Racauan

Ekspektasi Rendah, Standard Tinggi: Gebetan dan PDKT

Salah satu hal yang paling sering bikin orang strest adalah ekspektasi. Mudah memang untuk bilang sama orang yang stres, “kamu harus me-manage ekspektasimu”. Pada kenyataannya tentunya, mengatur ekspektasi sangat susah.

Kita berekpektasi pada banyak hal, pada orang lain, pada diri sendiri, pada keadaan dan pada Tuhan. Dan ketika ekspektasinya meleset, kita stres. Semakin tinggi ekpektasi, semakin depresi ketika tidak tercapai.

Lalu ketika ekspektasi kita bikin rendah, seringkali kita terjebak menjadi hidup dengan standard rendah. Kita jadi tidak bisa berkembang, tidak bisa menjadi lebih baik. Kita kehilangan harga diri dan akibatnya malah tambah parah: hidup jadi tidak berkualitas.

Saya rasa, pada akhirya kita harus mencari bukan jalan tengah, tapi kesinambungan antara ekspektasi dan standard. Apa bedanya?

Ekspektasi berarti sebuah kepercayaan kuat, bahwa sesuatu yang kita inginkan akan terjadi di masa depan, semacam harapan yang ekstrim dan diusahakan sedemikian rupa Sementara itu standard berarti hal yang kita pakai untuk mengukur kualitas, atau membandingkan sesuatu. Tinggi atau rendahnya standard tergantung pengetahuan kita dan pembandingnya.

Dengan kata lain, ekspektasi dimulai dengan khayalan, sementara standard dimulai degan pengetahuan. Mari kita praktikan dengan sebuah contoh klise tentang Gebetan dan PDKT.

Umpamakan ada seorang perempuan bernama Lusi, yang sejak kecil sudah menonton film princess disney, remaja penuh drakor, dan kuliah penuh K-Pop. Di dalam pikirannya ada lelaki ideal yang seperti idolanya, yang akan sayang padanya seperti lelaki-lelaki di drama kesukaannya: anak nakal misterius, yang dibalik kejantanannya menyerah kalah karena cinta, menunjukkan sisi lemahnya pada perempuan yang ia cintai, lalu ia berubah menjadi lelaki baik yang bertanggung jawab dan tidak menarik; semacam bapack-bapack standard.

Lusi berekspektasi seperti itu dari seorang kawan kuliahnya, Dio, yang memang wajahnya dan badanya mirip sama salah satu anggota sebuah boyband korea (yang mana silahkan khayalkan sendiri). Dio seorang fak boi, bad boi, dengan wajah sad boi. Dan Lusi sudah berekspektasi dengan plot di paragraf sebelumnya, dan tentunya berakhir kehilangan keperawanan, lalu dighosting Dio dan Lusi mulai depresi dan seterusnya dan sebagainya sampai bla bla bla move on dan terima kenyataan. Dia jadian lagi sama seorang cowok buruk rupa bernama Antok yang dia harapkan akan setia dan baik, dan ternyata Antok juga mudah tergoda dst dsb. Aih ini klise banget saya sendiri malas nulisnya hahahaha…

Langsung ke analisisnya aja, Lusi berekpektasi tinggi salah, berekspektasi rendah salah juga. Jadi cara terbaik sebelum ekspek apa-apa adalah lihat dulu standardnya Lusi. Jika Dio dan Antok keduanya suka pada Lusi, berarti Lusi punya privilise “make up genetik” secara fisik. Pertanyaannya apakah Lusi bisa punya cukup otak buat menentukan standardnya sendiri? Mengukur kehidupannya? Potensinya? Potensi orang lain? Apakah Lusi punya cukup kesabaran untuk memproses sebuah hubungan perlahan-lahan, membangun hubungan, menyamakan standard baru mengatur ekspektasi dia dan pasangannya?

Karena pada akhirnya hubungan adalah soal standard dan ekspektasi. Jika standard kita tinggi, kita akan berekspektasi partner kita akan mengejar standard itu. Ini sudah ekspektasi salah, Harusnya kita juga analisis standard partner kita dan kompabilitasnya untuk mengejar standard kita. Ini yang membuat Lusi salah pada Dio (ketinggian) dan salah pada Antok (kerendahan). Jadi bagaimana baiknya?

Baiknya jangan berharap, cukup berencana saja. Karena kata orang dulu, manusia cuma bisa berencana, Tuhan juga yang menentukan. Rencanakan yang matang, dengan standard tinggi, dan ekspektasi rendah. Jadi ketika hasilnya tidak sesuai rencana, tidak masalah. Toh, ekspektasimu rendah. Seringkali, dengan ini, kamu akan dapat lebih tinggi sedikit dari ekspektasimu. Ayo kita lihat contoh kasus tadi dengan perspektif ini:

Lusi ditaksir oleh Dio. Standard Lusi sebagai perempuan tinggi. Ia ingin dihargai, dan tak perduli jika tak dapat Dio karena ekspektasinya pada Dio rendah. Suka syukur, ga suka yaudah. Dio makin penasaran karena ga dapet seks. Dia mengancam akan memutuskan Lusi kalau ga dikasih. Lusi sebal diancam, Dio diputuskan duluan. Ada dua kemungkinan, putus permanen, atau Dio mulai belajar jadi lelaki yang menghormati perempuan, menjadi partner dan teman yang baik dan sama-sama belajar. Anggaplah yang terburuk, Dio cabut. Lusi cari bahagia sendiri, kuliah di Korea, dan dapet cowok orang Korea yang gentle dan cerdas, lalu ia menikah dan punya masalah-masalah baru.

Antok? Tidak ada Antok, standard Lusi ketinggian. Haha.

