Film, Kurasi/Kritik

Bom Bioskop, Bom!

Disclaimer: tulisan ini bicara soal sistem, bukan manusia, PH atau film tertentu. Tidak ada maksud mendiskreditkan pihak manapun karena sistem ini kita buat bersama-sama. Sebagai penonton setia bioskop, saya juga bagian dari masalah ini. Dan penting untuk ditekankan, tidak semua film pakai taktik ini. Banyak filmmaker yang bisa pakai taktik ini tapi tidak mau dan tetap laku-laku saja (biasanya karena didukung komunitas yang kuat).

Beberapa pekan lalu, saya berbincang dengan seorang produser sekaligus sutradara film Indonesia tentang strategi pemasaran yang makin sering terdengar: ngebom tiket. Istilah ini merujuk pada praktik membeli tiket film sendiri dalam jumlah besar—bukan untuk ditonton, melainkan untuk menciptakan ilusi bahwa film tersebut laris-manis di hari pertama penayangan.

Menurutnya, praktik ini bukan hal baru. Ia bahkan menyebutnya sebagai “jalan keluar terakhir” bagi production house menengah yang tak punya akses kuat ke jaringan bioskop. Di Indonesia, khususnya di jaringan XXI yang menguasai sebagian besar layar, film dengan sutradara atau produser baru kerap hanya diberi sedikit slot—dan itu pun bisa langsung diturunkan jika angka penonton hari pertama dianggap kurang.

Fenomena ngebom tiket ini tidak berdiri sendiri. Ia tumbuh dari sistem yang tertutup, relasi kekuasaan yang timpang, dan budaya industri yang lebih menghargai angka ketimbang kualitas atau keberagaman film.

Dan di sinilah esai ini dimulai: untuk memahami bagaimana industri bisa mendorong orang untuk memanipulasi data, hanya agar cerita mereka tetap bisa ditonton.

Industri film Indonesia bukan hanya persoalan karya, tapi juga medan kekuasaan. Dan kekuasaan itu sangat terlihat dalam distribusi layar bioskop.

Jaringan bioskop seperti XXI, yang menguasai sekitar 70% layar bioskop di Indonesia, memegang kendali besar terhadap nasib sebuah film: mulai dari jumlah layar yang diberikan, jam tayang yang tersedia, hingga keberlangsungan film di minggu berikutnya. Evaluasi tayang biasanya dilakukan setiap minggu—namun performa dua hingga tiga hari pertama sangat menentukan. Jika angka penonton dianggap tidak cukup menjanjikan, film bisa kehilangan sebagian besar layarnya bahkan sebelum benar-benar sempat menemukan penontonnya.

Masalahnya, sistem ini berjalan tanpa akuntabilitas publik. Tidak ada dashboard terbuka yang memperlihatkan data penonton harian secara real-time, tidak ada transparansi dalam keputusan pemutaran, dan tidak ada mekanisme evaluasi menyeluruh. Jumlah penonton hanya diumumkan jika angka itu menguntungkan secara promosi. Jika film sepi, data disembunyikan, bahkan dari para pendukungnya sendiri.

Semua ini tumbuh dari budaya industri yang alergi pada transparansi. Ada anggapan bahwa angka adalah “rahasia dapur.” Pendapatan film dianggap urusan internal. Kritik dilihat sebagai serangan pribadi. Evaluasi dianggap menghina.

Budaya semacam ini bukan hal baru. Ia tumbuh dari ekosistem bisnis yang selama bertahun-tahun terbiasa menyembunyikan kegagalan dan mengemasnya sebagai “proses belajar.” Dalam banyak hal, ini menyerupai cara birokrasi bekerja: penuh formalitas, penuh basa-basi, tapi minim akuntabilitas.

Akhirnya, angka menjadi alat untuk membangun reputasi, bukan untuk memahami kenyataan. Di sini manipulasi menjadi strategi yang dimaklumi. Bahkan bisa dianggap profesional.

Istilah “ngebom tiket” mungkin terdengar bombastis, tapi mekanismenya sederhana: rumah produksi atau pihak yang berkepentingan membeli tiket filmnya sendiri dalam jumlah besar, biasanya pada hari-hari awal penayangan. Tiket bisa dibeli di jam tayang sepi, di bioskop yang tidak ramai, bahkan kadang-kadang tanpa ada orang yang benar-benar menonton. Tujuannya: menciptakan lonjakan angka penonton secara cepat agar film terlihat laku.

Strategi ini sangat bergantung pada satu asumsi dalam sistem distribusi layar: angka hari pertama adalah segalanya. Karena jaringan bioskop menggunakan performa awal sebagai tolok ukur, rumah produksi dituntut menciptakan kesan “sukses” secepat mungkin. Jika tidak, layar bisa dicabut. Dan begitu layar dicabut, peluang film untuk mendapatkan penonton secara organik hilang begitu saja (Tempo).

Yang menarik, motivasi utama pelaku ngebom tiket—setidaknya di level production house menengah—bukan untuk pamer atau memenangkan penghargaan. Ini tentang bertahan. Tentang menciptakan cukup ruang agar film mereka bisa hidup beberapa hari lebih lama. Tentang melawan sistem layar yang secara struktural tidak adil.

Pelaku ngebom kecil-kecilan ini biasanya adalah film-film dari PH independen yang tidak punya akses langsung ke jaringan bioskop. Bahkan saat film mereka tayang, jumlah layarnya minim. Jika angka hari pertama tidak meyakinkan, film mereka langsung digeser oleh judul lain—seringkali dari studio besar, atau dari jaringan internal bioskop itu sendiri.

