Politik, Racauan

3 Latar Belakang Dinasti Politik di Asia Tenggara

Jokowi sedang senang, karena dengan naiknya Gibran jadi cawapres, dia berhasil membuat dinasti baru di Indonesia, tanpa perjuangan sejarah seperti keluarga-keluarga presiden sebelumnya. Namun, seperti orang Pansos lain, keluarga Jokowi naik ke kekuasaan dengan ditopang keluarga-keluarga tua, seperti keluarga Soekarno, dan sekarang keluarga Soeharto. Bak simulasi latihan dinasti, Kaesang, anak kedua Jokowi, latihan menopang PSI.

Kenaikan kekuasaan keluarga-keluarga tua yang berpengaruh dalam politik Asia Tenggara adalah fenomena yang mencerminkan faktor-faktor sejarah, budaya, dan sosial. Beberapa alasan mengapa dinasti politik mendominasi dan bertahan lama di Asia Tenggara antara lain:

1. Warisan kolonialisme dan nasionalisme

Banyak pendiri negara pasca-kolonial berasal dari keluarga-keluarga terkemuka yang telah melawan atau berkolaborasi dengan kekuatan kolonial. Turun-temurun mereka mewarisi modal politik dan legitimasi, serta koneksi dan sumber daya mereka. Contohnya, keluarga Sukarno di Indonesia, keluarga Lee di Singapura, dan keluarga Aquino di Filipina. Dalam politik tingkat tingginya, para pemimpin negara-negara Asia tenggara dari kaum priyayi terdidik, dan bukan prajurit lapangan yang punya resiko mati. Priyayi, artinya anak bangsawan.


2. Peran patronase dan klienelisme

Di banyak negara Asia Tenggara, politik didasarkan pada loyalitas pribadi dan reciprocitas, bukan ideologi atau kebijakan. Keluarga politik memberikan manfaat material dan simbolis kepada pendukung mereka, seperti pekerjaan, kontrak, perlindungan, dan pengakuan. Sebagai imbalannya, mereka mengharapkan suara, loyalitas, dan ketaatan. Ini menciptakan siklus ketergantungan dan loyalitas yang sulit untuk diputuskan. Contohnya, keluarga Thaksin di Thailand, keluarga Hun Sen di Kamboja, dan keluarga Duterte di Filipina. Indonesia sempat sedikit lepas dari sistem ini pasca reformasi. Namun dengan terpilihnya Prabowo, yang terang-terangan mendukung sistem ‘orang dalam’ di debat presiden, maka sistem ini kembali lagi ke Indonesia.

3. Lemahnya institusi politik dan masyarakat sipil

Di banyak negara Asia Tenggara, pemerintahan hukum, pemisahan kekuasaan, pertanggungjawaban pejabat publik, dan kebebasan berekspresi lemah atau terkompromi. Hal ini memungkinkan keluarga politik mendominasi arena politik, memanipulasi sistem pemilihan, mengendalikan media, dan menekan oposisi. Selain itu, masyarakat sipil, seperti media, akademisi, LSM, dan gerakan sosial, seringkali diakuisisi, diintimidasi, atau diasingkan oleh keluarga politik. Ini membatasi ruang bagi suara dan visi alternatif. Contohnya, keluarga Marcos di Filipina, keluarga Najib di Malaysia, dan keluarga Suharto di Indonesia.

Ini beberapa faktor umum yang menjelaskan kenaikan keluarga-keluarga tua yang berpengaruh dalam politik Asia Tenggara. Namun, setiap negara memiliki konteks dan dinamika spesifiknya yang membentuk peran dan pengaruh keluarga politik. Untuk Indonesia, kita punya banyak intelektual dan kelas menengah atas yang cerdas-cerdas. Tapi sayangnya, banyak juga orang-orang ini yang melihat bahwa sistem dinasti politik bisa jadi cara memanjat ke kekuasaan. Walau niatnya baik, narasinya salah. Dan cerita yang salah, akan membawa kita ke arah entah kemana.

