Film, Kurasi/Kritik

3 Body Problem dan Tuhan-tuhan kita

Awalnya tulisan ini dibuat bersama dengan ChatGPT, jadi semacam metodologi penulisan baru. Tapi setelah beberapa kali dilihat, ternyata belum ada AI yang bisa mengejawantahkan ide-ide liar di kepala gue. Jadi ini adalah hasil dari menulis ulang esei ini.

3 Body Problem, series Netflix yang dibikin sama orang-orang dibalik Game of Thrones punya ide yang lumayan segar khususnya soal science fiction alien yang gabungin antara game, teori fisika, dan kritik sosial humanis. Gue tertarik bahas ini karena udah lama nggak nonton series yang gayanya jejepangan kayak gini. Yes, menurut gue film ini stylenya jepang banget. Bisa banget jadi anime. Tulisan ini akan bicara lewat jalur paling malas dalam kritikf film: penceritaan. Yang akan lo baca punya posisi lebih rendah dari review. Anggaplah ini genre tulisan kesukaan gue: racauan. Gue akan bahas 3 Body Problem secara tematis, dari masalah kritik terhadap developmentalisme dan alam, kritik terhadap ideologi dan agama, dan penjabaran soal altruisme dan kemanusiaan.

Developmentalisme dan alam

Jadi hari-hari ini gue tergoda sekali untuk pake AI, dari mulai mencari makanan di HP, sampai model bahasa di copilot, open AI, editing video audio, bikin gambar di dall e dan canva, sampai di wordpress yang sedang kalian baca ini. Ini semua adalah perkembangan manusia, dan AI menjadi satu lagi loncatan peradaban, setelah penemuan mesin uap industri di hampir 200 tahun yang lalu yang membuat industrialisasi dan loncatan peradaban: mesin dan perang, lalu industrialisasi dalam ekonomi global. Setiap loncatan dan percepatan peradaban ini efeknya lumayan buruk untuk tempat tinggal kita sendiri. Tapi gue nggak akan bilang bahwa manusia merusak alam atau merusak bumi. Alam tidak rusak atau baik, alam sederhananya adalah keberadaan yang punya jalannya sendiri dan keputusannya absolut, kita semua cuma numpang. Ini adalah bahasan utamanya: 3 Body Problem dimulai dengan usaha untuk menghentikan perkembangan teknologi, pembunuhan para ilmuan yang berpotensi untuk melawan para alien, atau mempercepat kerusakan planet yang ingin dituju para alien ini 400 tahun lagi. Ini masuk akal sekali ketika kita lihat, dalam rentang waktu 200 ribu tahun manusia hidup, kita cuma perlu 200 tahun lebih sedikit untuk bikin planet kita tidak lagi bisa kita tinggali. Dengan pengakuan bahwa kita cerdas, dalam jumlah besar kita benar-benar spesies yang tolol karena sedang pelan-pelan bunuh diri. Dalam 400 tahun, tidak akan ada lagi keseimbangan untuk menopang kehidupan, dan para Alien yang notabene lebih cerdas dari kita, khawatir.

Ideologi dan agama

3 Body Problems, atau dalam terjemahan kerennya, Trisurya, adalah konsep trias yang sering kita pakai. Di struktur cerita ada tiga babak, di agama ada tiga dewa atau tuhan utama, di politik ada trias politica, ini semua jadi masalah besar yang dialami ras alien yang planetnya ada tiga matahari. Mereka mengulang peradaban dengan kiamat yang berkali-kali dalam jangka waktu yang jauh lebih lama dari kita, karena planet dengan tiga matahari, tidak pernah bemar-benar stabil. Seperti sistem trias yang kita anut, yang selalu mengandung tesis, anti-tesis dan sintesis, selalu ada yang diciptakan, dipelihara, lalu dihancurkan.