Tapi mungkin ada baiknya ganti subjek jadi Antok, lelaki baik yang buruk rupa. Dengan rumus standard tinggi dan ekspektasi rendah, Antok berusaha mendekati Lusi. Tentunya ditolak. Karena ekspektasi rendah, Antok tidak menderita. Ia memilih untuk bekerja dan bermain game, dan beli barang-barang yang bisa dibeli dengan tabungan gajinya. Kamarnya diberesin, dia pake baju yang dia suka, ke tukang cukur langganan yang dia suka juga nyukur dan mijetnya, hidupnya hepi. Standardnya tinggi. Keluar membuncah kah kharisma nya, dan dia jadi punya usaha sendiri, lumayan mapan, dan suatu haru jatuh cinta dengan Asri, mantan Gebetannya di SMA yang sudah punya anak 2 tapi sudah pada SMA. Perempuan ini baru dicerai karena menolak poligami. Antok dulu patah hati karena berharap pada Asri. Sekarang Anton santai, karena dia berencana menjadi suami dan ayah yang baik buat Asri dan anak-anaknya, tapi ekspektasinya rendah untuk dicintai dan dihargai seperti yang ia mau. Sudah biasa bahagia sendirian juga.

Cerita-cerita ilustrasi di atas cuma karangan saja, fiktif sekedar kasih hiburan, tapi bukan kasih harapan. Karena baik Lusi atau Antok akan selalu punya masalah, harapan bisa selalu pupus, rencana bisa gagal. Tapi semakin hari, kalau kita bisa belajar dan terus evaluasi, kita akan semakin jago bermanuver dari kegagalan. Seperti kata Bob Ross, membuat gagal atau kecelakaan dalam melukis, menjadi ‘happy accidents’.

Jadi berikut kesimpulan-kesimpulannya:

Standard tinggi ekspektasi rendah, standard tinggi untuk kehidupan pribadi kita, ekspektasi rendah untuk orang lain jadi kita tidak kecewa.

Jangan pernah berharap, berencana saja.

Hasil kehidupan cuma 2: sukses atau belajar. Santai saja pada penolakan dan kegagalan.

Karena pada akhirnya semua orang akan gagal dan mati, cara kita gagal menentukan kemenangan kita ketika cabut dari kehidupan ini.

Terima kasih sudah membaca sampai habis. Kalau kamu suka yang kamu baca, bolehlah membantu saya patungan bayar website ini, atau sekedar beliin saya secangkir kopi. Tekan tombol di bawah untuk ke lama trakteer.

Filsafat, Politik, Racauan

Anak Sastra Harusnya Jadi Apa?

Di Fakultas Sastra/ilmu Budaya kita diajarkan prosa, puisi, drama, film, kritik, dan linguistik. Tapi kita gak diajarin hal terpenting: bahwa cerita adalah syarat untuk jadi manusia. Bahwasannya binatang yang punya akal bukan cuma manusia, tapi cuma manusia yang punya cerita dan tugas anak Sastra adalah mengerti cerita-cerita yang dibangun manusia.

FIB terjemahannya adalah Faculty of Humanity, ini aja udah ngaco, karena masa padanan kata budaya adalah humanity? Culture kemana culture? Culture adalah satu cerita saja. Gimana dengan cerita-cerita yang lain? Cerita ekonomi, bisnis, politik, kimia, biologi. Tidakkah sastrawan tugasnya menulis cerita-cerita asing untuk bisa menghubungkan manusia-manusia.

Dalam buku Sapiens, Harari bilang bahwa manusia bisa kerjasama karena cerita-cerita besar: agama, kapitalisme, ideologi, negara, perusahaan, itu semua naratif dan cerita, bentuknya abstrak.

Dan cuma manusia spesies yang bisa percaya pada cerita, kerjasama atau perang karena cerita, dan mati karena cerita. Spesies lain gak ada yang bisa gitu.

Pertanyaan gue jadinya, kenapa di FIB, ini gak diajarin sebagai dasar keilmuan gue dalam membuat peradaban? Padahal kerjaan gue sehari-hari, ya, bikin cerita. FIB ga ngajarin grand naratif kayak kritik kapitalisme. Definisi sastra jadi sempit banget. Gue dapet itu di FISIP & FISIP ga bilang itu cerita. Yang harusnya dipelajari FIB dari FISIP adalah: anak Sastra harus dapet penelitian lapangan! Kembalikan minimal matkul metodologi etnografi ke FIB.

FIB kayaknya takut ngomong kayak Rocky Gerung kalo agama, seperti semua institusi lain ya cuma cerita. Sapiens udah sangat bebal dengan itu semua, bahwa literally, kita hidup dalam sebuah cerita. Hell, gojek aja sekarang fiksi dalam surat legal dan kertas saham. Akhirnya anak Sastra banyak yang jadi pramugari, orang bank, apapun itu tanpa sadar kalo kantor mereka yang hidupi adalah fiksi yang dipercaya bareng-bareng, ampe pada depresi gara-gara kantor. Semua terlalu serius hidup dalam cerita.

Well, sekarang karena udah tahu, harusnya jadi punya pegangan kenyataan: kesehatan itu kenyatan, kematian itu kenyataan, makan, minum, berak, prokreasi itu kenyataan. Sisanya… Cuma cerita. Sans bae.

Dan anak Sastra/FIB harus bilang ini kalo ditanya kenapa kuliah di sastra: karena ilmu ini potensi kerjaannya adalah membuat peradaban, kehidupan. Dan cara lulusnya nggak cuma abstraksi doang, tapi juga melihat dengan jelas, cerita-cerita itu dipake buat apa di dunia nyata. Sastra adalah ilmu menciptakan… Termasuk menciptakan Tuhan, setan, atau ketiadaan. Serem kan.


Terima kasih sudah membaca sampe habis. Kalau kamu suka apa yang kamu baca, jangan lupa traktir saya kopi biar semangat menulis terus, dan saya jadi tahu bahwa ada yang membaca dan menghargai tulisan saya.

Filsafat, Politik, Racauan, terjemahan

Zizek: Korona membawa Komunisme!

