English, Filsafat, Memoir, Racauan

The Banality of Guilt

Guilt is a feeling we all know too well. It can come from a range of situations, like something we said to a friend that we regret or a mistake we made at work. It can be all-consuming and leave us feeling like we’ve failed our own moral code. But what if I told you that sometimes, guilt is just plain boring?

We’ve all thought about what we would do if we could travel back in time and change things we regret. But even if we could, it wouldn’t necessarily make our guilt disappear. Memories of our old actions would still be there, and we’d still feel the same way about them. We are trapped in a conundrum that our past that we wanted to change, is our future. So instead of worrying about what we can’t change, we need to focus on the real present and real future–at least until we discovered a time machine that works.

Behavioral biologist Robert Sapolsky says that our actions are influenced by more than just our conscious decisions. Our biology, environment, genetics, and past experiences all play a role in how we behave. That means it’s not always fair to hold people entirely responsible for their actions. We need to look at the bigger picture and think about what led them to act in a certain way. It could be their lack of sleep, their hunger, their dinner before, their hormones, even their genes. There is a possiblity that a tantrum is caused by one of our ancestors who was eating a wrong mushroom.

It might be granpa’s fault that I am ugly

This is why punishment doesn’t always work. Instead of punishing people for what they did, we need to help them understand why they did it in the first place. By addressing the root causes of their behavior, we can work towards rehabilitation and positive change. This could include therapy, education, or support groups. Of course this only happens in a developed European country. Not many people can accept that human actually an animal that does not have that much control of their actions. There is this illusion of free will, always haunting as a hope or curse on the corner of our mind.

In the end, it’s important to recognize that guilt isn’t always the most interesting or useful emotion. We can’t change the past, but we can focus on the present and future to create a better outcome. By taking a more nuanced and compassionate approach to behavior, we can work towards a healthier and happier society. Or not. This is just me having guilt free.

***

Hi, Thanks for reading. If you enjoy my writing, you can always treat me cheap coffee by clicking the button below, so I could keep being productive. Or you can share this writing or write comments below for me to moderate and answer.

Ethnography, Filsafat, Politik, Racauan

Bisakah Menerima Bahwa Kita Tidak Punya Kehendak Bebas?

Sebuah artikel tahun 2016 di The Atlantic bicara soal perdebatan apakah Free Will (Kehendak Bebas) masih relevan ketika kita tahu banyak fakta bahwa kehendak kita dikendalikan neuron-neuron di otak dan bisa dimanipulasi dan diprediksi dengan sains, dan semua tergantung juga dengan genetika kita. Perilaku manusia bisa diprediksi seperti perilaku babon atau simpanse. Dengan semua teknologi analisa terbaru ini, manusia jadi nggak hebat-hebat amat sebagai bahan objek penelitian.

Perdebatan ini sebenarnya sudah dimulai ketika Darwin menerbitkan The Origin of Species, yang membuat kesadaran saintifik bahwa manusia sapiens adalah binatang dengan evolusi pre-frontal cortex, membuat kita tidak hanya mampu berpikir tapi juga mampu membuat cerita. Dan cerita-cerita tentang agama, negara, korporasi, membuat kita mampu berkolaborasi, berperang dengan strategi, dan membuat peradaban. Ini ditegaskan lagi oleh Yuval Noah Harari dalam Sapiens.

Lalu perkembangan keilmuan menggabungkan ilmu biologi, teknologi, sosial, politik, genetik dan neurosains untuk membongkar kesadaran kita, dan menemukan kepastian bahwa keinginan kita bukanlah asli dari kita, tapi reaksi yang didasarkan pada aspek sosiologis dan fisiologis. Artinya buat mengkoreksi perilaku manusia, kita bisa memakai data lengkap yang dikumpulkan semua ilmu ini, dan mengkondisikan setting sosial dan fisiologis dengan berbagai pendekatan keilmuan yang sudah terbukti hipotesanya.

Contoh: kita tahu bahwa neuron dan kimia tubuh kita bisa dikendalikan dengan obat-obatan, atau bahan kimia seperti minuman keras. Ini juga membentuk perilaku kita. Pengobatan psikiater juga membuat kita bisa mengendalikan mood kita. Lalu ada bukti-bukti bahwa perubahan perilaku seorang dewasa menjadi pembunuh atau pedofil berhubungan dengan tumbuhnya tumor tertentu di otak.

Lalu yang ditakutkan adalah, kalau kehendak bebas diterima sebagai ilusi, maka orang akan mulai jadi tidak mau bertanggung jawab atas pilihan dan tindakannya, maka peradaban akan runtuh. Ketakutan tidak otentik/jadi diri sendiri ketika kita tidak punya kehendak bebas. Ini logika yang salah.

Sebagai orang yang memakai obat-obatan dan terapi untuk mengendalikan perilaku saya, saya tahu pasti bahwa sebagai manusia saya ingin lebih sempurna untuk menikmati hidup, mencintai, dicintai, membantu orang lain, memecahkan masalah. Maka walau kehendak saya tidak bebas, dengan mengetahui metode untuk mengembangkan diri baik dengan belajar, olah raga, diet, dan minum obat, saya bisa punya kebebasan lebih untuk membuat batas-batas diri saya, dan saya bisa memperluas batas-batas itu. Justru dengan mengetahui bahwa kehendak saya tidak bebas, saya bisa berpikir dan memproses lebih matang bagaimana untuk bisa bertanggung jawab atas keberadaan saya–bukan hanya masalah kehendak saya.

Ini adalah jawaban yang sudah lama saya cari: posisi saya sebagai manusia di semesta ini, batas-batas saya. Dan agama dan ideologi tidak bisa menjawab itu. Sains bisa, dan tahu bahwa kehendak bebas bisa direncanakan oleh saya sendiri, membuat saya lebih tenang untuk hidup.


Terima kasih telah membaca tulisan ini sampai habis. Kalau kamu suka dengan yang kamu baca, boleh traktir saya kopi untuk bisa terus menulis dan sedikit nombokin biaya tahunan domain dan hosting blog ini supaya tetap bisa mudah diakses dan dibaca. Klik tombol dibawah ini untuk mentraktir saya.