Gue suka banget kritik terhadap agama dan politik di 3 Body Problem. Ketika alien dengan kekuatan omnipoten Tuhan berjanji akan datang, manusia panik dan terbagi antara mereka yang skeptis yaitu golongan ilmuan, mereka yang menurut yaitu golongan agamawan, dan mereka yang melawan yaitu golongan politikus dan militer. Lagi-lagi, 3 Body Problem. Tentunya berhadapan dengan konflik, seringkali menghasilkan 3 outcome ini.

Dalam menghadapi pandemi, sebagai contoh. Agama mengajarkan doa dan pasrah menunggu, sains berusaha memecahkan masalah tapi butuh dukungan uang dan politik, dan politik sibuk ribut antar sesama, sehingga masalah jadi berlarut-larut. 3 Body Problem merefleksikan sebuah solusi terhadap ketidaksinkronan trias ini: kembalinya kediktatoran yang diceritakan dengan PBB memberikan status absolut untuk tiga orang manusia yang boleh memerintahkan atau meminta apapun, tanpa harus menjelaskan apapun, karena Alien tahu segalanya kecuali isi pikiran orang. Pandemi kemarin pun cepat berakhir dengan munculnya berbagai diktator dan kebijakan ekonomi dan kesehatan yang dipercepat, diberi insentif steroid.

Altruisme dan kemanusiaan

Hal lain yang diperhatikan dari film ini adalah contoh-contoh persahabatan dan altruisme di antara tokoh-tokohnya. Jadi manusia itu terlepas dari keegoisannya masing-masing memiliki ikatan-ikatan sosial yang cukup kuat antar kinship atau persahabatan yang membuat cerita-cerita yang bermakna tentang keberadaan manusia yang sebenarnya sangat pendek dalam umur semesta ini. Maka dari itu gue pikir film ini pada akhirnya adalah film tentang kemanusiaan dan tentang pengorbanan yang masih berjalan hingga hari ini bahwa banyak orang-orang yang berusaha untuk melakukan kebaikan dalam bentuk pengorbanan itu terlepas dari hasilnya nantinya akan seperti apa toh ketika dilakukan sebuah pengorbanan adalah murni keberanian untuk menjadi baik.

Secara estetika series ini punya kualitas yang tinggi aktor-aktor yang kuat dan meyakinkan tentunya. Karena bagaimanapun ini film Netflix dengan modal yang besar. Ada satu hal yang mengganjal buat gue yaitu tentang bagaimana eksklusifnya sebuah modal untuk membuat film atau seri yang sifatnya global. Terlepas dari ceritanya yang sangat peduli pada kemanusiaan dan alam dan ilmu pengetahuan tetap saja produksi film ini menghabiskan banyak dana dan sumber daya yang sangat eksklusif untuk kelas-kelas tertentu. Ini yang lumayan mengganggu gue sebagai seorang filmmaker, bahwasanya seringkali film mengeksploitasi kebudayaan dan kepercayaan kemanusiaan tapi di saat yang sama film ini dirayakan dalam bentuk-bentuk penghabisan dana dan sumber daya serta ketidakadilan sosial untuk membuat filmnya. Semua jadi serba ironis. Ada 3 body problem dalam film making yaitu budget, timeline, dan ide. Untuk membuat sebuah karya yang monumental diperlukan waktu yang panjang, budget yang sangat besar dan ide yang baik. Hampir semua film-film atau seri-seri dengan budget yang besar, timeline yang panjang dan ide yang spektakuler itu tidak efektif karena bicara soal harga dan ekonomi kita bicara tentang psikologi manusia yang sebenarnya tidak bisa dipercaya.

Di sini juga membuat gue seringkali berpikir tentang apa yang harusnya dilakukan untuk bertahan supaya spesies kita ini tidak bunuh diri pelan-pelan seperti yang sering kita bicarakan lewat kapitalisme dan perusakan alam dan eksploitasi sumber dayanya. Tapi ini semua cuma perenungan yang gua harap bisa dibicarakan dan didiskusikan sama-sama supaya ke depannya film akan jauh lebih inklusif atau bahkan sederhana menjadi medium yang bisa dibuat semua orang menggunakan AI. Dari situlah kita kembali berbagi cerita. Karena untuk AI cerita hanya data sementara untuk kita, cerita adalah menjadi manusia.


