
Saya adalah badut Zarathustra yang melihat bayangan overman di ujung tiang yang saya tuju, saya sudah sangat dekat.
Bagian terakhir dinamakan ORKES, sebagai nama sekelompok orang Indonesia yang biasanya memainkan lagu melayu. Alat-alatnya dicampur-campur antara instrumen barat dengan perpaduan instrumen Asia, seperti kecapi Cina. Orkes sangat post-modern, sekelompok orang Indo bermain alat-alat dari kebudayaan lain, dan dengan interpretasinya membuat sendiri musik mereka. Pada bagian ini, Ervin menjadi Hommo Ludens, manusia yang bermain. Ia bermain-main dengan kata-kata yang berhubungan dengan seksualitas, benda-benda remeh temeh dari kehidupan sehari-hari seperti sabun colek dan obsesi terhadap baunya, serta folklore macam kuntilanak. Bagian ini sangat lokal, sangat Indonesia, komikal dan sangat surreal.
Kisah pertama, A Short About an Organic Vagina adalah sebuah cerita surreal Freudian. Penuh dengan kata-kata seksual yang gamang dan mengingatkan Pada Salvador Dali namun dalam versi yang lebih kasar. Surrealisme memang dibentuk berdasarkan hasrat pada seksualitas dan libido akibat pengaruh pemikiran Sigmund Freud di awal abad 20. Namun berbeda dari surreal yang biasanya memakai simbol-simbol yang bisa diinterpretasi secara seksual, kali ini kata-kata langsung kata-kata vulgar yang maknanya dibebaskan, hingga Vagina dipersonifikasikan menjadi tokoh utama bernama Nina. Surrealisme sangat terasa pada kisah ini karena kata-kata yang dipakai selain secara gamblang memperlihatkan seksualitas, juga menunjukkan setting yang hubungannya begitu jauh: Madangkara, seting kerajaan dari film-film silat Indonesia. Imaji-imaji ini bersatu dalam sebuah cerita yang aneh
Dalam kisah kedua, Sabun Colek, lagi-lagi hasrat dieksplorasi, kali ini dengan sebuah obsesi akan bau. Edgar Allan Poe pernah menulis cerita berjudul ‘A Tell Tale Heart’ tentang seorang pembunuh yang akhirnya membuka kedoknya sebagai pembunuh karena ia mendengar jantung korbannya, yang ia kubur di dalam lantai, berdegup.[1] Ketika polisi datang ke rumahnya, si tokoh utama yang awalnya mampu berbohong akhirnya menyerah akibat suara degup jantung yang mengganggunya di dalam kepanya. Poe adalah sastrawan Romantisisme, yang juga terpengaruh psikoanalisis dan psikologi dalam karya-karya. Dalam Sabun Colek, Ervin menggambarkan obsesi yang benar-benar absurd: dalam bentuk bau sabun colek. Atmosfir E.A. Poe sangat terasa tapi dalam wacana lokal komikal. Ketika romantisisme mengeksplorasi hasrat akan seksualitas dan libido, cerita Sabun Colek malah kebalikannya: bau sabun colek dari kekasih sang narrator menginterupsi libido dan seksualitasnya, hingga membuat si narrator utama membayangkan hal-hal lain yang membuatnya ‘turn off’.