Politik, Racauan

Budaya Korupsi dimulai dari Investasi Politik

Politik adalah pilar utama dalam kehidupan masyarakat modern. Namun, dalam beberapa kasus, politik dapat menjadi investasi yang berbahaya. Ketika politikus berkuasa lebih karena populisme daripada pemahaman mendalam tentang ideologi dan visi politik, kita berhadapan dengan risiko besar yang mengintai: korupsi dalam ekonomi dan kebudayaan politikus. Dalam esai ini, kita akan menggali bahaya politik sebagai investasi yang merugikan ini dan mengidentifikasi permasalahan kurangnya pendidikan ideologi dan politik dalam konteks ini. Selain itu, kita akan membahas pertanyaan etis dan filosofis yang sering kali terpinggirkan dalam pendidikan politik.

Data corrupted.

Politikus sering melihat dunia politik sebagai peluang untuk memperoleh kekayaan pribadi, bukan untuk melayani kepentingan publik. Mereka menginvestasikan uang dalam kampanye politik, lobbying, dan tindakan koruptif untuk mengamankan posisi dan kekuasaan mereka. Dalam banyak kasus, investasi ini berhasil, tetapi dengan dampak yang merusak terhadap ekonomi dan kebudayaan politikus itu sendiri.

Politik sebagai investasi yang berbahaya menghasilkan praktik korupsi dalam ekonomi. Politikus yang korup memanfaatkan jabatan mereka untuk memperoleh suap, mengalihkan dana publik untuk kepentingan pribadi, atau memberikan proyek-proyek kepada perusahaan yang mereka miliki atau kendalikan. Ini merugikan perekonomian negara, menghambat pertumbuhan yang sehat, dan merampas peluang warga untuk memperbaiki hidup mereka.

Politik sebagai investasi yang berbahaya juga membentuk kebudayaan politikus yang korup. Praktik koruptif menjadi norma, merusak moralitas dan integritas politik. Kebijakan yang diambil bukan lagi berdasarkan kepentingan publik, melainkan kepentingan pribadi politikus. Kebudayaan ini menciptakan pola perilaku yang sulit diubah dan mempengaruhi generasi politikus selanjutnya.

Kurangnya pendidikan ideologi dan politik bagi politikus adalah masalah serius. Politikus yang berkuasa karena populisme sering kali tidak memiliki pemahaman mendalam tentang ideologi politik atau visi politik yang kuat. Pendidikan yang lebih baik dalam hal ini dapat membantu mereka mengambil keputusan yang lebih informan dan memahami konsekuensi kebijakan mereka.

Politikus juga harus dapat menghadapi pertanyaan etis dan filosofis dalam pengambilan keputusan mereka. Kebijakan publik sering melibatkan pertimbangan moral yang rumit, dan politikus yang tidak dilengkapi dengan kerangka kerja etis dan filosofis yang kuat mungkin akan kesulitan mengambil keputusan yang bermoral.

Gak pengen milih.

Politik sebagai investasi yang berbahaya memiliki dampak merusak dalam ekonomi dan kebudayaan politikus. Korupsi menguras sumber daya negara dan merusak kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah. Untuk mengatasi bahaya ini, perlu ada upaya serius dalam meningkatkan pendidikan ideologi dan politik bagi politikus. Hal ini akan membantu mengatasi permasalahan populisme, mengembangkan visi politik yang kuat, dan menghadapi pertanyaan etis yang kompleks. Selain itu, pendidikan politik harus lebih relevan dengan konteks zaman saat ini untuk memastikan politikus siap menghadapi tantangan-tantangan modern yang kompleks. Dengan langkah-langkah ini, kita dapat memastikan bahwa politik tetap menjadi sarana untuk melayani kepentingan publik, bukan untuk memperkaya diri sendiri.