Diterjemahkan tanpa izin dari Monitor and Punish: Yes Please, di https://thephilosophicalsalon.com/monitor-and-punish-yes-please/

Banyak orang liberal dan kiri mengamati bagaimana wabah coronavirus telah melegitimasi dan menjustifikasi cara-cara kontrol dan regulasi yang pada awalnya tidak pernah terpikirkan di peradaban demokrasi Barat. Bukankah lockdown total di Italia seperti mimpi basah kaum totalitarian? Wajar kalau China, yang sudah lama mempraktikan kontrol sosial digital, terbukti menjadi negara yang paling siap untuk menghadapi wabah parah ini. Apakah ini artinya, dalam beberapa aspek, masa depan kita akan seperti China? Apakah kita sedang menuju ke masa darurat militer global? Apakah analisa Giorgio Agamben [filsuf Kiri Italia] jadi aktual lagi?

Tidaklah mengejutkan bahwa Agamben sendiri membuat kesimpulan macam ini: ia bereaksi terhadap wabah coronavirus secara berbeda dan radikal dari banyak pendapat umum. Ia bilang bahwa “segala tindakan gawat darurat yang kacau, irasonal, dan tak terjamin ini untuk wabah coronavirus” yang cuma versi lain dari flu, dan bertanya: ”kenapa media dan pemerintah seperti sangat berusaha membuat kepanikan, dan memprovokasi masa darurat, yang mengakibatkan sulitnya bergerak dan terhentinya kehidupan sehari-hari dan aktivitas kerja seluruh wilayah?”

Agamben melihat alasan untuk “respon berlebihan” ini adalah karena “meningkatnya keinginan masyarakat untuk menggunakan darurat sipil sebagai cara pemerintahan yang normal.” Keadaan ini membuat pemerintah dapat secara serius membatasi kebebasan kita dengan hukum eksekutif: “Sudah terlihat jelas buktinya bahwa larangan-larangan ini tidaklah pantas untuk apa yang menurut NRC (Konsulat Riset Italia) adalah flu biasa, tidak berbeda dari apa yang menimpa kita tiap tahun. /…/Kita bisa bilang bahwa ketika terorisme sudah basi untuk jadi justifikasi keadaan darurat, penemuan wabah dapat memberikan alasan ideal untuk memperbesar usaha-usaha kontrol tersebut tanpa ada batas.” Alasan kedua adalah “keadaan ketakutan, yang beberapa tahun belakangan ini telah ditanamkan ke dalam kesadaran individual dan diterjemahkan menjadi kebutuhan untuk jadi panik secara kolektif, yang ditawarkan wabah ini menjadi alasan yang ideal.”

Agamben menggambarkan aspek penting dari kontrol negara yang fungsional dalam wabah yang sedang terjadi. Tapi ada pertanyaan-pertanyaan yang tetap terbuka lebar: kenapa kuasa negara ingin mendorong panik seperti itu, yang buntutnya adalah ketidakpercayaan kepada negara (“negara tidak becus, tidak cukup kerja…”) dan mengganggu reproduksi modal? Apakah ini benar-benar maksud pemilik modal dan kuasa negara, untuk memicu sebuah krisis ekonomi global demi memberi semangat hidup untuk rezimnya? Tidakkah ada tanda-tanda jelas bahwa wabah ini bukan hanya mempengaruhi orang biasa tapi juga negara—apakah ini semua adalah strategi?

Reaksi Agamben adalah bentuk ekstrim dari pendirian kaum Kiri dalam membaca “panik berlebihan” yang disebabkan oleh virus sebagai gabungan antara praktik kuasa untuk kontrol sosial dan elemen rasisme langsung (“salahkan kebiasaan orang China”). Tetapi, interpretasi sosial semacam itu tidak membuat realitas ancamannya menghilang. Apakah realitas ini mewajibkan kita untuk secara efektif menutup kebebasan kita? Karantina dan usaha seperti itu, tentunya, membatasi kebebasan kita, dan Assange-Assange baru dibutuhkan untuk mengungkap penyalahgunaan kekuasaan dalam masa seperti ini. Tapi ancaman infeksi virus juga memberikan dorongan besar untuk bentuk-bentuk baru solidaritas lokal dan global. Orang-orang sudah benar untuk menyalahkan pemerintah mereka: Anda yang punya kuasa, tunjukkan Anda bisa apa! Tantangan yang dihadapi Eropa adalah untuk membuktikan bahwa apa yang dilakukan China bisa dilakukan dengan cara-cara yang lebih transparan dan demokratis.

“China memperkenalkan cara yang tidak bisa ditoleransi Eropa dan Amerika, karena mereka pikir cara China bisa menyakiti kebebasan mereka. Tapi sejujurnya, salah jika kita secara terburu-buru menganggap bahwa semua jenis pengindraan dan pembuatan model sebagai ‘mata-mata’ dan pemerintahan yang aktif sebagai ‘kontrol sosial’. Kita butuh cara yang lain dan kosakata yang lebih beragam untuk mengintervensi hal semacam ini.” [1]

“Kosakata beragam” artinya adalah cara-cara yang diperlukan untuk mengatasi wabah tidak seharusnya secara otomatis dianggap sebagai memata-matai dan mengontrol seperti dibilang pemikir seperti Foucault. Apa yang saya takutkan hari ini lebih daripada cara yang dilakukan China (dan Italia, dll…) adalah bahwa cara-cara ini tidak akan berhasil untuk menangulangi wabah ini, sementara penguasa memanipulasi dan menyembunyikan data.

Baik orang Kanan alternatif dan Kiri palsu menolak realitas sebenarnya dari wabah ini, mereka menyepelekannya dalam sebuah praktik reduksi konstruktivis-sosial, yaitu menolak kenyataan atas nama arti sosialnya. Trump dan anteknya berkali-kali bilang bahwa wabah ini adalah sebuah plot dari Demokrat dan China untuk membuatnya kalah di Pemilu berikutnya, sementara beberapa orang kiri menolak cara yang ditawarkan negara dan aparat kesehatannya karena dianggap anti asing, dan karenanya, ngotot tetap jabat tangan, dsb. Pendirian seperti ini tidak paham paradox yang sedang berlangsung: bahwasannya tidak berjabat tangan dan mengisolasi diri saat dibutuhkan ADALAH bentuk solidaritas hari ini.

