Uncategorized

Melindungi Ruang Absurd Bernama Idealisme

oliver-goldsmith-poet-every-absurdity-has-a-champion-to-defend

Seorang saudara saya yang pernah datang ke pementasan Teater Sastra UI, bertanya, “Lu latihan dan akting kayak gitu dibayar berapa bray? Itu panggung dan kostumnya mewah banget, lu dibayar lumayan gede ya?”

Saya jawab, “Gue dibayar ilmu dan cinta, kalo lu nanya soal duit, NOL–kecuali bikin jaringan temen, sodara dan mantan pacar. Hahaha”

Saudara saya itu seorang pedagang perjuangan yang menjadi breadwinner untuk keluarganya. Karena itu dia kaget ketika tahu bahwa kerja keras saya di Teater adalah kerja pro bono. Logika itu sama sekali tidak bisa ia mengerti. Terlebih lagi, ketika saya menjelaskan berapa uang yang keluar untuk produksi dan berapa semestinya uang untuk menyewa gedung, ia langsung bilang bahwa kami adalah sekumpulan orang gila pembuang uang.

Tentu saja itu bukan kali pertama kegiatan pro-bono saya dipertanyakan. Sepanjang hidup yang seperempat abad lebih ini, beberapa kawan dengan semena-menanya menganggap saya cukup kaya untuk melakukan hal-hal ‘pengabdian’ sehingga seperti tak perlu-perlu amat meniti karir dan mencari uang. Main teater, menulis, membuat musik, membuat film, membuat workshop, membuat diskusi, tanpa dibayar malah beberapa kali saya yang nombok. Buat apa? Bukannya itu artinya kamu sudah kaya?

Merasa Kaya

Ya, saya harus mengakui memang saya merasa kaya. Sekaligus sangat miskin dan haus. Saya merasa saya ingin berbagi dengan orang-orang, tapi bukan berbagi uang. Berbagi ilmu, keresahan, cinta, dan kehidupan seperti memberi makan jiwa saya dan memberikan semacam arti kalau saya ada dan berguna. Dalam proses berbagi ini juga memberikan saya banyak pelajaran dan pengalaman yang tidak ada habis-habisnya. Jauh lebih berguna daripada hanya mencari dan memberi uang. Hasilnya, secara ekonomi saya memang sering morat-marit, menyusahkan orang lain. Tapi saya toh merasa jadi akrab dan mesra dengan orang yang saya susahkan. Toh, orang lain juga sering menyusahkan saya seperti datang malam-malam untuk diskusi skripsi, atau sekedar curhat soal bisnis gagal, asmara terpenggal, atau modus main ke rumah saya untuk menggoda mbak-mbak seksi penjaga warkop seberang rumah saya yang sudah bersuami tapi suaminya jarang di rumah itu.

Karena saya berasal dari kelas menengah kota di Jakarta, dan kebudayaan saya masih sangat menghargai nilai kekeluargaan, maka saya akan selalu aman secara politik-sosial-finansial. Sama lah seperti Marx atau Nietzsche atau Freud di masa perjuangannya. Dan saya tidak punya ego sebesar Kierkegaard atau Peirce yang sampai jadi gembel karena mengasingkan keluarga, kekasih dan teman-teman demi kebenaran yang mereka percaya–itu penyakit melankoli anak filsafat saja. Di titik ini, pengetahuan soal antropologi dan sosiologi menyelamatkan saya. Saya jadi sadar benar posisi sosial-politik saya dan merasa bahwa semiskin-miskinnya saya, sesakit-sakitnya saya, akan ada yang bantu. Seperti juga saya akan membantu saudara saya yang miskin dan sakit.

Idealis Masalah Keberadaan

Intinya, saya menemukan bahwa justru keberadaan saya hari ini adalah keberadaan paling baik dan cocok untuk jadi idealis. Otak saya tidak stabil alias selalu meledak-ledak, saya haus akan bacaan, tontonan, dan musik, saya haus pengalaman, saya senang berbagi, dan posisi ekonomi-sosial-politik saya adalah kelas menengah ngehe. Ini privilise! Kalau saya tidak idealis dengan posisi semacam ini, saya mungkin bisa gila.

Saya tidak bisa menjadi orang yang kerja jam 9-5 sore, di kantor, gaji stabil, hasil karya tidak ada nama saya adanya nama perusahaan, rutinitas, aduh… Nyerah saya. Saya sudah pernah melakukan itu dan berakhir di rumah sakit. Mencari uang banyak tidak ada gunanya kalau tujuannya cuma biar aman dan kaya. Yang membuat hidup saya bahagia, saya akui, adalah ketika saya kerja keras mencari uang untuk menghabiskannya dalam film, musik atau teater, yang bagus tidaknya tergantung takdir. Seperti Marlon Brando, membuat seni adalah taruhan karena saya tak pernah tahu apakah hasilnya akan bagus atau tidak. “You never know when you’re good.”

Simpulan

Jadi jawaban untuk pertanyaan kenapa saya melakukan semua ini, semua yang tidak ada keuntungan finansialnya ini, sangatlah sederhana. Saya berusaha membuat ruang-ruang kebebasan untuk saya dan untuk orang-orang di sekitar saya, agar bisa menjadi manusia yang seutuhnya, yaitu manusia yang mencipta dan dicipta, yang saling bertukar ide dan membuat ide, manusia yang produktif yang menstimulasi produktifitas manusia lain. Bukan cuma yang mengkonsumsi dan membuat sampah.

Jadi kalian akan terus melihat karya-karya saya ke depannya. Ketika menulis ini saya sedang menunggu renderan video klip Wonderbra. Sudah ada konsep juga untuk membuat dua video klip lain dan sekitar 30 video untuk website Jakartabeat. Dibayar? Oh iya, dengan ilmu dan cinta.

Tabik!

 

 

 

 

 

10 pemikiran pada “Melindungi Ruang Absurd Bernama Idealisme

  1. Nosa, I think I’m saved. Thanks a lot for writing this.
    Menyesal baru sekarang bener2 baca isi blog lo 😁

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.