Saya adalah badut Zarathustra yang berdiri di ujung tiang, melihat tali tipis dan di ujung tali itu adalah bayangan diri saya yang menjadi overman. Di bawah sana orang-orang bagai semut. Memang, semua yang dilihat dari ketinggian adalah kesederhanaan.
Inilah cara saya mengambil makna dalam buku ini: saya tidak melihatnya sebagai karya sastra. Saya melihat buku ini sebagai sebuah labirin yang di dinding-dindingnya ada berbagai macam lukisan yang secara spesifik hadir sebagai anak haram zaman modern. Ervin Ruhlelana adalah hasil perkawinan antara modernitas barat dengan seorang pelacur bernama Indonesia. Seorang anak haram jadah.
Ervin adalah pelukis kata. Ia mengeksplorasi segala gaya lukis modern barat: surrealisme dan realisme magis, symbolisme, romanticisme, impressionisme, post-impressionisme, post-ekspresionisme dan dan post-modernisme. Ia mengeksplor M.C. Escher, Salvador Dali, Basquiat dan Jackson Pollock dalam dunia kata, dengan atau tanpa ia sadari.
Saya tahu ini adalah sebuah tuduhan berat. Tapi saya akan berusaha meyakinkan anda bahwa tuduhan saya berdasar adanya. Ervin Ruhlelana mungkin tidak menyadarinya, apalagi mengakuinya, tapi saya rasa ia tidak perduli. Karena seperti yang saya tulis sebelumnya, saya tetap akan kalah. Lihatlah baik-baik bagaimana saya kalah, karena di situlah nilai sebenarnya dari pengantar ini.
Mari kita bahas satu persatu isi buku ini. Bagian pertama adalah JAZZ. Ketika kita mendengar kata Jazz, kita melihat kerumitan, kesenangan dalam permainan, improvisasi, dan kekuatan alam bawah sadar manusia. Bagian ini sesungguhnya adalah sekumpulan esei-esei kebudayaan dan kritik teks yang menyaru prosa. Plot tidak pernah diselesaikan secara konklusif, cerita tidak pernah dijelaskan gamblang. Tidak ada struktur konvensional yang akan memuaskan ekspektasi pembaca. Pembaca takkan pernah tahu kemana ia dibawa.
Bab dibuka dengan Sangkuriang, Glossolalia Lelaki Tua dan selinting Bako Mole, yaitu sebuah esei soal sejarah, tradisi tulisan dan kritiknya yang dirangkum dalam sebuah setting. Sejarah dan teks sebagai konstruksi budaya poskolonial dan matinya sastra lisan yang lincah dan bebas. Teks dilihat seperti sebuah permainan kuasa. Sebagai pengantar bagian ini bisa menggambarkan apa yang sedah dilakukan Ervin: mereproduksi interpretasi dari teks-teks yang sudah ada, membuatnya menjadi milik dia sendiri dan menggunakan kebebasannya. Prinsip ini berlaku untuk semua cerpen di buku ini. Dengan kata lain, bab ini adalah sebuah pengantar metodologis tentang bagaimana cara membuat dan membaca buku ini: sekumpulan teks-teks yang didaur ulang yang pemaknaanya harus dicari.
Sementara itu, Bau Rahasia dari Aroma Angin Laut Selatan bermain dengan mitologi ‘Cepot’ dan menyandingkannya dengan mitologi-mitologi lain. “Cepot adalah seorang demigod, setara Dionysus dari Ethiopia, anak tunggal Perawan Semele, atau Kristus dari Betlehem, anak tunggal Perawan Maria, Cepot adalah anak tunggal Perawan Pertiwi.” Teknik ini dipakai untuk memberikan sebuah pengertian dari komparasi, seperti mencari nilai-nilai universal dari kemanusiaan. Antropolog Clifford Geertz sering sekali membuat komparasi seperti ini dalam tulisan-tulisannya untuk membuat pembaca akademik ‘barat’ mengerti topik lokal yang ia bicarakan seperti sabung ayam Bali sebagai negara teater.[1] Reinterpretasi mitologi Sunda juga adalah sebuah cara teks bertahan, bertransformasi dan menjadi aktual. Aktual untuk perlahan menjadi busuk kembali agar bisa didaur ulang. Aktualitas yang menyedihkan bahwa untuk mengerti Cepot, kita harus menyandingkannya dengan Dionysus nun berasal dari jauh. Dua cerita pertama sudah memperlihatkan argumen tentang pola sirkular: sebuah proses pengulangan secara terus menerus sebuah teks sejarah.