Itulah kenapa kadang kita melihat film yang “meledak” di hari pertama—75 ribu penonton, 100 ribu penonton—hanya untuk hilang begitu saja dalam seminggu. Asumsi saya, penurunan drastis itu tidak selalu karena filmnya buruk. Tapi karena tak ada lagi amunisi untuk “membom.” (Jejalahi cinepoint.com untuk analisa sendiri).

Yang lebih rumit lagi: siapa yang membiayai bom-bom ini, apalagi untuk film-film berwacana besar atau mewakili kelompok tertentu?

Kadang dananya datang dari bagian promosi di PH. Kadang dari kantong pribadi eksekutif produser. Kadang dari rekanan bisnis. Tidak jarang juga dari komunitas yang memiliki jaringan massa—entah berbasis agama, budaya, atau jejaring loyalis lainnya. Sistem ini cair, informal, dan sangat sulit dilacak.

Dalam kondisi seperti ini, ngebom tiket bukan sekadar taktik. Ia sudah menjadi bagian dari ekosistem yang gagal memberi kesempatan yang setara bagi semua jenis film untuk bersaing secara jujur.

Ketika manipulasi angka menjadi praktik yang dimaklumi, bahkan dinormalisasi, dampaknya jauh melampaui film yang dibom itu sendiri. Kita sedang bicara soal sistem yang membuat keberhasilan menjadi aksesori, bukan hasil dari interaksi nyata dengan penonton.

Di atas permukaan, ngebom tiket hanya tampak seperti strategi promosi agresif. Tapi di dalamnya, ada pergeseran mendalam: dari distribusi berbasis minat penonton, menjadi distribusi berbasis ilusi statistik.

Film-film yang punya peluang bertahan bukan lagi yang mendapat respons baik dari penonton, tapi yang berhasil menciptakan performa digital—angka tinggi di hari pertama, poster viral, atau testimoni influencer. Dan kalau angka itu bisa direkayasa, mengapa susah-susah membangun komunitas penonton atau membuat karya yang bicara jujur?

Film kecil makin tak punya tempat. Ruang tayang mereka tergeser oleh film dengan bom tiket lebih besar. Distribusi jadi ajang saling dorong, bukan ekosistem yang membiarkan keberagaman tumbuh.

Lebih parah lagi, angka penonton kehilangan maknanya. Jika jumlah tiket bisa dibeli sendiri, maka grafik penonton tidak lagi menunjukkan siapa yang benar-benar menonton, melainkan siapa yang punya dana promosi lebih besar atau koneksi komunitas lebih solid. Investor dan sponsor yang melihat data ini juga ikut disesatkan—mereka menyuntik dana untuk proyek-proyek berikutnya berdasarkan bayangan sukses yang belum tentu nyata.

Dan publik, penonton seperti kita, berada di ujung paling pasif dari proses ini. Kita diajak percaya bahwa film yang laris pasti bagus. Bahwa film yang sepi pasti gagal. Kita lupa bahwa angka bisa dikelola, tapi pengalaman menonton tidak bisa dibohongi.

Dalam sistem seperti ini, kejujuran jadi beban. Kegagalan jadi aib. Evaluasi diganti dengan framing. Film bukan lagi ruang interaksi antara pembuat dan penonton, tapi semacam arena kompetisi visual yang penuh asap dan kaca spion.

Di negara lain, data jumlah penonton bukan sesuatu yang perlu ditebak.

Di Korea Selatan, misalnya, angka penonton tidak diumumkan lewat testimoni produser atau infografis Instagram, tapi bisa dilihat siapa saja—langsung, real-time, harian, lengkap dengan jumlah layar dan lokasi bioskop. Namanya KOBIS, sistem pelaporan resmi yang dikelola oleh badan film nasional, KOFIC.

Semua bioskop wajib melapor. Semuanya dicatat. Semuanya dibuka ke publik. Angka bukan alat framing. Ia adalah infrastruktur.

Tapi KOBIS bukan tanpa masalah. Sistem ini dibangun di negara dengan kontrol dan sentralisasi tinggi. Ia butuh regulasi, konsensus industri, dan sumber daya teknologi yang besar. Dan tentu saja, tetap ada ruang untuk manipulasi di level promosi. Tapi secara prinsip, KOBIS menaruh kepercayaan pada publik untuk membaca data, bukan pada narasi sepihak untuk mengendalikan opini.

Bandingkan dengan Indonesia, yang sampai hari ini belum punya sistem seperti itu. Yang terdekat mungkin FilmIndonesia.or.id—situs dokumentasi yang dikelola swasta dan telah mencatat jumlah penonton film lokal sejak 2007. Tapi situs ini tidak mencatat film impor, tidak menyajikan data harian, dan tidak memuat informasi soal jumlah layar, kota pemutaran, atau estimasi pendapatan. Ia berfungsi lebih sebagai arsip, bukan alat navigasi industri.

Lalu ada Cinepoint—platform internal yang digunakan beberapa PH dan distributor besar untuk melacak performa film mereka. Cinepoint menyajikan grafik penonton harian, estimasi gross, dan tren pertumbuhan. Tapi aksesnya tertutup. Data hanya muncul jika dirilis secara sepihak oleh pemiliknya. Film yang tidak tergabung dalam ekosistem ini? Tidak tercatat. Tidak terlihat. Tidak dihitung.

Cinepoint bukan masalah pada dirinya sendiri. Ia berguna bagi PH yang mampu membayar dan mengelola sistemnya. Tapi ketika Cinepoint dijadikan standar transparansi, kita sedang menyaksikan bentuk baru dari ketimpangan informasi. Transparansi yang bisa dibeli. Data yang bisa dikurasi. Angka yang hanya muncul kalau bisa memperkuat posisi tawar.

Kita tidak sedang kekurangan sistem. Kita kekurangan keberanian untuk membuka semuanya.Selama data dimonopoli oleh jaringan bioskop, distributor besar, atau platform tertutup, maka film tidak pernah benar-benar dinilai oleh penonton. Ia dinilai oleh siapa yang paling pandai mengatur ekspektasi.

