
Saya mengaku muslim. Tapi bukan muslim yang baik. Solat masih jarang-jarang, tapi berzakat lumayan teratur (diingetin nyokap). Puasa masih bolong-bolong (tapi diitung buat dibayar belakangan kalo ada umur). Saya juga sudah berhenti solat Jum’at di mesjid Indonesia. Terakhir kali solat Jumat di Indonesia sekitar 4 atau 5 tahun yang lalu, saya ingat saya Walk Out dengan kesal, nggak tahan dengar setan yang jadi khatib.
Terakhir kali saya Solat Jum’at adalah di World Bank, Washington DC awal tahun ini. Kuil kapitalisme, dimana Tuhan kebanyakan orang disembah hari ini: DUIT. Di sana saya shalat dengan muslim-muslim dari seluruh dunia. Di sebuah mushalla kecil yang pakenya harus shift-shift-an, saya dapat shift 3, sekitar jam 2 siang. Lucunya, sebagai orang yang mengaku ‘kiri’, solat di World Bank membuat saya bukan ‘kiri yang baik,’ walau setiap ada kesempatan saya selalu ikut atau membuat proyek komunitas, dan jalur hidup, prinsip, dan pekerjaan saya lumayan jauh dari struktur industri.
Saya Solat di World Bank bersama murid-murid saya yang sedang mengunjungi DC. Mereka seperti kebanyakan muslim Indonesia, setengah tidur dengerin ceramah–sudah biasalah mereka nggak perduli dengan isi ceramah Jum’atan. Tapi saya terjaga dan mendengarkan. Inti pembicaraan adalah bagaimana menjadi adil dalam Islam, yaitu ‘menempatkan sesuatu pada konteksnya.’ Yang menarik adalah, si penceramah menarik jauh tema itu menjadi pentingnya ilmu pengetahuan, baik alam, sosial, ekonomi, filsafat dan politik, untuk menjadi adil. Karena keadilan tanpa referensi itu tidak ada. Kita tidak bisa menempatkan sesuatu pada tempatnya kalau kita tidak tahu itu apa dan dimana tempatnya. Menempatkan sesuatu tidak pada tempatnya adalah hal yang tidak adil: memakai celana dalam di kepala, misalnya, adalah hal yang tidak adil buat kepala dan buat si celana dalam (ini kalimat saya sendiri, bukan kalimat si penceramah–haha).
Peristiwa Demo anti-Ahok mengingatkan saya pada ceramah tersebut. Apakah Ahok adil membawa-bawa ayat Al-Quran dalam orasinya? Apakah umat Islam yang anti-Ahok adil dalam menempatkan Ahok sebagai calon pemimpin yang haram bagi muslim? Saya tidak bisa bicara soal ayat, tafsir, atau apapun itu. Itu bukan kapasitas saya dan saya merasa tidak adil bicara soal ayat dalam konteks agama. Dalam konteks budaya, saya masih pede bicara ayat dari kitab manapun, tapi konteks agama? Saya sih merasa tidak adil lah. Di situ saya merasa, Ahok tidaklah adil.
Namun, ketika orang-orang muslim mengharamkan pemimpin non-muslim, apakah itu adil? Ya, kalau pemimpin ‘muslim’ yang dimaksud adalah pemimpin agama, tentu adil-adil saja menolak Ahok. Kalau pemimpin yang dimaksud adalah pemimpin seluruh umat Islam Jakarta, tentu baiknya jangan memilih pemimpin non muslim. Seorang kiai yang namanya saya lupa berkata, “Tidak mungkin seorang kristen menjadi imam shalat.” Saya setuju.
Cuman ya si Ahok jelas bukan pemimpin muslim. Dia nggak ngajarin agama. Dia juga bukan pemimpin Kristen, toh dia nggak ceramah di gereja tiap minggu–paling cuma sekali-kali aja dituduh pendetanya. Konteksnya, dia bukan pemimpin agama. Dia cuma pelamar kerja untuk jadi pelayan sipil (mengutip dia sendiri). Dia mau jadi CEO-nya Jakarta, anak buahnya warga Jakarta–masalah warga yang mana dari kelas apa, itu masalah lain. Adilkah kita menempatkan Ahok sebagai pemimpin muslim yang harus kita tolak?
Saya ikutan menolak Ahok menjadi pemimpin umat Islam. Tapi soal Ahok jadi pemimpin Jakarta, saya masih mau punya hak memilih dia atau kandidat lainnya. Dan saya yakin, kalau Pilkada Jakarta ini adalah untuk memilih pemimpin dengan tingkat kegantengan, Ahok pasti kalah. Dia jarang ngegym kok. Bandingin aje bodinya sama Sandiaga Uknow atau Agus Udahyanak—Udah Ya Nak, jangan jadi tentara lagi… Nyokap saya aja sudah bulat akan memilih Agus karena doi six pack (aduh mamah… ternyata cukup girang jeee sama brondong.)
Socrates dalam buku ‘Republik’ yang ditulis Plato, diceritakan pernah menggrataki pasar dengan ngajakin orang-orang ngobrol soal keadilan. Jawabannya tentu berbeda, dan seperti biasa, tidak ada kesimpulan mana ‘Adil’ yang benar dan yang salah. Ada yang menjawab keadilan adalah milik penguasa, ada juga yang menjawab–lucunya seperti muslim–bahwa keadilan adalah menempatkan sesuatu pada tempatnya, ada juga yang menjawab keadilan adalah ibarat timbangan. Seperti kata Aa Gym (yang juga jarang ngeGym), kita jadi banyak belajar dari kejadian Ahok dan surat Al-Maidah yang dia bawa-bawa. Ambil saja hikmahnya. Tapi, jangan ambil hak suara orang lah… di situ kita harusnya sepakat, mengambil hak suara orang artinya tidak a…
Ah, sudahlah. Saya tidak ingin bikin kesepakatan apa-apa. Terserah aja pilkada nanti gimana. Toh itu juga cuma ilusi besar demokrasi. Saya mah pro khilafah saja. Memilih naik onta dariada naik kendaraan bermotor. Onta ramah lingkungan dan tokainya bisa jadi pacar kuku.
Dan lagi2 saya harus acungi jompol pada penulis idola saya ini wkwkkkkk
Thank you… wkwkwkkkw