Politik, Racauan

Yang Muda dan Tak Berdaya

Pemilu 2024, para politisi dan capres akan didominasi dua macam orang. Pertama, orang tua yang banyak jaringan dan kaya raya. Kedua, anak-anak politikus lama yang orang tuanya banyak jaringan dan kaya raya. Inilah buruknya sistem oligarki kita. Apa kabar reformasi?

Jokowi hadir sebagai harapan, karena ia tidak berasal dari elit politik, dan tidak berhubungan langsung dengan para oligarki. Karir politiknya pun seperti naik tangga, dari walikota, gubernur lalu presiden. Ketika terpilih dulu, Jokowi sangat terlihat belum siap, dan lebih kelihatan seperti calon “tertuduh” dari PDIP karena populis, bukan calon yang matang secara politik. Saat itu semua calon yang matang sudah busuk.

Namun toh, setelah dua periode, anaknya menjadi walikota dan sim salabim, keluarganya menjadi elit politik. Lagu lama. Mirip presiden pertama yang anaknya jadi presiden keempat. Sementara presiden kedua, bikin komplek rumahnya jadi terkenal, seperti presiden ke lima. Presiden ke lima anaknya mencalonkan diri menjadi presiden ke tujuh. Presiden ke enam, anaknya walikota dan mungkin akan jadi presiden ke…10 atau 11.

Indonesia cukup maju soal pemerintahan sipil, sejak 25 tahun yang lalu. Kita tidak ada kudeta militer lagi, Alhamdulillah. Sementara Thailand masih ada, Myanmar jelas banget junta. Kita mirip Filipina yang presidennya sekarang adalah anak presiden sebelumnya. Di Thailand, pemilu kemarin hampir memenangkan kembali trah Shinawatra sebagai perdana menteri sipil. Untungnya yang menang bukan militer atau elit lama, tapi seorang duda keren berumur 42 bernama Pita Limjaroenrat. Si Duren adalah pengusaha yang kuliah di Harvard dan MIT. Bahasa Inggrisnya wasweswos. Tapi dia agak nyolot, karena mau ngubah undang-undang penistaan raja, yang mirip UU penistaan kepala negara atau UU ITE di sini. Kita lihat aja apa dia akan dikudeta atau nggak.

Di Indonesia, yang cukup saya harapkan Jadi presiden adalah Nadiem Makarim karena dia pinter banget dan berani ngubah sistem gila-gilaan, masih keturunan Arab tapi nggak bawa-bawa nenek moyang kayak mantan gubernur Jakarta itu. Tapi nampaknya, dia belum niat jadi presiden atau masuk parpol atau mengajukan jadi calon independen. Mungkin karena dia bukan duren seperi mas Pita. Maaf OOT.

Anyway, menyedihkan amat capres-capres kalo nggak tua, anak elitis, atau orang populis yang cuma mau mecah suara partai doang buat bikin koalisi. Kita masih kalah jauh sama Finlandia, yang perdana menterinya, Sanna Marin yang waktu diangkat jadi PM umurnya baru 34. Keluarganya bukan elit politik, bapaknya alkoholik, dan cerai sama ibunya yang akhirnya jadi lesbian. Dia tinggal sama ibunya dan istrinya, jadi anak di keluarga homoseksual. Mirip Soekarno yang bikin partai umur 21, Sanna masuk partai sosial demokrat waktu masih kuliah.

Di Indonesia, partai-partai juga mulai pengkaderan di sekolah dan kampus-kampus. Bahkan ada partai tertentu yang pake dalil agama nganu yang konon menyuruh kadernya kawin muda untuk jadi pemimpin rumah tangga dulu sebelum jadi pemimpin di dalam partai. Ini partai ketuanya koruptor dan om poligami dengan anak SMA belasan tahun, dan salah satu kadernya dulu suka dagang perempuan dari kampus yang di plangnya ditulis “beragama”.

