Cinta, Perlawanan, Puisi, Uncategorized

Pergi

Ia sudah lupa untuk pamit
pada kedua orang tuanya
karena terlalu sering pergi
katanya membela negara

Dari negara

Itu 17 tahun yang lalu, ingat emaknya
hari ini dialah negara, pahlawan berjasa
Mantan demonstran, turunkan penguasa
dulu bela negara, kini petugas negara

Dulu Ia kasar dan beringas
ia bilang, ia juga heran kenapa
ia bertahan tidak diculik, dibunuh,
atau ditembak, dibuang di selokan
padahal soal menghina, ia paling depan

Sementara kawan-kawan lain
yang seringkali lebih santun
tiba-tiba raib oleh intel dan tentara

Cuma karena kritik, puisi, dan gurauan mereka mati
Sementara ia, hidup hanya dengan mencaci-maki

Hari ini ia terpandang, buat undang-undang
mewakili entah siapa yang ia bilang ia wakili

Kawan-kawannya sudah lama pergi
ada yang mati, ada yang kembali
ke keluarga dan emak-bapaknya
menebus dosa karena bela negara
seringkali membuat durhaka

Sementara itu yang ada padanya
adalah pengepul dapur rumah tangga
beberapa seperti dirinya, bekas serigala lapar
yang kini menghamba jadi anjing rumahan

Bahkan sebagai anjingpun
pahlawan kita tetap durhaka,
tetap perkasa membela negaranya
dari mereka yang dulu ia bela

Negaranya, presidennya, menterinya
partainya dan proyek-proyeknya
melawan jutaan orang yang suaranya
serak dan santun meminta haknya

Kawanannya kembali ke kampung
terus bersama mereka yang dulu dibela
sejak mahasiswa sampai sudah kerja
karena hak asasi tak jua terbagi rata

Dan ia tetap pergi, tak mau pulang
katanya untuk membela negara
dari kebodohan rakyatnya
yang dulu ia bela

 

Washington DC, Februari 2016

Perlawanan, Puisi

Interupsi Pidato, Interupsi

Mari kita lupakan yang sudah berlalu
segala pembunuhan, pembantaian, penculikan
itu adalah bagian dari perkembangan peradaban kita

Negara-negara besar bisa besar karena genosida
suku Asli Amerika, Armenia Turki, Yahudi Jerman
biarkan saja mereka semua mati dan hilang
itu adalah bayaran atas peradaban

Jika kau memaksa agar mereka tetap diingat
apa kau mau mengingat pembantaian di Mesopotamia
serangan yang menghabiskan Babylon dan menara gadingnya

Apa kau mau menghitung pembantaian yang dilakukan
suku Maya pada orang rimbanya sebelum orang Eropa datang

Lepaskanlah, lupakanlah
mari kita songsong jaman baru
mari kita bangun peradaban ini
bersama menuju—

Pak

Ya?

Saya tidak kenal orang-orang yang bapak sebut 
tapi bapak sudah membunuh saudara
dan kawan-kawan saya

Lalu

Ya minimal saya pengen semua orang tahu
kalau bapak bukan orang baik dan tidak
semestinya berkuasa

Waktu saya menculik dan membunuh dulu
itu adalah demi kebaikan bersama
itu bukan dosa
bukan!

Terserah bapak tapi bapak sudah
menculik dan membunuh
orang tak bersalah

So?

Saya mau bilang itu berulang-ulang
sambil berdiri di sini

Buat apa?
Saya tak lihat saya tak dengar kok

Kau sudah menculik dan membunuh
orang-orang tak bersalah

Kau sudah menculik dan membunuh
orang-orang tak bersalah

Kau sudah menculik dan membunuh
orang-orang tak bersalah

Kau sudah menculik dan membunuh
orang-orang tak bersalah

Kau sudah menculik dan membunuh
orang-orang tak bersalah

— Dan si orator tetap tidur nyenyak di malam hari, dengan bisikan-bisikan itu.

Alam, Eksistensialisme, Perlawanan, Puisi, Uncategorized

Jiwa-Jiwa Yang Mati Sia-Sia

Jiwa-jiwa yang mati sia-sia
apa cerita yang bisa kita tapa

Semua yang telah direnggut paksa tak akan ada yang kembali jua
lalu perjuangan ini buat apa selain buat nanti di sebuah masa

Jiwa-jiwa yang mati sia-sia
siapa mereka kita sudah lupa

Semua yang telah terbawa sungai arwah menuju ekor ular
yang dia makan sendiri dan terdaur dalam sungai waktu

Jiwa-jiwa yang mati sia-sia
kenapa harus kita kenang

Semua harus tercatat dan terbahas kita daur ulang dalam karya
agar semu selalu ingat bahwa di sisik-sisik ular ada nyawa-nyawa

Jiwa-jiwa yang mati sia-sia
bagaimana caranya bermakna

Semua boleh terlupa tetapi air sungai yang mengalir tidak boleh sama
sisik ular yang terdaur harus lebih berwarna hingga kiamat tiba

Alam, Eksistensialisme, Perlawanan, Puisi, Uncategorized

Terjebak di Goa Kehilangan

540

Aku terbangun terkena silau cahaya rembulan
Entah sudah berapa lama aku terbaring di goa ini
Punggungku sakit, mungkin beberapa rusuk patah
Suaraku hilang,

Aku haus…

Aku ingin air…

Ada tetesan yang terdengar, menggaung di udara

Tik…

Tik…

Tik…

Aku berusaha bangun dan membawa tubuhku yang rapuh
Yang bergeser adalah luka-luka di dalam luka

Tik…

Tik…

Tik…

Aku mengikuti kemana arah tetesan
“Ke sini…” Kata sebuah suara
Terjebak di goa yang sama

Tik…
“Ke sini…”
Tik…
“Minumlah…”
Tik…

Aku menegak tetes demi tetes air
Yang jatuh dari stalaktit
Tawar tapi tajam rasanya
Setajam langit-langit

Aku pandangi langit-langit

Jutaan tahun menetes
“–sekarang kau bisa mendengar dan melihat kami”

Pusaran waktu
Pusara tanpa
Nisan batu
terkandung
di dalam setiap tetes

Seorang wanita
yang kehilangan suami

Seorang pria
yang kehilangan istri

Seorang anak
yang kehilangan orang tua

Satu pusara tanpa nama
mengandung jutaan nyawa
yang terbuang percuma

Aku masih menegak
setiap tetes demi tetes
dan luka-luka di tubuhku
menutup dan sembuh

Kekuatanku kembali
sakit kubawa berdiri
Kurasa aku bisa lari
karena menegak air

Kehilangan

Air pengetahuan tentang mereka
yang tinggal nama, kenangan
dan ketidakjelasan

Kesakitan jatuh ditukar
kekuatan kesadaran dan dendam
kesumat pada waktu dan rezim membeku

Aku akan memanjat ke luar
menuju cahaya rembulan
dan kuteriakan setiap nama
dari tetes yang kutelan

New York –  Washington DC, 20-22 Januari 2016