Anthropology, Buku, Film, jurnalistik, Kurasi/Kritik, Musik, Politik, Racauan

Tidak Ada yang Benar-Benar Gratis di Internet: Ilusi Konten ‘Gratis’



Banyak orang mengira bahwa konten di internet seperti musik, video, gambar, atau perangkat lunak yang diklaim “gratis” benar-benar bisa digunakan tanpa batasan. Namun, kenyataannya, sebagian besar konten tersebut tetap memiliki ketentuan lisensi yang mengikat. Bahkan jika suatu konten diberikan secara gratis, hak ciptanya tetap dimiliki oleh pencipta atau pemegang hak, yang berarti mereka bisa mengubah aturan atau menarik kembali hak penggunaan kapan saja.



Contoh Kasus: Konten ‘Gratis’ yang Berubah Menjadi Berbayar atau Bermasalah

1. Musik Gratis dan Klaim Hak Cipta di YouTube

Banyak kreator konten YouTube menggunakan musik dari situs penyedia musik royalty-free seperti Epidemic Sound, Artlist, atau Free Music Archive (FMA). Namun, jika lisensi mereka habis atau pencipta musik mengubah model distribusinya, video-video yang menggunakan musik tersebut bisa terkena klaim hak cipta.

Kasus Nyata: Seorang YouTuber menggunakan musik dari situs “gratis.” Beberapa tahun kemudian, pemilik lagu mendaftarkannya ke sistem Content ID YouTube, sehingga video-video lama yang menggunakan musik tersebut terkena demonetisasi atau dihapus.

Contoh: Beberapa musisi yang awalnya membagikan musik secara gratis kemudian mendaftarkan lagu mereka ke distributor seperti TuneCore atau CDBaby, yang kemudian mengajukan klaim hak cipta terhadap video lama.


2. Video dan Gambar Stok ‘Gratis’ yang Tiba-Tiba Berlisensi

Banyak pembuat film dan desainer mengunduh video atau gambar dari Pexels, Unsplash, dan Pixabay karena diklaim “gratis.” Namun, jika pencipta asli memutuskan untuk menjual aset tersebut ke Shutterstock atau Getty Images, pengguna lama bisa terkena tuntutan hukum.

Kasus Nyata: Seorang filmmaker menggunakan video dari Pexels untuk film pendeknya. Beberapa tahun kemudian, pembuat asli menjual videonya ke Shutterstock, dan filmmaker tersebut diminta membayar lisensi atau menghadapi tuntutan hukum.

Bukti: Beberapa pembuat konten mengeluh bahwa aset yang sebelumnya tersedia secara gratis di situs stok tiba-tiba terkena klaim hak cipta setelah pemiliknya mengubah lisensi.


3. Perangkat Lunak Gratis yang Berubah Aturan

Perangkat lunak open-source seperti GIMP, Audacity, atau Blender memang tersedia gratis, tetapi lisensinya bisa berubah.

Kasus Nyata: Pada tahun 2021, Audacity, perangkat lunak pengeditan audio yang sebelumnya gratis dan open-source, diakuisisi oleh Muse Group. Setelah itu, kebijakan privasi dan lisensinya berubah, termasuk pengumpulan data pengguna, yang membuat banyak pengguna lama keberatan.

Contoh Lain: Banyak perangkat lunak open-source yang tiba-tiba menerapkan model freemium, di mana fitur yang dulu gratis kini menjadi berbayar.


4. Font Gratis yang Tiba-Tiba Berbayar

Font sering dianggap sebagai aset desain yang bebas digunakan, tetapi banyak font “gratis” yang memiliki batasan.

Kasus Nyata: Seorang desainer menggunakan font dari Google Fonts untuk logo sebuah merek. Beberapa tahun kemudian, pencipta font menjual hak eksklusifnya ke Adobe Fonts, dan klien desainer tersebut harus membayar lisensi tambahan untuk terus menggunakannya.

Bukti: Pada tahun 2022, ada gugatan hukum terkait pelanggaran hak cipta dan privasi terkait Google Fonts, di mana beberapa situs web tidak menyadari bahwa mereka menggunakan font dengan aturan baru yang berbeda.