Siapa yang hari ini bisa jabat tangan atau memeluk? Mereka yang hidup dalam kemewahan. Decameron karya Boccaccio adalah buku yang terdiri dari cerita-cerita yang disampaikan oleh tujuh perempuan muda dan tiga lelaki muda yang berlindung di sebuah villa pribadi di luar kota Florensia untuk kabur dari wabah yang menyerang kota. Elit-elit finansial akan mundur ke zona-zona tersendiri dan menghibur diri mereka dengan saling bercerita dalam gaya Decameron. (Kaum ultra-kaya sudah naik jet pribadi ke kepulauan kecil mereka di Karibia.) Kita, orang-orang biasa, yang harus hidup dengan virus, dibombardir oleh formula “Jangan panik” yang sudah diulang-ulang… dan semua data yang kita dapat cuma bikin tambah panik. Keadaan ini mengingatkan saya tentang masa muda saya di negara Komunis: waktu petugas pemerintah meyakinkan masyarakat untuk tidak panik, kita menanggap suruhan itu sebagai tanda bahwa mereka sendiri sebenarnya sedang panik.

Tapi kepanikan bukanlah cara untuk menghadapi ancaman. Saat kita bereaksi dengan kepanikan, kita tidak menganggap ancaman itu serius; sebaliknya, kita menganggapnya remeh. Coba pikir, betapa tololnya orang-orang yang memborong tissue toilet di Amerika: seakan-akan tissue toilet ada gunanya di masa wabah mematikan… Jadi, apa reaksi yang benar dalam menghadapi wabah coronavirus ini? Apa yang harus kita pelajari untuk menghadapinya secara serius?

Waktu saya bilang bahwa wabah coronavirus bisa memberi kehidupan baru untuk komunisme, klaim saya, seperti yang bisa diduga, diremehkan. Walaupun China yang komunis itu nampaknya berhasil menghadapi krisis -paling tidak lebih baik daripada Italia-, logika otorianisme Komunis di China juga menunjukkan keterbatasannya. Salah satunya bahwa ketakutan untuk memberitahu penguasa (dan masyarakat) tentang kabar buruk melebihi hasil aktualnya. Inilah kenapa orang-orang yang pertama kali melaporkan adanya wabah malah ditahan, dan ada laporan-laporan hal yang sama terjadi juga sekarang: “Tekanan untuk membuat China kembali bekerja setelah shutdown akibat coronavirus telah membangkitkan godaan baru: memanipulasi data untuk menunjukkan kepada para pejabat apa yang mau mereka lihat saja. Fenomena ini terjadi di provinsi Zheijiang, sebuah hub industry di pantai timur, dalam bentuk penggunaan listrik. Paling tidak tiga pemerintah kota di sana sengaja menyuruh menyalakan listrik di tiga pabrik untuk menunjukkan data bahwa pabrik sudah kembali produksi. Pemkot menyuruh pemilik pabrik untuk menyalakan mesin, walaupun pabrik mereka kosong, kata warga di sana.

”Kita juga bisa menebak apa yang akan terjadi ketika para pejabat tinggi sadar mereka ditipu: manajer lokal akan dituduh sabotase dan akan dihukum, yang menyebabkan lingkaran setan ketidakpercayaan… seorang Julian Assange China akan dibutuhkan untuk membuka ke masyarakat cara China yang semacam ini dalam menghadapi wabah. Jadi, jika ini bukan Komunisme yang saya pikirkan, apa yang saya maksud dengan Komunisme? Untuk mengerti yang saya maksud, Anda harus baca deklarasi publik dari WHO. Begini isinya:

“Kepala WHO Dr. Tedros Adhanom Ghebreyesus mengatakan hari Kamis bahwa walaupun otoritas kesehatan masyarakat di seluruh dunia memiliki kekuatan untuk melawan penyebaran virus, WHO khawatir bahwa komitmen politik di beberapa negara tidak bisa mengalahkan tingkat ancaman virus. ‘Ini bukan latihan. Ini bukan saatnya menyerah. Ini bukan saatnya membuat alasan. Ini adalah saatnya menarik semua rintangan. Negara-negara telah merencanakan skenario semacam ini selama puluhan tahun. Sekarang saatnya menjalankan rencana itu.’ Kata Tedros. ‘Wabah ini bisa kita pukul mundur, namun hanya dengan pendekatan kolektif, terkoordinasi, dan komprehensif yang melibatkan seluruh mesin pemerintahan.”

Orang bisa menambahkan bahwa pendekatan komprehensif harus menggapai lebih dari mesin satu pemerintahan: itu harus melebihi mobilisasi orang di luar kontrol negara juga koordinasi dan kolaborasi internasional yang kuat dan efisien. Jika ribuan orang dirawat karena masalah pernapasan, banyak mesin pernafasan akan dibutuhkan, dan untuk mendapatkannya, negara harus langsung ikut campur produksi mesin seperti ketika mereka ikut campur produksi senjata di masa perang. Dan itu harus bersandar kepada kerjasama dengan negara lain. Seperti di kampanye militer, informasi harus dibagi dan rencana harus dikoordinasikan secara penuh – INI adalah yang saya maksud dengan “Komunisme” yang dibutuhkan hari ini, atau, seperti kata Will Hutton: “Saat ini, bentuk bentuk globalisasi pasar bebas yang tidak diatur dengan resiko krisis dan wabah hampir mati. Dan bentuk lain yang mengakui saling keterhubungan dan aksi kolektif berazaskan bukti konkrit telah lahir.” Apa yang sekarang masih banyak menguasai kita adalah pikiran “setiap negara untuk dirinya masing-masing,”: “ada larangan nasional terhadap eksport produk penting seperti perlengkapan medis, dengan negara-negara yang tertinggal dari sisi analisis krisis dan masih menggunakan persedian lokal yang terbatas, dan pendekatan penanggulangan bencana yang primitif.”