Kader muda partai-partai ini disuruh berkarir jadi caleg kacung sampe tua, dan baru diharapkan jadi pemimpin kalau umurnya sudah tua-tua. Nggak diendorse anak-anak mudanya kecuali jadi caleg aja. Kalau anak-anak mudanya mau diendorse, dia kudu jadi anak siapa dulu pembesar pantai. Tokai lah.

Akhirnya anak-anak muda bikin partai sendiri, salah satunya Partai Solidaritas Indonesia (PSI). Partai ini habis-habisan di kritik Panji Pragiwaksonono karena kelakuannya udah kayak partai orang tua-tua: ngandalin popularitas buat nyari calek atau capres. Cara mainnya sama aja, dan nggak berhasil bikin kebanyakan anak muda kita tertarik politik. Salah satu pendirinya, Tsamara Amany Alatas, sempet saya bayangkan seperti Sanna Marin. Ngomong jago, pendidikan hebat, intelektual. Dia nikah sama salah satu antropolog favorit saya, Ismail Fajri Alatas, badai banget nih laki bini. Dia hengkang dari PSI buat jadi aktivis perempuan. Umurnya baru 26 sih, masih ada 10 tahun lagi sampe dia bisa jadi presiden Indonesia. Baguslah sekarang dia mundur dulu dari politik praktis. Semangat mbaknya! Semoga jadi presiden perempuan termuda di dunia mengalahkan Sanna Marin!

Kembali ke krisis kepemimpinan, kita dihadapkan sama capres-capres yang… Lulagi lulagi. Oligarki lagi, oligarki lagi. Terus kayaknya saya bakal golput lagi golput lagi–kecuali kalo ada capres yang frontal ngomong mau bantu kebudayaan dan film, okelah saya coblos nanti.

Well, kita lihat aja.

Politik, Racauan

3 Macam Agresi untuk Melihat Evolusi Kamu

Kenapa orang stress cenderung agresif? Karena Agresi bisa menurunkan stress. Tapi agresif adalah perilaku yang sifatnya biologis, berasal dari interaksi hormon dan syaraf yang terlalu ribet untuk kita bicarakan di sini. Kalian bisa baca buku Behave karya Sapolsky atau Feeling Good karya Burns untuk tahu lebih jauh. Di sini kita akan bicara yang ringan-ringan saja.

Sederhananya seperti ini: Agresi, atau marah-marah, atau mukul, atau berantemin orang berasal dari mekanisme pertahanan kita yang paling awal. Setiap binatang yang punya otak dan sistem syaraf yang bisa merasakan sakit, cenderung agresif ketika stress, bahkan cacing aja menggeliat kalo diinjek. Tapi manusia punya banyak opsi untuk menghadapi stress, Agresi bisa berubah menjadi tindakan lain yang lebih konstruktif atau dormant (depresi, diam), pada manusia. Energi Agresi yang berubah menjadi kerja atau tindakan fisik lain seperti olah raga atau menyiksa diri dengan ibadah dalam psikoanalisis disebut sublime.

Seorang mantan walikota di Bogota, Columbia, Antanas Mockus, berusaha membuat manipulasi sosial untuk mengurangi tingkat kriminalitas dan konflik sosial fisik yang tinggi di kotanya. Menurut mantan dosen filsafat ini, Agresi bisa didedikasikan dari fisik, menjadi verbal, lalu simbolik. Agresi simbolik adalah Agresi tertinggi dalam peradaban manusia karena sifatnya soft power, tidak kelihatan jelas dan bisa mengubah peradaban.

Tulisan ini akan coba membahas tiga jenis derivasi ini.

1. Agresi fisik

Yang menghalangi kebebasan kita adalah kebebasan orang lain, kata Sartre. Dan cara untuk menghalangi kebebasan yang paling gampang adalah dengan opresi fisik: mengikat, membungkam, memukul. Ini dilakukan banyak mamalia yang membela diri, mencari jodoh, atau mempertahankan wilayah kekuasaan. Hukum rimba di ranah premanisme jalanan pun masih memakai cara ini.