Mengapa Hal Ini Bisa Terjadi?

1. Pemegang Hak Cipta Masih Memiliki Kontrol


Konten yang dibagikan secara gratis bukan berarti bebas hak cipta. Sebagian besar konten hanya diberikan di bawah lisensi tertentu, seperti Creative Commons (CC-BY, CC-BY-NC, dll.), yang berarti pemiliknya tetap bisa mengubah atau mencabut lisensi.


2. Platform Bisa Mengubah Kebijakan Kapan Saja


Situs penyedia konten sering memperbarui kebijakan mereka. Apa yang dulu gratis bisa menjadi berbayar, dan pengguna harus patuh pada aturan baru.


3. Perusahaan Bisa Mengakuisisi dan Mengubah Model Bisnis


Banyak startup yang awalnya membagikan konten gratis akhirnya diakuisisi oleh perusahaan besar dan mengubah model bisnisnya. Contohnya:

Flickr yang dulu memberi penyimpanan foto gratis, kini membatasi jumlah foto untuk akun gratis.

Unsplash, yang awalnya benar-benar gratis, kini memiliki beberapa aset berbayar setelah diakuisisi oleh Getty Images.



Kesimpulan: Tidak Ada yang Benar-Benar Gratis

Meskipun banyak aset digital tersedia secara gratis, semuanya tetap memiliki batasan, lisensi, atau risiko diubah menjadi berbayar di masa depan. Untuk menghindari masalah hukum atau biaya tak terduga, ada beberapa langkah yang bisa dilakukan:

Gunakan konten yang benar-benar berada di domain publik (CC0)

Beli lisensi penuh untuk aset yang penting

Buat konten sendiri untuk memastikan kepemilikan hak cipta


Tanpa memahami aturan lisensi, konten yang dianggap “gratis” hari ini bisa berubah menjadi jebakan hukum atau biaya besar di kemudian hari.

Anthropology, Buku, Kurasi/Kritik, Racauan

Bayi Tidak Butuh Makan: Sebuah Catatan Baca Biologi Perilaku

Kali ini kita akan bicara tentang parenting. Saya bukan seorang bapak yang punya anak. Saya punya bapak dan punya ibu dan saya besar di sebuah keluarga yang lumayan solid secara kasih sayang, tapi cukup disfungsional secara pendidikan, sosial, dan politik. Jadi saya besar dalam sebuah lingkungan yang lumayan bercampur-campur. Dan seperti banyak orang lain, saya juga punya apa yang kita sebut trauma masa kecil, yang membuat secara psikologis dan fisik pertumbuhan saya bermasalah. Tapi saya juga tidak bisa menyalahkan orang tua saya karena kehidupan saya adalah kehidupan yang multidimensional. Pola asuh orang tua mungkin hanya berperan sekitar 30% hidup saya dan saya bersyukur pada itu saya pikir itu adalah suatu hal yang cukup ideal daripada pola orang tua yang berpengaruh sampai di angka 70 sampai 90% kehidupan. Jika orang tua sampai menguasai hidupmu sebanyak itu maka kamu tidak akan pernah dewasa.

Photo by Criativa Pix Fotografia on Pexels.com


Tulisan ini akan membahas tentang pengetahuan yang baru saya dapat ketika membaca dan menganalisa teks-teks tentang reparenting (ini artinya kita berusaha untuk menyembuhkan trauma-trauma masa kecil, dalam bentuk sebuah pribadi yang lebih dewasa dalam berkomunikasi dan berperilaku) dan buku Behave karya Robert Sapolsky. Untuk membahas ini saya harus kembali kepada banyak teori-teori dan penelitian-penelitian yang membahas tentang tumbuh kembang seorang bayi menjadi balita menjadi anak-anak menjadi remaja hingga menjadi dewasa. Karena ini adalah blog pribadi, saya tidak akan kasih citation atau sumber bukunya. Kamu bisa cari sendiri teorinya di google atau di buku profesor Sapolsky.


