Kepala saya sakit dan pandangan saya pusing ketika saya berjalan pulang dari Senayan City menuju Halte Busway Ratu Plaza malam tadi. Saya baru sembuh dari diopname karena demam berdarah dan Hepatitis A. Tapi saya tidak suka menganggur, jadi saya tetap mengajar di kampus, lalu nongkrong bersama kolega dan mahasiswa di Mal sebentar. Di kelas dan di tongkrongan, saya lupa kalau saya baru sembuh–selalu begitu ketika bertemu mahasiswa-mahasiswa yang semangat. Dan ketika berjalan pulang, kumatlah saya.
Jalanan begitu ramai dengan pejalan kaki yang pulang kantor menunggu bus. Di perjalanan, belok kiri setelah 7 Eleven, saya melihat ada keributan. Segerombolan orang berkumpul. Seorang kernek bus Patas berlari dari seberang jalan sambil berteriak, “Jangan dipukul lagi! Itu anak kecil!”
Massa sedikit berpencar dari kerumunan, air hujan membentuk kubangan berlumpur, seorang anak lelaki berambut merah berumur sekitar 10 tahun, merintih kesakitan memegangi perut dan kepalanya. Dalam keadaan basah, ia berteriak-teriak sambil menangis, mengumpat dua orang lelaki dewasa, yang satu tukang parkir dan yang satu lagi lelaki berkemeja coklat muda dan berkalung emas. Setiap dia mengumpat, kedua lelaki itu kembali menghantamnya. Yang satu memukul kepalanya, yang satu menendang perutnya.
“Makanya jangan suka nimpuk-nimpuk orang! Bahaya orang naik motor ditimpuk-timpuk!” si lelaki berkalung emas kembali menendang . Saya dan kernek serta seorang perjalan kaki menahannya. Tapi lalu si tukang parkir kembali memukul si anak. “Udah dibilangin jangan suka nongkrong di sini!”
Si anak dalam kesakitannya masih melawan dan mengumpat. Tukang parkir menyeretnya ke trotoar bukan untuk menyelamatkannya tapi untuk membuangnya. Si kecil itu terjerembab lagi, kali ini ke trotoar. “Jangan ngalangin orang!” Kata si tukang parkir, sambil melemparnya lalu memukul kepalanya lagi. Saya dan si mas pejalan kaki kembali berusaha menghalangi supaya anak itu tidak dipukul, sementara si kernek kembali ke bus patas yang sudah berjalan.
Lalu perlahan saya bicara pada si anak yang terus berteriak kesakitan dan memaki-maki, agar ia sabar. “Sabar…sabar. Ntar lo tambah digebukin, sabar…” Kata saya.
Si anak lalu bilang, “Abis saya nggak tahu apa-apa diusir, bang. Lagi duduk ditendang-tendang.”
Tiba-tiba si pria berkalung emas menerjang hendak menendang, tapi saya halangi dengan punggung saya, ia menghentikan tendangannya. “Ngadu lagi lo! Anjing!” katanya.
“Udah, bang!” Teriak si pejalan kaki. “Anak kecil nggak usah didengerin. Udah!” kata saya menimpali.
Saya lalu membopong si anak agak jauh dari tempat itu. Si pejalan kaki masih menemani saya tanpa bicara banyak. Ia adalah pria usia sekitar 30-an bergaya rambut tentara. Saya bawa si anak yang masih merintih kesakitan. Ketika cukup jauh dari pandangan si tukang parkir dan si pria berkalung emas, beberapa anak kecil lusuh, satu berbaju biru muda dan satu berbaju kuning datang menghampiri. Mereka nampaknya kawan si anak babak belur ini yang kabur ketika keributan dimulai.
Saya dudukkan si anak di dekat penjual minuman, dan saya meminta air. Si pejalan kaki mengambilkan sebotol air mineral. Saya bukakan botol air untuk anak itu dan ia meminumnya sambil terisak-isak. Ia terus memegang dada kirinya, ketika sudah tenang, si anak yang babak belur itu mulai tidak bisa berkata apa-apa, hanya menangis terisak. Mungkin karena tidak ada yang mengancamnya lagi, atau mungkin karena ia kesakitan. Semua hinaan yang keluar dari mulutnya hanya cara ia membela diri, karena tubuhnya terlalu kecil untuk melawan.
Saya jongkok untuk melihat wajahnya yang sudah mulai membiru, lalu saya bilang padanya, “Lo tuh idup di jalanan, jangan suka ngelawan kalo lo belom bisa ngelawan. Lo jadi kuat dong, jangan sembarangan ye, lo masih lama idup, jangan mati dulu, masih panjang umurlo.” Dia hanya terisak.
Seorang kawannya yang berbaju kuning nyeletuk memarahi si anak babak belur, “Lo sih nyolot. Nih, gue juga tadi kena gebuk nih.”
Lalu si anak berbaju biru muda bilang, “Kan dia [menunjuk tukang parkir] yang salah. Dia yang salah bang, kita lagi duduk diusir, ditendang-tendang. Ya udah, kita timpuk aja.”
