Memoir, Racauan

Kepengecutan adalah insting bertahan hidup

Pada dasarnya, kita semua pengecut. Dan dalam kepengecutan kite menemukan kehidupan. Kita berhenti sebentar dan bersembunyi dari apa yang kita takutkan. Mencari cara biar kita bisa selamat, mengikuti insting bertahan hidup. Pertanyaannya apakah kepengecutan adalah insting bertahan hidup?

Fear fight flight fuck, adalah empat f yang terdapat di amygdala kita, bagian otak yang juga disebut otak kadal. Tapi perkembangannya sangat kompleks dan dipengaruhi oleh faktor internal seperti genetika dan hormon, juga faktor dari luar seperti posisi geografis, keluarga, parenting, kawan-kawan, pendidikan dan referensi dari buku, social media, dan sobat AI. Mungkin untuk lebih menyempitkan diskusi ini, kita bisa bicara tentang generasi baru di kota hari ini, yang lahir sebagai digital native, penuh dengan masalah penyakit mental, mudah patah, suicidal, dan sering bingung.

Bayangkan kalau kamu adalah digital native yang sejak kecil sudah terpapar internet. Social media menjadi kawan yang lebih dekat dari kawan dekat. Impian-impian dan trend pikiran orang dikonsumsi dengan rakus, tanpa henti, addiktif, manipulatif dan kamu lupa bagaimana caranya untuk jadi kontemplatif. Semua informasi massif membuat seakan segalanya permisif.

Yang terjadi adalah banyak eksistensial krisis yang membuat banyak orang menjadi narsis, atau nadinya ingin diiris, atau gabung dengan ISIS. Dan kita jadi kecut terhadap kehidupan. Mencari cara untuk berani menghadapi masalah dan mengambil keputusan. Untuk bicara yang kita percaya saja sulit karena kita sendiri seringkali tidak percaya diri.

Maka dalam kepengecutan kita mengorbankan sahabat, atau orang yang kita tahu sayang pada kita hanya karena kita pengecut untuk bilang bahwa kita tidak bisa membantu, atau kita perlu pergi. Hari ini kebanyakan orang memilih hilang daripada pamitan, patah daripada tumbuh.

Nietzsche bilang dalam the Genealogy of Moral, bahwa yang baik adalah menjadi berani. Tapi semakin hari ramalan-ramalan Nietzsche semakin jauh dari kenyataan aksi reaksi logisnya. Agama selalu relevan dan orang semakin pengecut. Manusia sudah sampai ke titik nadirnya, dan overman tetap menjadi impian saja.

Saya sendiri bahkan takut untuk mengakhiri tulisan racauan ini, karena akhirnya seperti tidak bisa kasih simpulan, tidak ada penutup yang sopan, lingkaran sempurna. Yang ada hanya sebuah kerinduan akan diri-diri yang lebih berani menerima kenyataan pahit, lebih berani hidup dan berjuang. Tentunya itu pasti ada di luar sana. Keberanian hadir ketika kekhawatiran dikalahkan nafas, niat, dan tindakan logis. Keberanian bukan kenekatan. Tapi seperti kebahagian, ia jarang. Kebanyakan orang takut, pengecut, dan akhirnya nekat saja. Ecce hommo!

***

Tulisan ini otentik racauan saya. Jika kamu suka yang kamu baca, boleh kiranya traktir yang menulis kopi dengan menekan tombol di bawah ini. Terima kasih sudah membaca.

Filsafat, Politik, Racauan

Kar(l)ma(rx)

Photo by 🇮🇳Amol Nandiwadekar on Pexels.com

Kita takut karma, ketika dosa yang kita lakukan kembali kepada kita, maka kita berusaha menjadi orang baik. Namun pengalaman mengajarkanku bahwa tanpa karma pun, shits happen. Dosa orang bisa kita tanggung, hutang orang bisa kita yang harus bayar, orang lain yang membuat berantakan bisa kita yang harus bereskan. Hidup seperti perkerjaan menanggung kerusakan orang yang tidak ada habisnya. Hidup adalah kumpulan karma yang seringkali tidak ada hubungan sebab akibat.

Photo by Alexander Krivitskiy on Pexels.com

Maka itu, Karma bukanlah wanita jalang seperti kata orang hippie Amerika. Karma adalah sebuah mitos, dan mitos, seperti kata Roland Barthes, adalah sebuah petanda yang sudah terlalu jauh hubungannya dengan penandanya; mitos adalah sebuah konotasi yang sudah ngejelimet dan nyasar, sebuah simbol dari simbol yang seringkali diawali dengan sesuatu yang sebegitu personal dan diakui sebagai universal. Seperti gagak petanda buruk, ketiban cicak petanda sial, atau sirik petanda tak mampu. Padahal kita semestinya tahu, gagak adalah ada petanda burung berwarna hitam yang berteriak gaak gaak, ketiban cicak petanda cicak bisa melompat, dan sirik petanda kesenjangan kelas.

