Racauan, Workshop

Bermain Shakespeare (dalam konteks Indonesia)

Tulisan ini diterbitkan pertama kali di website teater katak. Dalam blog ini diedit ulang seperlunya.

Ilustrasi William Shakespeare/Kalya Risangdaru
Ilustrasi William Shakespeare/Kalya Risangdaru

Tulisan ini adalah penjabaran cara memainkan karya-karya William Shakespeare dalam konteks Indonesia yang dikompilasi dari sumber-sumber online dan pengalaman pribadi saya dalam memainkan dan mengkaji drama Shakespeare. Ada tiga hal yang harus saya tekankan sebagai prasyarat pembaca artikel ini. Jika seorang aktor/pembaca tidak memenuhi syarat-syarat di bawah ini, maka saya sarankan untuk mendiskusikan artikel ini dengan aktor/pelatih/sutradara yang berpengalaman ketika mencobanya. Karena drama Shakespeare mau tak mau akan selalu memiliki konflik interpretasi; bahkan untuk penonton berbahasa Inggris sekalipun, dialog Shakespeare seperti bahasa asing.

Syarat pertama, pembaca harus sudah paham/pernah mengikuti proses latihan dasar teater dari fisik, suara, rasa, dan konsentrasi. Latihan-latihan dasar adalah pegangan penting, bahkan untuk aktor yang sudah berpengalaman, dan prosesnya akan terus diulang sampai seorang aktor cukup lumpuh untuk berhenti latihan.

Kedua, pembaca harus mampu untuk mengkroscek sumber, meriset wacana/karakter dalam drama, dan membaca dengan kritis. Kemampuan membaca, memahami dan bicara dalam bahasa Inggris adalah nilai tambah yang sangat penting dalam memahami Shakespeare. Pembaca diharapkan paham beda antara adaptasi dan terjemahan, serta bisa secara kritis membuat garis batasnya. Karena yang membuat sebuah drama menjadi drama Shakespeare adalah bahasa dan bagaimana bahasa itu disampaikan.

Ketiga, pembaca diharapkan familiar dengan metode akting dasar Stanislavski dan istilah-istilah sepertispine/superobjective atau beat/bits, dalam membaca-memainkan drama. Untuk silabus dasar pelatihan denganStanislavski method, bisa dilihat di link ini. Sekali lagi saya tekankan, kalau kamu masih dalam proses dasar/awam, saya sarankan temui sutradara/pelatihmu untuk berdiskusi. Akting adalah seni yang berbahaya, karena ia bisa menyentuh bahkan lubuk hati yang paling dalam dan traumatis – Shakespeare tidak jauh beda dengan ini. Karena teater adalah kerja komunal maka aktor butuh teman curhat, bahkan monolog butuh pendengar.

Soal Terjemahan/Adaptasi

Ketika sebuah naskah terjemahan/adaptasi menanggalkan unsur-unsur majas, rima, dan tekanan dari bahasa aslinya dan tidak mencari padanannya, maka drama itu gagal menjadi drama Shakespeare. Semua dramawan Indonesia yang hendak membawakan Shakespeare biasanya tahu bahwa Shakespeare dalam bahasa Indonesia akan selalu berada di posisi antara terjemahan dan adaptasi. Kebanyakan pementasan hancur ketika dia berada di satu posisi ekstrim: terlalu menuruti terjemahan yang bahasa dan konteksnya dipaksakan, atau terlalu adaptasi, ambisi sutradara yang membuat ciri khas Shakespeare-nya hilang dalam balutan plot semata. Karena itu, naskah terjemahan/adaptasi yang tidak bertanggung jawab terhadap metodologi akademisnya, akan menjadi bencana besar secara keseluruhan. Kegagalan pentas ini tidak hanya terjadi pada teater komunitas di Indonesia, bahkan di Broadway dan Off-Broadway pun, kegagalan pementasan Shakespeare kadang terjadi. Hal ini akan saya bahas  lebih lanjut di akhir artikel.

Demi kepentingan praktis, artikel ini akan menggeneralisir seakan-akan semua drama Shakespeare bisa didekati dengan teknik-teknik berikut (tentu pada kenyataannya, setiap naskah butuh pendekatan tersendiri sesuai genre dan metodologi penyutradaraan). Untuk kepentingan ini pula, kita asumsikan juga bahwa naskah terjemahan/adaptasi yang akan dipakai sudah dialihbahasakan sesuai dengan metodologi akademik terjemahan yang baik. Dalam artikel ini saya akan pakai contoh nukilan terjemahan versi saya (NN), Yudhi Soenarto (IYS), Trisno Soemardjo (TS) dan WS Rendra (WSR) yang saya hafal dari ingatan saja. Karena di tempat saya tinggal sekarang, saya tidak punya akses pada teks-teks terjemahan tersebut.