Wabah coronavirus tidak hanya menandakan batas globalisasi pasar, itu juga menandakan batas fatal dari populisme nasionalis, yang ngotot untuk berdaulat secara tertutup. Sudah selesai slogan “America (atau siapapun) First!” sejak Amerika hanya bisa diselamatkan oleh koordinasi dan kolaborasi global. Saya bukan seorang utopis; saya tidak tertarik dengan masyarakat ideal, solidaritas antar manusia. Sebaliknya, krisis hari ini menunjukan jelas bagaimana solidaritas global dan kooperasi untuk kepentingan semua dan setiap kita, bagaimana solidaritas menjadi hal yang rasional dan egois yang harus dilakukan. Dan bukan hanya untuk coronavirus: China sendiri menderita wabah flu babi beberapa bulan lalu, dan sekarang sedang terancam invasi belalang. Dan, seperti yan ditulis Owen Jones, krisis iklim membunuh banyak orang di dunia melebihi coronavirus, tapi tidak ada panik akan hal ini…

Orang penganut vitalis [yang memisahkan dunia materi dan immaterial] yang sinis, akan tergoda untuk melihat coronavirus sebagai infeksi yang baik, yang membuat kemanusiaan menyingkirkan orang tua, lemah dan sakit, seperti mencabut separuh akar yang rusak, dan berkontribusi kepada kesehatan secara global. Pendekatan Komunis luas yang saya ajukan adalah satu-satunya cara untuk meninggalkan pemikiran vitalis primitif semacam itu. Tanda-tanda untuk mengurangi solidaritas tanpa pamrih sudah bisa dilihat di banyak perdebatan, seperti catatan ini tentang peran “tiga orang bijak” jika wabah menjadi lebih berbahaya di Inggris: “Pasien yang ditanggung asuransi negara (NHS) bisa ditolak dari rumah sakit dalam penyebaran wabah yang parah di Inggris jika UGD sedang mengadapi coronavirus, dokter-dokter senior diperingatkan. Di bawah protokol ‘tiga orang bijak’, tiga konsultan senior di sebuah rumah sakit harus dipaksa untuk membuat keputusan dalam membatasi perawatan ventilator dan tempat tidur, ketika rumah sakit sudah kepenuhan pasien.” Apa kriteria “tiga orang bijak” tersebut? Mengorbankan yang lemah dan yang tua? Dan apakah situasi ini tidak membuka kesempatan korupsi? Apakah ini artinya kita siap untuk melakukan logika paling brutal dari yang pas yang selamat (survival of the fittest)? Jadi, lagi-lagi, pilihan utama adalah semacam Komunisme model baru.

Tapi sebenarnya lebih dalam daripada itu. Apa yang saya temukan mengganggu adalah bagaimana, ketika media kita mengumumkan semacam jalan keluar atau pembatalan acara, mereka membuat aturan yang menambakan pembatasan sementara: “sekolah akan di tutup sampai tanggal 4 april.” Harapan besarnya adalah, setelah puncak wabah yang seharusnya sampai dengan cepat, keadan akan kembali normal. Dalam hal ini, saya sudah diinformasikan bahwa symposium universitas akan ditunda sampai September… intinya adalah, walaupun keadaan perlahan-lahan akan kembali normal, semua tidak akan sama seperti sebelum ada wabah: hal yang biasa kita pakai sehari-hari tidak akan kita sia-siakan lagi; kita harus belajar untuk hidup dalam keadaan yang lebih rapuh, dengan ancaman yang terus menerus mengawasi secara tersembunyi.

Untuk alasan ini, kita akan mulai waspada terhadap hal-hal yang dapat menyebarkan virus dalam interaksi sehari-hari kita, dengan orang dan benda-benda disekitar kita, termasuk tubuh kita sendiri: hindari menyentuh benda yang mungkin bisa (tidak terlihat) “kotor”, jangan sentuh pegangan besi, jangan duduk di toilet public atau kursi taman, jangan memeluk atau menjabat tangan orang lain… kita bahkan akan hati-hati menhontrol diri kita sendiri dan gerakan spontan kita: jangan sentuh hidung atau gosok mata – singkatnya, jangan bermain dengan diri sendiri. Jadi, bukan hanya agensi lain yang akan mengontrol kita; kita harus mengontrol dan mendisiplinkan diri sendiri! Mungkin realitas virtual kita akan bisa dianggap aman, dab bergerakdi alam terbuka hanya akan tersedia untuk orang ultra-kaya.

Tetapi bahkan di sini, di level realitas virtual dan internet, kita harus mengingatkan diri sendiri bahwa di decade-dekade terakhir, istilah “virus” dan “viral” kebanyakan dipakai untuk mendesain virus-virus digital yang menginfeksi ruang-web dan yang kita tidak sadar, paling tidak kekuatan merusaknya (contohnya, menghancurkan data atau hard-drive kita.). Apa yang kita lihat sekarang adalah kembalinya kata virus ke arti harfiahnya: infeksi viral berkerja lintas dimensi, kenyataan dan virtual.

Jadi kita harus mengubah semua cara kita berpikir tentang kehidupan, tenttang keberadaan kita sebagai makhluk hidup di antara bentuk-bentuk kehidupan lain. Dengan kata lain, jika kta mengerti “filsafat” sebagai nama untuk orientasi dasar hidup kita, kita akan harus mengalamu revolusi filosofis yang sebenarnya. Mungkin kita bisa belajar sesuatu tentang reaksi kita terhadap wabah coronavirus dari Elisabeth Kubler-Ross yang, dalam bukunya On Death and Dying, menyodorkan skema terkenal dari lima tahap bagaimana kita belajar ketika kita punya penyakit kronis: denial (menolak fakta:”Ini tidak mungkin terjadi, tidak pada saya.”); kemarahan (yang meledak ketika kita tidak bisa lagi melawan fakta: ”Kenapa ini terjadi pada saya?”), menawar (dengan harapan bagaimanapun caranya kita bisa menunda atau menghilangkan fakta: ”Tolong biarkan saya melihat anak-anak saya lulus sekolah.”); depresi (ketidakpedulian libidinal: ”Saya akan mati, kenapa harus peduli?”); penerimaan (“Saya tidak bisa melawannya, lebih baik saya bersiap.”). Nantinya, Kubler-Ross mengaplikasikan tahap-tahap ini menjadi penerimaan terhadap kehilangan pribadi (pengangguran, kematian orang yang dicintai, perceraian, ketergantungan terhadap narkoba), dan juga menekankan bahwa tehap-tahap ini tidak selalu datang dalam kronologi yang sama, tidak juga kelima tahap dialami semua pasien.