Terima kasih telah membaca sampai habis. Website ini jalan dengan sumbangan, iklannya tak menghasilkan, dengan lisensi Creative Commons, Atribution, Non commercial. Kamu boleh pakai konten ini selama memberikan link sumber dan bukan untuk tujuan komersial. Kalau kamu suka dengan yang kamu baca, silahkan traktir saya kopi murah.

Anthropology, Film, Kurasi/Kritik

Dunia Menyakiti Anak-anak: Anak-anak yang Disakiti dan Mati Di Kenyataan dan Film-film

Semua orang tua bersalah pada anaknya, dan setiap kesalahan akan membekas buat si anak dari kecil hingga ia dewasa. Orang tua yang baik adalah orang tua yang dapat mengevaluasi diri dan terus berusaha meminimalisir kesalahan terhadap anak. Tapi ketika kita bicara masalah parenting, kita tidak cuma bicara soal keluarga atau masalah individual, kita juga harus bicara tentang negara dan kebudayaan secara luas, tentang bahasa, dan juga tentang konsepsi pendidikan terhadap anak.

Hari ini kita sudah setuju soal buruknya konsep perpeloncoan atau kekerasan fisik dan verbal terhadap anak–walau banyak juga orang tua konservatif yang meneruskan lingkaran kekerasan itu, tapi kebanyakan orang tua terdidik yang punya akses ke internet sudah tidak begitu lagi. Namun kita tidak bicara soal tempat-tempat yang jauh dari pusat informasi. Kita tidak bicara dalam konteks kampung kota, kampung, atau desa. Kita sulit melihat seperti apa informasi utama yang ada di lapangan, apalagi soal kekerasan terhadap anak. 

Sebagai seorang penonton film, filmmaker, dan peneliti saya selalu tertarik dengan film-film kejahatan, dan beberapa tahun terakhir saya menonton beberapa film soal kekerasan anak terkini. Banyak sekali film yang mengangkat hal ini, dan setiap film, diskusi, dan aktivisme dapat membantu membuat dunia lebih baik untuk anak-anak dan masa depan negara kita. Ini adalah beberapa contohnya.

The Trials of Gabriel Fernandez, seperti judulnya, bercerita tentang persidangan orang tua Gabriel (ibu dan ayah tirinya) yang menyiksa Gabriel sampai meninggal. Settingnya di California, dan dari persidangannya terbukalah sebuah ketidakbecusan departemen sosial di Amerika Serikat, yang telah berkali-kali menerima laporan soal Gabriel yang sudah luka-luka, namun selalu mandeg di birokrasi sampai anak itu meninggal. Parahnya departemen sosial ini seperti dijawab oleh serial dari belahan dunia lain, The Chestnut Man

Setting The Chestnut Man ada di Denmark dan perbatasan dengan Jerman. Ceritanya soal seorang pembunuh berantai sadis yang modus operandinya (1) melaporkan orang tua anak yang ditelantarkan ke Departemen Sosial, dan (2) jika tidak digubris, maka orang tua anak itu akan dibunuh dan anggota tubuhnya dimutilasi, serta dibuat seperti chestnut man (mainan orang-orangan dari kulit kacang kastanyet.)

Yang paling menarik adalah, salah satu tokoh kunci yang membuat seluruh pembunuhan ini mungkin adalah seorang perempuan yang menjabat sebagai Menteri Sosial di Denmark. Film ini secara harfiah menyalahkan dan membawa struktur besar negara, sebagai penyebab utama kenapa kejadian ini berlangsung, dan pelakunya sudah pasti dan jadi bukan spoiler, adalah korban kekerasan anak ketika ia masih kecil. Plot yang sama seperti Pintu Terlarangnya Joko Anwar. 