Kisah selanjutnya masih bertemakan bau. Serangan Pheromone bercerita tentang percintaan karena bau. Pheromone adalah cairan kimia yang dilepaskan tubuh dan dapat merangsang respon sosial di antara spesies yang sama. Dalam cerita ini, Pheromone adalah bau asli tubuh manusia. Di sini ada bagian keren soal interpretasi bau secara sosial dan bagaimana ia mempengaruhi manusia secara geografis. Beda tempat beda persepsi. Hanya gara-gara bau seorang perempuan hendak mencium lelaki yang tidak dikenalnya. Cerita ini mengingatkan saya pada sebuah film berjudul Perfume: The Story of a Murderer, karya sutradara Tom Tykwer yang bercerita tentang obsesi seorang Jean-Baptiste Grenouille untuk membuat parfum dari perempuan-perempuan cantik: ia membunuh mereka satu persatu dan mengambil sari tubuh mereka, seperti memeras wangi dari bunga. Grenouille meramu wangi dari 12 perempuan cantik yang membuat ketika ia memakai parfum yang ia buat itu, ia bisa menguasai siapa saja, seperti nabi. Dan ketika ia menyebarkan wanginya, semua orang langsung bersenggama beramai-ramai sangking kuatnya pheromone dari parfum tersebut. Hingga akhirnya, Grenouille mati dimakan semua orang di pasar setelah ia menyiram seluruh isi parfumnya, seperti Yesus yang memberikan daging dan darahnya kepada murid-muridnya di dalam perjamuan terakhir. Kisah Serangan Pheromone tentunya lebih sederhana, seorang perempuan yang tertarik pada pheromone seorang lelaki. Kisah yang satu ini mirip dengan esei-prosa pada bagian Jazz, hanya eseinya lebih nyeleneh dan ceritanya lebih banyak.
Tidur Dengan Kuntilanak adalah cerita ketiga dari bagian ini. Saya tidak tahu hendak memberikan label apa pada kisah ini, karena hubungan semantik yang kacau balau, seperti membaca sebuah puisi. Di beberapa bagian, kisah ini adalah komedi yang sangat absurd. Si tokoh utama tidur dengan Kuntilanak yang bernama si Neng. Di dalam cerita ini terdapat imaji-imaji aneh yang sesungguhnya cukup akrab untuk orang Indonesia: Kuntilanak dengan bekas paku di kepalanya, pemakan manusia, bayi-bayi, kebiasaan Kuntilanak untuk nangkring di antara pohon pisang, namun mitos ini diperlakukan sebagai teks saja dan diobrak abrik sebebas-bebasnya dan dicampur dengan diksi-diksi yang sifatnya personal. Diksi-diksi ini sesungguhnya tidak asing untuk orang Indonesia. Namun relasinya dengan tokoh aku yang mencampurkan hubungan persenggamaan gaibnya itu dengan berbagai macam hal sehari-hari yang detilnya tidak pernah kita perhatikan dalam kehidupan nyata seperti “pedagang pasar yang membawa sampah Indomie berbau bangkai tepung.” Bangkai tepung adalah sebuah frasa yang metaforis, karena tepung sudah darisananya benda mati. Tepung adalah bangkai gandum. Maka bangkai tepung adalah bangkainya bangkai gandum. Begitu sulit untuk dipikirkan, namun saya akan mencoba melanjutkan analisa ini ke cerpen berikutnya dengan harapan terdapat petunjuk-petunjuk lain.
Ternyata cerpen selanjutnya, Tersedak Duri Ikan Asin lebih memusingkan (jika dipikirkan). Ia adalah puisi berbentuk prosa. Dongeng-dongeng abstrak berisi diskategori kata, personifikasi atas diksi-diksi yang tak jelas, pelanggaran aturan bahasa. Imaji-imaji yang berusaha menceritakan seorang putri yang terjebak laba-laba lalu dibuahi dan perutnya pecah dengan isi anak laba-laba, matahari yang bersenggama dengan lele, sungguh absurd.
Seekor labah-labah gemuk menabuh seperangkat
drum dan alat sembahyang.
Ada mantra-mantra kuno berbisik dari mulut seorang
puteri terbungkus linen ketat.
Sebuah mantra penolak bala dan kematian, mantra
segar berbau jeruk.
Labah-labah meneguk es jeruknya yang tak lagi dingin
sekali lagi, lidahnya bergidik asam seperti tadi.