Ketika kita lahir hingga sekitar umur 7 sampai 12 bulan kita ada di tahap yang menurut para psychoanalis disebut pre-oedipal adalah sebuah tahap dimana kita masih merasa menyatu dengan ibu kita, dan bukan dua orang yang berbeda karena kita belum punya yang disebut ego adalah sebuah diri atau kepribadian manusia yang mana ia sudah bisa membedakan antara dirinya sendiri dengan manusia lain. Ia bahkan sudah bisa melihat ke cermin dan mengidentifikasi dirinya sendiri. Ada banyak percobaan-percobaan di awal abad 19 tentang hubungan antara bayi dengan ibunya ada dua mazhab besar yang berusaha menjelaskan ini. Yang pertama adalah mazhab psychoanalysis yang dipelopori oleh Sigmund Freud. Yang kedua adalah masak behaviourism atau masa perilaku yang dipelopori oleh beberapa psikolog lain yang saya lupa namanya. Untuk psychoanalisis, hubungan bayi dan ibunya adalah hubungan yang cukup seksual dan dikendalikan oleh libido juga kebutuhan akan makan. Kebutuhan akan makan adalah segala-galanya bagi seorang bayi yang belum bisa mencari makan sendiri.


Kedua mazhab ini hadir ketika di Eropa banyak orang tua orang tua dari kelas menengah atas yang berpendidikan yang mulai punya ibu susu yaitu orang lain yang menyusui anaknya atau pembantu di rumah para bangsawan merasa bahwa kebutuhan anak bukanlah ibunya semata Dan si ibu berhak dan bisa untuk punya kehidupan sosial setelah bayinya disusui yang terpenting bagi seorang bayi adalah nutrisi dan perawatan yang bisa dilakukan oleh orang-orang yang bukan ibunya analisis ketiadaan ibu di awal-awal perkembangan anak dianggap agak berbahaya karena ada kemungkinan anak itu melewati tahap pre-oediple tidak dengan ibunya tapi dengan pengasuhnya, Maka menurut psychoanalisis, selera dan perilaku si anak ke depan akan seperti pengasuhnya atau dia akan tertarik dengan orang-orang seperti pengasuhnya. Ini tidak salah tapi kurang tepat, karena secara saintifik semua itu adalah kontekstual atau terikat pada konteksnya.


Para ahli perilaku menggabungkan keilmuan mereka dengan para ahli biologi ketika mereka mencoba melakukan sebuah eksperimen dengan monyet. Mereka memisahkan bayi monyet dari ibunya dan menempatkan si bayi di antara dua pilihan patung monyet dewasa. Patung pertama bentuknya seperti kerangka besi dan ada dua botol susu di bagian dadanya.Diharapkan bahwa si anak monyet akan menghisap itu ketika insting laparnya aktif. Kepala bonek berbentuk kepala monyet supaya si anak bisa mengidentifikasi bahwa itu adalah ibunya. Boneka kedua tidak memiliki botol susu, tapi ia memiliki selimut dan bulu-bulu di sekitar tubuhnya. Ketika bayi monyet dilepaskan ke dalam kandang dengan dua patung induk monyet, terjadi hal yang paling mengejutkan: bahwasanya bayi monyet tidak memilih patung monyet dengan susu yang sangat ia butuhkan untuk tidur, tapi ia memilih patung monyet dengan selimut yang bisa memberikan dia kehangatan. Para ilmuwan mulai berandai-andai kenapa ini terjadi dan menunggu siapa tahu dalam beberapa jam si bayi monyet yang membutuhkan susu akan pindah ke induk dengan botol susu. Yang mengejutkan, si bayi monyet yang kehausan dan kelaparan tidak pindah dari kehangatan patung induk monyet yang berselimut, menunggu mati kelaparan dan memilih kehangatan sampai mati, daripada makan untuk hidup.