Di Indonesia sendiri, laporan kasus kekerasan terhadap anak terus meningkat tahun demi tahun. Kompas melansir bahwa tahun ada kenaikan dari 11.057 kasus di tahun 2019 menjadi 14.517 kasus di tahun 2021 (Kompas.com, 20 Januari 2021). Ini juga disebabkan institusi kepolisian yang lebih sibuk menjaga nama daripada bekerja menyelesaikan kasus, seperti laporan mendalam yang ditulis project Multatuli Tanggal 6 Oktober 2021. Dalam artikel berjudul “Tiga Anak Saya Diperkosa, Saya Lapor Polisi. Polisi Menghentikan Penyelidikan.” Tiga anak ibu Lydia (nama samaran) itu diperkosa oleh mantan suaminya. Si ibu lapor ke dinas sosial dan polisi, yang justru mempertemukan anak-anaknya dengan si pelaku. Semua tambah runyam karena polisi dan dinas sosial sama sekali tidak mengerti bagaimana caranya menangani sebuah kasus kekerasan seksual kepada anak. Akal sehat saja mereka tidak punya. 

Memang, belum tentu anak-anak yang dilecehkan ini akan jadi penjahat, atau akan melecehkan orang lain. Tapi yang pasti traumanya akan keras, mereka akan memiliki hidup yang sulit, disabilitas psikososial. Ini masalah besar yang pemecahannya hanya bisa dengan kebijakan-kebijakan yang jalan beriringan dari banyak arah: secara undang-undang, hukuman harus diperberat; laporan harus dipermudah; dan yang paling penting, mengakui kesalahan dan aparat serta penjabat publik semua harus dididik ulang soal pelecehan seksual, kekerasan terhadap anak, dan bagaimana cara menangani korban. SOP harus sangat jelas. 

Satu kasus lagi yang menyeramkan adalah seorang ibu yang menggorok anaknya. Ini kejadian yang sudah terjadi berkali-kali terhadap ibu yang stres. Dalam film kita bisa melihatnya di film The Others besutan Alejandro Amenabar. Di situ kita melihat tokoh ibu yang dimainkan Nicole Kidman yang membunuh anak-anaknya karena stres trauma perang.

Di kejadian nyata, pembunuhan anak oleh orang tua selalu terjadi karena masalah struktural (ekonomi, ideologi politik dan perang.) Hitler dan pengikutnya pun membunuh anak-anak mereka karena kalah perang, atau bunuh diri masal di Jonestown, atau bom bunuh diri anak, karena agama dan ketidakpuasan politik-ekonomi.

Dari sini kesimpulan utamanya adalah: tidak ada orang tua waras yang membunuh anak-anaknya karena motivasi pribadi. Semua karena motivasi struktural bahwa dunia yang mereka hidupi memang tidak mendukung anak-anak untuk tumbuh berkembang. Jadi terngiang kata-kata eksistensialis Soe Hok Gie: Yang paling beruntung adalah yang tidak dilahirkan, yang beruntung kedua adalah yang mati muda, dan yang paling sial adalah mati tua—karena kehidupan dalam masyakarat yang sakit akan berkutat pada penderitaan.

Masa depan kita suram dengan banyaknya anak-anak yang dilecehkan seperti ini, perjuangan tetap kenceng, rekomendasi, petisi terus berjalan walau gaungnya seringkali kalah dengan isu-isu lain. Yang kita bisa lakukan hari ini adalah mendidik dan menyebarkan informasi yang objektif, saintifik, dan bertindak tegas ketika kita melihat kekerasan seksual, apalagi terhadap anak. Ketegasan dimulai dari hukuman sosial hingga legal. Dan kalau legalnya tidak kuat, kita bisa memakai media untuk berkoar, ajak wartawan, blogger, tweeps, semua untuk marah dan mengkoreksi, memberikan tekanan penting terhadap kebudayaan dan negara kita. Komnas Perempuan juga meluncurkan catatan tahunan yang penting buat kita lihat sebagai salah satu cara mengawal agar jaminan hukum dan sosial bisa berjalan dengan baik di negeri kita, untuk mencegah Trials of Gabriel Fernandez atau pembunuhan The Chestnut Man di Indonesia. 

