Sebuah pengantar yang saya buat untuk buku kumpulan cerpen Ervin Ruhlelana, “Fiksi-fiksi Benang Merah (dalam 4 Genre).”
Saya adalah badut Zarathustra yang sedang memanjat tiang.
Yang ada di tangan anda seperti Indonesia. Sebuah negeri besar yang memiliki penduduk sangat banyak namun selalu dalam keadaan mengambang dan bingung. Sebuah bangsa yang setiap hari menemukan dirinya terjebak dalam sejarah baru—sejarah yang terus diungkap dan hanya sebagian orang mau melihat kenyataannya, sisanya memilih hidup dengan sejarah yang lebih familiar: ilusi peninggalan Soeharto atau mitologi fabrikasi agama. Sebuah bangsa yang terdiri dari individu-individu sesat arah yang masing-masing sadar atau tidak sadar memilih identitas dan membuat sejarahnya sendiri. Sejarah yang seringkali fiktif. Sejarah diri yang tidak berpegangan banyak pada fakta-fakta tetapi pada mitos dan rumor.
Lihat saja internet dan keributan yang begitu mudah dipicu oleh kata-kata seks, liberal, fundamentalis atau plagiasi. Lihat saja betapa banyak penganut Islam dengan berbagai aliran di negeri ini yang terus menjustifikasi bahwa agama yang mereka anut, yang bergelimang darah hanya karena ribut masalah interpretasi ayat dan sulutan rumor, adalah agama yang baik-baik saja. Lihat saja anak-anak hipster yang selalu mencoba barang-barang baru dan membuangnya ketika sudah mainstream (padahal jauh dari rusak) menjadi simbol utama masyarakat kapitalisme global, lihat saja gerakan-gerakan sosial ideologi impor.
Manifesto kebudayaan tahun 1960-an sudah terjadi dengan nyata: bangsa kita menjadi pewaris peradaban dunia. Tapi peradaban seperti apa?
Peradaban konsumen. Peradaban pasar.
Manusia Indonesia dihadapkan pada kenyataan baru terus menerus yang sifatnya tidak pernah linear tetapi sirkular dan kacau balau. Mereka dihadapkan pada waktu perkembangan arus-arus global tanpa pernah ada persiapan: budaya baca sedang diperkenalkan di masa orde lama, tiba-tiba orde baru naik dan membakar bacaan, membunuh manusia, dan membunuh ide; 32 tahun kemudian, reformasi terjadi dan buku-buku serta ide-ide lama berseliweran namun internet dan audio visual menyeruak masuk hingga tak sempat ada basis budaya baca—anak-anak kehilangan kemampuan cara membaca dengan benar. Seperti tidak sempat tumbuh, tidak sempat berpikir. Tiba-tiba kita ada di tengah padang pasir sejarah berbagai versi yang setiap pasirnya menghisap kita, mengaduk-aduk kita. Dan kita memilih butiran demi butiran diri yang asalnya tak jelas dari patung tiran mana, kitab buatan siapa, atau debu mayat Julius Caesar atau rambut Nyi Roro Kidul yang tercampur jembut Farah Quinn. Mencoreng wajah kita dengan tanah liat yang diklaim dari Adam hingga seakan-akan kita memakai topeng kesalihan agama-agama semit yang kita anggap wajah kita. Semua jadi komoditas, bisa dijual dan dipakai secara materi atau sebagai modal simbolik untuk menundukan orang yang lebih tolol. Semua jadi permainan kuasa, perang klaim atas simbol-simbol suci yang sesungguhnya tak lebih dari barang dagangan.
Dalam kondisi seperti ini mampukan kita menghargai buku ini? Buku yang sulit untuk dibaca, penuh dengan kisah-kisah simbolik personal dan referensi-referensi tak terbatas yang dengan gamblang disodorkan? Dengan apa kita harus mengerti buku ini? Dengan apa kita ‘konsumsi’ produk ini, sementara setiap kata begitu pahit karena sifatnya mitologis: tidak ada hubungan pasti dengan arti sebenarnya[1].
Yang jelas bukan dengan tulisan ini. Saya tidak hendak memberikan cara baca atau rekomendasi, seperti banyak review buku atau pengantar atau kritik sastra kontemporer. Tulisan ini adalah sekedar peringatan tentang betapa tidak bergunanya buku ini untuk orang yang cara pembacaannya seperti anak kelas 4 SD—yaitu kebanyakan orang Indonesia yang tidak mampu mengkritisi, mencari referensi intertekstual, atau membuat sendiri identitas diri secara kreatif. Ya, buku ini tidak bisa membantu anda seperti kitab suci yang memberikan anda garis-garis besar haluan kehidupan. Sebaliknya, buku ini adalah sebuah labirin yang dapat membuat anda tersesat dalam kebingungan.
Kepastian dalam buku ini cuma satu: sekeras apapun anda mencoba bertarung dengan Ervin Ruhlelana, sekeras apapun anda berusaha untuk mencari tautan-tautan benang merah dan memecahkan kode-kode semiotik dalam buku ini, anda tetap akan KALAH. Pengertian anda adalah sebuah ilusi.
Kalau begitu apa gunanya membaca buku ini, jika pada akhirnya anda akan kalah?
Coba tanya diri sendiri untuk apa anda hidup? Toh kita semua akan kalah!
Tapi jangan hilang harapan. Ernest Hemingway, si pengarang petualang itu tahu benar, bahwa semua manusia pada akhirnya akan kalah. Yang membedakan nilainya hanya BAGAIMANA CARA IA KALAH. [2]
Tulisan ini berisi catatan-catatan kekalahan saya terhadap Ruhlelana. Bukan Ruhlelana yang menulis buku ini, tetapi Ruhlelana yang adalah Tuhan dalam semesta teks buku ini. Semoga ketika anda membaca pengantar ini anda bisa melihat bahwa saya tidak mau kalah begitu saja, dan anda bisa melihat kekalahan saya sebagai sesuatu yang bernilai.
bersambung ke bagian II
[1] Lihat Roland Barthes. Mythologies. Farrar, Strauss and Girroux publishing, 1972. Menurut Barthes, mitos adalah petanda yang hubungannya jauh dari penandanya, atau arti awalnya, hingga sulit untuk dilacak kebenarannya.
[2] Ernest Hemingway dalam Haruki Murakami, “Super Frog Saves Tokyo”. Dalam antologi cerpen After The Quake. Knopf Publising, 2000.
4 pemikiran pada “Badut Zarathustra dan Labirin Ruhlelana (Bagian I dari V)”