Lalu saya bilang, “Ya udah elo-nya jangan ngelawan, lain kali pindah aja. Kasihan kan kalo ada yang ketangkep gini.”
Setelah bilang itu, saya berdiri dan terasa kembali pusing dan sakit kepala saya. Ternyata melerai orang ribut dan berjalan kaki cukup jauh lumayan berpengaruh untuk saya. Saya melihat isak si anak sudah mulai mereda jadi saya mohon diri secepatnya. Tidak lucu kalau saya pingsan habis menolong orang.
Saya mengeluarkan uang untuk membayar Air mineral, tapi si pejalan kaki yang dari tadi memperhatikan bilang tidak usah. Dia sudah membayar Air itu. Ia sedang menghisap rokok dan seakan acuh tak acuh. Tapi saya tahu ia sangat peduli. Mungkin kalau saya tidak membopong anak itu duluan, dia yang akan membopongnya. Saya ucapkan terima kasih dan saya bilang, “Mari pak, saya duluan.” Ia hanya mengangguk.
Saya berjalan agak tergopoh-gopoh menuju halte Busway Ratu Plaza, membeli karcis dan langsung naik bus yang baru sampai. Saya mengatur nafas pelan-pelan dan di perhentian berikutnya saya mendapat tempat duduk. Perlahan sakit kepala dan pusing saya hilang dan saya mulai berpikir tentang anak tadi.
Entah sudah berapa kali saya mengajak makan pengamen jalanan cilik. Saya ajak ngobrol, dan mereka bercerita tentang hidup mereka. Di notes lain, saya pernah menulis tentang mereka. Tapi ini pertama kali saya benar-benar berhadapan dengan kekerasan di jalan. Kekerasan yang sangat tidak adil: dua tubuh besar, melawan tubuh kecil tanpa tenaga kecuali mulut dengan kata-kata pisau.
Seandainya saya tidak sakit, saya pasti mengajak mereka (tiga anak kecil tadi) makan malam dulu. Dan saya menyesal tidak melakukan itu.
Esei Pengantar untuk Album Iman Fattah, “Sonic Collage: Beats, Glitches and Digital Noises,” ini pertama kali terbit di blog Iman Fattah, 18 April 2014.
Eksistensi. Betapa mudah kita ada di dunia dan betapa berat proses setelahnya. Proses mengisi. Proses menjadi. Sesungguhnya hidup akan lebih mudah ketika kita lahir di sebuah lingkungan sederhana. Sebuah keluarga yang tinggal di hutan, tanpa koneksi ke keluarga-keluarga lain. Tanpa banjir informasi. Tanpa referensi. Aturan hidup jelas: kita hanya mesti bertahan. Tapi semua jadi ringan namun sulit dipapah ketika kita hidup di dalam masyarakat yang kompleks. Dalam teknologi yang maju, teknologi yang awalnya dimaksudkan untuk membantu hidup kita, kita malah terperangkap. Di gedung-gedung. Di kubikel-kubikel kantor. Di depan TV di rumah. Dalam gubuk kumuh semi permanen di pinggir kali. Dalam bus, angkot dan mobil di kemacetan. Kita, homo Jakartanensis, adalah manusia yang menanggung beban berat. Dimana pun kita hidup, sebagai siapapun: orang kaya, orang miskin, tua, muda, berbagai macam profesi, berbagai macam etnis, berbagai macam perjuangan, kita sulit. Sulit karena kita tidak hanya dituntut untuk bertahan hidup. Kita dituntut untuk kreatif membuat identitas kita, siapa kita, apa yang bisa kita lakukan, apa yang kita bicarakan, apa yang kita tahu, apa yang kita percaya dan apa yang kita beli. Semua itu menentukan identitas kita.
Suku Mentawai telah hidup di hutan hujan tropis selama ribuan tahun. Kredit foto Sergey Ponomarev untuk The New York Times
Tantangan terbesar bukan bertahan hidup. Tantangan terbesar adalah memaknai hidup. Memaknai diri dan orang lain. Memaknai dunia. Dan semakin banyak informasi, semakin banyak tahu, semakin banyak hubungan maka semakin sulit kita memaknai eksistensi kita. Semakin sulit mencari tujuan. Karena itu kita seringkali lari kepada yang menawarkan kepastian instan: korporasi kapitalis, agama, atau sesederhana menyerah kalah dengan mengerahkan tenaga kita untuk bertahan hidup saja seperti apapun caranya—halal atau haram. Kota mengajarkan kita untuk menjadi konsumen semata. Menjadi robot yang selalu bekerja. Atau menjadi binatang yang selalu berusaha memuaskan hasrat semata. Di situ kemanusiaan kita diambil. Dalam kekayaan atau kemiskinan material, ketika kita hanya mengonsumsi, kita menjadi miskin. Miskin makna. Miskin keberadaan. Dalam konteks seperti inilah Iman Fattah mengomposisi Sonic Collage: Beats, Glitches and Digital Noises.
