Memoir, Racauan

Drama Kecil Di Senayan

Dari status facebook dan pertama kali diterbitkan di note facebook

lalu terbit ulang di website Teater Kinasih, IISP, 1 Juni 2012, dengan editan redaksi.

 

Kepala saya sakit dan pandangan saya pusing ketika saya berjalan pulang dari Senayan City menuju Halte Busway Ratu Plaza malam tadi. Saya baru sembuh dari diopname karena demam berdarah dan Hepatitis A. Tapi saya tidak suka menganggur, jadi saya tetap mengajar di kampus, lalu nongkrong bersama kolega dan mahasiswa di Mal sebentar. Di kelas dan di tongkrongan, saya lupa kalau saya baru sembuh–selalu begitu ketika bertemu mahasiswa-mahasiswa yang semangat. Dan ketika berjalan pulang, kumatlah saya.

Jalanan begitu ramai dengan pejalan kaki yang pulang kantor  menunggu bus. Di perjalanan, belok kiri setelah 7 Eleven, saya melihat ada keributan. Segerombolan orang berkumpul. Seorang kernek bus Patas berlari dari seberang jalan sambil berteriak, “Jangan dipukul lagi! Itu anak kecil!”

Massa sedikit berpencar dari kerumunan, air hujan membentuk kubangan berlumpur, seorang anak lelaki berambut merah  berumur sekitar 10 tahun, merintih kesakitan memegangi perut dan kepalanya. Dalam keadaan basah, ia berteriak-teriak sambil menangis, mengumpat dua orang lelaki dewasa, yang satu tukang parkir dan yang satu lagi lelaki berkemeja coklat muda dan berkalung emas. Setiap dia mengumpat, kedua lelaki itu kembali menghantamnya. Yang satu memukul kepalanya, yang satu menendang perutnya.

“Makanya jangan suka nimpuk-nimpuk orang! Bahaya orang naik motor ditimpuk-timpuk!” si lelaki berkalung emas kembali menendang . Saya dan kernek serta seorang perjalan kaki menahannya. Tapi lalu si tukang parkir kembali memukul si anak. “Udah dibilangin jangan suka nongkrong di sini!”

Si anak dalam kesakitannya masih melawan dan mengumpat. Tukang parkir menyeretnya ke trotoar bukan untuk menyelamatkannya tapi untuk membuangnya. Si kecil itu terjerembab lagi, kali ini ke trotoar. “Jangan ngalangin orang!” Kata si tukang parkir, sambil melemparnya lalu memukul kepalanya lagi. Saya dan si mas pejalan kaki kembali berusaha menghalangi supaya anak itu tidak dipukul, sementara si kernek kembali ke bus patas yang sudah berjalan.

Lalu perlahan saya bicara pada si anak yang terus berteriak kesakitan dan memaki-maki, agar ia sabar. “Sabar…sabar. Ntar lo tambah digebukin, sabar…” Kata saya.

Si anak lalu bilang, “Abis saya nggak tahu apa-apa diusir, bang. Lagi duduk ditendang-tendang.”

Tiba-tiba si pria berkalung emas menerjang hendak menendang, tapi saya halangi dengan punggung saya, ia menghentikan tendangannya. “Ngadu lagi lo! Anjing!” katanya.

“Udah, bang!” Teriak si pejalan kaki. “Anak kecil nggak usah didengerin. Udah!” kata saya menimpali.

Saya lalu membopong si anak agak jauh dari tempat itu. Si pejalan kaki masih menemani saya tanpa bicara banyak. Ia adalah pria usia sekitar 30-an bergaya rambut tentara. Saya bawa si anak yang masih merintih kesakitan. Ketika cukup jauh dari pandangan si tukang parkir dan si pria berkalung emas, beberapa anak kecil lusuh, satu berbaju biru muda dan satu berbaju kuning datang menghampiri. Mereka nampaknya kawan si anak babak belur ini yang kabur ketika keributan dimulai.

Saya dudukkan si anak di dekat penjual minuman, dan saya meminta air. Si pejalan kaki mengambilkan sebotol air mineral. Saya bukakan botol air untuk anak itu dan ia meminumnya sambil terisak-isak.  Ia terus memegang dada kirinya, ketika sudah tenang, si anak yang babak belur itu mulai tidak bisa berkata apa-apa, hanya menangis terisak. Mungkin karena tidak ada yang mengancamnya lagi, atau mungkin karena ia kesakitan. Semua hinaan yang keluar dari mulutnya hanya cara ia membela diri, karena tubuhnya terlalu kecil untuk melawan.

Saya jongkok untuk melihat wajahnya yang sudah mulai membiru, lalu saya bilang padanya, “Lo tuh idup di jalanan, jangan suka ngelawan kalo lo belom bisa ngelawan. Lo jadi kuat dong, jangan sembarangan ye,  lo masih lama idup, jangan mati dulu, masih panjang umurlo.” Dia hanya terisak.

Seorang kawannya yang berbaju kuning nyeletuk memarahi si anak babak belur, “Lo sih nyolot. Nih, gue juga tadi kena gebuk nih.”

Lalu si anak berbaju biru muda bilang, “Kan dia [menunjuk tukang parkir] yang salah. Dia yang salah bang, kita lagi duduk diusir, ditendang-tendang. Ya udah, kita timpuk aja.”

Lalu saya bilang, “Ya udah elo-nya jangan ngelawan, lain kali pindah aja. Kasihan kan kalo ada yang ketangkep gini.”

Setelah bilang itu, saya berdiri dan terasa kembali pusing dan sakit kepala saya.  Ternyata melerai orang ribut dan berjalan kaki cukup jauh lumayan berpengaruh untuk saya. Saya melihat isak si anak sudah mulai mereda jadi saya mohon diri secepatnya. Tidak lucu kalau saya pingsan habis menolong orang.

Saya mengeluarkan uang untuk membayar Air mineral, tapi si pejalan kaki yang dari tadi memperhatikan bilang tidak usah. Dia sudah membayar Air itu. Ia sedang menghisap rokok dan seakan acuh tak acuh. Tapi saya tahu ia sangat peduli. Mungkin kalau saya tidak membopong anak itu duluan, dia yang akan membopongnya. Saya ucapkan terima kasih dan saya bilang, “Mari pak, saya duluan.” Ia hanya mengangguk.

Saya berjalan agak tergopoh-gopoh menuju halte Busway Ratu Plaza, membeli karcis dan langsung naik bus yang baru sampai. Saya mengatur nafas pelan-pelan dan di perhentian berikutnya saya mendapat tempat duduk. Perlahan sakit kepala dan pusing saya hilang dan saya mulai berpikir tentang anak tadi.

Entah sudah berapa kali saya mengajak makan pengamen jalanan cilik. Saya ajak ngobrol, dan mereka bercerita tentang hidup mereka. Di notes lain, saya pernah menulis tentang mereka. Tapi ini pertama kali saya benar-benar berhadapan dengan kekerasan di jalan. Kekerasan yang sangat tidak adil: dua tubuh besar, melawan tubuh kecil tanpa tenaga kecuali mulut dengan kata-kata pisau.

Seandainya saya tidak sakit, saya pasti mengajak mereka (tiga anak kecil tadi) makan malam dulu. Dan saya menyesal tidak melakukan itu.

 

Jakarta, 2012.