Cerpen ketiga, Surat dari Nusantara Borges untuk Adolfo Bioy Casares membawa transformasi teks dalam perputaran sejarah menjadi lebih ekstrim: pertemuan seorang Nusantara Borges dengan dirinya sendiri. Bentuk yang dipilih untuk menyampaikan narasi ini adalah surat untuk Casares, sahabat Borges, sastrawan yang kontroversial dengan cerita-cerita surrealnya dan fiksi-fiksi berbentuk esei sains. Cerita ini sudah mulai membahas tema yang sangat surealis: tema dunia cermin dimana manusia menciptakan manusia lain. Penulisannya memakai format surat dan kutipan dalam surat bukan hal baru. Mary Shelley memakainya ketika ia membuat Frankenstein[2] untuk membuat sebuah ‘teks yang seakan-akan berasal dari dunia nyata’. J.L. Borges malah sering membuat yang lebih ekstrim dari sekedar surat: esei sains yang fiktif.
Belum ada kejelasan kemana Ruhlelana akan membawa kita, sampai pernyataan keras ditulis dalam Chairil Gagal Menjadi Plagiat. Semacam tribute terhadap penyair Chairil Anwar, teks ini secara tekstual memperlihatkan bagaimana ide bisa berkembang dari keingintahuan Chairil Muda. Bahwa identitas diri pada akhirnya adalah sebuah konstruksi kreatif yang diramu dari dunia teks eksternal dengan kekuatan kreatifitas diri sendiri. Dalam cerita ini, tuduhan plagiasi Chairil terhadap puisi Kerawang Bekasi ditampik secara tidak langsung. Karena sebuah karya punya konteksnya sendiri-sendiri seperti halnya diri manusia. Dan disinilah Chairil membuat ‘AKU.’
Pernyataan Chairil membuat dirinya sendiri nampaknya dirasa belum kuat. Lalu dalam Borges dan Mereka dibahas lebih lanjut tentang sebuah karya Jorge Luis Borges berjudul Borges and I yang begitu menghebohkan dalam sastra dunia karena surealisme filosofisnya. Bahwa di dalam diri manusia terdapat banyak kepribadian dan paradoks yang begitu rumit, jauh lebih rumit daripada oposisi biner jahat-baik. Borges membuka semua itu dengan menulis tentang dirinya sendiri dari sudut pandang orang ketiga. Tulisan Borges yang ini memperkuat tulisan lain sebelumnya yaitu Surat dari Nusantara Borges untuk Adolfo Bioy Casares. Di sini dapat dilihat sebuah konklusi metodologis: Ervin Ruhlelana sedang mengkonstruksi dirinya sendiri di dalam tulisan-tulisan yang sedang anda baca. Dan semua yang anda baca ada di dalam pikiran anda, Ervin sedang mereduplikasi dirinya sendiri di dalam pikiran anda. Tersesat dalam Labirin Pak Haji Meubel menjadi semacam konklusi dan praktik metodologis yang dipakai Ervin. Cerita ini juga semacam semi-auto biografi seperti Surat dari Nusantara Borges. Di sini ia bermain dengan waktu dan labirin di rumah Pak Haji Meubel. Cerita yang mirip ‘Narnia’[3] inilah sebenarnya awal dari buku ini yang bukan metodologis. Inilah fiksi sebenarnya yang menutup bab JAZZ dan mengawali keseluruhan buku: sebuah cara untuk menggambar diri sendir dalam bentuk yang sangat paradoksal dan surreal.