Melawan dengan Mengembalikan Suara
Sonic Collage: Beats, Glitches and Digital Noises melawan semua konteks di atas. Direkam dalam medium pita kaset, ia adalah sebuah abstraksi kehidupan posmodern: teknologi baru dalam medium lama. Isinya terdengar baru, namun sesungguhnya ‘hanya’ dibuat dari setitik sisa kemanusiaan dalam peradaban kota kita: setitik elemen manusia yang membaca, memproses dan mencipta hal-hal dari suara-suara keseharian yang seringkali dianggap biasa, mengganggu dan tak ada. Walaupun konsep ini sudah sering dibuat oleh banyak seniman lain baik dalam seni rupa, teater, film dan musik—dalam genre yang kini sering dikenal sebagai Neo-Realisme—namun konsep ini akan jadi selalu baru. Karena manusia adalah makhluk yang selalu unik, tak pernah diciptakan sama. Bahkan anak kembar yang lahir dan dibesarkan oleh keluarga yang sama pun akan melihat dunia dengan cara yang berbeda.
Album ini adalah sedikit permaknaan kehidupan kota. Sebuah bukti bahwa kita yang hidup dalam mesin besar ini adalah manusia, bukan robot atau binatang. Ia adalah kumpulan kolase, bukan montase. Montase adalah gabungan-gabungan elemen yang disatukan tapi memiliki batas sambungan, seperti shot-shot pada sebuah film, seperi Frankenstein, seperti Chimera. Sementara kolase adalah gabungan elemen yang menyatu menjadi satu kesatuan namun masih jelas bentuk aslinya. Seperti komposisi musik dengan suara-suara yang berbeda-beda. Kolase adalah batas abu-abu: ia tidak membuat yang lama lantas hilang jadi yang baru. Ibarat makanan, kolase bukan sup, tapi salad. Bukan sayur asem yang membuat semua bahan didominasi asam, tapi gado-gado yang rasanya khas tapi kita tahu setiap elemen yang kita makan bekerjasama membuat rasa itu.
Saya tidak mampu mendeskripsikan lagu-lagu dalam album ini dengan kata-kata. Saya tidak punya kemampuan untuk mengkotak-kotakkannya, memaknainya dengan pasti. Yang saya bisa lakukan hanya memberikan metafor-metafor untuk mendeskripsikan rasa yang saya dengar. Dan saya yakin, Iman Fattah pun, dengan semua konsep dan penjelasannya mau tak mau harus rela memberikan semua pemaknaan komposisi album ini kepada pendengar. Tapi bukan berarti album ini hadir begitu saja tanpa sebuah proses. Komposisi-komposisi ini adalah abstraksi: hasil perenungan, hasil proses yang diseleksi dan digubah secara sadar yang diambil dari alam bawah sadar. Dari suara-suara yang dihasilkan kota dan diserap oleh senimannya lalu darinya ia ramu sebuah komposisi suara.
Inilah sebuah bentuk perlawanan terhadap semua yang didengar, semua yang dikonsumsi. Suara-suara yang dianggap biasa, mengganggu dan tiada dikombinasikan menjadi sebuah aransemen. Dan bukan sembarang aransemen: seperti mencipta musik Blues, suara-suara mekanik direproduksi dengan alami, melalui proses pengendapan di alam bawah sadar dan dikembalikan ke kenyataan. Inilah perlawanan. Seperti membalas penganiyayan dengan mengembalikannya dalam bentuk pelukan hangat dengan tubuh yang terlanjur rusak. Karena itulah, jika anda merelakan dipeluk oleh kolase-kolase ini, membiarkan setiap suaranya mengalir tanpa anda mencari-cari artinya, niscaya anda akan mendapatkan sebuah katarsis, pembersihan diri, dan hubungan dengan rasa kota. Perlawanan seperti Ahimsa: melawan dengan menyerah.
Homo Jakartanensis Punya Rasa
“Gue selama ini hidup di Jakarta. Kota yang penuh hiruk pikuk manusia dengan semua kehidupan dan suara-suaranya.” Ujar Iman dalam sebuah sesi wawancara via Whatsapp (16/4). “Kenapa Sonic Collage? Karena suara-suara yang setiap hari kita dengar adalah kolase.”
Kolase di kehidupan kota adalah ekses konstruksi kota. Jika anda perhatikan, kota adalah hasil dari modernitas barat yang hadir dengan banyak pengorbanan. Seorang kawan saya pernah mengatakan bahwa Jakarta adalah kanker buat Indonesia. Jakarta menjadi metropolitan, pusat ekonomi dan pemerintahan setelah banyak kejadian berdarah. Dari zaman kolonial, pembantaian PKI tahun 65, pembantaian pemberontakan lokal di seluruh Indonesia, penjualan aset dan sumber daya alam di seluruh negeri, semua untuk memberi asupan kepada kanker ini. Dan kita hidup di dalamnya. Kita makan dari asupan-asupan darah dan penderitaan daerah tertinggal tanpa infrastruktur, dengan korup dari pemerintah lokal yang belajar dari pemerintah pusat. Di sini, di kota ini, Kanker bernyanyi dalam dentuman palu konstruksi gedung, dalam pukulan pada anak-anak jalanan, teriakan tukang bakso, suara pembawa acara infotainment, pidato politik menjual janji, iklan, mal-mal, toa mesjid yang berleleran khotbah benci dan segala keberisikan. Semua ekses ini akan memulu bising dan jahat, jika kita tidak bisa memaknainya.
