Anthropology, Film, Kurasi/Kritik

Dunia Menyakiti Anak-anak: Anak-anak yang Disakiti dan Mati Di Kenyataan dan Film-film

Semua orang tua bersalah pada anaknya, dan setiap kesalahan akan membekas buat si anak dari kecil hingga ia dewasa. Orang tua yang baik adalah orang tua yang dapat mengevaluasi diri dan terus berusaha meminimalisir kesalahan terhadap anak. Tapi ketika kita bicara masalah parenting, kita tidak cuma bicara soal keluarga atau masalah individual, kita juga harus bicara tentang negara dan kebudayaan secara luas, tentang bahasa, dan juga tentang konsepsi pendidikan terhadap anak.

Hari ini kita sudah setuju soal buruknya konsep perpeloncoan atau kekerasan fisik dan verbal terhadap anak–walau banyak juga orang tua konservatif yang meneruskan lingkaran kekerasan itu, tapi kebanyakan orang tua terdidik yang punya akses ke internet sudah tidak begitu lagi. Namun kita tidak bicara soal tempat-tempat yang jauh dari pusat informasi. Kita tidak bicara dalam konteks kampung kota, kampung, atau desa. Kita sulit melihat seperti apa informasi utama yang ada di lapangan, apalagi soal kekerasan terhadap anak. 

Sebagai seorang penonton film, filmmaker, dan peneliti saya selalu tertarik dengan film-film kejahatan, dan beberapa tahun terakhir saya menonton beberapa film soal kekerasan anak terkini. Banyak sekali film yang mengangkat hal ini, dan setiap film, diskusi, dan aktivisme dapat membantu membuat dunia lebih baik untuk anak-anak dan masa depan negara kita. Ini adalah beberapa contohnya.

The Trials of Gabriel Fernandez, seperti judulnya, bercerita tentang persidangan orang tua Gabriel (ibu dan ayah tirinya) yang menyiksa Gabriel sampai meninggal. Settingnya di California, dan dari persidangannya terbukalah sebuah ketidakbecusan departemen sosial di Amerika Serikat, yang telah berkali-kali menerima laporan soal Gabriel yang sudah luka-luka, namun selalu mandeg di birokrasi sampai anak itu meninggal. Parahnya departemen sosial ini seperti dijawab oleh serial dari belahan dunia lain, The Chestnut Man

Setting The Chestnut Man ada di Denmark dan perbatasan dengan Jerman. Ceritanya soal seorang pembunuh berantai sadis yang modus operandinya (1) melaporkan orang tua anak yang ditelantarkan ke Departemen Sosial, dan (2) jika tidak digubris, maka orang tua anak itu akan dibunuh dan anggota tubuhnya dimutilasi, serta dibuat seperti chestnut man (mainan orang-orangan dari kulit kacang kastanyet.)

Yang paling menarik adalah, salah satu tokoh kunci yang membuat seluruh pembunuhan ini mungkin adalah seorang perempuan yang menjabat sebagai Menteri Sosial di Denmark. Film ini secara harfiah menyalahkan dan membawa struktur besar negara, sebagai penyebab utama kenapa kejadian ini berlangsung, dan pelakunya sudah pasti dan jadi bukan spoiler, adalah korban kekerasan anak ketika ia masih kecil. Plot yang sama seperti Pintu Terlarangnya Joko Anwar. 

Di Indonesia sendiri, laporan kasus kekerasan terhadap anak terus meningkat tahun demi tahun. Kompas melansir bahwa tahun ada kenaikan dari 11.057 kasus di tahun 2019 menjadi 14.517 kasus di tahun 2021 (Kompas.com, 20 Januari 2021). Ini juga disebabkan institusi kepolisian yang lebih sibuk menjaga nama daripada bekerja menyelesaikan kasus, seperti laporan mendalam yang ditulis project Multatuli Tanggal 6 Oktober 2021. Dalam artikel berjudul “Tiga Anak Saya Diperkosa, Saya Lapor Polisi. Polisi Menghentikan Penyelidikan.” Tiga anak ibu Lydia (nama samaran) itu diperkosa oleh mantan suaminya. Si ibu lapor ke dinas sosial dan polisi, yang justru mempertemukan anak-anaknya dengan si pelaku. Semua tambah runyam karena polisi dan dinas sosial sama sekali tidak mengerti bagaimana caranya menangani sebuah kasus kekerasan seksual kepada anak. Akal sehat saja mereka tidak punya. 

Memang, belum tentu anak-anak yang dilecehkan ini akan jadi penjahat, atau akan melecehkan orang lain. Tapi yang pasti traumanya akan keras, mereka akan memiliki hidup yang sulit, disabilitas psikososial. Ini masalah besar yang pemecahannya hanya bisa dengan kebijakan-kebijakan yang jalan beriringan dari banyak arah: secara undang-undang, hukuman harus diperberat; laporan harus dipermudah; dan yang paling penting, mengakui kesalahan dan aparat serta penjabat publik semua harus dididik ulang soal pelecehan seksual, kekerasan terhadap anak, dan bagaimana cara menangani korban. SOP harus sangat jelas. 

