
Saya adalah badut Zarathustra yang sedang menyebrangi tali tipis. Lihatlah bagaimana saya berusaha sampai ke ujung.
Bagian ketiga adalah BLUES. Seperti Jazz, Blues adalah musik yang penuh improvisasi. Namun berbeda dengan Jazz, mood dalam musik blues, seperti namanya adalah kegundahan, kegalauan akan cinta dan kebebasan. Stuart Hall, ahli Kajian Budaya asal Jamaika, menulis bahwa kebudayaan orang kulit hitam di Amerika, yang melahirkan musik Blues, adalah budaya yang ‘rindu’ pada Afrika yang hilang dan mereka ketahui hanya dari cerita-cerita tentang tanah leluhur.[1] Berbeda dengan diaspora orang Cina yang kebanyakan datang atas motivasi politis dan ekonomi, membuat grup-grupnya sendiri dalam pecinan, dan memiliki hubungan langsung dengan benua asalnya, budaya Afrika-Amerika lebih mengenaskan. Orang-orang kulit hitam masuk dari jalur perbudakan. Kristenisasi dan perbudakan membuat mereka tercerabut dan melupakan akar mereka, tanpa punya kebebasan untuk berhubungan dengan benua asalnya. Yang membuat Blues adalah sebuah kerinduan akan akar yang ‘diimajinasikan’. Blues adalah musik yang hadir sebagai campuran dari kesedihan, opresi dan darah, Di tangan para budak kulit hitam, musik Gospel di gereja diinterpretasi ulang menjadi Blues, dengan masalah personal dan sosial di dalamnya.