Manusia Gerobak di Jakarta. Foto oleh Chelluz Palun (chelluznote.blogspot.co.id)
Maka kolase-kolase ini hadir sebagai sebuah komposisi yang harmonis dalam ketidakharmonisannya. Sebuah Paradoks. Oxymoron. Irasional. Seraya menantang kita untuk memaknainya sesuai dengan pengalaman dan kehidupan kita sendiri. Orang yang tidak tinggal di kota mungkin asing dengan suara-suara ini dan bisa menjadikannya sebuah kebaruan. Sementara kita manusia kota, punya tanggung jawab lebih untuk paham—bukan mengerti, tapi paham. Pengertian perlu penjelasan, namun pemahaman perlu perasaan. Pemahaman perlu kemampuan membaca, mendengar dan merasa. Dan dengan pemahaman itu kita tidak terjebak. Pemahaman membuat kita bermakna dan ada yang bisa kita lakukan dalam konteks kita ini: berproduksi sebagai diri sendiri, untuk diri sendiri dan orang lain. Berbagi pemahaman.
Tanpa pemahaman dan berbagi pemahaman maka yang bisa kita lihat dari kota ini adalah kekosongan makna. Pemuasan hasrat yang tak ada habisnya. Penghabisan umur buat sesuatu yang tidak ada artinya. Tanpa pemahaman, kita akan bergerak tanpa arti atau tujuan. Dan kehidupan menjadi ilusi. Kerja cerdas, pesta keras menjadi prinsip kehidupan kota, tapi untuk apa jika kita tidak paham untuk apa kerja dan ada apa sehabis pesta. Ketika hasil pekerjaan kita hanya uang yang kita hamburkan dalam pesta, sementara kita terasing dari apa-apa yang kita buat dan kita jual sendiri, kita terjebak dalam lingkaran kekosongan ini.
Satu-satunya cara untuk keluar adalah dengan mengekspresikan rasa itu. Rasa senang, muak, sedih, tawa, tangis, bingung dan ketakutan harus keluar dari tubuh kita dan kita bagi. Seni kota kebanyakan adalah ekspresi rasa-rasa itu, termasuk album eksperimen ini. Semua nomor seperti komposisi musik klasik dalam medium baru, medium suara kota. Nuansa industrial, kesepian dalam keramaian, indoktrinasi politik dan agama serta individualisme, hadir dalam komposisi-komposisi yang berbeda-beda. Kolase adalah rasa Jakarta yang sebenarnya, karena sekeras apapun kita berusaha menjadi berbeda, kita ada di dalam konteks yang sama dan mau tak mau harus terima perbedaan-perbedaan itu. Betapapun sakitnya. Betapapun busuknya.
As We Watch in Horror
Saya tidak mungkin membahas semua komposisi dalam album ini satu persatu. Setiap nomor dibuat dalam suasana dan konteks yang berbeda-beda dan membutuhkan pendekatan yang berbeda. Alih-alih membuat artikel pendek, saya malah bisa membuat sebuah disertasi. Jadi saya memilih membahas satu lagu secara singkat, sebuah nomor berjudul As We Watch in Horror. Lagu ini menarik untuk saya pribadi karena nuansa yang ditampilkan, permainan tempo dan kekayaan komposisinya. Pembukaannya terdengar sangat kota, dengan beat yang cepat dan penuh irama ritmik mekanik. Semakin ke tengah, banyak suara-suara asing masuk dan membuat menjadi sangat horor, dan pada akhirnya tempo melambat dan nuansanya menjadi sangat…melankolik.
Lagu ini menurut saya cocok sekali dimainkan di diskotik ketika para dugemers sedang asik joged dengan inex. Karena setelah bagian tengah dan belakang, niscaya mereka akan dilanda paranoia parah dan pulang dengan melankolia. Karena pada akhir lagu ini, saya bisa merasakan sebuah ketidakberdayaan yang sangat perih. Ketidakberdayaan manusia kota terhadap apa yang mereka tahu: bahwa semua kemapanan bisa berakhir dalam kesia-siaan ketika zaman atau Tuhan atau alam memaksa mereka. Pada akhirnya manusia kota adalah manusia.