Satu kasus lagi yang menyeramkan adalah seorang ibu yang menggorok anaknya. Ini kejadian yang sudah terjadi berkali-kali terhadap ibu yang stres. Dalam film kita bisa melihatnya di film The Others besutan Alejandro Amenabar. Di situ kita melihat tokoh ibu yang dimainkan Nicole Kidman yang membunuh anak-anaknya karena stres trauma perang.

Di kejadian nyata, pembunuhan anak oleh orang tua selalu terjadi karena masalah struktural (ekonomi, ideologi politik dan perang.) Hitler dan pengikutnya pun membunuh anak-anak mereka karena kalah perang, atau bunuh diri masal di Jonestown, atau bom bunuh diri anak, karena agama dan ketidakpuasan politik-ekonomi.

Dari sini kesimpulan utamanya adalah: tidak ada orang tua waras yang membunuh anak-anaknya karena motivasi pribadi. Semua karena motivasi struktural bahwa dunia yang mereka hidupi memang tidak mendukung anak-anak untuk tumbuh berkembang. Jadi terngiang kata-kata eksistensialis Soe Hok Gie: Yang paling beruntung adalah yang tidak dilahirkan, yang beruntung kedua adalah yang mati muda, dan yang paling sial adalah mati tua—karena kehidupan dalam masyakarat yang sakit akan berkutat pada penderitaan.

Masa depan kita suram dengan banyaknya anak-anak yang dilecehkan seperti ini, perjuangan tetap kenceng, rekomendasi, petisi terus berjalan walau gaungnya seringkali kalah dengan isu-isu lain. Yang kita bisa lakukan hari ini adalah mendidik dan menyebarkan informasi yang objektif, saintifik, dan bertindak tegas ketika kita melihat kekerasan seksual, apalagi terhadap anak. Ketegasan dimulai dari hukuman sosial hingga legal. Dan kalau legalnya tidak kuat, kita bisa memakai media untuk berkoar, ajak wartawan, blogger, tweeps, semua untuk marah dan mengkoreksi, memberikan tekanan penting terhadap kebudayaan dan negara kita. Komnas Perempuan juga meluncurkan catatan tahunan yang penting buat kita lihat sebagai salah satu cara mengawal agar jaminan hukum dan sosial bisa berjalan dengan baik di negeri kita, untuk mencegah Trials of Gabriel Fernandez atau pembunuhan The Chestnut Man di Indonesia. 

Memoir, Racauan

Drama Kecil Di Senayan

Dari status facebook dan pertama kali diterbitkan di note facebook

lalu terbit ulang di website Teater Kinasih, IISP, 1 Juni 2012, dengan editan redaksi.

 

Kepala saya sakit dan pandangan saya pusing ketika saya berjalan pulang dari Senayan City menuju Halte Busway Ratu Plaza malam tadi. Saya baru sembuh dari diopname karena demam berdarah dan Hepatitis A. Tapi saya tidak suka menganggur, jadi saya tetap mengajar di kampus, lalu nongkrong bersama kolega dan mahasiswa di Mal sebentar. Di kelas dan di tongkrongan, saya lupa kalau saya baru sembuh–selalu begitu ketika bertemu mahasiswa-mahasiswa yang semangat. Dan ketika berjalan pulang, kumatlah saya.

Jalanan begitu ramai dengan pejalan kaki yang pulang kantor  menunggu bus. Di perjalanan, belok kiri setelah 7 Eleven, saya melihat ada keributan. Segerombolan orang berkumpul. Seorang kernek bus Patas berlari dari seberang jalan sambil berteriak, “Jangan dipukul lagi! Itu anak kecil!”

Massa sedikit berpencar dari kerumunan, air hujan membentuk kubangan berlumpur, seorang anak lelaki berambut merah  berumur sekitar 10 tahun, merintih kesakitan memegangi perut dan kepalanya. Dalam keadaan basah, ia berteriak-teriak sambil menangis, mengumpat dua orang lelaki dewasa, yang satu tukang parkir dan yang satu lagi lelaki berkemeja coklat muda dan berkalung emas. Setiap dia mengumpat, kedua lelaki itu kembali menghantamnya. Yang satu memukul kepalanya, yang satu menendang perutnya.

“Makanya jangan suka nimpuk-nimpuk orang! Bahaya orang naik motor ditimpuk-timpuk!” si lelaki berkalung emas kembali menendang . Saya dan kernek serta seorang perjalan kaki menahannya. Tapi lalu si tukang parkir kembali memukul si anak. “Udah dibilangin jangan suka nongkrong di sini!”

