memberi kehidupan baru untuk komunisme, klaim saya, seperti yang bisa diduga, diremehkan. Walaupun China yang komunis itu nampaknya berhasil menghadapi krisis -paling tidak lebih baik daripada Italia-, logika otorianisme Komunis di China juga menunjukkan keterbatasannya. Salah satunya bahwa ketakutan untuk memberitahu penguasa (dan masyarakat) tentang kabar buruk melebihi hasil aktualnya. Inilah kenapa orang-orang yang pertama kali melaporkan adanya wabah malah ditahan, dan ada laporan-laporan hal yang sama terjadi juga sekarang: “Tekanan untuk membuat China kembali bekerja setelah shutdown akibat coronavirus telah membangkitkan godaan baru: memanipulasi data untuk menunjukkan kepada para pejabat apa yang mau mereka lihat saja. Fenomena ini terjadi di provinsi Zheijiang, sebuah hub industry di pantai timur, dalam bentuk penggunaan listrik. Paling tidak tiga pemerintah kota di sana sengaja menyuruh menyalakan listrik di tiga pabrik untuk menunjukkan data bahwa pabrik sudah kembali produksi. Pemkot menyuruh pemilik pabrik untuk menyalakan mesin, walaupun pabrik mereka kosong, kata warga di sana.

”Kita juga bisa menebak apa yang akan terjadi ketika para pejabat tinggi sadar mereka ditipu: manajer lokal akan dituduh sabotase dan akan dihukum, yang menyebabkan lingkaran setan ketidakpercayaan… seorang Julian Assange China akan dibutuhkan untuk membuka ke masyarakat cara China yang semacam ini dalam menghadapi wabah. Jadi, jika ini bukan Komunisme yang saya pikirkan, apa yang saya maksud dengan Komunisme? Untuk mengerti yang saya maksud, Anda harus baca deklarasi publik dari WHO. Begini isinya:

“Kepala WHO Dr. Tedros Adhanom Ghebreyesus mengatakan hari Kamis bahwa walaupun otoritas kesehatan masyarakat di seluruh dunia memiliki kekuatan untuk melawan penyebaran virus, WHO khawatir bahwa komitmen politik di beberapa negara tidak bisa mengalahkan tingkat ancaman virus. ‘Ini bukan latihan. Ini bukan saatnya menyerah. Ini bukan saatnya membuat alasan. Ini adalah saatnya menarik semua rintangan. Negara-negara telah merencanakan skenario semacam ini selama puluhan tahun. Sekarang saatnya menjalankan rencana itu.’ Kata Tedros. ‘Wabah ini bisa kita pukul mundur, namun hanya dengan pendekatan kolektif, terkoordinasi, dan komprehensif yang melibatkan seluruh mesin pemerintahan.”

Orang bisa menambahkan bahwa pendekatan komprehensif harus menggapai lebih dari mesin satu pemerintahan: itu harus melebihi mobilisasi orang di luar kontrol negara juga koordinasi dan kolaborasi internasional yang kuat dan efisien. Jika ribuan orang dirawat karena masalah pernapasan, banyak mesin pernafasan akan dibutuhkan, dan untuk mendapatkannya, negara harus langsung ikut campur produksi mesin seperti ketika mereka ikut campur produksi senjata di masa perang. Dan itu harus bersandar kepada kerjasama dengan negara lain. Seperti di kampanye militer, informasi harus dibagi dan rencana harus dikoordinasikan secara penuh – INI adalah yang saya maksud dengan “Komunisme” yang dibutuhkan hari ini, atau, seperti kata Will Hutton: “Saat ini, bentuk bentuk globalisasi pasar bebas yang tidak diatur dengan resiko krisis dan wabah hampir mati. Dan bentuk lain yang mengakui saling keterhubungan dan aksi kolektif berazaskan bukti konkrit telah lahir.” Apa yang sekarang masih banyak menguasai kita adalah pikiran “setiap negara untuk dirinya masing-masing,”: “ada larangan nasional terhadap eksport produk penting seperti perlengkapan medis, dengan negara-negara yang tertinggal dari sisi analisis krisis dan masih menggunakan persedian lokal yang terbatas, dan pendekatan penanggulangan bencana yang primitif.”