Sekedar ilustrasi, As We Watch in Horror mengingatkan saya pada sebuah pementasan teater di Amerika tahun 1970 hasil besutan sutradara, komposer dan pianis Ralph Ortiz berjudul The Sky is Falling. Penonton ditempatkan dalam sebuah ruangan dengan sebuah TV besar. Sejak awal penonton telah diberitahu bahwa apa yang mereka saksikan di TV adalah live dari ruangan sebelah. Sementara di ruangan yang lain, aktor memulai pertunjukkan dengan menyiksa dan membunuh ayam-ayam dan tikus-tikus dengan keji. Setelah pementasan, diadakan sesi diskusi. Para penonton protes, marah, dan kecewa, apalagi ketika mereka melihat ayam-ayam dan tikus-tikus yang termutilasi, dengan darah dan jeroan dimana-mana—beberapa binatang itu masih hidup. Mereka tidak bisa memaknai pertunjukan sadis semacam itu, dan menganggap Ortiz seorang sadis dan gila. Menanggapi amarah penonton, Ortiz malah bertanya balik ke penonton: “Anda melihatnya di TV, anda tahu dimana itu terjadi, kenapa anda tidak menghentikannya?”
Ralph Ortiz dalam salah satu pementasannya, yang hari ini dikenal sebagai destructivist art.
Pementasan tersebut adalah sebuah bentuk protes terhadap masyarakat Amerika ketika melihat perang Vietnam. Televisi menyajikan hal yang terjadi di belahan bumi yang lain dan yang bisa orang lakukan adalah mengeluh dan marah-marah dari ruang TV nya—menganggap semua yang terjadi adalah sebuah ‘pertunjukan di luar kuasa mereka.’ Zaman ini tentunya sudah berubah. Ada banyak hal yang bisa kita lakukan demi mendukung atau tidak mendukung suatu kejadian di dunia. Dari sumbangan lewat bank, atau sekedar petisi online bisa digunakan sebagai alat politik. Sayangnya, di Indonesia, orang tidak semudah itu bergerak kritis dan lebih sering menjadi penonton pasif. Semakin maju teknologi dan penyebaran informasi, semakin pasif manusianya. Dan kepasifan itu… sakit.
Itulah yang saya rasakan ketika mendengar keseluruhan komposisi panjang As We Watch in Horror. Iman menjelaskan sedikit tentang lagu itu:
Komposisi itu gue bikin sambil lihat gempa dan tsunami di Jepang. Ibaratnya ada tiga part. Part 1 yang kenceng acak-acakan. Jepang sebagai negara maju dengan sonic collage yang rame, part 2 feedback panjang ketika tsunami datang, dan part 3 kehancuran kota-kotanya setelah bencana. As We Watch in Horror adalah representasi ketika kita lihat TV, media, dan timeline. Betapa menakutkannya hal-hal ini dan gerenasi sekarang bisa melihatnya secara langsung semua kejadiannya.
Lagu itu adalah sebuah narasi panjang soal kesakitan masyarakat kota akan kepasifannya sendiri. Empati bisa kita rasakan, tapi mandeg dalam ketidaktahuan kita dan keterputusan kita untuk memberi bantuan atau berbuat sesuatu. Kita di kota lebih suka mengurus hal-hal yang dekat seperti pembunuh kucing atau etika ABG yang tak memberi duduk ibu hamil di kereta, daripada hal-hal jauh yang lebih parah. Kebanyakan kita mengeluh dan menunggu untuk ada orang yang bisa menyalurkan bantuan kita, alih-alih mencari atau membuat saluran bantuan. Filosofi kota yang kebanyakan kita anut adalah Philosophy of the Bystander, filsafat penonton.
*
Aih, saya bicara terlalu banyak. Sebaiknya kita akhiri saja diskusi ini agar anda bisa mulai mencari tahu bagaimana cara mendapatkan album ini dan merasakannya sendiri. Karena album ini penuh tantangan untuk pendengarnya baik dari konten dan distribusinya. “Gue nggak mau berbentuk album musik yang bisa dijual secara populer, makanya musik yang gue compose itu sebetulnya bukan musik, tapi komposisi,” ujar Iman.
“Telinga manusia sebetulnya punya kemampuan untuk isolasi suara;” lanjutnya. “Kita bisa mengisolasi suara mana yang mau kita fokus. Contoh, kalo kita ngobrol dengan lawan bicara di pinggir jalan yang ramai, kita bisa tahu dia ngomong apa, jadi suara jalanan berisik itu jadi background. Dari hal ini gue punya ide bahwa sebetulnya kehidupan kita ini penuh dengan kolase setiap saat.”
Ya. Kita mestinya bisa fokus. Kita bisa memilih. Bahwa dalam kesemerawutan kota, kebisingan bunyi, kita bisa pilih fokus dan tujuan apa. Album ini berusaha mengingatkan kita akan kebebasan itu, agar kita bisa bergerak dalam arus yang kacau. Kebebasan yang seringkali kita lupakan dan saatnya kita rebut kembali.
Sebenernya apa sih, toleransi dan intoleransi? Toleransi berasal dari kata toleran. Menurut KBBI, toleran adalah “bersifat atau bersikap menenggang (menghargai, membiarkan, membolehkan) pendirian (pendapat, pandangan, kepercayaan, kebiasaan, kelakuan, dan sebagainya) yang berbeda atau bertentangan dengan pendirian sendiri”.