Dalam bab JAZZ ini, kita melihat Ervin menggambar ulang sebuah lithograph karya M.C. Escher yang cukup tersohor: Drawing Hands (Gambar 1). Manusia menggambar dirinya sendiri untuk melengkapi dirinya sendiri.

Bagian kedua, GRUNGE, mengeksplorasi kekerasan, romantisisme anak muda, dan ruang-ruang kegalauan yang rumit. Cerita pertama di bagian ini, Binatang Jalang adalah sebuah cerita detektif-wartawan yang surreal. Berformat ‘seperti’ plot film tapi masih tetap dalam format sastra karena kemiskinan deskripsi dan kekayaan metafora. Tokohnya kembali Chairil Anwar dalam setting yang berbeda: Chairil sebagai pembunuh. Narasinya mengingatkan saya pada film-film David Lynch, Twin Peaks atau Mullholand Drive, dengan ruang-ruang dan motivasi-motivasi misterius, gadis-gadis aneh dan tokoh-tokoh gelap. Sebuah tragedi karena semua tokoh mati dengan motivasi tiada arti, gamang, nihil. Cinta dibawa pada titik ekstrimnya: hasrat narsistik aktif untuk memiliki cinta dengan membunuhnya. Id, keinginan untuk memenuhi kebutuhan, dikuasai super-ego, hasrat represif yang menginginkan mati.
Tema kematian dilanjutkan dengan Me, My Family, and The Death. Gaya narasi berubah: narrator utama menggunakan bahasa campur-campur Indonesia-inggris. Ceritanya sederhana, tentang sepasang kekasih. Si perempuan kena HIV dan si lelaki bersedia menikahinya justri setelah tahu. Pertemuan, pernikahan dan kematian. Si suami akhirnya kena HIV, ditandai dengan mimisan di akhir cerita, persis seperti istrinya. Ada potongan puisi tentang dua orang yang sepertinya anak muda tersesat dalam sebuah goa. Tesis kisah ini berkutat pada ketidakpedulian pada logika ketika kita berhadapan dengan cinta. Tema klasik Star-crossed Lovers, Romeo Juliet, yang menentang kenyataan dengan kenekatan.
Lalu cerita When the Music Over, yang hubungannya jelas dari lagu The Doors[4] juga bertemakan sepasang kekasih, Chartreuse dan Cyan, dua nama warna. Cyan adalah anggota Samantha School. Band Ervin di dunia nyata. Ia mati OD. Chartreuse terjebak di sebuah ruangan dan meratapi kematian kekasihnya yang lebih mencintai musik, drugs dan kawan-kawannya. Sindrom Jim Morrison atau Kurt Cobain dan ke’rock-star’annya. Sebuah sindrom yang menjangkiti banyak anak tahun 1990-an, yang menghabiskan hidup dengan impian-impian yang diberikan MTV. Impian anti-kemapanan, dari sebuah kebudayaan kapitalis yang super-mapan.