Artikel ini akan fokus ke praktik dari naskah menuju ke panggung: drama Shakespeare sebagai pertunjukan teater. Tujuan artikel ini adalah membantu aktor untuk mendapatkan standar akting Shakespeare yang aman. Aman di sini berarti sang aktor tidak hanya menghafalkan dialog, tapi juga memahami dan menghidupkan dialog tersebut, mengambilnya sebagai kata-katanya sendiri. Lagi-lagi, ini adalah pengetahuan dasar dalam berteater. Tapi untuk konteks drama Shakespeare, ini jadi sangat menantang.

Bagaimana Mengerti Shakespeare

  1. Pertama, mengerti alur cerita. Ketika komunitasmu sudah pasti akan mementaskan sebuah drama Shakespeare, sebelum kamu buka naskah, bukalah dulu sumber-sumber lain. Saya biasa mulai dengan Sparknotes, lalu menonton film dengan berbagai versinya. Lalu saya berusaha mengkaji dasar-dasar perbedaan interpretasi setiap aktor dan sutradara. Pastikan kroscek sumber, karena bahkan Sparknotes beberapa kali saya temukan salah interpretasi. Jadilah kritis dan diskusikan.
  1. Kedua, siapkan kamus Shakespeare – yang di dalamnya mengandung kata-kata Shakespeare sesuai dengan konteks aslinya. Silahkan cek kamus online ini. Kelemahan kamus online ini adalah ia tidak memberikan definisi, tapi lebih banyak sinonim. Saya sarankan kamu mencari kamus Shakespeare’s Words karya David Crystal, atau Shakespeare’s Language: A Glossary of Unfamiliar Words in His Plays and Poems, karya Eugene F. Shewmaker. Tanya pada kawannerd-mu untuk link download. Dari definisi di kamus, baru kamu cari kata bahasa Indonesia-nya atau kamu padankan.
Ilustrasi Kalya Risangdaru
Ilustrasi Kalya Risangdaru
  1. Ketika kata-kata sudah mulai jelas, kamu bisa mulai cari ide dasar dari setiap baris. Hati-hati, seringkali ide dasar bisa didapat dari satu hingga dua belas baris.
  1. Kalau kamu sudah paham artinya, coba buat/ucapkan makna kalimat itu dengan kata-katamu sendiri (paraphrasing). Ini latihan dasar dalam mengerti naskah Shakespeare dan akan membantumu menyampaikan maksud dengan intonasi dan rasa yang tepat. Dalam Sparknotes, biasanya sudah ada paraphrase ini, tapi coba kamu buat dengan bahasamu sendiri, senatural mungkin.

Contoh:

Baris asli

“Yang aku percaya akan kuratapi, yang kutahu aku percaya, dan yang bisa aku perbaiki, kalau waktu ada di pihakku, akan kuperbaiki…” (Malcolm dalam Macbeth, IV:3. IYS)

Paraphrase bahasa sendiri

“Kalo gue udah percaya, gue bakal balas. Gue bisa percaya kalo gue udah yakin banget. Nanti kalo udah saatnya, semua bakal gue betulin.”

  1. Lalu mulailah melebarkan lingkaran pemahamanmu: dari kata, ke kalimat, ke maksud, lalu ke keseluruhan dialog, dan akhirnya pahami keseluruhan adegan. Drama Shakespeare dibangun dari apa yang terjadi sebelumnya, dan mengerti keseluruhan cerita akan membantumu memainkan peran dengan lebih jelas.
  1. Bacalah drama-dramanya yang lain, sebanyak mungkin sesempatmu. Kamu akan menemukan pola-polanya dan akan membantu memahami drama yang akan kamu mainkan. Saya sarankan Macbeth (drama terpendek), A Midsummer Night’s Dream (komedi) dan Hamlet sebagai bacaan wajib dengan film-film yang sudah sangat populer.

Empat Cara Bermain Shakespeare

Jika kamu sudah mengerti kata, kalimat, makna dan cerita dari dialog-dialog drama Shakespeare, maka akan jauh lebih mudah untuk mengartikulasikan bait sajaknya. Kebanyakan sajak dalam drama Shakespeare menggunakan bait kosong (blank verse), yaitu jenis puisi yang paling dekat dengan percakapan sehari-hari dan ditulis dalam pola iambic pentameter. Namun, mengetahui teknik artikulasi puisi Shakespeare juga tidak kalah penting, khususnya ketika berhadapan dengan bait-bait panjang atau solilokui.

  1. Mengerti Bait dan Prosa

Ada tiga tipe teks dalam drama Shakespeare: bait kosong, bait berima, dan prosa. Bait kosong adalah bahasa puisi yang biasanya ditulis dalam pola iambic pentameter (tekanan pada lima suku kata), seringkali dipakai oleh karakter-karakter bangsawan atau dalam keadaan emosi tinggi. Sementara bait berima adalah bait kata yang memiliki rima – biasanya dalam bentuk couplet (dua baris), dan prosa adalah kata-kata dalam dialog biasa.

Bait Kosong (Blank Verse)

Iambic pentameter adalah penanda berapa banyak tekanan (beat) pada satu baris kalimat.

Beat/foot adalah tekanan pada kata dua suku, satu lemah, satu kuat. (bedakan dengan beat/bit milik Stanislavski, yang berarti unit tujuan),

Iamb: tipe tekanan saat tekanan kuat hadir setelah tekanan lemah. Contoh: du-DAM (huruf kecil berarti tekanan lemah, huruf besar tekanan kuat).

Penta: lima. Artinya ada lima tekanan kuat.

Meter: Ritme dalam satu baris kalimat.

Contoh: Hamlet

Babak I, Adegan 2.

O, bahwa tubuh utuh ini meluruh

Melebur dan melarutkan dirinya menjadi embun. (Hamlet, I:2. NN)

[O, Da-DUM, da-DUM, da-DUM, da-DUM, da DUM]

O, bahWA tuBUH uTUH iNI meluRUH

meleBUR dan melaRUTkan DIRinya menJADi emBUN

Peringatan! Shakespeare sering melanggar prinsip ini, khususnya pada drama-drama terakhirnya. Dalam adegan perdebatan atau emosi yang naik, kadang teksnya terpecah dan tidak memungkinkan iambic pentameter. Jadi ikuti instingmu saja, dan cari kata-kata kuncinya.

Contoh Bait Berima (Rhyming Verse)

Couplet terakhir dalam Sonnet 65

O, tiada, kecuali keajaiban ini menang

Dalam tinta hitam cintaku menyala terang (NN)

 

Contoh Prosa

Benedick (Much Ado about Nothing)

Babak II, Adegan 3

Ini bukan tipuan; sidang itu sungguh serius; mereka telah mendapatkan kebenaran dari sang Pahlawan. Mereka nampak kasihan pada perempuan itu; cintanya sudah ditarik melebihi batas. (Much Ado About Nothing, II:3. NN)

 

  1. Kata Kunci

Iambic pentameter hanya pengetahuan soal bentuk sebagai petunjuk dalam teks. Bukan berarti ia harus selalu diikuti, karena bisa mengakibatkan permainan menjadi kaku dan tak masuk akal. Ia jadi penanda penting dalam adegan emosional atau penentu status sosial karakter.

Selain iambic pentameter, yang terpenting adalah mengetahui kata-kata kunci dalam sebuah kalimat, dan menekankan/membuat jelas kata tersebut. Biasanya ada dua kata kunci dalam kalimat, seperti ada subjek dan objek dalam struktur kalimat bahasa Inggris dan Indonesia. Dalam contoh berikut, ada empat kata kunci.

“Oh, dialah yang mengajarkan obor untuk menyala terang.” (Romeo & Juliet, I:5. IYS dalam kelas drama Shakespeare 2005)

Ini adalah kalimat ketika pertama kali Romeo melihat Juliet, yang menurutnya begitu terang hingga mengajarkan obor-obor di ruangan itu untuk menyala. Tanpa Juliet, ruangan akan menjadi gelap. Di sini kata kunci ada pada Juliet (“Dia”), “obor,” dan “menyala.” Kata terakhir biasanya kata penting dalam dialog Shakespeare karena ia memberikan kesimpulan: “Terang.”

Biasanya kata benda (“Dia”, “obor”) memberikan ceritanya, kata kerja (“mengajarkan”, “menyala”) memberikan energi dan kata sifat (“terang”) memberikan pandangan/visi karakternya. Hati-hati jangan sampai overacting. Setiap tekanan kata diisi dengan rasa, bukan dengan asal tekan atau asal keras. Tidak ada rumus yang pasti kalau sudah menyangkut perasaan.

 

  1. Cara Puitik Lainnya

Jangan anggap puisi dan kata-kata puitik di dalam drama Shakespeare sebagai sebuah kesulitan. Puisi dan kata-kata puitik berguna sekali untuk membuat dramatisasi, menaikkan atau menurunkan tensi/emosi permainan, dan membuat permainan menjadi tidak monoton. Kalau puisi/kata puitis membuat permainan jadi monoton, pasti ada yang salah dalam pengertian aktornya atau dalam terjemahan/adaptasi naskahnya. Berikut adalah beberapa jenis teknik puitik yang bisa digunakan untuk kepentingan dramatis dari permainan suara hingga gerak tubuh.

Purwakanti (Assonance)

Kalimat yang memiliki pengulangan bunyi, “Kuali, kuali, berputarlah kuali!” (Macbeth, IV:1. IYS)

Onomatopoeia

Kata yang seperti bunyi yang diwakilinya, contoh: “Guk!”,”Dor!”, “Dhuarrr…”

Permainan Kata dan Lelucon

Ada banyak permainan kata dalam drama Shakespeare yang gunanya untuk menghina orang atau bahan tertawaan. Biasanya lelucon atau hinaan ini sifatnya seksual dengan berbagai macam metafora atau bisa juga bermain dengan logika kata-kata yang dibalik.

“Kau, tuan, kau dirampok. Cepat kenakan pakaianmu! Hatimu hancur, kau kehilangan separuh jiwamu. Bahkan sekarang, seekor bandot hitam sedang menindih domba putihmu.” (Othello I:1. NN/IYS). Di sini Iago bicara pada Brabantio, bapak Desdemona (domba betina) yang kawin lari dengan Othello, si orang moor (bandot hitam).

“Bukan dimana dia makan, tapi dimana dia dimakan!” (Hamlet, IV:3. NN). Kalimat Hamlet berkenaan dengan mayat Polonius yang sedang makan malam dengan para cacing.

Antitesis

Ini adalah salah satu hal terpenting dalam drama Shakespeare. Antitesis artinya berlawanan atau kontras. Ia membandingkan satu hal dengan hal lain. Ini berfungsi tidak hanya secara puitis tapi juga dalam pengembangan karakter. Dalam sebuah solilokui, antitesis berfungsi ketika seorang karakter berusaha mengambil keputusan dan berpikir soal baik buruknya sebuah tindakan.

Kalimat terkenal dari Hamlet babak III adegan 1, “To be or not to be–that is the question, ” adalah salah satu antitesis paling terkenal dalam drama Shakespeare. Ia terkenal karena “To be or not to be” dalam bahasa Inggris memiliki makna yang lebih dari dua: “Ada atau tiada (WSR), mengada atau tidak mengada (TS), jadi atau tidak jadi, menjadi atau tidak menjadi, lakukan atau tidak lakukan”. Ini yang membuat to be or not to be secara teori terjemahan tidak memiliki padanan kata dalam bahasa Indonesia. Ia menjadi sebuah thesis statement yang melingkupi semua tindakan Hamlet dalam drama tersebut: keragu-raguan.

 

  1. Kerja Kreatif (Imajinasi dan Tujuan)

Kamu harus memiliki imajinasi yang kuat dan jelas untuk setiap kata. Drama Shakespeare cenderung membuat aktor terbawa dengan kata-kata yang ia sendiri kurang paham, dan itu berbahaya. Setiap kata harus punya berat yang terukur oleh rasa, logika dan pemahaman. Hati-hati terjebak dalam kalimat-kalimat dengan nada monoton, karena tidak paham. Berlatihlah teknik permainan kata: volume, tempo, nada, tekanan, jeda (pause), dan cari teknik terbaik ketika menyampaikan bait demi bait, agar tidak menarikmu dan penontonmu dalam jurang kebosanan.

Shakespeare memang punya bahasa yang jauh lebih rumit daripada naskah realis, bahkan surealis. Tapi pendekatan dasarnya tetap sama dengan akting realis dan metode Stanislavski. Biarkan proses latihan, pemahaman, dan diskusi pelan-pelan membentuk karaktermu. JANGAN DIBUAT-BUAT. Kecuali jika sutradara memang punya konsep tersendiri soal metode aktingnya. Ini pun harus sangat amat hati-hati karena kagagalan masalah metode untuk mendekati drama Shakespeare bukan hanya terjadi di teater komunitas Indonesia, tetapi juga di teater off-Broadway. Sial sesial-sialnya adalah gagal mementaskan Shakespeare di Industri teater terbesar di dunia, seperti sutradara filmAcross the Universe, The Tempest, dan sutradara pementasan The Lion King dan Spider-man ini: Julie Taymor.

Awalnya kita sudah terkagum-kagum karena Taymor dalam A Midsummer Night’s Dream di Broadway punya pendekatan pertunjukan yang lebih kontemporer. Penonton berharap banyak, apalagi ketika melihat videonya. Banyak kritikus setuju, bahwa pementasan Taymor selalu mengedepankan teknik dan teknologi yang mewah dan mengagumkan. Tapi ketika Taymor mengerjakan Midsummer Shakespeare, pendekatannya yang mekanistis ini dikritik gila-gilaan. The Huffington Post menyebut pementasanya sebagai A Midsummer Night Dread (Kengerian Tengah Musim), Bloomberg Business bilang ia kehabisan ide, NYDailyNews bilang pementasan Taymor lebih banyakblurred lines daripada lagu Robin Thicke karena aktornya tidak jelas berbicara, dan New York Times menulis dengan sadis, agar penonton “…tidak datang ke pementasan ini untuk melihat aktingnya… menonton pementasan ini seperti melihat orang dengan perhiasan bagus, bukan dengan akting bagus.”

Kebetulan saya di dalam Teater Sastra UI juga mementaskan A Midsummer Night’s Dream di Graha Bakti Budaya, November tahun lalu. Saya akan kutip kesan seorang blogger yang menonton pementasan tersebut, “It was lively and cheerful and fun!… Mungkin karena mereka belajarnya tentang hal seperti ini jadi kesannya natural saja.”

Ilustrasi oleh Kalya Risangdaru
Ilustrasi oleh Kalya Risangdaru

Terus terang, sebagai pemain, kami juga merasakan hal yang sama ketika mentas: lively, cheerful and fun! Metode latihan sutradara/penerjemah kami, I Yudhi Soenarto memang aneh untuk pementasan yang satu ini. Ia jarang sekali berkomentar dalam latihan, dan membebaskan kami sebebas-bebasnya. Kami mengalami kebingungan di masa latihan, karena kami tidak paham bagaimana komedi Shakespeare baiknya dimainkan, dan yang paling parah, kami menemukan bahwa naskahnya tidak logis, dengan banyaknya ruang imajinasi dan interpretasi.

Kesulitan kami saat itu sebagai aktor adalah, Midsummer dimulai dan diwarnai dengan tragedi, tapi ia sebuah komedi yang harusnya lively, cheerful dan fun. Setelah proses yang sangat panjang, baru kami sadar bahwa dalam keseriusan itu kami harus bermain-main dan dalam permainan itu kami harus benar-benar serius. Setelah melewati tahap pemahaman naskah, koreografi dan semua proses, kami merelakan semua kepada alam, atau seperti kata Stanislavski, “Art with Organic Feelings.” Bukan selalu bercanda atau selalu serius, namun mengikuti keadaan dan situasi yang terjadi di kenyataan panggung dan mendapatkan, kalau kita pakai istilah Augusto Boal, “Pelangi Hasrat.”

Intinya: Shakespeare bukan pementasan untuk robot. Ia romantik dan organik, butuh kemampuan fisik, intelektual, dan rasa yang utuh untuk memainkannya. Aktor yang telah melewati proses-proses ini dengan baik, adalah aktor yang boleh bangga, minimal pada dirinya sendiri. Karena bermain teater tanpa pernah memainkan Shakespeare dengan proses yang benar, seperti kuliah tanpa pernah skripsi.

Post script untuk aktor, sutradara dan musisi: perhatikan tempo. Pementasan Shakespeare biasanya hancur ketika tempo jatuh menjadi lambat. Karena drama Shakespeare penuh retorika, mainkan secepat mungkin dengan penjiwaan sebaik mungkin. Penonton tidak perlu hafal semua dialog, mereka cuma harus membawa pulang pengalaman epik dan beberapa kutipan jitu!

 

Sumber:

How to Act Shakespeare

http://nfs.sparknotes.com/

Satu pemikiran pada “Bermain Shakespeare (dalam konteks Indonesia)

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.