Film, Gender, Kurasi/Kritik, Memoir, Racauan

Quo Vadis, Henricus Pria?

Tulisan ini buat mbak yang komen di IG cinemapoetica. Ya, saya patriarki. Itu ideologi yang dipakai semua orang hari ini. Dan saya feminis, karena saya melawan ideologi itu, termasuk melawan diri dan privilise saya sendiri sebagai lelaki heteronormatif, yang berusaha untuk terus evaluasi diri. Yes, thank you, saya tidak kenal kamu tapi saya menghormatimu. Semoga bahagia dan sehat-sehat, ya.

Ketika rumah produksi Penyalin Cahaya menyebarkan kabar bahwa penulis naskahnya dicoret dari kredit karena menjadi terduga pelaku pelecehan seksual, saya sangat galau. Saya sedang ada di tengah project film panjang pertama saya, 6 film pendek yang saya eksekutif produser sedang jalan post produksi dan satu sedang distribusi, dan saya sudah melabeli diri saya sebagai pembuat film aktivis, arus pinggiran, khusus NGO dan misi humanitarian, plus saya self proclaimed feminist, tapi… Saya anxious dipenuhi rasa bersalah!

Karena faktanya, saya adalah laki-laki heteroseksual yang dibesarkan di dalam budaya patriarki, dan saya belajar soal seksualitas dan feminisme ketika saya kuliah, untuk lebih mengerti ibu saya yang seperti gambarannya Betty Friedan dan gebetan saya yang seperti Helene Cisoux. Itu pun, dalam masa-masa kuliah dan pasca kuliah yang rock and roll (saya punya 2 album rock and roll dan pernah punya groupies), saya bergaul dengan lumayan banyak perempuan. Dan seremnya, saya takut ada yang saya lecehkan tapi saya nggak sadar karena saya bias patriarki. Karena seperti kata Hannah Arendt, kejahatan itu banal. Anwar Congo nggak merasa bersalah membantai Komunis, sampe dia dipersalahkan zaman Baru yang melihat pembunuhan sebagai pembunuhan. Dan kebanyakan boomer yang melecehkan perempuan menganggap bahwa hal yang mereka lakukan normal- normal saja pada masanya. Intinya, banyak pelecehan terjadi karena kebodohan dan kekurangan kemanusiaan. Sejarah seringkali tidak bersifat linear, tapi paralel dan komparatif: seperti ditemukannya perbudakan manusia di jaman ini di rumah Bupati Langkat. Atau pemikiran beberapa aliran puritan Islam yang tidak mau hidup dengan teknologi karena tidak sesuai dengan cara hidup rasul.

Untuk memastikan saya tidak melecehkan mantan-mantan pacar, gebetan atau FWB, saya menjaga hubungan baik dengan kebanyakan dari mereka. Nggak semua soalnya ada yang sudah kawin, beranak, berbahagia dan suaminya insecure, jadi saya nggak hubungi lagi. Anyway, kasus Penyalin Cahaya bikin saya ga bisa tidur dan saya bikin draft tulisan yang isinya nama dan peristiwa dimana saya mungkin saja pernah melecehkan perempuan. Saya berusaha mengevaluasi diri karena takut nanti pas film saya jadi, ada yang mengadukan saya karena saya pernah tolol aja waktu muda. Tapi pas saya tulis, saya malah ketrigger sendiri—secara saya banyak dibikin nangis sama perempuan. Sad boi gitu, tapi mabok dan ngeblues, maklum belom jamannya Emo jadi saya terhindar dari punya poni banting.