Orang bisa melihat tahap-tahap ini di masyarakat setiap kali mereka dihadapkan dengan kehancuran traumatis. Mari kita lihat bencana ekologi: pertama kita akan menolaknya (“Ini hanya paranoia, ini cuma siklus cuaca saja”); lalu datang kemarahan (kepada korporasi besar yang telah mengotori lingkungan, kepada pemerintah yang membiarkan hal ini terjadi); lalu mulailah menawar (jika kita daur ulang, kita bisa membeli waktu, dan ada juga sisi baiknya, sekarang kita bisa menanam sayur di Greenland, kapal-kapal bisa mengantar barang dari China ke Amerika lebih cepat karena es di Utara mencair, tanah-tanah subur yang baru sudah tersedia di utara Siberia karena permafrost sudah mencair…), depresi (semua sudah terlambat, kita hancur sudah…) dan, akhirnya, penerimaan: kita sedang menghadapi ancaman serius dan kita harus mengubah cara hidup kita!

Hal yang sama juga terjadi pada ancaman kontrol digital yang terus berkembang di kehidupan kita: pertama kita menolaknya (“ah itu semua lebay, ketakutan orang Kiri saja, tidak ada agency yang bisa mengontrol aktivitas harian kita…”), lalu kemarahan (kepada perusahaan besar dan agensi rahasia milik negara yang lebih tahu kita daripada diri kita sendiri dan menggunakan informasi tersebut untuk memanipulasi kita…), depresi (“Semua sudah terlambat privasi kita sudah habis”), dan, akhirnya, penerimaan: kontrol digital adalah ancaman terhadap kebebasan kita: kita harus membuat publik menyadari semua dimensinya dan mulai melawan!

Bahkan di ranah politik, orang juga berhadapan dengan cara yang sama menghadapi kekuasaan Trump: pertama penolakan (“Jangan khawatir, dia cuma berlagak, tidak ada yang akan berubah ketika ia berkuasa”), marah (pada kekuatan gelap yang membuat ia berkuasa, kepada populis yang mendukungnya, dan membuat ancaman terhadap moral kita…), menawar (“Belum semuanya hancur, mungkin Trump bisa ditanggulangi, ayo kita toleransi saja beberapa kegilaannya…”), depresi (“Kita sedang menghadapi Fasisme, demokrasi sudah hilang di Amerika”), dan penerimaan: ada rezim politik baru di Amerika, Demokrasi Amerika yang lama sudah hilang, ayo kita hadapi bahaya ini dan dengan tenang merencakan cara melawan populisme Trump…

Di abad pertengahan, populasi dari kota yang terkena wabah juga dapat dilihat dengan lima tahap yang sama: penolakan, lalu marah (pada cara hidup yang berdosa atau bahkan pada Tuhan yang membiarkan bencana ini terjadi), lalu menawar (“Tidak jelek-jelek amat, kita hindari saja mereka yang sakit”), depresi (“Hidup kita telah berakhir”), lalu, kerennya, pesta seks (“Karena hidup kita akan berakhir, ayo kita nikmati hidup selama masih mungkin —mabuk-mabikan, seks…”), dan, akhirnya, penerimaan: di sinilah kita, ayo kita berusaha jadi baik selama yang kita bisa seakan-akan hidup masih normal.

Dan bukankah ini cara yang sama ketika kita berhadapan dengan coronavirus tahun 2019? Pertama penolakan (“Tidak ada yang serius, cuma orang tidak bertanggung jawab yang menyebarkan panik”); lalu marah (biasanya dalam bentuk rasisme atau anti-negara: “si China yang kotor bersalah, negara kita tidak berguna…”); lalu mulai menawar (“OK, ada korban, tapi ini tidak seserius SARS, dan kita bisa membatasi kerusakannya…”:); jika ini tidak berhasil, depresi datang (“jangan bercanda, mati kita semua”). Tapi apa yang jadi penerimaan di sini? Aneh kalau kita melihat fakta bahwa wabah ini menunjukan kemiripan dengan prostes sosial yang baru-baru ini terjadi (di Prancis, di Hongkong): ia hilang setelah meledak; malahan, ia tetap ada terus, membawa ketakutan permanen dan kerapuhan ke hidup kita. Tapi penerimaan ini bisa jalan ke dua arah. Itu bisa berarti normalisasi ulang dari penyakit: “OK, orang-orang akan sekarat, tapi hidup jalan terus, mungkin aka nada efek samping yang baik…” atau peneriman yang bisa (dan harusnya) membuat kita mampu memobilisasi diri sendiri tanpa panik, untuk bertindak secara kolektif dan dengan solidaritas.

Apa yang harus kita terima, apa yang harus kita perbaiki dalam diri kita, adalah bahwa adala lapisan dalam hidup, mayat hidup, yang bodohnya terus berulang, dari virus yang hadir semejak masa pre-seksual, yang selalu di sini dan akan selalu bersama kita sebagai bayangan gelap, membaut ancaman terhadap kelangsungan hiudpkan, meledak tanpa kita sangka. Dan dalam tingkatan yang lebih umum, wabah virus mengingatkan kita tentang ketidakpastian dan ketidakberartian hidup kita: seberapapun kompleksnya spiritualitas kita, kemanusiaan kita, bawaan kita, sebuah ketidakpastian alam seperti virus atau asteroid bisa mengakhiri semuanya… Belum lagi pelajaran ekologi bahwa kita, manusia, bisa jadi berkontribusi terhadap akhir kita sendiri.