Di poin yang ketiga inilah maka Karl Marx lebih masuk akal daripada Karma. Karena Karl Marx berusaha mengkritisi dialektika sebab-akibat adanya eksploitasi dan kesenjangan kelas, sementara karma berusaha menjelaskan kesenjangan kelas dari dosa-dosa baik di kehidupan ini atau (ini yang parah) di kehidupan masa lalu. Karl Marx berusaha membongkar kelas-kelas sosial; karma menjadi dasar kelas sosial paling parah sepanjang sejarah kelas manusia: kasta. Terlahir sudra akan mati jadi sudra, terlahir brahmana akan mati brahmana–dan dalam kehidupan, darma baik dan buruk diharapkan dapat menjadi karma di kehidupan mendatang.

Tapi sayang sungguh sayang, saya sendiri suka sulit menghindari pikiran soal Karma. Dosa dan agama sudah jadi bagian dari keseharian yang merasuk ke alam bawah sadar dan, akhir-akhir ini, menjadi semacam penyelamat dari penyakit kejiwaan yang saya derita. Kata Marx mengembangkan buah pikiran Fuerbach, agama adalah candu. Dalam konteks kota kapitalis ini, saya jadi atheis yang praktikal: tidak percaya Tuhan sebagai entitas personifikasi, tapi beritual dan berspiritualitas pada energi besar yang mengendalikan alam semesta semau-maunya dia. Melepaskan ilusi kontrol dan rencana-rencana besar, dan mulai fokus pada rencana-rencana kecil saja yang saya rencanakan punya efek baik, dari mulai membiayai pemuda desa kuliah, sampai menyelenggarakan workshop gratis yang memberikan skill tambahan untuk anak-anak muda perkotaan yang galau mau jadi apa.

Jadi apa saya percaya karma? Tidak. Apa saya takut akan karma? Ya! Lah kok bisa takut pada sesuatu yang tidak kamu percaya? Lah kenapa tidak bisa? Coba, berapa banyak orang yang ngaku Atheis tapi pas pesawat yang ditumpanginya mau jatuh dia berdoa? Berapa banyak yang mengaku saintifik tapi takut pada kecoak atau ulat bulu?

Mitos dan cerita-cerita ini menyatukan kita sebagai manusia, membuat kita menjadi spesies paling berkuasa di dunia. Mitos dan cerita-cerita begitu kuatnya, ia membentuk sistem ekonomi, strata sosial, dan dapat membunuh lebih banyak orang daripada senjata nuklir. Mitos dan cerita-cerita menghidupkan dan mematikan kemanusiaan kita. Maka Karl Marx boleh berdialektika semacam apapun, Nietzsche bisa bilang Tuhan telah dibunuh para penganutnya seperti apapun, namun mereka semua pada akhirnya terkena Karma: yang satu jadi hantu karena ideologi yang dibuatnya menjadi pondasi paling kuat kapitalisme hari ini; dan yang satu lagi meninggal di rumah sakit jiwa karena kegilaan. Mereka berdua kena Karma. Salah apa mereka? Lah, tidak tahu, mungkin dulu sempat menjadi kapitalis busuk, atau jangan-jangan salah satu dari mereka pernah menjadi kecoak yang meracuni keluarga terakhir homo denisovans hingga punah.

Tidak ada yang tahu kebenaran sebuah mitos, kecuali sebuah mitos lain yang belum tentu pula kebenarannya—mitos apa itu? Coba pikirkan sambil beribadah hari ini.

Photo by rawpixel.com on Pexels.com

Anthropology, Ethnography, Filsafat, Kurasi/Kritik, Politik, Racauan

Phronemophobia Indonesia

 

imrs

Phronemophobia adalah ketakutan untuk berpikir. Tulisan ini akan memaparkan pengamatan saya tentang hal-hal yang seringkali takut dipikirkan orang Indonesia di sekitar saya–yaitu kaum kelas menengah kota dan para pengambil kebijakan. Saya punya hipotesa mentah (artinya butuh penelitian lebih lanjut), bahwa akar kebijakan yang stereoptipikal dan kekerasan baik verbal ataupun fisik dalam dunia sosial masyarakat Indonesia adalah karena banyak orang yang terjangkit Phronemophobia. Penyakit ini hadir karena kombinasi dua hal yang paling krusial dalam masyarakat Indonesia: Agama dan Kapitalisme. Phobia seperti psikosis lain, adalah penyakit karena ia menghalangi orang untuk bekerja dan menggunakan otaknya dengan baik dalam kehidupan sehari-hari. Dan seperti banyak psikosis juga, ini sulit disembuhkan kecuali dengan kontrol dari si penyakitan itu sendiri terhadap egonya. Bisa jadi, penyakit ini ia bawa sampai mati.

Baca lebih lanjut