Wabah coronavirus tidak hanya menandakan batas globalisasi pasar, itu juga menandakan batas fatal dari populisme nasionalis, yang ngotot untuk berdaulat secara tertutup. Sudah selesai slogan “America (atau siapapun) First!” sejak Amerika hanya bisa diselamatkan oleh koordinasi dan kolaborasi global. Saya bukan seorang utopis; saya tidak tertarik dengan masyarakat ideal, solidaritas antar manusia. Sebaliknya, krisis hari ini menunjukan jelas bagaimana solidaritas global dan kooperasi untuk kepentingan semua dan setiap kita, bagaimana solidaritas menjadi hal yang rasional dan egois yang harus dilakukan. Dan bukan hanya untuk coronavirus: China sendiri menderita wabah flu babi beberapa bulan lalu, dan sekarang sedang terancam invasi belalang. Dan, seperti yan ditulis Owen Jones, krisis iklim membunuh banyak orang di dunia melebihi coronavirus, tapi tidak ada panik akan hal ini…

Orang penganut vitalis [yang memisahkan dunia materi dan immaterial] yang sinis, akan tergoda untuk melihat coronavirus sebagai infeksi yang baik, yang membuat kemanusiaan menyingkirkan orang tua, lemah dan sakit, seperti mencabut separuh akar yang rusak, dan berkontribusi kepada kesehatan secara global. Pendekatan Komunis luas yang saya ajukan adalah satu-satunya cara untuk meninggalkan pemikiran vitalis primitif semacam itu. Tanda-tanda untuk mengurangi solidaritas tanpa pamrih sudah bisa dilihat di banyak perdebatan, seperti catatan ini tentang peran “tiga orang bijak” jika wabah menjadi lebih berbahaya di Inggris: “Pasien yang ditanggung asuransi negara (NHS) bisa ditolak dari rumah sakit dalam penyebaran wabah yang parah di Inggris jika UGD sedang mengadapi coronavirus, dokter-dokter senior diperingatkan. Di bawah protokol ‘tiga orang bijak’, tiga konsultan senior di sebuah rumah sakit harus dipaksa untuk membuat keputusan dalam membatasi perawatan ventilator dan tempat tidur, ketika rumah sakit sudah kepenuhan pasien.” Apa kriteria “tiga orang bijak” tersebut? Mengorbankan yang lemah dan yang tua? Dan apakah situasi ini tidak membuka kesempatan korupsi? Apakah ini artinya kita siap untuk melakukan logika paling brutal dari yang pas yang selamat (survival of the fittest)? Jadi, lagi-lagi, pilihan utama adalah semacam Komunisme model baru.

Tapi sebenarnya lebih dalam daripada itu. Apa yang saya temukan mengganggu adalah bagaimana, ketika media kita mengumumkan semacam jalan keluar atau pembatalan acara, mereka membuat aturan yang menambakan pembatasan sementara: “sekolah akan di tutup sampai tanggal 4 april.” Harapan besarnya adalah, setelah puncak wabah yang seharusnya sampai dengan cepat, keadan akan kembali normal. Dalam hal ini, saya sudah diinformasikan bahwa symposium universitas akan ditunda sampai September… intinya adalah, walaupun keadaan perlahan-lahan akan kembali normal, semua tidak akan sama seperti sebelum ada wabah: hal yang biasa kita pakai sehari-hari tidak akan kita sia-siakan lagi; kita harus belajar untuk hidup dalam keadaan yang lebih rapuh, dengan ancaman yang terus menerus mengawasi secara tersembunyi.

Untuk alasan ini, kita akan mulai waspada terhadap hal-hal yang dapat menyebarkan virus dalam interaksi sehari-hari kita, dengan orang dan benda-benda disekitar kita, termasuk tubuh kita sendiri: hindari menyentuh benda yang mungkin bisa (tidak terlihat) “kotor”, jangan sentuh pegangan besi, jangan duduk di toilet public atau kursi taman, jangan memeluk atau menjabat tangan orang lain… kita bahkan akan hati-hati menhontrol diri kita sendiri dan gerakan spontan kita: jangan sentuh hidung atau gosok mata – singkatnya, jangan bermain dengan diri sendiri. Jadi, bukan hanya agensi lain yang akan mengontrol kita; kita harus mengontrol dan mendisiplinkan diri sendiri! Mungkin realitas virtual kita akan bisa dianggap aman, dab bergerakdi alam terbuka hanya akan tersedia untuk orang ultra-kaya.