Sesungguhnya definisi KBBI ini kurang tepat. Dalam bahasa Inggris di Kamus Besar Miriam Webster, arti kata toleransi lebih luas lagi. Ada 4 artinya. Pertama, dan yang paling penting, “kemampuan untuk menanggung sakit dan kesusahan” ; kedua “simpati atau mendukung kepercayaan yang berbeda dengan dirinya sendiri atau tindakan mengijinkan sesuatu yang berbeda”–ini mirip KBBI; ketiga, “sikap memperbolehkan sesuatu melenceng dari standar”; ke empat, “kapasitas tubuh untuk bertahan terhadap obat atau racun” atau “jumlah pestisida yang dapat dikonsumsi di dalam makanan.”
KBBI, dan bahasa Indonesia memang selalu berusaha menyederhanakan banyak hal, dan ini jadi masalah. MASALAH BESAR.
Intoleransi menjadi peyorasi, orang tersinggung dibilang intoleran. Toleransi menjadi pujian, dan terus menerus didengungkan. Dua hal oposisi biner, yang jadi sederhana sekali, seperti baik-jahat, atau muslim-kafir.
Padahal kerumitan toleransi ini bisa dijelaskan secara sederhana. Semua orang pada dasarnya toleran dan intoleran. Toleran dan intoleran itu seperti dua kutub, dimana kita, manusia, memiliki kadarnya masing-masing tergantung pengalaman dan pengetahuan kita.
Umpamakan orang yang alergi pada udang. Artinya tingkat toleransinya pada udang sangat kecil. Makan udang, dia langsung bengkak. Ada lagi lactose intolerant, atau tidak toleran pada susu. Minum susu, langsung berak-berak.
Di Indonesia, toleransi hanya ditujukan pada budaya dan agama. Orang dibilang intoleran pada agama lain, ras lain, LGBT, jenis kelamin lain. Sementara itu, orang yang toleran pada agama lain, ras lain, LGBT dan jenis kelamin lain merasa dia lebih tinggi. Padahal dia belum tahu saja, siapa tahu dia intoleran pada hal lain–orang miskin pinggir kota yang digusur misalnya. Kawan-kawan saya yang mengaku toleran ini, banyak lho yang senang penggusuran untuk membuat kota lebih baik, dengan slogan “kalau miskin jangan hidup di Jakarta.” Apa itu toleransi?
Kemarin saya sempat berdebat dengan seorang kawan yang bilang bahwa ada kawannya seorang Islam konservatif yang toleran. Saya bilang, kalau dia konservatif artinya dia cenderung mempromosikan ‘intoleransinya”, dan itu bukan hal yang buruk. Muslim yang baik, sudah seharusnya intoleran pada dosa. Cuma kadar intoleransinya saja yang harus dikontrol. Kadar ini bisa terlihat dari cara dia memperlakukan hal yang ia takkan tolerir. Misalnya si Muslim ini percaya bahwa orang Islam tidak seharusnya memilih pemimpin non-muslim–sekompeten apapun dia. Di sini, agamanya berseteru dengan demokrasi dan konsep negara kesatuan. Di sini, ia memilih sebuah intepretasi agama, yang tidak kompatibel dengan demokrasi.
Mungkin ia toleransi pada non-muslim pada kehidupan sehari-hari. Mungkin juga di kantornya, ia punya bos non muslim. Tapi sendainya ia bisa memilih, dalam konsep demokrasi, ia akan memilih pemimpin Muslim sejelek-jeleknya, daripada pemimpin non-Muslim sebaik-baiknya–ini saya tidak bicara soal Anies-Ahok, karena Anies tidak sejelek-jeleknya pemimpin Muslim dan Ahok tidak sebaik-baiknya pemimpin non muslim.
Contoh lain, salah seorang sepupu saya, salah satu muslim baik yang saya kenal, tidak mentolerir LGBT. Tapi dia punya beberapa kawan gay, dan ia takkan lelah untuk mengingatkan bahwa yang baik adalah jadi straight. Tapi saya yakin, kalau ada yang hendak menyakiti kawan gay-nya itu secara fisik, melanggar hak asasi kawannya itu, pasti dia membela. Bukan karena gay itu benar, tapi karena gay juga manusia dan semua manusia punya hak asasi dasar. Nggak bisa ‘menyembuhkan’ gay dengan memukulinya, apalagi membunuhnya. Membunuh gay cuma akan membuat dia kehilangan kesempatan bertobat.
Dari ilustrasi itu saja kita lihat spektrum toleransi. Ada yang intoleransinya ekstrim sehingga mau membunuh dan menyakiti, ada yang medium, yang bisa mentolerir selama ‘lu gak pegang-pegang gue,” dan ada yang tingkat toleransinya tinggi, sehingga dengan sendirinya menjadi gay.
