Assalamualaikum Wr.Wb.
Sahabat-sahabatku, saudara-saudaraku. Aku kenal kalian, beberapa dari kecil semenjak kita lebaran di rumah sesepuh, atau saling menginap, beberapa adalah abang dan kakak yang mengasuh dan mengajarkanku ilmu kehidupan dasar, ada juga yang satu madrasah, yang setiap malam Ramadhan dulu mengantri memukul beduk, atau berlomba-lomba mencium tangan habaib atau kiai yang hendak ceramah menjelang tarawih. Beberapa lagi di SMP, SMA serta di masa-masa kuliah. Kita bertemu di diskusi, kantin, membicarakan hal-hal remeh temeh yang hangat. Jarang kita membicarakan politik dan agama tanpa saling mengalah, kita hampir tak pernah berdebat. Kita tidak pernah menyalahkan satu sama lain, walau seringkali berseberangan. Dan inilah yang membuatku percaya dan sayang pada kalian.
Kita lebih banyak persamaan daripada perbedaan. Kita seagama, dan kita percaya bahwa Ahok tidak seharusnya naik menjadi gubernur. Kita sealiran dalam kekesalan melihat ketidakadilan sosial di Jakarta. Kalian tak henti-hentinya mengingatkanku untuk ibadah, untuk kembali ke jalan yang benar. Aku pun tak henti-hentinya mengingatkan kalian untuk jadi kritis, memverifikasi segala hoax, mitos, atau apapun yang dibuat orang-orang iseng untuk membodohi orang lain. Dan ini jugalah yang membuatku percaya dan sayang pada kalian
Ketika Ahok terjerat pasal penistaan, ketika ribuan orang demonstrasi atas nama agama, aku ada di sana di antara kalian, membawa kamera, dan mendengar kalian. Namun di situlah kita bersebrangan paling jauh. Tujuan kita masih sama, kita tak ingin Ahok jadi gubernur. Tapi aku tidak ingin memakai cara provokasi orang dengan sebuah rekayasa. Akhirnya aku menarik dukunganku untuk oposisi Ahok (baik Anies atau AHY). Aku Golput. Dan aku tahu, menjadi golput tidak akan menyumbang apapun. Namun sebagai orang Jakarta, golputnya aku turut membantu Anies untuk menang. Di situ, kalian pun merasa ikut menang. Toh banyak dari kalian merayakan kemenangan seperti lebaran, pasca quick count.
Aku terdidik sebagai sarjana Sastra, Bahasa dan Budaya, dari salah satu Universitas terbaik negeri ini. Aku menghabiskan 7 tahun untuk kuliah, spesifik masalah sastra dan kebudayaan. Dan 7 tahun itu telah membentuk caraku berpikir dan menganalisa. Seperti semua saksi ahli dari universitas dalam sidang Ahok, secara logis dan bahasa aku yakin Ahok tidak bersalah. Argumennya bisa panjang, tapi mungkin kalian sudah tahu. Ketika Jaksa menuntut satu tahun penjara dan masa percobaan, mereka tidak menuntut Ahok atas dasar penistaan agama, karena bukti-buktinya sudah jelas: dia TIDAK menistakan agama islam.
Namun hakim tertekan secara politik dari dua arah. Dari pemerintah secara tidak langsung ia tertekan karena Ahok adalah simbol kooperasi Jakarta pada Jokowi. Secara langsung, ia tertekan oleh usaha-usaha kalian, jutaan umat muslim yang sebagian pernah moderat. Siapa yang tidak tertekan, ketika ada demo besar menjelang sidang, dan setiap persidangan dikawal demonstran serta tentara muslim rakyat. Tadi malam aku mengedit video tentang ketidakpuasan kedua belah pihak, baik dari pendukung Ahok ataupun dari pihak kalian, yang menganggap bahwa vonis 2 tahun itu tidak adil.
Sementara aku mengambil posisi yang lebih ekstrim lagi. Menurutku pasal penistaan itulah yang tidak adil. Hukum Indonesia yang tidak adil. Produknya jelek, pembuatnya korup, dan selalu bisa dimainkan seenak jidat oleh para elit politik. Di sini aku jujur pada kalian, menurutku kalian semua, baik yang pro atau anti-Ahok, sudah dikerjai elit. Kalian adalah boneka-boneka para penguasa dan pengusaha besar yang tidak ada secuilpun peduli pada hidup kalian, kecuali kalau mereka dapat untung.