Namun cara ini tidak efektif dalam membangun masyarakat dan peradaban. Cara ini membuat banyak kerugian baik fisik ataupun mental, infrastuktur pun bisa sulit dibangun karena dengan mudah bisa hancur. Maka itu, harus berubah menjadi Agresi verbal.

2. Agresi verbal

Agresi verbal itu ngeledek orang dengan kata-kata kasar. Bisa dari berbagai jenis binatang, hingga kotoran-kotoran. Ini lebih baik daripada Agresi fisik namun bisa memicu Agresi fisik.

Tapi kalau orang bisa mengubah Agresi fisiknya jadi Agresi verbal, maka dia punya perkembangan. Otaknya bekerja, referensi katanya bekerja pula. Orang yang banyak bergaul dan banyak referensi, punya Agresi verbal yang macam-macam. Semakin banyak referensi semakin kaya Agresi verbalnya. Ini yang membuat Agresi verbal bisa menjadi Agresi paling efektif dan manipulatif untuk mengubah peradaban: Agresi simbolik.

3. Agresi Simbolik

Ini Agresi yang hanya bisa bekerja dalam konteks spesifik: konteks simbolik. Artinya dia hanya bisa berhasil dalam tataran bahasa dan kebudayaan tertentu. Untuk menggunakannya, pemilik bahasa dan kebudayaan itu harus cukup maju. Jadi untuk masyarakat yang miskin kata dan sistem budayanya sederhana, Agresi ini sulit dilakukan.

Bentuk-bentuk Agresi ini ada banyak macamnya: dari yang sederhana seperti lelucon, sarkasme, satir, hingga yang kompleks seperti Undang-undang, kontrak, atau sistem ekonomi. Intinya, Agresi simbolik hadir supaya Agresi fisik dan verbal bisa dikurangi atau ditiadakan, jadi kerugian bisa diminimalisir.

Sebuah contoh kecil: seorang bini yang cerdas menyindir lelakinya yang pengangguran untuk segera bekerja apa saja yang penting tidak cuma santai-santai di rumah. Sindirannya awalnya sarkas, “produktif sekali kamu hari ini, ” Sampai suaminya sadar itu sarkas dan mulai memukul bininya itu.

Si Bini sebenernya bisa aja membalas pukulan, atau meracuni kopi suaminya, tapi dia cerdas. Dia tahu bahwa dia tidak bisa lapor polisi walaupun kena KDRT, karena sistem hukum negaranya bobrok. Dia ga bisa lapor keluarganya karena keluarga merasa dia tanggung jawab suaminya. Untungnya, si bini adalah anggota pengajian ibu-ibu. Dia cerita soal suaminya, dan para ibu-ibu menyerbu rumah, memarahi si suami, dan memintakan cerai. Perceraian di Kantor Urusan Agama adalah Agresi simbolik yang bisa dilakukan si bini. Akhirnya si suami dipulangkan ke orang tuanya, sementara rumah dan anak-anak menjadi milik si bini yang dibantu teman-temannya untuk membuat usaha hijab dan jadi kaya, anak-anak yang sekolah tinggi, dan lebih cerdas dari ibu mereka yang cuma lulusan SMK tata busana.

Itu kisah ngarang aja, tapi kelihatan kan kontrasnya antara suami yang masih jadi manusia purba, dengan bini yang sudah jadi manusia sapiens. Sekarang tinggal kalian sendiri, pembaca budiman, mau jadi orang agresif kayak apa?

***

Kalau kalian ingin menjadi sapiens, manusia bijak yang punya cerita dan menghargai cerita, mungkin bisa dimulai dengan sebuah dukungan biar saya bisa tetap menulis bebas di blog saya ini tanpa perantara. Kalian bisa traktir saya kopi dengan menekan tombol traktir dibawah ini, atau menyumbang dana gofood langsung melalui akun gopay saya. Terima kasih ya sudah membaca sampai habis.

Kirim Go Food ke yang nulis: