Racauan

Kalau sudah terasing lalu apa?

Aku merasa begitu asing dengan dunia hari ini ketika aku melihat media sosial yang random dan di luar kebiasaanku. Pertama kali membuka Tiktok, sebelum ia merekam apa yang kusuka dan tidak kusuka, aku disuguhi apa yang banyak orang Indonesia suka, dan aku mau muntah. Begitupun ketika melihat facebook video yang random keluar di feed berdasarkan kesukaan banyak orang.

Aku tidak bilang bahwa apa yang orang suka, aku tidak paham. Aku hanya merasa bahwa yang kebanyakan orang suka adalah hal-hal banal, tentang seks, perselingkuhan, atau kisah-kisah agama yang sangat dangkal. Kurasa begitulah kebanyakan manusia hidup. Secara praktis apa yang kubaca dan kupikirkan tidaklah begitu berguna untuk kehidupan.

Inginnya sih berusaha rendah diri, dan melihat secara antropologis dan filosofis tentang eksistensi orang lain. Tapi bahkan aku tidak bisa melihat diriku sendiri dengan lebih dalam secara eksistensial. Semua misteri tentang keberadaan sudah terjawab. Tuhan tidak bisa dipercaya keberadaannya, dan kalaupun dia ada aku pun tidak mempercayai kebijakan dan apapun yang ia buat. Lalu keberadaanku dan seluruh manusia hingga sekarang cuma kebetulan saja dari sebuah struktur biologis yang tumbuh seperti kanker.

Dan dengan kemajuan teknologi media sosial dan kecerdasan buatan, semakin banyak kebodohan yang terlihat–karena orang cerdas memberikan orang-orang tolol kanal bersuara alih-alih membuka komunikasi dengan pendidikan. Aih, racauanku ini seperti tidak ada puasnga bikin masalah.

Namanya racauan, aku meracau saja dulu. Toh pada akhirnya semua ini politik saja. Semua orang berebut kuasa dalam konteksnya sendiri-sendiri, dalal lapisan-lapisan yang berbeda-beda dari borjuis kecil hingga pemilik modal, punya politik horizontalnya masing-masing. Pa

Pada akhirnya semua orang butuh kerja dan diatur masyarakat atau institusi untuk mendapatkan relevansinya masing-masing. Di luar itu manusia akan jadi anarkis atau gila saja.

***

Terima kasih sudah membaca tulisan ini sampai habis. Jika kamu suka yang kamu baca dan ingin dukung aku, traktir aku kopi, boleh? Biar semangat dan bisa nabung bayar website ini. Klik tombol di bawah.

Filsafat, Racauan

Siap-siap Indonesia Tamat

Beberapa bulan terakhir ini, khususnya menjelang dan setelah pemilihan umum presiden, politik Indonesia menjadi semakin tidak menarik untuk saya. Semakin mudah tertebak, pola oligarki tidak berubah, janji perubahan tidak ditepati, lanjutan pembangunan infrastruktur yang meminggirkan orang terus berlangsung, papua begitu-begitu saja, pelanggaran HAM terjadi tiap hari dan ditumpuk karena yang lama juga tidak pernah diselesaikan, kebakaran hutan lagi dan lagi, izin lahan keluar lagi dan lagi.

Lalu akhirnya mau nulis apa lagi soal politik? Bahan sudah habis diulang-ulang buzzer. Perjuangan toh seperti pekerjaan sehari-hari saja, dan mulai membosankan–padahal perjuangan saya toh cuma membuat berita yang akurat, video yang cukup imbang dan tidak memihak. Tetap saja jadi gemas dan tidak menarik untuk dibicarakan lagi. Apakah karena saya sudah jadi terlalu nyaman? Mungkin saja. Tapi ya bagi-bagi kue di elit politik ini kan biar pada diem tuh, jadi agenda pemerintah bisa jalan. Jadi muak aja sih.

Hari ini facebook saya menunjukkan satu postingan lama soal seorang mahasiswa tajir yang mau membayar saya tiga juta untuk membuat tugas kuliahnya. Saya sarankan pada dia untuk cari pisau yang tajam dan bunuh diri saja. Saran itu tak mungkin ia laksanakan, dan ia cuma akan cari orang lain yang mau membuat tugasnya dan membuatnya lulus. Ketika dewasa dia mungkin akan jadi anggota DPR, atau pejabat–orang pragmatis gini biasanya karirnya lulus. Dan fuck banget saya akan berhadapan dengan produk-produk hukum dan politik buatan dorang.

Jadi saya sedang berpikir untuk bikin rencana apokaliptik: apokaliptik dalam artian, bagaimana kalau semua sistem di Indonesia turn off–seperti lampu mati Jawa-Bali beberapa bulan silam. Saya jadi berencana untuk membeli diesel, membeli back pack kiamat, yang isinya persediaan makanan dan minuman, dan duit cash beberapa juta cuma buat dipake sementara sebelum semua collapse. Terus saya mau ambil kursus pramuka dan kemping lagi deh. Kabur ke gunung atau kemana gitu.

Serem banget masa depan bangsa ini. Camping di kolong jembatan layang Jokowi kayaknya asik juga, siapa tahu proyeknya mangkrak kan. Kayak jaman-jaman waktu sistem ngedrop dulu di jaman orba. Tapi ya nyambi kerja biasa, ngajar semau saya, dan bikin-bikin film deh. Sambil nyicil persediaan.

Photo by Heorhii Heorhiichuk on Pexels.com
Filsafat, Memoir, Racauan

Ilusi Gap Generasi

Doni arinova

Seperti cepatnya perkembangan industri yang menyebabkan global warming dan perubahan iklim, jurang generasi 100 tahun terakhir ini semakin melebar. Apa itu jurang generasi? Jurang itu adalah perbedaan pengetahuan dan persepsi antar sekumpulang orang yang dipisahkan oleh satuan waktu lahir. Melebarnya jurang generasi, berbanding terbalik dengan jarak umur. Lebarnya jurang generasi artinya semakin hari, semakin sulit buat orang tua mengerti anak mudanya. Tapi menurut saya, ini cuma ilusi.

Coba saya jelaskan lebih jauh. Jurang generasi selalu ada di pikiran orang-orang yang merasa tua dan semakin hari semakin banyak orang yang ‘merasa tua’ tadi, karena peradaban sekarang jauh lebih cepat berubah daripada dulu dengan adanya internet dan majunya kecerdasan buatan. Tahun 50an, orang tua lebih mudah meneruskan nilai-nilai budaya pada anak. Namun pasca perang dunia kedua, semakin banyak “rebel without a cause,” khususnya di negara-negara demokrasi. “rebel without a cause” adalah ketidakmengertian orang tua pada anak yang memberontak, padahal yang tidak mereka mengerti bukan anaknya, tapi konteks sosial-politik-psikologi dimana anak itu hidup.

Sudah banyak pembahasan dan pelabelan generasi, dengan nama XYZ, atau baby boomer, post baby boomer dll. Pembahasan ini didasarkan pada event yang terjadi di sebuah masa yang mempengaruhi orang-orang yang lahir pada masa itu. Tapi buat saya, label itu telalu banyak dan membingungkan. Apalagi sulit ketika sample diambil dari negara tertentu. Waktu bisa jadi relatif secara geopolitik teknologi, buktinya saya kenal banyak orang yang lahir di tahun-tahun millenial, tapi otaknya setua senior-senior saya. Hahah.

Image result for senior bully gif

Tapi semua orang angkatan saya ke atas, yang berhadapan dengan anak-anak muda sekarang–yaitu yang masuk dalam kategori milenial bukan hanya secara umur tapi juga secara perilaku hidup–memang banyak yang sedang bingung menghadapi generasi yang begitu cepatnya belajar, kritis, dan melompat melebihi apa yang pernah mereka bayangkan. Butuh energi muda dan akses informasi tak terbatas untuk menjadi seperti angkatan pemuda hari ini, saya sendiri jadi merasa tua di depan mereka yang dengan cepat bisa menguasai skill-skill baru.

Image result for millennial gif

Ketika saya pertama kali memegang kamera umur 20an, mereka sudah terekspos dunia video sejak SD. Ketika saya fasih berbahasa Inggris umur 16an, mereka sudah fasih dari balita. Tapi ini belum apa-apa. Di Amerika Serikat, saya menemukan bocah berumur 9 tahun yang baca bukunya lebih banyak dari saya: buku novel-novel petualangan tebal, dan sains fiksi macam-macam. Pulang dari Amerika, saya merasa bukan cuma saya yang ketinggalan: anak-anak muda yang sulit dimengerti orang tuanya di Indonesia, juga ketinggalan jauh dengan anak-anak muda di negara maju.

Image result for nerd kid gif

Artinya, mereka yang merasa ketinggalan oleh anak-anak muda Indonesia, bukan hanya tua tapi juga bodoh–termasuk saya.

Lalu kita yang tua mau apa? Ya, terserah. Mau belajar bersama yang muda, seperti yang saya lakukan ketika mengajar–yang mana sebenarnya saya belajar lebih banyak dari mereka daripada mereka dari saya; atau mau pakai senioritas, kemarahan, dan frustasi pada generasi yang mereka tidak mengerti? Generasi yang lebih output oriented, mencari insentif untuk membentuk identitas mereka, dan sedang pusing menempatkan diri di dunia global.

Intinya, menurut saya pribadi, gap generasi itu tak ada. Yang ada adalah gap kerajinan dan intelektualitas. Yang malas belajar pada yang muda dan merasa senior, silahkan menyingkir dan pensiun dini saja.

***

Website ini jalan dengan donasi. Kalau kamu suka yang kamu baca, boleh traktir yang nulis kopi di link ini:

https://trakteer.id/Eseinosa/tip

Thank you.

Image result for retired gif

Kurasi/Kritik, Musik

Membalas Keterasingan dengan Kolase Suara: Tentang Sonic Collage: Beats, Glitches and Digital Noises

Esei Pengantar untuk Album Iman Fattah,  “Sonic Collage: Beats, Glitches and Digital Noises,” ini pertama kali terbit di blog Iman Fattah, 18 April 2014.

imanfattah_1456187919_12

Eksistensi. Betapa mudah kita ada di dunia dan betapa berat proses setelahnya. Proses mengisi. Proses menjadi. Sesungguhnya hidup akan lebih mudah ketika kita lahir di sebuah lingkungan sederhana. Sebuah keluarga yang tinggal di hutan, tanpa koneksi ke keluarga-keluarga lain. Tanpa banjir informasi. Tanpa referensi. Aturan hidup jelas: kita hanya mesti bertahan. Tapi semua jadi ringan namun sulit dipapah ketika kita hidup di dalam masyarakat yang kompleks. Dalam teknologi yang maju, teknologi yang awalnya dimaksudkan untuk membantu hidup kita, kita malah terperangkap. Di gedung-gedung. Di kubikel-kubikel kantor. Di depan TV di rumah. Dalam gubuk kumuh semi permanen di pinggir kali. Dalam bus, angkot dan mobil di kemacetan. Kita, homo Jakartanensis, adalah manusia yang menanggung beban berat. Dimana pun kita hidup, sebagai siapapun: orang kaya, orang miskin, tua, muda, berbagai macam profesi, berbagai macam etnis, berbagai macam perjuangan, kita sulit. Sulit karena kita tidak hanya dituntut untuk bertahan hidup. Kita dituntut untuk kreatif membuat identitas kita, siapa kita, apa yang bisa kita lakukan, apa yang kita bicarakan, apa yang kita tahu, apa yang kita percaya dan apa yang kita beli. Semua itu menentukan identitas kita.

mentawai-3
Suku Mentawai telah hidup di hutan hujan tropis selama ribuan tahun. Kredit foto Sergey Ponomarev untuk The New York Times

Tantangan terbesar bukan bertahan hidup. Tantangan terbesar adalah memaknai hidup. Memaknai diri dan orang lain. Memaknai dunia. Dan semakin banyak informasi, semakin banyak tahu, semakin banyak hubungan maka semakin sulit kita memaknai eksistensi kita. Semakin sulit mencari tujuan. Karena itu kita seringkali lari kepada yang menawarkan kepastian instan: korporasi kapitalis, agama, atau sesederhana menyerah kalah dengan mengerahkan tenaga kita untuk bertahan hidup saja  seperti apapun caranya—halal atau haram. Kota mengajarkan kita untuk menjadi konsumen semata. Menjadi robot yang selalu bekerja. Atau menjadi binatang yang selalu berusaha memuaskan hasrat semata. Di situ kemanusiaan kita diambil. Dalam kekayaan atau kemiskinan material, ketika kita hanya mengonsumsi, kita menjadi miskin. Miskin makna. Miskin keberadaan. Dalam konteks seperti inilah Iman Fattah mengomposisi Sonic Collage: Beats, Glitches and Digital Noises.

Melawan dengan Mengembalikan Suara

Sonic Collage: Beats, Glitches and Digital Noises melawan semua konteks di atas. Direkam dalam medium pita kaset, ia adalah sebuah abstraksi kehidupan posmodern: teknologi baru dalam medium lama. Isinya terdengar baru, namun sesungguhnya ‘hanya’ dibuat dari setitik sisa kemanusiaan dalam peradaban kota kita: setitik elemen manusia yang membaca, memproses dan mencipta hal-hal dari suara-suara keseharian yang seringkali dianggap biasa, mengganggu dan tak ada. Walaupun konsep ini sudah sering dibuat oleh banyak seniman lain baik dalam seni rupa, teater, film dan musik—dalam genre yang kini sering dikenal sebagai Neo-Realisme—namun konsep ini akan jadi selalu baru. Karena manusia adalah makhluk yang selalu unik, tak pernah diciptakan sama. Bahkan anak kembar yang lahir dan dibesarkan oleh keluarga yang sama pun akan melihat dunia dengan cara yang berbeda.

Album ini adalah sedikit permaknaan kehidupan kota. Sebuah bukti bahwa kita yang hidup dalam mesin besar ini adalah manusia, bukan robot atau binatang. Ia adalah kumpulan kolase, bukan montase. Montase adalah gabungan-gabungan elemen yang disatukan tapi memiliki batas sambungan, seperti shot-shot pada sebuah film, seperi Frankenstein, seperti Chimera. Sementara kolase adalah gabungan elemen yang menyatu menjadi satu kesatuan namun masih jelas bentuk aslinya. Seperti komposisi musik dengan suara-suara yang berbeda-beda. Kolase adalah batas abu-abu: ia tidak membuat yang lama lantas hilang jadi yang baru. Ibarat makanan, kolase bukan sup, tapi salad. Bukan sayur asem yang membuat semua bahan didominasi asam, tapi gado-gado yang rasanya khas tapi kita tahu setiap elemen yang kita makan bekerjasama membuat rasa itu.

Saya tidak mampu mendeskripsikan lagu-lagu dalam album ini dengan kata-kata. Saya tidak punya kemampuan untuk mengkotak-kotakkannya, memaknainya dengan pasti. Yang saya bisa lakukan hanya memberikan metafor-metafor untuk mendeskripsikan rasa yang saya dengar. Dan saya yakin, Iman Fattah pun, dengan semua konsep dan penjelasannya mau tak mau harus rela memberikan semua pemaknaan komposisi album ini kepada pendengar. Tapi bukan berarti album ini hadir begitu saja tanpa sebuah proses. Komposisi-komposisi ini adalah abstraksi: hasil perenungan, hasil proses yang diseleksi dan digubah secara sadar yang diambil dari alam bawah sadar. Dari suara-suara yang dihasilkan kota dan diserap oleh senimannya lalu darinya ia ramu sebuah komposisi suara.

Inilah sebuah bentuk perlawanan terhadap semua yang didengar, semua yang dikonsumsi. Suara-suara yang dianggap biasa, mengganggu dan tiada dikombinasikan menjadi sebuah aransemen. Dan bukan sembarang aransemen: seperti mencipta musik Blues, suara-suara mekanik direproduksi dengan alami, melalui proses pengendapan di alam bawah sadar dan dikembalikan ke kenyataan. Inilah perlawanan. Seperti membalas penganiyayan dengan mengembalikannya dalam bentuk pelukan hangat dengan tubuh yang terlanjur rusak. Karena itulah, jika anda merelakan dipeluk oleh kolase-kolase ini, membiarkan setiap suaranya mengalir tanpa anda mencari-cari artinya, niscaya anda akan mendapatkan sebuah katarsis, pembersihan diri, dan hubungan dengan rasa kota. Perlawanan seperti Ahimsa: melawan dengan menyerah.

Homo Jakartanensis Punya Rasa

“Gue selama ini hidup di Jakarta. Kota yang penuh hiruk pikuk manusia dengan semua kehidupan dan suara-suaranya.” Ujar Iman dalam sebuah sesi wawancara via Whatsapp (16/4). “Kenapa Sonic Collage? Karena suara-suara yang setiap hari kita dengar adalah kolase.”

Kolase di kehidupan kota adalah ekses konstruksi kota. Jika anda perhatikan, kota adalah hasil dari modernitas barat yang hadir dengan banyak pengorbanan. Seorang kawan saya pernah mengatakan bahwa Jakarta adalah kanker buat Indonesia. Jakarta menjadi metropolitan, pusat ekonomi dan pemerintahan setelah banyak kejadian berdarah. Dari zaman kolonial, pembantaian PKI tahun 65, pembantaian pemberontakan lokal di seluruh Indonesia, penjualan aset dan sumber daya alam di seluruh negeri, semua untuk memberi asupan kepada kanker ini. Dan kita hidup di dalamnya. Kita makan dari asupan-asupan darah dan penderitaan daerah tertinggal tanpa infrastruktur, dengan korup dari pemerintah lokal yang belajar dari pemerintah pusat. Di sini, di kota ini, Kanker bernyanyi dalam dentuman palu konstruksi gedung, dalam pukulan pada anak-anak jalanan, teriakan tukang bakso, suara pembawa acara infotainment, pidato politik menjual janji, iklan, mal-mal, toa mesjid yang berleleran khotbah benci dan segala keberisikan. Semua ekses ini akan memulu bising dan jahat, jika kita tidak bisa memaknainya.

Manusia Gerobak
Manusia Gerobak di Jakarta. Foto oleh Chelluz Palun (chelluznote.blogspot.co.id)

Maka kolase-kolase ini hadir sebagai sebuah komposisi yang harmonis dalam ketidakharmonisannya. Sebuah Paradoks. Oxymoron. Irasional. Seraya menantang kita untuk memaknainya sesuai dengan pengalaman dan kehidupan kita sendiri. Orang yang tidak tinggal di kota mungkin asing dengan suara-suara ini dan bisa menjadikannya sebuah kebaruan. Sementara kita manusia kota, punya tanggung jawab lebih untuk paham—bukan mengerti, tapi paham. Pengertian perlu penjelasan, namun pemahaman perlu perasaan. Pemahaman perlu kemampuan membaca, mendengar dan merasa. Dan dengan pemahaman itu kita tidak terjebak. Pemahaman membuat kita bermakna dan ada yang bisa kita lakukan dalam konteks kita ini: berproduksi sebagai diri sendiri, untuk diri sendiri dan orang lain. Berbagi pemahaman.

Tanpa pemahaman dan berbagi pemahaman maka yang bisa kita lihat dari kota ini adalah kekosongan makna. Pemuasan hasrat yang tak ada habisnya. Penghabisan umur buat sesuatu yang tidak ada artinya. Tanpa pemahaman, kita akan bergerak tanpa arti atau tujuan. Dan kehidupan menjadi ilusi. Kerja cerdas, pesta keras menjadi prinsip kehidupan kota, tapi untuk apa jika kita tidak paham untuk apa kerja dan ada apa sehabis pesta. Ketika hasil pekerjaan kita hanya uang yang kita hamburkan dalam pesta, sementara kita terasing dari apa-apa yang kita buat dan kita jual sendiri, kita terjebak dalam lingkaran kekosongan ini.

Satu-satunya cara untuk keluar adalah dengan mengekspresikan rasa itu. Rasa senang, muak, sedih, tawa, tangis, bingung dan ketakutan harus keluar dari tubuh kita dan kita bagi. Seni kota kebanyakan adalah ekspresi rasa-rasa itu, termasuk album eksperimen ini. Semua nomor seperti komposisi musik klasik dalam medium baru, medium suara kota. Nuansa industrial, kesepian dalam keramaian, indoktrinasi politik dan agama serta individualisme, hadir dalam komposisi-komposisi yang berbeda-beda. Kolase adalah rasa Jakarta yang sebenarnya, karena sekeras apapun kita berusaha menjadi berbeda, kita ada di dalam konteks yang sama dan mau tak mau harus terima perbedaan-perbedaan itu. Betapapun sakitnya. Betapapun busuknya.

As We Watch in Horror

Saya tidak mungkin membahas semua komposisi dalam album ini satu persatu. Setiap nomor dibuat dalam suasana dan konteks yang berbeda-beda dan membutuhkan pendekatan yang berbeda. Alih-alih membuat artikel pendek, saya malah bisa membuat sebuah disertasi. Jadi saya memilih membahas satu lagu secara singkat, sebuah nomor berjudul As We Watch in Horror. Lagu ini menarik untuk saya pribadi karena nuansa yang ditampilkan, permainan tempo dan kekayaan komposisinya. Pembukaannya terdengar sangat kota, dengan beat yang cepat dan penuh irama ritmik mekanik. Semakin ke tengah, banyak suara-suara asing masuk dan membuat menjadi sangat horor, dan pada akhirnya tempo melambat dan nuansanya menjadi sangat…melankolik.

Lagu ini menurut saya cocok sekali dimainkan di diskotik ketika para dugemers sedang asik joged dengan inex. Karena setelah bagian tengah dan belakang, niscaya mereka akan dilanda paranoia parah dan pulang dengan melankolia. Karena pada akhir lagu ini, saya bisa merasakan sebuah ketidakberdayaan yang sangat perih. Ketidakberdayaan manusia kota terhadap apa yang mereka tahu: bahwa semua kemapanan bisa berakhir dalam kesia-siaan ketika zaman atau Tuhan atau alam memaksa mereka. Pada akhirnya manusia kota adalah manusia.

Sekedar ilustrasi, As We Watch in Horror mengingatkan saya pada sebuah pementasan teater di Amerika tahun 1970 hasil besutan sutradara, komposer dan pianis Ralph Ortiz berjudul The Sky is Falling. Penonton ditempatkan dalam sebuah ruangan dengan sebuah TV besar. Sejak awal penonton telah diberitahu bahwa apa yang mereka saksikan di TV adalah live dari ruangan sebelah. Sementara di ruangan yang lain, aktor memulai pertunjukkan dengan menyiksa dan membunuh ayam-ayam dan tikus-tikus dengan keji. Setelah pementasan, diadakan sesi diskusi. Para penonton protes, marah, dan kecewa, apalagi ketika mereka melihat ayam-ayam dan tikus-tikus yang termutilasi, dengan darah dan jeroan dimana-mana—beberapa binatang itu masih hidup. Mereka tidak bisa memaknai pertunjukan sadis semacam itu, dan menganggap Ortiz seorang sadis dan gila. Menanggapi amarah penonton, Ortiz malah bertanya balik ke penonton: “Anda melihatnya di TV, anda tahu dimana itu terjadi, kenapa anda tidak menghentikannya?”

destruct01
Ralph Ortiz dalam salah satu pementasannya, yang hari ini dikenal sebagai destructivist art.

Pementasan tersebut adalah sebuah bentuk protes terhadap masyarakat Amerika ketika melihat perang Vietnam. Televisi menyajikan hal yang terjadi di belahan bumi yang lain dan yang bisa orang lakukan adalah mengeluh dan marah-marah dari ruang TV nya—menganggap semua yang terjadi adalah sebuah ‘pertunjukan di luar kuasa mereka.’ Zaman ini tentunya sudah berubah. Ada banyak hal yang bisa kita lakukan demi mendukung atau tidak mendukung suatu kejadian di dunia. Dari sumbangan lewat bank, atau sekedar petisi online bisa digunakan sebagai alat politik. Sayangnya, di Indonesia, orang tidak semudah itu bergerak kritis dan lebih sering menjadi penonton pasif. Semakin maju teknologi dan penyebaran informasi, semakin pasif manusianya. Dan kepasifan itu… sakit.

Itulah yang saya rasakan ketika mendengar keseluruhan komposisi panjang As We Watch in Horror. Iman menjelaskan sedikit tentang lagu itu:

Komposisi itu gue bikin sambil lihat gempa dan tsunami di Jepang. Ibaratnya ada tiga part. Part 1 yang kenceng acak-acakan. Jepang sebagai negara maju dengan sonic collage yang rame, part 2 feedback panjang ketika tsunami datang, dan part 3 kehancuran kota-kotanya setelah bencana. As We Watch in Horror adalah representasi ketika kita lihat TV, media, dan timeline. Betapa menakutkannya hal-hal ini dan gerenasi sekarang bisa melihatnya secara langsung semua kejadiannya.

Lagu itu adalah sebuah narasi panjang soal kesakitan masyarakat kota akan kepasifannya sendiri. Empati bisa kita rasakan, tapi mandeg dalam ketidaktahuan kita dan keterputusan kita untuk memberi bantuan atau berbuat sesuatu. Kita di kota lebih suka mengurus hal-hal yang dekat seperti pembunuh kucing atau etika ABG yang tak memberi duduk ibu hamil di kereta, daripada hal-hal jauh yang lebih parah. Kebanyakan kita mengeluh dan menunggu untuk ada orang yang bisa menyalurkan bantuan kita, alih-alih mencari atau membuat saluran bantuan. Filosofi kota yang kebanyakan kita anut adalah Philosophy of the Bystander, filsafat penonton.

*

Aih, saya bicara terlalu banyak. Sebaiknya kita akhiri saja diskusi ini agar anda bisa mulai mencari tahu bagaimana cara mendapatkan album ini dan merasakannya sendiri. Karena album ini penuh tantangan untuk pendengarnya baik dari konten dan distribusinya. “Gue nggak mau berbentuk album musik yang bisa dijual secara populer, makanya musik yang gue compose itu sebetulnya bukan musik, tapi komposisi,” ujar Iman.

“Telinga manusia sebetulnya punya kemampuan untuk isolasi suara;” lanjutnya. “Kita bisa mengisolasi suara mana yang mau kita fokus. Contoh, kalo kita ngobrol dengan lawan bicara di pinggir jalan yang ramai, kita bisa tahu dia ngomong apa, jadi suara jalanan berisik itu jadi background. Dari hal ini gue punya ide bahwa sebetulnya kehidupan kita ini penuh dengan kolase setiap saat.”

Ya. Kita mestinya bisa fokus. Kita bisa memilih. Bahwa dalam kesemerawutan kota, kebisingan bunyi, kita bisa pilih fokus dan tujuan apa. Album ini berusaha mengingatkan kita akan kebebasan itu, agar kita bisa bergerak dalam arus yang kacau. Kebebasan yang seringkali kita lupakan dan saatnya kita rebut kembali.