Untuk membuat poin ini lebih jelas, dengan tidak tahu malu saya akan mengutip definisi populer dari virus: virus adalaha “agen yang menyebarkan infeksi apapun, biasanya ultramicroscopic, yang terdiri dari asam nucleid, RNA atau DNA, dengan bungkus protein: mereka menginfeksi binatang, tumbuhan, dan bakteri dan bereproduksi hanya di dalam sel-sel hidup: virus dianggap bahan kimia yang tidak hidup atau kadang dianggap organisme hidup.” Pemaknaan antara hidup dan mati ini penting sekali: virus tidak hidup atau mati dalam penggunaan istilah umum ini. Mereka adalah mayat hidup: virus hidup karena insting untuk bereplikasi, tapi tingkat hidupnya nol, sebuah karikatur biologi yang tidak ada maksud membunuh atau membuat hidup, cuma ada ketololan untuk terus berulang dan menggandakan diri sendiri. Tetapi, virus bukan bagian kehidupan dimana bentuk yang lebih kompleks berkembang. Virus adalah parasit murni; mereka menggandakan dirinya sendiri dengan menginfeksi organisme yang sudah berkembang (ketika virus menginfeksi kita, manusia, kita cuma jadi mesin fotokopi mereka). Adalah dalam kebetulan ini -antara yang dasar dan yang parasite –  hadir misteri dari virus. Mereka adalah kasus yang Schelling katakana sebagai “der nie aufhebbare Rest,”  sebuah sisa dari bentuk kehidupan yang muncul akibat malfungsinya mekanisme penggandaan yang lebih tinggi dan terus menghantui (menginfeksi), sisa yang tdak pernah akan dapat disatukan sebagai bagian yang mematuhi tingkat kehidupan yang lebih tinggi.

Di sini kita berhadapan dengan apa yang Hegel bilang sebagai “penilaian spekulatif,” sebuah penekanan identitas dari yang tertinggi dan yang terendah. Contoh Hegel yang paling terkenal adalah “Jiwa adalah tulang” dari analisisnya di terhadap phrenology dalam Phenomenology of Spirit, dan contoh buat kita harusnya “jiwa adalah virus.” Apakah jiwa manusia juga adalah virus yang menjadi parasit di dalam tubuh binatang bernama manusia? Mengeksploitasinya untuk reproduksi dirinya sendiri, dan kadang mengancam untuk menghancurkannya? Dan, sejauh berlaku sebagai medium dari jiwa, bahasa adalah, kita tidak boleh lupa, di tingkat paling dasarnya, bahasa adalah suatu hal yang mekanik, sebuah aturan yang kita harus pelajari dan ikuti.

Richard Dawkins berpendapat bahwa meme adalah “virus dari pikiran,” sebuah zat parasit yang “menjajah” pikiran manusia, menggunakannya sebagai cara untuk menggandakan dirinya sendiri. Itu adalah ide yang ditemukan oleh Leo Tolstoy. Tolstoy biasanya dianggap tidak sekeren Dostoyevski. Tolstoy seorang realis ketinggalan zaman yang tidak punya tempat di modernitas, berlawanan dengan Dostoyevsky dan kegelisahan eksistensialnya. Tetapi mungkin, sudah saat melihat kembali Tolstoy, teori uniknya tentang seni dan manusia secara umum, dimana kita bisa menemukan gema Dawkins soal meme. “Seseorang adalah binatang dengan otak yang terinfeksi, inang terhadap jutaan simbion kultural, dan yang memungkinkan simbion ini bekerja adalah sebuah sistem simbion bernama bahasa” -tidakkah kutipan dari Dennett [2] ini terdengar sangat Tolstoy? Kategori dasar dari antropologi Tolstoy adalah infeksi: subjek manusia adalah medium pasif yang kosong terinfeksi oleh elemen kultural yang, seperti bakteri menular, menyebar dari individual satu ke individual lain. Dan Tolstoy bergerak dari sini sampai akhir: ia tidak melawan penyebaran infeksi afektif ini sebagai otonomi spiritual; dia tidak mengajukan visi heroik ntuk menjadi subjek otonomi yang etis dengan menyingkirkan bakteri ini. Satu-satunya perlawanan adalah pertarungan antara infeksi baik dan infeksi burukk: Kristen – menurut Tolstoy – adalah sebuah infeksi. Infeksi yang baik.

Mungkin inilah hal paling mengganggu yang bisa kita pelajari dari wabah viral ini: ketika alam menyerang kita dengan virus, itu adalah cara alam untuk mengirim balik pesan kita kepada kta sendiri. Pesannya adalah: yang kamu lakukan padaku, sekarang kulakukan padamu.

[1] Benjamin Bratton, komunikasi personal.

[2] Daniel Dennett, Freedom Evolves, London: Penguin Books 2004, p 173.

Memoir, Racauan

Cinta dan Pekerjaan

Belajarlah dari petani yang punya tanah sendiri. Mereka tidak punya jam kerja, alat produksi milik sendiri, kerja sebentar tapi telaten, sisa waktu seharian dipakai untuk leha-leha, main judi, berorganisasi, kawin, atau berkesenian. Tapi tak ada pembagian waktu kerja dan waktu santai, toh bekerja pun tetap santai dan (buat banyak petani yang saya kenal) santai pun sebenarnya sambil kerja. Ada saja yang dibuat, dari mulai bikin alat tani sendiri, sampai bangun rumah sendiri.

Dalam konteks kota, kebanyakan kita tentu tidak bisa begitu. Kebanyakan kita yang mau punya peran ekonomi sosial harus bekerja di bawah payung korporasi dengan sistem dan jam kerja yang mengikat, dengan disiplin kerja dan target-target produksi, dan dengan keterasingan bahwa apa yang kita hasilkan adalah milik perusahaan kita. Keringat kita dibayar dengan gaji untuk hidup sehari-hari. Sistem seperti ini tentunya membuat banyak dari kita stress, apalagi kalau kita tidak mencintai pekerjaan kita.