Dan selama itu pula, film Indonesia akan terus berjalan di bawah bayang-bayang angka—yang entah datang dari penonton, atau dari tangan sendiri.

Tapi kita tidak sedang bicara soal pelaku kriminal.

Ngebom tiket bukan tindakan yang melanggar hukum. Tidak ada aturan yang melarang rumah produksi membeli tiket filmnya sendiri. Bahkan, kadang yang melakukan itu adalah PH-PH kecil yang idealis—yang filmnya sebenarnya layak ditonton, tapi terancam turun layar hanya karena angka hari pertama tidak cukup meyakinkan.

Dan di sisi lain, ada juga yang berjudi. PH baru, dengan film yang belum tentu kuat, tapi berani ngebom ratusan tiket. Siapa tahu—dengan promosi yang tepat dan angka yang kelihatan bagus—penonton betulan datang di hari ketiga. Sebuah strategi yang, walaupun agak nekat, adalah satu-satunya opsi dalam sistem yang tidak memberi ruang mencoba.

Di antara itu semua, ada satu kelompok yang selalu terdampak: film-film lain yang tidak sempat masuk bioskop.

Indonesia kaya dengan cerita, dan banyak film-film yang tak sempat masuk bioskop karena slot penuh dan tidak dilihat punya profit–hanya benefit. Film dokumenter, film daerah, film pendek, film anak muda, film dengan suara baru. Film yang barangkali tidak sempurna, tapi sedang belajar tumbuh.

Mereka kalah bukan karena jelek. Tapi karena tidak sanggup bayar bom, atau tidak menarik untuk cari untung. Layarnya sudah penuh oleh film-film yang berani bakar dana untuk angka—entah demi bertahan, demi gengsi, atau demi memecahkan rekor.


Terima kasih telah membaca sampai habis. Website ini jalan dengan sumbangan, iklannya tak menghasilkan, dengan lisensi Creative Commons, Atribution, Non commercial. Kamu boleh pakai konten ini selama memberikan link sumber dan bukan untuk tujuan komersial. Kalau kamu suka dengan yang kamu baca, silahkan traktir saya kopi murah.

Film, Kurasi/Kritik

Exhuming Siksa Kubur: Agama Yang Mengabur

Satu-satunya hal yang pasti di dunia ini adalah kematian, sisanya adalah interpretasi, imajinasi, dan hasil komunikasi. Lebih ekstrim lagi Jacques Lacan, seorang psikoanalis dari Prancis mengatakan bahwa satu-satunya yang nyata adalah kematian sisanya imajinasi.  Seperti kutipan bahasa Inggris lama, ‘A dead man tells no tale’, orang mati tak akan pernah bercerita.

Cerita tentang ada apa setelah mati adalah cerita yang sudah dibuat sejak zaman nenek moyang kita bahkan mungkin pada spesies manusia sebelum kita seperti Neanderthal yang menguburkan sesamanya di tempat tertentu dengan ritual tertentu. Salah satu yang paling terkenal tentunya budaya Mesir kuno yang membuat mumi dari orang-orang yang mati. Suku-suku di pedalaman Amazon atau beberapa suku di peradaban lama memotong kepala orang yang mati dan mengecilkannya menjadi sebuah jimat atau memumikannya untuk dipajang di dalam rumah sebagai kenang-kenangan seperti sebuah foto keluarga.

Semua budaya ini bicara tentang akhirat atau hidup setelah mati dengan cara yang berbeda-beda dan dengan tujuan yang berbeda-beda pula. Ada yang merasa bahwa setelah mati seorang harus dirawat jasadnya supaya ia bisa sampai ke dunia kematian dengan selamat. Ada juga yang merawat jasad atau mumi atau kepala orang untuk bisa selamat di bumi agar yang mati tidak balas dendam. Ada juga mengkremasi jasad yang mati dan menyebarkan abunya supaya si mati bisa kembali dalam lingkaran kehidupan atau samsara atau agar mereka bisa mencapai nirwana. Kurang lengkap juga rasanya kalau kita tidak bicara tentang pemakaman dengan menaruh jenazah di kapal lalu melayarkannya ke tengah danau atau laut lalu membakarnya dengan panah api seperti yang dilakukan oleh orang-orang Viking. Ada juga yang jenazahnya dibuang langsung ke laut supaya jadi makanan ikan seperti yang banyak terjadi di suku-suku pesisir atau nelayan.

Tapi yang paling menarik untuk saya sekarang ini mungkin tradisi menguburkan orang; sebuah tradisi yang didapatkan dari agama-agama semit atau Judeo-Kristiani-Islami yaitu agama-agama yang dibawa oleh nabi-nabi dari daerah Timur Tengah. Konon budaya ini dipelajari anak Adam dari burung gagak yang mengubur gagak lainnya. Tentunya budaya menguburkan jenazah tidak hanya milik agama-agama semit. Di beberapa agama atau kepercayaan di Cina, Jepang, dan Korea misalnya juga ada tradisi menguburkan orang dan bukan mengkremasinya. Di sinilah saya ingin membahas tentang budaya menguburkan di dua film horor fenomenal tahun ini Siksa Kubur (Joko Anwar) dan Exhuma (Jang Jae-Hyun).

Kedua film tersebut bercerita dari sudut pandang konstruksi budaya soal jenazah dan kematian di dalam budaya Indonesia dan budaya Korea. Saya tertarik untuk bicara tentang tiga hal. Pertama saya tertarik untuk bicara tentang tokoh utamanya yang dua-duanya perempuan. Kedua Saya ingin bicara ritualnya tentang pemakaman baik di Islam dan di non Islam, khususnya konteks kuburan di Indonesia dan di Korea. Ketiga saya mau merenung juga bagaimana mayat diperlakukan dalam dua film ini, bahwasanya mayat sakral, namun di luar film ini, mayat menjadi semacam abjeksi atau menjijikan, khususnya ketika ia menolak mati.

Tokoh dan bahasan

Dalam budaya agama semitik, perempuan dan laki-laki dimandikan dan diproses sesuai dengan gendernya masing-masing. Laki-laki akan dimandikan oleh laki-laki dan perempuan dimandikan oleh perempuan. Setelah itu mereka akan dibungkus dengan kain kafan dan diikat. Dalam proses pemakaman ritual dipimpin oleh laki-laki sejak salat mayit sampai penguburan. Ini dilakukan karena agama semit adalah agama patriarkal. Dalam Siksa Kubur, tokoh bernama Adil (Muzakki Ramadhan-Reza Rahadian), adik Protagonis Sita (Widuri Putri-Faradina Mufti), adalah seorang pemandi jenazah yang memandikan jenazah-jenazah laki-laki. Terlepas dari protagonis utama yang adalah seorang perempuan, film Siksa Kubur berusaha bergerak dalam sebuah ranah agamis khususnya Islam untuk tetap setia kepada kebudayaan dominan dari penontonnya.

Sementara itu dalam Exhuma, tokoh protagonisnya juga perempuan Lee Hwa-rim (Kim Go Eun) yang punya sidekick laki-laki, Bong Gil (Lee Doh Hyun). Hwa-rim adalah dukun (Mudang) yang memegang peran penting dalam ritual-ritual pemakaman atau ritual-ritual tolak bala di Korea Selatan. Dukun-dukun perempuan ini cukup dibanggakan oleh budaya Korea dan sudah sering kita lihat di dalam banyak film atau seri Korea. Walau tetap saja yang menggali kubur dan menguburkan adalah laki-laki sesederhana karena ini adalah pekerjaan fisik, yang secara distribusi kerja biasanya dilakukan oleh laki-laki.

Kedua film punya protagonis perempuan yang berhadapan dengan kematian, dengan sidekick laki-laki yang jadi korban (atau berkorban). Buat saya ini menarik karena biasanya ketika kita bilang soal perempuan yang lebih dulu terpikir di kepala orang yang dibesarkan di budaya patriarki adalah peran ibu dan kelahiran bukan kematian. Jika pun dihubungkan dengan kematian, perempuan lebih sering jadi setan jahat yang dendam dengan budaya patriarki yang menyakitinya ketika hidup. Hantu perempuan, sering kali adalah wujud rasa bersalah kebudayaan kepada perempuan, yang menjadi ibu arkaik.

Di Siksa Kubur dan Exhuma, tidak ada tokoh ibu arkaik yang menakutkan seperti Medusa yang membekukan semua yang melihatnya atau tentunya ibu di Pengabdi Setan atau wewe gombel dalam film Joko Anwar yang lain,  A Mother’s Love. Walaupun Pengabdi Setan satu dan dua punya protagonis perempuan tapi film-film tersebut punya antagonis yang juga perempuan.

Sementara itu Exhuma punya musuh yang sangat maskulin: penjajah Jepang, hantu Samurai (atau shogun) dan pembicaraan soal batas wilayah yang diatur dengan pasak, juga soal darah priyayi pengkhianat bangsa, yang kaya sekaligus terkutuk. Exhuma jelas politis, sementara Siksa Kubur filosofis.

Siksa Kubur membicarakan tentang betapa absurdnya kepercayaan tentang kematian, yang interpretasinya macam-macam ini. Karena, seperti kata Hamletnya Shakespeare, kematian adalah daerah yang mana tak ada pengelana yang akan kembali, maka narasi tentang mati dan siksa kubur, serta sequence menuju akhirat jadi ruang imajinasi tanpa batas, berdasarkan cerita, referensi, dan pengalaman (termasuk trauma-trauma kita).

Untuk mereka yang berasal dari kelas terdidik dan senang berdiskusi filsafat, premis Siksa Kubur tentang skeptisisme dan kesombongan manusia akan kepercayaannya sendiri ini, jelas klise dan tak menantang. Tapi coba kasih saya satu saja tiktok atau channel youtube filsafat Indonesia yang membicarakan hal ini dengan viewer 3 juta orang lebih, seperti jumlah penonton Siksa Kubur. Di negeri dimana Bansos bisa membeli suara politik, berapa banyak yang sempat berpikir tentang interpretasi lain soal kematian selain apa yang dicekoki agama? Pertentangan antara protagonis perempuan muda yang kritis, dengan antagonis lelaki tua patriarkis yang juga sama kritisnya, membuat film ini menjadi sebuah essay filsafat yang dibungkus dengan estetika sinematis.

Horor yang menantang penontonnya

Horor konvensional, biasanya berpikir bahwa filmnya komersil dan tidak politis. Bahwa penonton diberikan rasa takut, dan diposisikan sebagai protagonis yang melawan kekuatan jahat. Plot klasiknya seperti protagonisnya orang kota dan hantunya ada di desa atau di rumah tua atau di kuburan. Kepada penonton tidak ada tantangan lain yang secara langsung melibatkan hidup mereka. Tapi di Siksa Kubur dan Exhuma, penonton disandingkan, kalau bukan ditandingkan, dengan isu-isu berat yang sebenarnya ada di kehidupan sehari-hari.

Siksa kubur menantang penonton dengan berbagai macam pemikiran filsafat yang mengganggu kesadaran sehari-hari penonton tentang pertanyaan-pertanyaan dasar filsafat ketuhanan. Sebuah materi yang biasanya didapatkan di kelas dasar-dasar filsafat tapi cukup tabu untuk dibicarakan secara umum. Tokoh Pak Wahyu yang dimainkan dengan apik oleh aktor senior Slamet Rahardjo memberikan performa soliloqui yang luar biasa seperti dalam film Network (1976), di mana hal ini sangat jarang ditemukan atau bisa dimainkan oleh kebanyakan aktor-aktor film Indonesia masa kini–mungkin kita masih bisa menemukan akting semacam ini di teater. Adegan panjang Pak Wahyu adalah sebuah kuliah umum yang mengganggu kenyamanan sistem kepercayaan penonton awam, dengan logika-logika ateisme dan argumen-argumen sosiokultural.

Sementara itu Exhuma memaparkan secara simbolis okupasi Jepang ke Korea sejak abad 16 hingga perang dunia ke-2. Disampaikan dengan misi untuk mensucikan kuburan seorang aristokrat yang berpihak pada Jepang di perang dunia ke-2 di mana di dalam kuburan itu terdapat dua peti mati dan terdapat pula iblis yang berbentuk Shogun atau samurai yang kita bisa sambungkan dengan perang Imjin di abad 16 tadi. Perang Imjin adalah okupasi Jepang ke Korea di tahun 1592 sampai 1598 untuk menguasai Korea dan menjadikannya pertahanan melawan Cina. Beberapa ratus tahun kemudian Jepang kembali mengokupasi Korea di tahun 1910 sampai 1945. Penjajahan ini menyisakan trauma yang besar untuk rakyat Korea karena ada pemaksaan untuk penghapusan budaya Korea juga pemaksaan perempuan-perempuan penghibur yang di Indonesia kita kenal sebagai jugun ianfu, serta banyak pembantaian orang Korea. Menggali kubur seperti sebuah metafora tentang menggali masa lalu dan segala isi traumanya yang sangat menakutkan untuk orang Korea. Kita di Indonesia yang merasakan okupasi Jepang selama 3,5 tahun sudah cukup trauma, sementara Korea telah mengalaminya berabad-abad lamanya.

Maka dengan ini makna menggali kubur di dalam kedua film sama-sama bisa dikaitkan dengan menggali trauma-trauma dan ketakutan-ketakutan akibat opresi serta penderitaan di masa lalu. Dalam siksa kubur neraka bagi tiap orang dikatakan berbeda-beda tergantung pada pengalaman dan konstruksi sosial dalam membentuk nurani seseorang. Sementara dalam Exhuma ada trauma kolektif yang digali keluar karena arwah nenek moyang yang tidak tenang, nenek moyang yang terkutuk dengan dendam dan kerakusan.

Sentimen kelas dan absensi moral

Secara sosial tokoh Sita dan Adil adalah kelas menengah bawah yang terjebak karena orang tua mereka meninggal. Sementara Hwa-rim dan Bong-gil adalah kelas menengah yang disewa oleh golongan atas untuk menyelesaikan masalah mereka. Kedua masalah besar di dalam film ini adalah karena kelas menengah atas yang rakus dan berdosa sehingga membawa banyak korban, termasuk anak dan cucu mereka sendiri.

Jadi menarik untuk membicarakan soal kelas atas dan fleksibilitas moral yang dianut ketika ada keamanan hukum dan finansial dan kebebasan untuk bertindak semaunya. Justifikasi moral tidak lagi diperlukan dalam sebuah keberadaan yang penuh dengan imunitas hukum dan politik. Dalam buku Beyond Good and Evil, bab 9 berjudul What is Noble?, filsuf Nietzsche mengatakan bahwa orang-orang dari kelas atas atau kelas yang memerintah yang mengatur masyarakat adalah orang-orang yang merasa bahwa mereka hidup dengan melampaui nilai baik dan jahat dan boleh hidup tanpa terhubung dengan pertimbangan moral yang universal. Dengan pemahaman ini mereka merasa berhak mengeksploitasi kelas yang lebih rendah atau hal-hal yang asing untuk mereka. Mereka merasa berhak untuk bertindak di luar apa yang baik dan yang jahat bagi kemanusiaan karena mereka bisa melakukannya. Mereka menormalisasi tindakan-tindakan amoral, kecurangan-kecurangan karena mereka merasa mereka punya golongan-golongan yang kuat diantara mereka sendiri dan mereka berhak untuk melakukan semua hal itu karena mereka bisa. Miriplah dengan pemimpin yang dengan enteng menyuruh orang miskin untuk jadi pengusaha, atau tidak ada salahnya nepotisme orang dalam dalam proyek negara. Sekalian saja pakai uang negara untuk sunatan anak.

Ketika berhadapan dengan kaum pengatur ini atau kelas atas ini yang berada di lantai teratas strata sosial, manusia-manusia kebanyakan yang bekerja sehari-hari, yang berjuang dengan eksistensinya karena lahir dari golongan menengah ke bawah atau para budak yang tidak bisa melawan majikan-majikan mereka, atau para buruh yang tak bisa melawan pemilik modal tidak berdaya. Mereka yang terbelenggu hanya punya satu harapan tentang kenyataan yang lebih nyata daripada yang nyata, yaitu akhirat. Maka siksa kubur baik di film Joko Anwar ataupun Jang Jae-Hyun di mana sang penguasa sudah mati dan tidak tenang dalam kuburnya, adalah sebuah harapan dari mereka yang tidak bisa melawan kekuasaan kecuali dengan doa dan kutukan.

Kedua film dengan konteks yang berbeda membawa kembali tren agama dalam horor dengan cara yang lebih inklusif. Siksa Kubur, walaupun berkonteks Islam, tetapi argumen-argumennya sangat tidak islami dan jika siksa kubur adalah sebuah proyeksi dari penderitaan individual maka dia tidak hanya milik orang muslim. Sementara itu di Exhuma kita melihat bahwa tim penggali kubur terdiri dari orang-orang yang menganut paham sinkretisme agama antara Kristen dan kepercayaan lokal Korea yang disebut Musok dan dipimpin oleh seorang dukun perempuan yang disebut Mudang. Jadi setelah pembicaraan panjang tentang dua film ini kita melihat bahwa keduanya adalah film religi model baru di abad ini, di mana dalam kyai atau ustad tidak lagi menjadi solusi masalah dan iblis atau setan bukan milik agama tertentu tapi kumpulan orang-orang berbeda agama yang identitasnya dibentuk dari nasionalisme, yang menggunakan kode-kode kultural kebangsaan untuk melawan hantu-hantu budaya kolonial.


Terima kasih telah membaca sampai habis. Website ini jalan dengan sumbangan, iklannya tak menghasilkan, dengan lisensi Creative Commons, Atribution, Non commercial. Kamu boleh pakai konten ini selama memberikan link sumber dan bukan untuk tujuan komersial. Kalau kamu suka dengan yang kamu baca, silahkan traktir saya kopi murah.

Film, Filsafat, Kurasi/Kritik, Racauan

Oscar dan Politik Festival Film

Dalam Oscar, gue selalu melihat sebuah performance. Oscar sendiri sebagai sebuah festival, buat gue bukan sebuah kompetisi atau sebuah perayaan macem-macem  tapi itu adalah sebuah performance politik.

Oscar dari awal tahun 70’an ketika Marlon Brando menolak untuk dapat Oscar karna dia mau protes sama semua film koboi yang  memarginalkan  orang-orang native American, udah political banget tuh. Marlon gak mau dateng, dia mengirim seorang putri kepala suku di Amerika dan menerima Oscar buat dia, tapi di saat yang sama juga dia ngomong bahwa selama ini Hollywood telah melecehkan Native Amerika yang disebut “indian-indian” ini dan mereka ingin menghentikan film-film koboi dengan indian-indian film Amerika yang menjadi penjahat.

Ini impactful banget, dan setiap tahun ada aja Oscar caranya untuk bikin sebuah wacana jadi naik. Kaya kemenangan film Moonlight berkaitan dengan racial discrimination, lalu kemenangan-kemenangan lain-lain film-film perempuan waktu jaman #metoo, lalu kemenangan film Asia jadi reaksi terhadap penembakan orang-orang asia di Amerika. Kemarin juga kita lihat juga Will Smith nampol Chris Rock dan di highlight sebagai sebuah performance yang notable.

Adegan ini buat gue statement tentang penyakit Alopecia Jada Pinkett Smith yang membuat rambutnya rontok dan harus digunduli. Ini juga kayak tamparan literal bahwa juga bahwa jokes itu ga bebas gitu. Lo boleh ngejoke sesuatu di dalam sebuah ruang yang aman; tapi Oscar jelas bukan ruang aman kayak di comedy club. Ricky Gervais juga beberapa kali bikin jokesnya depan orangnya langsung di Golden Globe, tapi kalo udah soal penyakit atau disabilitas itu udah keterlaluan, kecuali kalo lo ambil balik apa yang bisa dikatain ke elo gitu tapi ini kan enggak. Ini main power kan? Ketika Rock sudah ngata-ngatain Jada sementara dia sendiri aja ga sakit, di situlah pukulannya Will Smith bisa jadi sebuah performance yang sangat fenomenal untuk ngasih statement bahwa “Nggak! lo ga bisa nge jokes kaya gitu”.

Will Smith mempertaruhkan karirnya untuk aksinya itu. Dia mundur dari Oscar dan melepas hak suara atau kehadiran di event-event selanjutnya. Ketika tulisan ini dibuat, Smith sedang menunggu apakah piala yang ia raih sebagai best actor untuk film King Richard akan dianulir juga—tapi nampaknya tidak karena Chris Rock juga tidak menuntut. Terlepas dari sengaja atau tidak, insiden ini tercatat dalam sejarah Oscar, memperkuat stereotipe orang kulit hitam di Amerika, dan berdampak buruk terhadap karir.

Di Oscar juga masih banyak hal lain  sih yang bisa jadi highlight, Samuel Jackson menang pertama kalinya dengan Honorary Oscar award. Itu orang berapa tahun bikin film ga menang-menang,  jadi kalo gue bilang selama ini kan kita kali ngomong “Leonardo Dicaprio kenapa gak menang menang atau Johny Depp ga menang menang?” Men, mereka tuh cowo -cowo yang keren kulit putih dengan privilege-privilege gitu, kenapa kita ga pernah kepikiran ya? Kenapa Samuel L. Jackson ga pernah menang gitu ya? Apakah mungkin karena penampilanya yang begitu-begitu aja? Tapi gua rasa juga enggak. Misalnya, buat gue A Time To Kill tuh salah satu penampilannya Samuel L. Jackson yang paling keren, gila banget tuh dia di situ  tuh mainnya. Walau nggak ada yang ngalahin trademark Mother Fucker dia… paling yang bisa ngalahin Al Pacino dengan “fuck fuck fuck” nya.

Jadi intinya dari Oscar kita bisa lihat bahwa festival film itu punya politiknya sendiri. Nah sama dimana-mana juga. Ada dua macam politik festival menurut gue. Pertama, festival yang dari awal dibentuk sebagai gerakan politik. Misalnya Clermont-Ferrand di Prancis. Festival itu dibuat dari awal untuk gerakan mahasiswa dan kebebasan ekspresi melawan rezim.