Saya sedih diputusin tapi saya nggak pernah dilecehkan. Saya cuma not good enough to be their man. Saya juga nggak merasa melecehkan, karena toh saya bener-bener sayang sama mereka semua, dan saya sangat terbuka untuk tanggung jawab dan minta maaf pada mereka kalau mereka bilang saya menyakiti mereka. Tubuh saya penuh luka yang pantas saya dapatkan karena membuat mereka patah hati. Beberapa ada yang mereka kasih karena mereka kesal saya selingkuh terus jujur, tapi kebanyakan luka saya toreh atau saya pukul sendiri karena saya merasa bersalah menyakiti hati orang yang sayang sama saya. Ah, sudah ah. Sedih.

Akhirnya tulisan itu jadi draft aja yang entah kapan bakal saya keluarkan. Dan saya coba bikin kritik Penyalin Cahaya sebagai filmmaker saja. Tapi setelah saya tonton dua kali, saya langsung bosan dengan filmnya. Filmnya well crafted, bagus banget secara visual dan naratif, tapi nggak mengulik intelektualitas saya kayak film-filmnya Joko Anwar, misalnya. Penyalin Cahaya yaudah gitu aja. Paling kalo mau dikritisi, filmnya ga mengandung keistimewaan feminist secara visual: cewek-cewek di film itu tetap aja tereksploitasi dan jadi fetish buat cowok-cowok yang suka sama cewek feminist. Yes, seperti ada cowok-cowok fetish sama nenek-nenek, orang kerdil, anak kecil, dan perempuan cantik, ada juga cowok-cowok yang fetishnya sama dominatrix atau feminist. Kalau cowok-cowok yang fetish feminist ini adalah masokis, itu lebih baik daripada Penyalin Cahaya. Karena, dan ini simpulan saya sama Penyalin Cahaya:

Penyalin Cahaya secara visual dan naratif memberikan sebuah orgasme pada para lelaki patriarki dominan yang fetish pada feminist, bahwa pada akhirnya para perempuan yang melawan ini mereka kuasai, sistemnya kuasai. Di visual filmnya tubuh, punggung, dan ranah privat sudah diekspos ke penonton, memberikan kenikmatan. Dan cerita-cerita terfotokopi hanya sekedar buang-buang kertas ke jalanan. Secara visual keren, kertas kuning melayang di udara, tapi secara subtansi cuma jadi sampah di jalanan. Long live patriarchy.

Maka kesimpangsiuran kasus Henricus Pria, dan banyak pelecehan lain cuma menambah kuat statement film ini: cerita-cerita pelecehan itu sampah yang buang-buang kertas aja. Toh angka penonton dan penjualan di Netflix tetap tinggi, dan cerita korban berkeliaran seperti gosipan lambe turah saja.

Dan saya tetap tidak bisa tidur. Bukan karena saya merasa bersalah seperti ketika film ini tercekik wacana dan jadi trending dulu, tapi karena kasusnya seperti tulisan di pasir yang tersapu ombak waktu. Saya tidak bisa tidur memikirkan para perempuan yang trauma, terluka, dan melanjutkan hidup seperti veteran perang yang sengaja dibuat kalah dan traumatis. Saya tidak bisa tidur memikirkan, apa yang bisa saya lakukan besok, biar saya, murid-murid saya, generasi masa depan, tidak mengulang pelecehan yang sama. Karena bikin film soal pelecehan seksual, yang menang banyak penghargaan dan sempat bikin Peraturan Menteri no. 30 jadi hits, nggak bisa membuat korban diurus dengan lebih baik. Saya merasa helpless sebagai filmmaker.

Taik kucing semua kertas fotokopian itu. Saya akan bikin pendidikan film gratis aja buat filmmaker perempuan. Jadi mereka ga motokopi cerita, MEREKA SYUTING SENDIRI! Kalau kamu merasa kamu berbakat jadi sutradara, penulis, atau produser perempuan, tapi ga bisa sekolah film, daftar MondiBlanc!


Terima kasih sudah membaca tulisan ini. Website ini jalan dengan donasi. Jika kamu suka dengan yang kamu baca, kamu boleh sebarkan tulisan ini. Dan jika kamu mendukung saya untuk bisa terus konsisten menulis, boleh klik tombol di bawah ini dan traktir saya segelas kopi. Terima kasih.