Aku terbangun terkena silau cahaya rembulan
Entah sudah berapa lama aku terbaring di goa ini
Punggungku sakit, mungkin beberapa rusuk patah
Suaraku hilang,
Aku haus…
Aku ingin air…
Ada tetesan yang terdengar, menggaung di udara
Tik…
Tik…
Tik…
Aku berusaha bangun dan membawa tubuhku yang rapuh
Yang bergeser adalah luka-luka di dalam luka
Tik…
Tik…
Tik…
Aku mengikuti kemana arah tetesan
“Ke sini…” Kata sebuah suara
Terjebak di goa yang sama
Tik…
“Ke sini…”
Tik…
“Minumlah…”
Tik…
Aku menegak tetes demi tetes air
Yang jatuh dari stalaktit
Tawar tapi tajam rasanya
Setajam langit-langit
Aku pandangi langit-langit
Jutaan tahun menetes
“–sekarang kau bisa mendengar dan melihat kami”
Pusaran waktu
Pusara tanpa
Nisan batu
terkandung
di dalam setiap tetes
Seorang wanita
yang kehilangan suami
Seorang pria
yang kehilangan istri
Seorang anak
yang kehilangan orang tua
Satu pusara tanpa nama
mengandung jutaan nyawa
yang terbuang percuma
Aku masih menegak
setiap tetes demi tetes
dan luka-luka di tubuhku
menutup dan sembuh
Kekuatanku kembali
sakit kubawa berdiri
Kurasa aku bisa lari
karena menegak air
Kehilangan
Air pengetahuan tentang mereka
yang tinggal nama, kenangan
dan ketidakjelasan
Kesakitan jatuh ditukar
kekuatan kesadaran dan dendam
kesumat pada waktu dan rezim membeku
Aku akan memanjat ke luar
menuju cahaya rembulan
dan kuteriakan setiap nama
dari tetes yang kutelan
New York – Washington DC, 20-22 Januari 2016