Tetapi bahkan di sini, di level realitas virtual dan internet, kita harus mengingatkan diri sendiri bahwa di decade-dekade terakhir, istilah “virus” dan “viral” kebanyakan dipakai untuk mendesain virus-virus digital yang menginfeksi ruang-web dan yang kita tidak sadar, paling tidak kekuatan merusaknya (contohnya, menghancurkan data atau hard-drive kita.). Apa yang kita lihat sekarang adalah kembalinya kata virus ke arti harfiahnya: infeksi viral berkerja lintas dimensi, kenyataan dan virtual.

Jadi kita harus mengubah semua cara kita berpikir tentang kehidupan, tenttang keberadaan kita sebagai makhluk hidup di antara bentuk-bentuk kehidupan lain. Dengan kata lain, jika kta mengerti “filsafat” sebagai nama untuk orientasi dasar hidup kita, kita akan harus mengalamu revolusi filosofis yang sebenarnya. Mungkin kita bisa belajar sesuatu tentang reaksi kita terhadap wabah coronavirus dari Elisabeth Kubler-Ross yang, dalam bukunya On Death and Dying, menyodorkan skema terkenal dari lima tahap bagaimana kita belajar ketika kita punya penyakit kronis: denial (menolak fakta:”Ini tidak mungkin terjadi, tidak pada saya.”); kemarahan (yang meledak ketika kita tidak bisa lagi melawan fakta: ”Kenapa ini terjadi pada saya?”), menawar (dengan harapan bagaimanapun caranya kita bisa menunda atau menghilangkan fakta: ”Tolong biarkan saya melihat anak-anak saya lulus sekolah.”); depresi (ketidakpedulian libidinal: ”Saya akan mati, kenapa harus peduli?”); penerimaan (“Saya tidak bisa melawannya, lebih baik saya bersiap.”). Nantinya, Kubler-Ross mengaplikasikan tahap-tahap ini menjadi penerimaan terhadap kehilangan pribadi (pengangguran, kematian orang yang dicintai, perceraian, ketergantungan terhadap narkoba), dan juga menekankan bahwa tehap-tahap ini tidak selalu datang dalam kronologi yang sama, tidak juga kelima tahap dialami semua pasien.

Orang bisa melihat tahap-tahap ini di masyarakat setiap kali mereka dihadapkan dengan kehancuran traumatis. Mari kita lihat bencana ekologi: pertama kita akan menolaknya (“Ini hanya paranoia, ini cuma siklus cuaca saja”); lalu datang kemarahan (kepada korporasi besar yang telah mengotori lingkungan, kepada pemerintah yang membiarkan hal ini terjadi); lalu mulailah menawar (jika kita daur ulang, kita bisa membeli waktu, dan ada juga sisi baiknya, sekarang kita bisa menanam sayur di Greenland, kapal-kapal bisa mengantar barang dari China ke Amerika lebih cepat karena es di Utara mencair, tanah-tanah subur yang baru sudah tersedia di utara Siberia karena permafrost sudah mencair…), depresi (semua sudah terlambat, kita hancur sudah…) dan, akhirnya, penerimaan: kita sedang menghadapi ancaman serius dan kita harus mengubah cara hidup kita!

Hal yang sama juga terjadi pada ancaman kontrol digital yang terus berkembang di kehidupan kita: pertama kita menolaknya (“ah itu semua lebay, ketakutan orang Kiri saja, tidak ada agency yang bisa mengontrol aktivitas harian kita…”), lalu kemarahan (kepada perusahaan besar dan agensi rahasia milik negara yang lebih tahu kita daripada diri kita sendiri dan menggunakan informasi tersebut untuk memanipulasi kita…), depresi (“Semua sudah terlambat privasi kita sudah habis”), dan, akhirnya, penerimaan: kontrol digital adalah ancaman terhadap kebebasan kita: kita harus membuat publik menyadari semua dimensinya dan mulai melawan!