Festival Film Indonesia buat gue juga sama. Karena Indonesia sendiri negara hasil traktat politik, otomatis FFI juga punya kepentingan politik identitas. FFI dimulai dari jaman  Soekarno tapi  platformnya juga pelan-pelan berubah karena dia ngikutin politik luar negeri. Pernah sih FFI pro sama yang ‘Indonesia banget’, tapi ya hasilnya, dapetnya Aa Gatot. Dan itu sangat buruk buat Festival Film utama negara kita ini. Buat gue film di Indonesia itu  tentang hanya bisa maju dengan investasi luar negeri dan bersaing dalam industri film global.

Tapi ada juga festival film yang nggak politis dari awal, yang memang dibuat untuk ngumpul-ngumpul karena suka tongkrongan suka nonton film dan lama-lama jadi festival. Kalo mereka ga bubar-bubar, mereka akan punya struktur sendiri dan beregenarasi.

Jadi ketika lo memilih sebuah festival film, pastikan aja dia sudah bertahan cukup lama melewati banyak perubahan sosial politik. Kalo cuma setahun terus bubar dan nggak regenerasi ya dia gagal. Oscar pun sama ngikutin politik Amerika. Cuma ya ujung-ujungnya ada prinsip dasar yang dia pengen capai jadi film yang menang nggak semata-mata karena bagus tapi juga harus memperhitungkan sekuat apa endorsement Oscar terhadap film untuk bisa mengubah persepsi orang tentang kebudayaan gitu.

Jadi intinya kalo kita ngomongin Festival film ada yang politis ada yang organik awalnya, tapi setelah tahun ke 5 dia akan jadi sangat politis. Artinya dia punya sebentuk endorse dalam film yang dimenangkan.  Masing-masing punya sendiri-sendiri ada yang LGBT, ada yang fokusnya ke  gender, ada yang fokus ke horor, ada yang fokusnya ke komunitas, ada juga yang fokusnya ke pasar dan industri tapi industri juga harus ngikutin apa yang lagi ngetrend.

Sayangnya di Indonesia, festival film belom segitunya politiknya. Kayak, FFI menangin Penyalin Cahaya untuk mengendorse isu kekerasan seksual, harus kecewa ketika salah satu penulisnya kejebak kasus kekerasan seksual. Semua harus dibangun dan menjadi politis adalah hal penting buat sebuah festival, biar film jadi punya kegunaan yang jelas: mengubah peradaban!

Politik, Racauan, Workshop

Managemen Konflik part 1: Konflik Hadir dari Cara Orang-orang menghadapi Konflik

Konflik itu tanda kehidupan. Semua orang pasti menghadapi konflik. Tapi justru, karena caranya beda-beda, maka mereka nggak ketemu pemecahanya, komunikasi jadi ancur, hubungan ancur, output… Ya pasti ancur. Jadi ketika terlibat sebuah konflik, kita harus tahu dulu bagaimana cara kita dan orang lain menghadapi konflik, terus kerjasama buat cari cara terbaik untuk mencapai tujuan bersama.

Untuk mengidentifikasi konflik, kita harus paham cara yang sering kita atau orang lain lakukan untuk menghadapi konflik, karena cara-cara inilah yang seringkali justru menghasilkan konflik besar, kalau tidak bisa diatur dengan baik dan tidak dikenali. Ada banyak cara orang menghadapi konflik. Salah duanya adalah kabur, atau mati. Tapi itu ga usah kita itung lah ya. Nggak menyelesaikan masalah. Ini aja, ada 5 cara orang yang cukup berkomitmen untuk tuk menyelesaikan projectnya (bukan masalahnya).

1. Cara kolaborasi

Orang yang menangani konflik dengan cara kolaborasi lebih mementingkan proses daripada hasil, dan cara ini hanya bisa dilakukan kalau prosesnya panjang, intens, dan banyak ngobrol. Tujuannya untuk mencapai hasil terbaik buat semua pihak. Masalah, kalau cara kolaborasi ini dipakai dalam waktu singkat dan terhadap orang-orang yang masih asing. Yang ada bukannya kolaborasi, tapi hasil yang carut marut.

2. Cara Menghindar

Ada orang yang lebih suka menghindari konflik dengan cara mengesampingkannya. Bisa aja ketika dikesampingkan, memang karena ada hal lain yang lebih krusial untuk diurus dulu. Tapi jadi buruk kalau konflik dikesampingkan karena takut untuk dihadapi, atau malas untuk dibahas, terus kamu malah diam aja. Akhirnya akan jadi menumpuk dan sistemnya collapse.

3. Cara Akomodatif

Ada yang ketika mengalami konflik, cenderung lebih mengalah dan memberikan akomodasi terhadap permintaan orang lain. Ini bisa menyelesaikan masalah, tapi bisa membuat masalah lebih besar karena nantinya si orang akomodatif ini bisa tereksploitasi. Cara ini hanya boleh dilakukan  kalau tujuannya bukan hasil, tapi memperkuat hubungan sosial.

4. Cara kompetitif

Ini biasanya dilakukan oleh orang yang berpikir hasil-hasil-hasil. Di sini dia tidak perduli akan orang lain atau grupnya, yang penting hasilnya bagus. Dia bahkan bisa mengerjakan semua sendirian, sangat tidak baik untuk dinamika grup. Konflik tidak diurus, diselesaikan  secara sepihak dengan kekuatannya sendiri. Usahakan jangan pakai cara ini, karena ini merusak hubungan antar personal. Plus, ini bisa bikin gila.

5. Cara Kompromi

Ini biasanya dilakukan oleh people pleaser, untuk memuaskan semua pihak. Biasanya cara ini kita lakukan ketika kita sudah menyerah terhadap hasilnya dan tidak ada waktu lagi. Cara ini efektif untuk bikin konflik dan project kelar. Tapi harus diingat, tidak ada satupun orang akan puas.

Kamu sendiri tipe apa? Jawab dalam hati saja.