Karya berikutnya, Epitaph. Sebuah memorar kematian yang paradoksal tentang seorang wanita yang “anggun seperti tahi”. Aneh, menjijikan. Dekonstruksi makna ‘tahi’ yang disandingkan dengan anggun, berwibawa, dadanya besar, jarinya lentik. Tahi yang disandingkan dengan seorang kekasih. Tone di tulisan ini cukup jelas menyiratkan sebuah emosi atas penolakan. Paradoks hasrat percintaan dan kuasa yang tak sampai karena subjek, si Tahi yang Anggun itu, ternyata punya kebebasan memilih. Dan si penulis terobsesi dengan benci tapi cinta, seperti cerpen berikutnya dimana ia membawa obsesi itu lebih jauh dalam sebuah ciuman yang sadis:
Seorang Lelaki Berbau Kucing adalah karya post-impresionisme yang menyerempet realisme magis/surrealisme. Lelaki yang menunjungi seorang perempuan, menciuminya lalu mengunyah bibirnya. Lelaki yang selalu disayang seperti kucing, namun selalu licik seperti kucing juga. Selalu diterima tapi selalu menyakiti. Ketika berbicara soal kucing, saya tidak bisa tidak mengingat karya-karya Haruki Murakami. Yang pertama, Kafka on the Shore [5] dimana kucing-kucing yang biasanya disayang, diburu oleh seorang pembunuh berantai. Atau satu bagian di 1Q84, yang bercerita tentang seorang pengelana yang tersesat di kota Kucing, dengan warga kucing yang berkeliaran dan berpesta semalam suntuk. Ketika Murakami menggunakan kota Kucing sebagai peta terhadap dunia parallel 1Q84, Ruhlelana menyiratkan seorang lelaki berbau kucing yang asing, licik dan obsesif—datang dan pergi sesuka hatinya.

Bagian GRUNGE, untuk saya, mewakili kegelisahan generasi 90-an. Institusi keluarga hancur, konsumerisme baru menjadi trend, kemapanan ekonomi generasi angkatan 1970an menjadi tak berarti buat anak-anak mereka, drugs menjadi trend, MTV jadi agama. Yang menarik adalah bagaimana Ervin meramu semua topik ini dalam sebuah kerangka post-impresionisme. Post Impresionisme adalah sebuah aliran lukis yang berdasarkan objek nyata yang diinterpretasi ulang dengan persepsi pelukisnya sendiri. Berbeda dengan impresionisme yang melukis objek nyata dengan teknik sapu kuas yang memberi efek ‘blur’ sehingga pembaca masih bisa meraba bentuk dengan jelas karena komposisi warna masih mirip dengan objeknya (lihat lukisan Monet, Gambar 2), post-impresionisme mengambil objek kenyataan dan membuatnya berdasarkan persepsi si pelukis. Objeknya nyata, ada, tetapi cara melukiskannya sangat bergantung pada alam bawah sadar si pelukis dan bagaimana ia melihat dunia. Contoh paling mudah dan jelas adalah lukisan Van Gogh, The Starry Night (Gambar 3).

Van Gogh melukis malam berbintang dari kamar rumah sakit jiwa tempat ia dirawat. Perhatikan komposisinya: di bagian bawah ada desa yang sangat rapih terstruktur, tempat manusia-manusia tinggal: tempat yang begitu kaku dan sempit. Di belakang desa, alam terlihat lebih luwes dengan bukit-bukit landai dan meliuk-liuk, bebas dari sudut apapun. Pohon dan alam begitu bebas dan fleksibel. Alam tidak manusiawi. Namun yang paling mengesankan adalah langit. Van Gogh melihat kebebasan tanpa batas, sebuah kekacauan total, adukan-adukan alam semesta dalam supernova bintang-bintang. Post-impresionisme menunjukkan sebuah kondisi psikologis si seniman dalam melihat dunia, dan dunia Van Gogh jelas lebih kacau daripada dunia yang dilihat dari mata telanjang yang biasa—seperti dunia Ruhlelana.
Bersambung ke bagian ke III
Bagian I klik di sini.
[1] Lihat Clifford Geertz, “Deep fight: Notes on the Balinese Cockfight” dalam Interpretation of Cultures, Basic Books, 1973 dan Negara: The Theatre State in Nineteenth-century Bali, Princeton University Press, 1981.
[2] Mary Shelley, Frankenstein. Vintage Classic, 2009.
[3] CS. Lewis. The Chronicles of Narnia. Harper-Collins, 2001.
[4] The Doors, Strange Days, 1967.
[5] Lihat Haruki Murakami, Kafka on the Shore, Vintage, 2006 dan 1Q84, Vintage, 2013.
3 pemikiran pada “Badut Zarathustra dan Labirin Ruhlelana (Bagian II dari V)”