Tapi pada kenyataannya, ketika kita bekerja hal yang kita cintai dalam konteks industri kota, kita akan tetap terasing. Saya, misalnya, sangat menyukai pekerjaan saya saat ini–sebuah pekerjaan impian dimana saya bisa memproduksi film-film dokumenter pendek secara reguler, dari belahan dunia lain, dan mengandung wacana-wacana yang mampu menggelitik (kalau tidak mengubah) peradaban. Saya cukup senang ketika membantu mengedit ulang film kawan saya dari India, Kshitij Nagar, tentang muslim Sunni dan Syiah di New Delhi yang shalat berjamaah ketika lebaran haji. Saya edit dalam bahasa Indonesia/Malaysia, dan efeknya hate speech berseliweran di kolom komentar dari orang-orang ber-IQ 2 digit. Polemik terjadi, dan mulai banyak yang dihadapkan pada keraguan, apakah kebencian ini pantas untuk terus dijalani. Pekerjaan yang sangat asik, bukan?

Dan yang paling mengasyikan dari pekerjaan saya adalah ada kuota yang harus dikejar, tapi tak ada persaingan yang harus dimenangkan–karena kebetulan kantor saya adalah non-profit yang bergerak dengan uang hibah. Memang ada deg-degannya juga ketika uang hampir habis dan harus cari perpanjangan dana–kami semua tentu takut kehilangan pekerjaan. Tapi toh, karena buat beberapa orang (seperti saya dan bos-bos saya), ini adalah pekerjaan impian, kami selalu membuat target sendiri dan menggapainya semampu kami. Dengan semampu kami bukan seadanya, karena toh target yang kami buat setinggi-tingginya. Kami sekelompok masokis yang senang menantang diri sendiri. Hahaha…

Tempo hari saya bicara dengan seorang kawan lama, pemilik sebuah agency/PH yang usahanya hampir mati. Ia stress karena perusahaannya terancam tutup karena mudahnya orang membuat produk media visual. Teknologi merusak pasar, katanya. Saya coba bahas masalahnya dengan sebuah pertanyaan, sejauh mana kamu mencintai pekerjaanmu?

Ia jawab, “Saya mencintai pekerjaan saya, tapi bagaimana caranya bekerja jika tidak ada klien, tidak ada uang?”

“Kalau memang cinta,” kata saya, “kerja yah kerja saja.” Saya jelaskan padanya bahwa kebanyakan proyek-proyek yang saya kerjakan dengan sepenuh hati dan membuat saya bahagia adalah proyek-proyek dengan bujet kecil atau tidak ada dana sama sekali. Toh sebenarnya untuk bisa kerja kita hanya butuh makan-minum-tidur–seperti layaknya para budak. Bedanya, budak dipaksa bekerja sementara saya tidak. Dalam dunia seni visual, jika tidak ada dana kamera, pinjam. Jika kurang gaul sehingga tidak ada yang mau meminjamkan, pakai HP saja. Jika tidak punya gadget apa-apa, melukislah. Jika tidak ada kertas dan alat gambar, ambil tanah, ambil batu, ambil sampah, buatlah seni instalasi. Kau bahkan bisa membuat musik dengan siulan dan tepuk tangan. Kemungkinannya tak terbatas, mengapa membatasi diri dengan uang?

“Ah, tapi seni seperti itu siapa yang mau lihat? Siapa yang mau beli?” Katanya. “Saya juga stres karena banyak orang-orang yang bukan berlatar belakang media, menjual produk media dengan harga murah.”

“Salah sendiri dijual,” kata saya.”Jual belakangan, bro. Bikin dulu aja. Lagian ngapain takut sama kemampuan orang lain bikin produk. Toh, banyak orang bisa menulis tapi berapa sih yang akan jadi penulis?”

“Ah, kalau begitu artinya masturbasi doang dong?”

“Yah, kalau masturbasi disebar kemana-mana, di kolam renang misalnya, kali aja ada yang hamil kan?”

“Gilak, lo!”

***

Seperti mencari jodoh, mencari pekerjaan yang dicintai tidaklah mudah. Saya sendiri harus eksplorasi banyak hal, mengumpulkan segala macam skill untuk berlabuh di pekerjaan ini. Bahkan saya sempat putus asa selama tinggal di Indonesia–karena tidak ada yang memakai skill saya secara maksimal dengan bayaran yang setimpal. Segala proyek-proyek non profit itu adalah lahan belajar saya, cara saya mengumpulkan skill.

Tapi sesungguhnya saya tidak benar-benar masturbasi. Saya selalu punya guru. Untuk masalah editing saya sering nongkrong di studio editing sejak saya SMA, ketika zaman masih kaset video. Copywriting sudah saya lakukan sejak SMA pula, ketika iseng-iseng membantu perusahaan iklan ibu saya. Kuliah di Sastra UI juga banyak membantu. Teater membantu saya untuk fokus pada sebuah peran. Antropologi membantu saya agar tidak anti sosial, serta melihat dari berbagai sudut pandang manusia. Kecintaan saya pada seni banyak sekali membantu saya baik dalam hal referensi ataupun konseptual, dan semua harus diawali bukan dengan mencari uang, tapi mencari kecintaan, mencari kegemaran.

Karena keluarga saya bukan role model yang baik masalah kerja, jadi saya cenderung mencari sendiri. Berbagai kerja saya geluti, dari penerjemahan sampai menjadi badut di Mal. Saya berusaha membuat diri saya sendiri. Dan di situlah saya sadar, pekerjaan tida ada hubungannya dengan kantor, atau gaji. Pekerjaan buat saya adalah pelarian saya yang paling sakral–seperti beribadah. Ia bisa saya imani, dan membantu memyembuhkan saya dari penyakit-penyakit hati dan otak. Pekerjaan adalah terapi, liburan, rekreasi. Betapa menyengangkannya mencipta sesuatu, apalagi ketika menciptakannya dengan kawan-kawan baik. Maka bahkan ketika tidak ada kantor atau uang pun, saya akan tetap bekerja. Badan gerak, tulis, rekam, edit, publish. Sumbangkan perubahan pada dunia. Konsistensi itulah bukti kecintaan, bukan hanya pada pekerjaan tapi pada diri sendiri, dan pada kehidupan.