**

Nah, kalau kita sudah paham cara-cara orang untuk menghadapi konflik, kita jadi punya mata elang dalam melihat beberapa cara orang-orang dalam menyelesaikan konflik. Sebagai manager/producer/director, kita harus sadar kita cenderung seperti apa, dan bikin jarak: lihat orang-orang di grup kita kayak gimana.

Sekarang mari masuk ke cara mengatur konflik yang mengandung orang dengan cara yang beda-beda dalam menghadapi konflik.

Meta sekali bukan? Konflikception? Hahaha..

1. Peka terhadap konflik

Biasanya kalau saya, selalu mulai dengan apakah ada perubahan-perubahan mood dalam ruang kerja. Itu bisa dilihat dari bagaimana orang-orang ngobrol, gosip-gosip terkini, atau… Bagaimana orang-orang TIDAK NGOBROL. Kalau tidak terbaca, perbanyak komunikasi dengan bertanya soal pendapat mereka soal projectnya. Bisa juga dilakukan dengan japri, biar tahu motivasi tiap orang dan cara-cara orang itu menghadapi konflik.

2. Sans sisbro, ambil jarak
Jangan tegang dulu, ambil jarak dan inget-inget orang kayak apa yang sedang konflik. Kalau kamu yang terlibat dalam konflik itu, minta tolong mediasi aja. Tapi jangan ambil dua pilihan ini: fight or flight. Jangan berantem, dan jangan kabur. Terus gimana? Bikin komunikasi yang dewasa, terstruktur dan berdebat secara bergiliran dengan saling mencatat dan mendengarkan keluhan orang. Jadilah NETRAL dan FOKUS KE FAKTANYA. Dan yang terpenting besarkan hati untuk terima fakta bahwa kamu salah.

3. Selidiki situasinya

Sebelum menghadapi konfliknya, ambil waktu buat menyelidiki dengan bertanya  pada pihak-pihak lain yang terkait. Pastikan tidak ada praduga. Bicara pada orang yang berkonflik secara terpisah dan pastikan kamu paham sudut pandang mereka. Biasanya kalau saya sih, saya tanya balik dengan pernyataan mereka untuk memastikan, “jadi lu ngerasa si anu nggak peduli sama project ini, dan banyakan lu yang kerja?”
Atau “Jadi lu ngerasa si Una susah dihubungin dan ga bilang dia butuhnya apa?”

4. Ambil keputusan cara ngehandlenya.

Coba, setelah masalah teridentifikasi, jawab pertanyaan berikut:

– Ini masalah lebay trivial, atau bisa jadi serius buat keseluruhan project? Lebay trivial tuh kayak, “gue ga suka dia banyak ketombe, geli aja.” Masalah serius kayak, “gue nggak suka dia banyak ketombe, ini kan pabrik coklat dan kerjaan dia ngaduk coklat cair. “

– Harus dibawa ke organisasi atau institusi, apa bisa ditanganin sendiri? Kalo cuma ribut antar orang yang ide kreatifnya clash, mungkin bisa dibicarakan internal. Tapi kalo pelecehan seksual, well hajar bae ke bos-bos.

– Ini masalah di dalam lingkaran kamu sendiri, atau jangan-jangan struktural dan harus dibawa ke atasan? Struktural berarti ada masalah aturan main. Coba dibicarakan apa aturan mainya bisa diubah.

– Ada hubungannya dengan legal nggak? Awas jangan sotoy, hukum harus dibicarakan sama orang hukum.

– Perlu kah diwakili oleh organisasi/serikatmu?

– Apakah kamu harus ambil keputusan prerogatif sendiri, atau harus ngumpulin orang untuk musyawarah mufakat atau voting? Semua kembali ke masalah waktu dan output projectnya.

– Apakah butuh waktu untuk emosi mereda sebelum melanjutkan project?

Jawab semua ini, lalu mulai “kerjakan” Solusi masalahnya. Ya, solusi bukan dicari, dia dikerjain satu-satu sampe beres.

5. Kasih semua orang ngomong tanpa interupsi

Kalo ada waktunya, kasih semua orang waktu buat bicara tanpa ada interupsi. Kalo bisa, ngobrol satu-satu sama semua orang yang terlibat secara privat. Pastikan data yang kamu dapat tidak tersebar atau kamu kasih tahu orang lain.

6. Setelah masalah per individual terkumpul, pertemukan semua orang.

Lihat mana yang mereka bisa katakan secara publik dan mana yang nggak. Emosi boleh ada tapi harus dikontrol. Diskusi harus kamu jalankan, tapi juga harus siap intervensi ketika diskusinya terlalu panas. Selain itu, ekplore alasan-alasan kenapa orang tidak setuju. Minta solusi dari semua orang. Ambil waktu istirahat, lalu berefleksi. Setelah itu ambil keputusan dan minta komitmen tiap orang untuk keputusan itu.

7. Pastikan konsisten dan Evaluasi

Jangan pikir masalah sudah kelar. Terus evaluasi dan peka terhadap konflik baru atau lanjutan. Konsisten pada keputusan yang sudah diambil.

8. Evaluasi diri sendiri untuk mencegah konflik mendatang

Jangan lupa buat evaluasi cara kamu dalam menangani konflik. Apa yang bisa bikin kamu lebih efektif salam menangani konflik itu? Apa saja yang harus kamu pelajari? Mungkin kamu juga perlua training dalam komunikasi, atau ethnografi untuk mengumpulkan data. Perbanyak bergaul, dan selalu belajar dari konflik.

***

Seperti biasa, Terima kasih sudah membaca sampai habis. Blog ini jalan dengan sumbangan, dan saya ingin bisa berusaha konsisten menulis. Kalau tulisan ini membantu kamu, jadilah patron saya dengan mentraktir saya kopi dengan klik di tombol di bawah ini. Thanks for reading.

Adapted from peoplehum.