Soal gay, toleransi saya termasuk medium. Saya tidak percaya itu penyakit. Saya banyak punya teman gay. Tapi saya MEMILIH untuk straight. Bukan karena agama tapi karena pengalaman dan preferensi hidup saya saja. Namun soal pelecehan seksual, intoleransi saya lumayan tinggi. Ada yang menggrepe atau memaksa saya secara seksual (baik lelaki atau perempuan) ya saya jotos secara spontan.
Namun ada satu yang menggelitik saya soal toleransi kita di Indonesia mengenai LGBT–khususnya Gay. Secara kultural, kita punya banyak gender khususnya di budaya-budaya tradisi kita, seperti pendeta Bissu di Sulawesi. Agama semitik masuk dan mengajarkan kita untuk takut dan anti terhadap homoseksualitas. Neo-maskulinitas (keinginan untuk menjadi jantan karena takut disaingi perempuan atau diperkosa lelaki) juga menjangkiti perpolitikan kita, baik di tingkat individu atau di tingkat parlemen (lihat UU kita yang sangat bias gender). Namun sebenarnya di saat yang sama, kita mentolerir homoseksual dalam tingkatan tertentu.
Ambil kasus penggrebekan Atlantis Gym, dimana ratusan orang lelaki ditangkap dan diarak telanjang karena pesta seks. Kalau Anda iseng membaca koran-koran kelas menengah bawah, pengarakan telanjang tidak hanya terjadi pada gay. Seringkali penggrebekan di hotel-hotel melati, atau ketahuannya muda-mudi bercinta di taman kosong, juga berakhir ke penelanjangan dan pengarakan. Yang membuat kasus Atlantis spesial adalah ini kasus homoseksualitas dan pelakunya ratusan orang. Pada tahapan tertentu, ada egalitarian di mata hukum sosial: homo atau hetero, ketika ketahuan, Anda diarak telanjang.
Di sinilah lucunya. Seorang kawan saya yang gay berkata begini dalam facebook messenger: “Gue sih seneng lihat foto-foto [pria gay telanjang Atlantis] itu, six pack. Bagus-bagus. Coba kalo lo yang ketangkep Nos. Flabby, nggak enak dilihat.” Bitch.
Sebagai seorang gay yang sudah lama open ke tema-temannya, kawan saya ini nampaknya tidak begitu khawatir. “Kalo nggak mau digrebek ya main aman.” Kata dia.
Jadi menurut pendapat saya, selama tidak seperti di Aceh, dimana Gay harus dihukum cambuk lebih dari 80 kali, masih mending lah di Jakarta (dan banyak kota besar di Indonesia). Tingkat toleransi terhadap Gay cukup tinggi untuk ukuran negara mayoritas Islam di dunia. Media mainstream pun masih mengandalkan MC dan selebriti gay sebagai salah satu amunisi utama entertainment mereka, dengan syarat ‘Gayness’ hanya boleh simbolik (pakaian, cara bicara, gaya metroseksual). Toleransi kebanyakan orang Indonesia terbatas sampai pengakuan publik.
Permasalahan utama dalam kasus Atlantis, dan banyak penggrebekan lain baik yang hetero atau pun yang homo, adalah masalah politik tubuh. Negara selalu merasa punya hak atas tubuh warganya. Sehingga walau Indonesia mengakui standar hukum Internasional yang anti-penyiksaan, di sana-sini masih banyak kebocoran. Menelanjangi termasuk suatu bentuk penyiksaan, apalagi hukum pecut. Hukuman fisik, semestinya sudah tidak terjadi lagi hari ini, idealnya. Namun toh itu tetap masih dilakukan di banyak tempat, seperti dalam operasi intelijen/tentara, perpeloncoan kampus/akademi, dan tindakan main hakim sendiri masyarakat kita.
Politik tubuh juga menyangkut segala macam UU yang mengatur bagaimana cara warga negara berpakaian dan merasuki ranah privat kita–UU anti pornografi misalnya, yang pasal karetnya kini dipakai menjerat junjungan kita, yang mulia, HRS. Dalam konteks ini, hukum yang harusnya jadi batas toleransi Negara, dengan mudah dipermainkan oleh banyak pihak yang berebut kepentingan.
Oposisi HRS, Ahok BTP, nampaknya sudah sangat memahami ketika ia mencabut niatnya untuk banding atas vonis 2 tahun penjara yang lebih berat dari tuntutan Jaksa itu. Ia tahu, permainan demonstrasi artinya memberikan panggung untuk para provokator dan perusuh bayaran. Ia tidak mau memilih cara opresi yang sama. Ahok sepertinya akan kembali kepada idealismenya dalam mengopresi: menggunakan konstitusi dan taktik politik bawah tangan yang lebih jitu daripada main pertunjukkan otot massa. Ia tahu pasti, bahwa toleransi dan intoleransi orang Indonesia masih mudah untuk dipermainkan–spektrumnya masih luas. Hidup jadi seru, ketika kita menunggu manuver selanjutnya dari mantan Gubernur kita ini. Karena tidak seperti lawannya, ia tidak lari. Ia mencintai Indonesia dengan baik dan buruknya.