Si anak dalam kesakitannya masih melawan dan mengumpat. Tukang parkir menyeretnya ke trotoar bukan untuk menyelamatkannya tapi untuk membuangnya. Si kecil itu terjerembab lagi, kali ini ke trotoar. “Jangan ngalangin orang!” Kata si tukang parkir, sambil melemparnya lalu memukul kepalanya lagi. Saya dan si mas pejalan kaki kembali berusaha menghalangi supaya anak itu tidak dipukul, sementara si kernek kembali ke bus patas yang sudah berjalan.

Lalu perlahan saya bicara pada si anak yang terus berteriak kesakitan dan memaki-maki, agar ia sabar. “Sabar…sabar. Ntar lo tambah digebukin, sabar…” Kata saya.

Si anak lalu bilang, “Abis saya nggak tahu apa-apa diusir, bang. Lagi duduk ditendang-tendang.”

Tiba-tiba si pria berkalung emas menerjang hendak menendang, tapi saya halangi dengan punggung saya, ia menghentikan tendangannya. “Ngadu lagi lo! Anjing!” katanya.

“Udah, bang!” Teriak si pejalan kaki. “Anak kecil nggak usah didengerin. Udah!” kata saya menimpali.

Saya lalu membopong si anak agak jauh dari tempat itu. Si pejalan kaki masih menemani saya tanpa bicara banyak. Ia adalah pria usia sekitar 30-an bergaya rambut tentara. Saya bawa si anak yang masih merintih kesakitan. Ketika cukup jauh dari pandangan si tukang parkir dan si pria berkalung emas, beberapa anak kecil lusuh, satu berbaju biru muda dan satu berbaju kuning datang menghampiri. Mereka nampaknya kawan si anak babak belur ini yang kabur ketika keributan dimulai.

Saya dudukkan si anak di dekat penjual minuman, dan saya meminta air. Si pejalan kaki mengambilkan sebotol air mineral. Saya bukakan botol air untuk anak itu dan ia meminumnya sambil terisak-isak.  Ia terus memegang dada kirinya, ketika sudah tenang, si anak yang babak belur itu mulai tidak bisa berkata apa-apa, hanya menangis terisak. Mungkin karena tidak ada yang mengancamnya lagi, atau mungkin karena ia kesakitan. Semua hinaan yang keluar dari mulutnya hanya cara ia membela diri, karena tubuhnya terlalu kecil untuk melawan.

Saya jongkok untuk melihat wajahnya yang sudah mulai membiru, lalu saya bilang padanya, “Lo tuh idup di jalanan, jangan suka ngelawan kalo lo belom bisa ngelawan. Lo jadi kuat dong, jangan sembarangan ye,  lo masih lama idup, jangan mati dulu, masih panjang umurlo.” Dia hanya terisak.

Seorang kawannya yang berbaju kuning nyeletuk memarahi si anak babak belur, “Lo sih nyolot. Nih, gue juga tadi kena gebuk nih.”

Lalu si anak berbaju biru muda bilang, “Kan dia [menunjuk tukang parkir] yang salah. Dia yang salah bang, kita lagi duduk diusir, ditendang-tendang. Ya udah, kita timpuk aja.”

Lalu saya bilang, “Ya udah elo-nya jangan ngelawan, lain kali pindah aja. Kasihan kan kalo ada yang ketangkep gini.”

Setelah bilang itu, saya berdiri dan terasa kembali pusing dan sakit kepala saya.  Ternyata melerai orang ribut dan berjalan kaki cukup jauh lumayan berpengaruh untuk saya. Saya melihat isak si anak sudah mulai mereda jadi saya mohon diri secepatnya. Tidak lucu kalau saya pingsan habis menolong orang.

Saya mengeluarkan uang untuk membayar Air mineral, tapi si pejalan kaki yang dari tadi memperhatikan bilang tidak usah. Dia sudah membayar Air itu. Ia sedang menghisap rokok dan seakan acuh tak acuh. Tapi saya tahu ia sangat peduli. Mungkin kalau saya tidak membopong anak itu duluan, dia yang akan membopongnya. Saya ucapkan terima kasih dan saya bilang, “Mari pak, saya duluan.” Ia hanya mengangguk.

Saya berjalan agak tergopoh-gopoh menuju halte Busway Ratu Plaza, membeli karcis dan langsung naik bus yang baru sampai. Saya mengatur nafas pelan-pelan dan di perhentian berikutnya saya mendapat tempat duduk. Perlahan sakit kepala dan pusing saya hilang dan saya mulai berpikir tentang anak tadi.

Entah sudah berapa kali saya mengajak makan pengamen jalanan cilik. Saya ajak ngobrol, dan mereka bercerita tentang hidup mereka. Di notes lain, saya pernah menulis tentang mereka. Tapi ini pertama kali saya benar-benar berhadapan dengan kekerasan di jalan. Kekerasan yang sangat tidak adil: dua tubuh besar, melawan tubuh kecil tanpa tenaga kecuali mulut dengan kata-kata pisau.

Seandainya saya tidak sakit, saya pasti mengajak mereka (tiga anak kecil tadi) makan malam dulu. Dan saya menyesal tidak melakukan itu.

 

Jakarta, 2012.