Vonis dua tahun itu adalah permainan pula. Permainan untuk melanjutkan konflik horizontal di antara kalian, kaum pro dan kaum anti Ahok. Itulah sebabnya aku tak pernah mau ikut-ikutan memihak satu di antara kalian. Sampai kemarin, dimana aku terpaksa memihak demi sesuatu yang lebih kucintai daripada diriku sendiri: Indonesia.
Ahok sudah kalah sebagai gubernur. Tujuanku yang pertama sudah tercapai, tanpa aku memilih. Aku hanya melaksanakan tugas sebagai jurnalis dan akademis yang selalu kritis pada kedua pihak. Sekarang aku merasa bertanggung jawab untuk memperbaiki keadaan. Tanggal 5 Mei kemarin, kalian berdemonstrasi agar Ahok dihukum seberat-beratnya, sambil menyanyikan Indonesia Raya dengan bangga. Tapi kalian lupa, jika Ahok dihukum, dengan fakta bahwa menurut Jaksa, ia tidak bersalah, kalian telah merenggut haknya yang paling dasar sebagai Warga Negara Indonesia: hak untuk menjadi sama di mata hukum, terlepas dari ras dan agamanya.
Keadaan bangsa ini sudah lama carut marut dan dihukumnya Ahok akan memperburuk keadaan. Kalian tidak boleh lupa bahwa Indonesia tidak lahir secara alami. Kita adalah perjanjian politik berdasarkan asas nasionalisme, bukan agama. Indonesia adalah perjanjian antara berbagai agama, suku, etnis dan ras. Ketika kalian mengambil panggung untuk menyatakan diri sebagai mayoritas, sebagai yang terbesar dan yang terkuat di antara orang Indonesia, lalu beberapa di antara kalian yang aku tidak kenal menghardik umat, etnis atau ras lain secara sengaja atau tidak sengaja, di situlah perpecahan NKRI dimulai. Bukan dari Ahok, tapi dari kalian.
Ini permainan elit. Mereka ingin kita saling memilih pihak dan bertarung untuk pertarungan mereka. Elit kalian sudah berhasil mengumpulkan kalian, membuat kalian teratur dan solider. Sementara elit pemerintah ingin kelas menengah sekuler yang sehari-hari sibuk kerja dan jarang ibadah, ikut turun lapangan. Elit rezim ini ingin membuat dualitas Islam vs Nasionalisme. Karena itulah wacana makar diperbesar, HTI dicecar. Aku benar-benar tidak ingin ikut ke dalam arus ini. Aku takut kehilangan persahabatan kalian.
Namun kali ini, setelah bertahun-tahun, aku terpaksa berpihak lagi. Aku terpaksa menyatakan diri bersebrangan dengan kalian. Aku terpaksa menjadi alat politik elit. Karena sahabatku bukan hanya kalian. Aku punya sahabat yang beretnis beda, agama beda, dan suku berbeda. Aku punya beberapa sahabat Cina Kristen yang stress takut setengah mati, karena ancaman-ancaman yang dikobarkan oleh beberapa di antara kawan-kawan kalian (bukan kawan-kawanku). Aku merasa tugasku sekarang menenangkan sahabat-sahabatku ini, supaya mereka merasa mereka masih orang Indonesia, mereka masih punya sahabat dan saudara sebangsa setanah air yang peduli pada mereka. Aku ingin membuiat mereka merasa aman, meyakinkan mereka bahwa Ahok akan bebas, seperti dulu aku meyakinkan kalian bahwa Ahok akan kalah di pilkada.
Semoga kalian tidak marah-marah amat pada pilihanku. Dan setlah semua ini berakhir, kita bisa berkumpul lagi, ngobrol lagi tentang hal remeh temeh. Kalian bisa mengajarkanku agama lagi, dan aku bisa belajar lebih banyak dari kalian. Semoga ini tidak membuat kalian mengasingkanku. Kalian orang-orang baik, dan aku tidak ingin diasingkan orang baik.
Tabik.
Wassalamualaikum, Wr. Wb.