Bahkan di ranah politik, orang juga berhadapan dengan cara yang sama menghadapi kekuasaan Trump: pertama penolakan (“Jangan khawatir, dia cuma berlagak, tidak ada yang akan berubah ketika ia berkuasa”), marah (pada kekuatan gelap yang membuat ia berkuasa, kepada populis yang mendukungnya, dan membuat ancaman terhadap moral kita…), menawar (“Belum semuanya hancur, mungkin Trump bisa ditanggulangi, ayo kita toleransi saja beberapa kegilaannya…”), depresi (“Kita sedang menghadapi Fasisme, demokrasi sudah hilang di Amerika”), dan penerimaan: ada rezim politik baru di Amerika, Demokrasi Amerika yang lama sudah hilang, ayo kita hadapi bahaya ini dan dengan tenang merencakan cara melawan populisme Trump…

Di abad pertengahan, populasi dari kota yang terkena wabah juga dapat dilihat dengan lima tahap yang sama: penolakan, lalu marah (pada cara hidup yang berdosa atau bahkan pada Tuhan yang membiarkan bencana ini terjadi), lalu menawar (“Tidak jelek-jelek amat, kita hindari saja mereka yang sakit”), depresi (“Hidup kita telah berakhir”), lalu, kerennya, pesta seks (“Karena hidup kita akan berakhir, ayo kita nikmati hidup selama masih mungkin —mabuk-mabikan, seks…”), dan, akhirnya, penerimaan: di sinilah kita, ayo kita berusaha jadi baik selama yang kita bisa seakan-akan hidup masih normal.

Dan bukankah ini cara yang sama ketika kita berhadapan dengan coronavirus tahun 2019? Pertama penolakan (“Tidak ada yang serius, cuma orang tidak bertanggung jawab yang menyebarkan panik”); lalu marah (biasanya dalam bentuk rasisme atau anti-negara: “si China yang kotor bersalah, negara kita tidak berguna…”); lalu mulai menawar (“OK, ada korban, tapi ini tidak seserius SARS, dan kita bisa membatasi kerusakannya…”:); jika ini tidak berhasil, depresi datang (“jangan bercanda, mati kita semua”). Tapi apa yang jadi penerimaan di sini? Aneh kalau kita melihat fakta bahwa wabah ini menunjukan kemiripan dengan prostes sosial yang baru-baru ini terjadi (di Prancis, di Hongkong): ia hilang setelah meledak; malahan, ia tetap ada terus, membawa ketakutan permanen dan kerapuhan ke hidup kita. Tapi penerimaan ini bisa jalan ke dua arah. Itu bisa berarti normalisasi ulang dari penyakit: “OK, orang-orang akan sekarat, tapi hidup jalan terus, mungkin aka nada efek samping yang baik…” atau peneriman yang bisa (dan harusnya) membuat kita mampu memobilisasi diri sendiri tanpa panik, untuk bertindak secara kolektif dan dengan solidaritas.

Apa yang harus kita terima, apa yang harus kita perbaiki dalam diri kita, adalah bahwa adala lapisan dalam hidup, mayat hidup, yang bodohnya terus berulang, dari virus yang hadir semejak masa pre-seksual, yang selalu di sini dan akan selalu bersama kita sebagai bayangan gelap, membaut ancaman terhadap kelangsungan hiudpkan, meledak tanpa kita sangka. Dan dalam tingkatan yang lebih umum, wabah virus mengingatkan kita tentang ketidakpastian dan ketidakberartian hidup kita: seberapapun kompleksnya spiritualitas kita, kemanusiaan kita, bawaan kita, sebuah ketidakpastian alam seperti virus atau asteroid bisa mengakhiri semuanya… Belum lagi pelajaran ekologi bahwa kita, manusia, bisa jadi berkontribusi terhadap akhir kita sendiri.