Kesimpulan dari tulisan ini adalah: toleransi-intoleransi adalah barometer kemanusiaan kita, dan seperti identitas, ia tidak pernah saklek. Dengan semua hal besar yang terjadi beberapa bulan ini, kita semua baik yang liberal atau yang konservatif, bisa optimis pada perjuangan masing-masing. Seperti kata Efek Rumah Kaca, “Masih ada cara menjadi besar.”
Salah satu model bisnis terbesar di dunia adalah bisnis bencana (Business of Disaster). Logika bisnis ini sederhana: mereka untung dari bencana maka bencana harus dipelihara.
Jangkauan bisnis ini sangat luas: dari perdagangan obat-obatan dan vaksin, program perang dan perdagangan senjata, program pembangunan dan perbaikan infrastruktur, sampai program CSR dan pengelolaan sumbangan. Tanpa bencana, mereka akan rugi besar.
Potensi bisnis ini pun sama luasnya: dari bencana alam, bencana kemanusiaan, sampai bencana alam karena manusia–yang terakhir ini yang paling sering dieksploitasi. Ini adalah jawaban kenapa bahan bakar ramah lingkungan (tenaga matahari dan biofuel) tidak juga diproduksi massal dan murah, malah tersendat-sendat; kenapa perang-perang terus menerus diadakan dan senjata bekas perang A dijual ke bakal perang B; kenapa jutaan orang jadi korban virus baru, atau ujicoba vaksin/obat baru; kenapa jalan-jalan tidak pernah berhenti diperbaiki dan dengan cepat rusak lagi, dan kenapa banjir di Jakarta harus tetap ada.
Bisnis adalah permainan manipulasi, penciptaan kebutuhan. Untuk punya sebuah pesawat TV hari ini, Anda harus punya internet (dulu antena), lalu ada stasiun TV, satelit, dan segala infrastrukturnya. Kebutuhan terus diciptakan tanpa akhir. Yang mengerikan adalah ketika kebutuhan itu diciptakan dari menciptakan bencana. Akan ada banyak orang yang mati, untuk memberi contoh yang hidup. Tapi itu tidak cukup. Yang hidup harus diajari untuk cepat puas dengan menambal tanpa menyelesaikan masalah.
Contoh kecilnya adalah banjir Jakarta. Siapa yang untung dari banjir Jakarta? Secara lokal, ada orang-orang yang menyewakan perahu karet, tenda pengungsian, atau penyalur sumbangan yang di dalamnya terdapat jalur distribusi bantuan. Lebih luas lagi, pemberi bantuan dapat keuntungan pencitraan politik. Yang lebih luas lagi, pemerintah dan DPR selalu dapat proyek. Secara global, saham-saham seperti farmasi, sparepart, perkebunan, apartemen, dan bahan pokok, selalu naik setiap kali banjir. Penting untuk melihat siapa saja yang untung setiap ada banjir, karena dengan itu, kita bisa melihat konflik kepentingan kenapa banjir harus dipertahankan di Jakarta.
Dengan ini saya merasa bahwa tidak akan ada gubernur yang benar-benar bisa membuat Jakarta tidak banjir, kecuali, ketika masyarakat Jakarta sendiri benar-benar bisa memiliki kekuatan politik yang benar-benar besar, yaitu kekuatan politik yang mengatasnamakan kepentingan kehidupan mereka sendiri alih-alih kepentingan politikus atau golongan agama tertentu. Kekuatan ini hanya bisa didapat ketika masyarakatnya sudah memenuhi kewajibannya sebagai warga negara yang baik dan bertanggung jawab, serta punya kecerdasan dasar dalam pengelolaan ruang dan ekonomi yang berpikir untuk kepentingan publik. Dari mulai pengelolaan sampah, sampai pemilihan tempat tinggal dan konsumsi belanja yang memikirkan orang lain. Semua tindakannya sudah bisa memperhitungkan publik, seperti menyiram toilet umum yang ia pakai dengan bersih karena berpikir bahwa sehabis ia pakai, akan ada orang lain yang memakai fasilitas itu.
Kewajiban yang sudah dipenuhi itu akan memberikan hak warga untuk bersuara secara lebih efektif. Di sini warga bisa menganalisa pengambil kebijakan dan mengkritisinya ketika melanggar hak publik dengan korupsi atau penipuan proyek. Hukum bisa ditegakkan, kalau mayoritas subjeknya sudah memenuhinya, dan sisanya tinggal dikoreksi. Tapi selama kesadaran politik itu belum ada, selama money politics masih bisa jalan dengan mulus, selama kepentingan golongan yang dipegang oleh beberapa orang masih lebih bisa bersuara daripada kepentingan publik keseluruhan, lupakan saja bebas banjir. Itu hanya angan-angan saja.
Silahkan menunggu banjir dengan setia setiap tahun, dan jangan lupa maki-makilah sesama demi pilkada. Toh yang diharapkan adalah kemenangan calon, bukan kemenangan diri sendiri dan kemenangan publik. Selamat berenang dan menyelam.