Fiksi Benang Merah (185)
Kisah ini mengingatkan saya pada kisah lain, sebuah dongeng dari sebuah bangsa yang hampir punah namun tetap bertahan dengan dongeng-dongengnya:
Thought-Woman, the spider,
named things and
as she named them
they appeared.
She is sitting in her room
Thinking of a story now
I’m teling you the story
She is thinking
(Ceremony, hal 1)
Perempuan-pikiran, si laba-laba
menamakan hal-hal dan
ketika ia menamakan
mereka muncul
Ia duduk di kamarnya
memikirkan sebuah cerita
Aku menceritakan cerita
yang ia pikirkan[2]
Potongan dari buku Ceremony karya Lesli Mormon Silko adalah puisi liris yang merupakan turunan dongeng-dongeng lisan orang Indian Pueblo. Seperti narasi di Tersedak Duri Ikan Asin, narasi dalam puisi-puisi dalam novel Ceremony pun penuh dengan alegori-alegori dan metafora yang asing tentang kehidupan Indian Pueblo yang tanah dan budayanya direnggut oleh kolonialisme. Potongan yang saya ambil adalah pengantar di halaman pertamanya, yang paling jelas dan sederhana. Ceremony bercerita tentang seorang Indian Pueblo bernama Tayo yang sakit misterius sepulang dari perang pasifik. Tidak ada seorang dukunpun di daerah konservasi yang bisa menyembuhkannya, karena walaupun ia anak seorang wanita Pueblo, bapaknya tidak jelas siapa dan apa rasnya. Akhirnya yang bisa menyembuhkannya adalah seorang dukun bernama Bethonie, Indian bermata biru, dengan mantra post-modern yang memakai kata-kata baru, hybrid antara tradisi dan modernisme.
Dari sini saya menemukan kunci untuk memaknai bagian Orkes. Namun sebelum saya sampai ke pemaknaan secara struktural bagian ini, satu bonus track yang tertinggal harus terbahas. Sebuah bonus track yang nantinya akan mengokohkan argumen saya.
Cerita terakhir, A Tribute to Enny Arrow (Bonus Track) adalah deskripsi seksualitas. Sederhana dan metaforis, ini adalah kisah tentang seksualitas yang dibumbui berbagai macam majas, seperti dalam cerpen A Short about Organic Vagina di permulaan bagian ini. Perbedaannya, tidak ada yang surreal di dalam cerita ini. Persenggaman luar biasa di dalam dunia rekaan adalah hal yang biasa. Namun cerpen ini menjadi penting ketika kita ingin menganalisis keseluruhan bagian Orkes.
Ada tiga cara pandang untuk membahas bagian terakhir ini: Post-Modernisme, Psikoanalisis, dan Surrealisme. Dari sisi post-modernisme kita bisa melihat bagaimana elemen-elemen tematis dari kehidupan Ervin dan referensinya dicampur aduk dalam sebuah melting pot. Indonesia, sebuah bangsa yang tak punya akar budaya yang jelas memang paling jago memodifikasi dan menjadikan hal-hal asing menjadi miliknya. Kita tidak menciptakan hal-hal baru, kita membuat Frankenstein dari pengetahuan, teknologi dan kebudayaan asing. Elemen post-modern ini ada dengan jelas di semua tulisan pada bagian Orkes ini. Dalam dunia lukis, kita bisa menemukan ini dalam neo-impresionisme dari Affandi. Guratan-guratan kuas yang khas dari Affandi tidak hanya menggambarkan kembali objek lukisannya seperti yang dilakukan Monet, atau menggambar objek dari cara pandak subjektif pelukisnya seperti yang dilakukan oleh Van Gogh, tetapi lebih dari itu: Affandi juga bermain simbol.