Untuk membuat poin ini lebih jelas, dengan tidak tahu malu saya akan mengutip definisi populer dari virus: virus adalaha “agen yang menyebarkan infeksi apapun, biasanya ultramicroscopic, yang terdiri dari asam nucleid, RNA atau DNA, dengan bungkus protein: mereka menginfeksi binatang, tumbuhan, dan bakteri dan bereproduksi hanya di dalam sel-sel hidup: virus dianggap bahan kimia yang tidak hidup atau kadang dianggap organisme hidup.” Pemaknaan antara hidup dan mati ini penting sekali: virus tidak hidup atau mati dalam penggunaan istilah umum ini. Mereka adalah mayat hidup: virus hidup karena insting untuk bereplikasi, tapi tingkat hidupnya nol, sebuah karikatur biologi yang tidak ada maksud membunuh atau membuat hidup, cuma ada ketololan untuk terus berulang dan menggandakan diri sendiri. Tetapi, virus bukan bagian kehidupan dimana bentuk yang lebih kompleks berkembang. Virus adalah parasit murni; mereka menggandakan dirinya sendiri dengan menginfeksi organisme yang sudah berkembang (ketika virus menginfeksi kita, manusia, kita cuma jadi mesin fotokopi mereka). Adalah dalam kebetulan ini -antara yang dasar dan yang parasite –  hadir misteri dari virus. Mereka adalah kasus yang Schelling katakana sebagai “der nie aufhebbare Rest,”  sebuah sisa dari bentuk kehidupan yang muncul akibat malfungsinya mekanisme penggandaan yang lebih tinggi dan terus menghantui (menginfeksi), sisa yang tdak pernah akan dapat disatukan sebagai bagian yang mematuhi tingkat kehidupan yang lebih tinggi.

Di sini kita berhadapan dengan apa yang Hegel bilang sebagai “penilaian spekulatif,” sebuah penekanan identitas dari yang tertinggi dan yang terendah. Contoh Hegel yang paling terkenal adalah “Jiwa adalah tulang” dari analisisnya di terhadap phrenology dalam Phenomenology of Spirit, dan contoh buat kita harusnya “jiwa adalah virus.” Apakah jiwa manusia juga adalah virus yang menjadi parasit di dalam tubuh binatang bernama manusia? Mengeksploitasinya untuk reproduksi dirinya sendiri, dan kadang mengancam untuk menghancurkannya? Dan, sejauh berlaku sebagai medium dari jiwa, bahasa adalah, kita tidak boleh lupa, di tingkat paling dasarnya, bahasa adalah suatu hal yang mekanik, sebuah aturan yang kita harus pelajari dan ikuti.

Richard Dawkins berpendapat bahwa meme adalah “virus dari pikiran,” sebuah zat parasit yang “menjajah” pikiran manusia, menggunakannya sebagai cara untuk menggandakan dirinya sendiri. Itu adalah ide yang ditemukan oleh Leo Tolstoy. Tolstoy biasanya dianggap tidak sekeren Dostoyevski. Tolstoy seorang realis ketinggalan zaman yang tidak punya tempat di modernitas, berlawanan dengan Dostoyevsky dan kegelisahan eksistensialnya. Tetapi mungkin, sudah saat melihat kembali Tolstoy, teori uniknya tentang seni dan manusia secara umum, dimana kita bisa menemukan gema Dawkins soal meme. “Seseorang adalah binatang dengan otak yang terinfeksi, inang terhadap jutaan simbion kultural, dan yang memungkinkan simbion ini bekerja adalah sebuah sistem simbion bernama bahasa” -tidakkah kutipan dari Dennett [2] ini terdengar sangat Tolstoy? Kategori dasar dari antropologi Tolstoy adalah infeksi: subjek manusia adalah medium pasif yang kosong terinfeksi oleh elemen kultural yang, seperti bakteri menular, menyebar dari individual satu ke individual lain. Dan Tolstoy bergerak dari sini sampai akhir: ia tidak melawan penyebaran infeksi afektif ini sebagai otonomi spiritual; dia tidak mengajukan visi heroik ntuk menjadi subjek otonomi yang etis dengan menyingkirkan bakteri ini. Satu-satunya perlawanan adalah pertarungan antara infeksi baik dan infeksi burukk: Kristen – menurut Tolstoy – adalah sebuah infeksi. Infeksi yang baik.

Mungkin inilah hal paling mengganggu yang bisa kita pelajari dari wabah viral ini: ketika alam menyerang kita dengan virus, itu adalah cara alam untuk mengirim balik pesan kita kepada kta sendiri. Pesannya adalah: yang kamu lakukan padaku, sekarang kulakukan padamu.

[1] Benjamin Bratton, komunikasi personal.

[2] Daniel Dennett, Freedom Evolves, London: Penguin Books 2004, p 173.