Cara pandang kedua adalah psikoanalisis, khususnya psikoanalisis Freudian klasik. Kenapa Freudian klasik? karena keseluruhan cerita di dalam bagian terakhir ini berkenaan dengan libido seksual. Inti dari psikoanalisis Freudian adalah seks. Bahkan interpretasi Freud atas mimpi pun selalu berujung pada hasrat seksualitas. Namun perlu ditekankan bahwa apa yang dimaksud sebagai seks oleh Freud tidak semata-mata alat kelamin. Seks adalah pemenuhan kebutuhan secara fisik, melalui rangsangan-rangsangan yang menimbulkan kenikmatan baik itu sentuhan, bau atau kelamin. Pendekatan ini bisa dipakai untuk melihat kesemua cerpen di bagian ini.
Cara pandang ketiga adalan surrealisme. Seperti yang telah sedikit dibahas, surrealisme adalah aliran yang hadir akibat berkembangnya psikoanalisis Freudian. Ia bergerak dalam ranah hasrat dan mimpi, sehingga surrealisme kebanyakan adalah gabungan-gabungan dari tanda-tanda di dalam alam bawah sadar. Jadi dalam interpretasi psikoanalisis Freud terhadap karya-karya surrealist, kita akan menemukan bahwa intinya adalah seksualitas. Namun surrealisme bisa juga dilihat dengan psikoanalisis yang lebih kontemporer. Psikoanalisis Lacan, misalnya, yang melihat hasrat bukan sekedar seksualitas tetapi keinginan narsistik untuk memuaskan dan membentuk diri sendiri secara kreatif. Dalam cara Lacan, maka dunia imajiner yang dibangun Ervin bukan sekedar pemenuhan hasrat seksual, tetapi menjadi pembangunan identitas dan kenyataan subjektif yang terus berproses, dikonstruksi, dekonstruksi dan direkonstruksi. Kata-kata dilepaskan dari maknanya seperti lukisan surrealis terkenal karya Magritte di bawah ini:

Tulisan berbahasa Perancis itu berarti “Ini bukan Sebuah Pipa”. Lukisan ini disebut surrealisme karena keterangan yang diberikan oleh kalimat itu. Lukisan ini memang bukan pipa tembakau. Ia adalah lukisan, representasi, yang mana maknanya tergantung pada referensi dan konteks pemaknaan. Surrealisme bertujuan utama untuk membebeaskan manusia dari kesadarannya sehari-hari dan masuk ke dalam alam bawah sadarnya, dunia representasi, dunia simbol, yang sangat ambigu dan multiinterpretatif. Lukisan ini, seperti karya-karya surrealis lainnya, juga memperlihatkan bentuk-bentuk ‘libidinal’ dan ‘seksualitas’, yaitu dari eksplorasi lekuk dan warna. Anda bisa bandingkan dengan lukisan lain oleh Salvador Dali (Gambar 8), yang kurang lebih memiliki unsur ‘bawah sadar’ yang sama.

Intinya, bagian Orkes ini menyimpan hasrat-hasrat narsistik Ruhlelana yang menurut budaya barat adalah yang paling ‘savage’, liar dan tak terkontrol. Berbeda dengan bagian Jazz, Grunge atau Blue, Orkes adalah otentik ‘Indonesia’. Sangat lokal, dan dibalik kerumitan simbolisasinya sesungguhnya sangat sederhana, dan tidak perlu (atau tidak mungkin) digapai logika barat. Logika untuk mengerti bagian ini adalah logika lokal, logika tribal, seperti orang-orang Indian Pueblo yang mengikuti kemana pun arah cerita didongengkan. Tidak ada daya kritis di situ, yang ada hanyalah hasrat, siksaan, lalu katarsis dan purifikasi jiwa.
Bersambung ke bagian ke V
Lihat bagian I, II, dan III.
[1] Edgar Allan Poe, “A Tell Tale Heart.” Dalam The Complete Works, Nabu Press, 2010.
[2] Leslie Marmon Silko. Ceremony. Penguin Books. 1986.
2 pemikiran pada “Badut Zarathustra dan Labirin Ruhlelana (Bagian IV dari V)”