Photo by Tiago Cardoso on Pexels.com

Apa yang bisa kita pelajari dari sini adalah, bayi mamalia khususnya primata akan berpegang pada instingnya untuk menyatu dengan ibunya; bahwasanya secara insting nutrisi bukanlah sebuah kebutuhan utama. Ketika eksperimen yang sama dilakukan di zaman modern dengan scan otak, kita bisa menemukan bahwa kelenjar kortisoid yang biasanya hadir ketika mamalia lapar di bayi monyet mengecil. Jadi iya tidak memiliki keinginan untuk makan jika ibunya tidak makan. Hal yang sama juga terjadi pada manusia dan bayi manusia. Bahwa tanpa ibu atau makhluk yang menghangatkan, kebutuhan si bayi akan makanan dan bertahan hidup hilang begitu saja. Artinya untuk bisa punya keinginan bertahan atau makan, mamalia harus diarahkan oleh perawatnya. Ini membuat keruntuhan teori perilaku dan teori psikoanalisis tentang libido dan kebutuhan primer mamalia. Bahwasanya apa yang di psychoanalysis disebut sebagai kebutuhan seksual dengan mulut atau oral untuk makan, membutuhkan sebuah pengkondisian sentuhan atau kehangatan dari induk atau perawat bayi tersebut. Sementara itu para ahli perilaku juga salah dalam konteks bahwa tidak bisa meninggalkan bayi tanpa ibunya, karena yang terjadi nanti adalah: dengan hubungannya bersama orang lain yang bukan ibunya, si bayi akan mengidentifikasi ibu dengan cara yang berbeda dan ini akan sangat berpengaruh pada pertimbangan moral si anak ketiga dia bertumbuh.

***

Tulisan ini bebas AGI dan sepenuhnya hasil pemikiran saya. Terima kasih sudah membaca. Jika kamu suka yang kamu baca, silahkan share tulisan ini atau kalau ada tambahan rejeki, bisa traktir yang nulis kopi buat terus baca buku. Klik tombol di bawah ini ya.

Buku, Kurasi/Kritik

8 Cara Delusional untuk Bikin Film dengan Mudah – dan Gagal

Sebuah review terbalik tanpa spoiler dari buku “Aku Bikin Film Pendek, Sekarang Aku Harus Ngapain Cuk?” Tulisan Clarissa Jacobson.

“Semua orang bisa bikin film, tapi nggak semua orang bisa bikin film bagus.”

“Film yang bagus adalah film yang jadi.”

“Semua film ada penontonnya.”

Semua jargon di atas cuma omongan saja, dan terlalu abstrak buat dilakukan. Itu sama sekali nggak jelasin apa itu film bagus, nggak ada rumus pastinya. Belum lagi mereka yang ngomong,”ngapain bikin film bagus kalo ga laku?” Atau yang sebaliknya, “film yang bagus nggak harus laku!”

Ah! Kenapa kita nggak bikin film bagus yang laku sih?

Karena susah. Perlu proses, metodologi, pengukuran, penelitian, peer review, development, nyari modal, dan lain-lain. Semua yang susah itu ada di buku “Aku Bikin Film Pendek, Sekarang Aku Harus Ngapain Cuk?” Tulisan Clarissa Jacobson. Ini buku soal distribusi film pendek yang lengkap, lugas, padat, mudah dimengerti, dan susah dikerjakan.

Kalau kalian niat jadi filmmaker dan suka penderitaan yang lebih efektif, kudu baca banget buku ini, tapi nggak harus. Karena saya udah satu dekade lebih jadi filmmaker tanpa buku ini, bisa-bisa aja. Bisa gila. Nggak ada arah, disorientasi, kebanyakan eksperimen, sampai mental saya campur aduk penuh tempe dan ramen. Jadinya temperamental. Jangan, ya. Kalau mau menderita, rencanakan dengan baik. Karena penderitaan yang cukup, adalah sumber kenikmatan, kata para psikonalisis dan peneliti seksual.

Saya nggak akan kasih bocoran bukunya di artikel ini, biar kalian punya pilihan soal penderitaan panjang tanpa buku ini. Sebaliknya, saya cuma akan kasih 8 hal yang mudah, yang bisa kamu lakukan kalau kamu ingin “bikin film aja”, dan menuju ke masa depan suram filmmaker yang saya dan banyak teman-teman saya alami–kebanyakan dari kami gagal, karena kami nggak ada buku kayak gini dulu. Untungnya saya masih bertahan, karena cinta. #eaaa

Inilah, 8 Cara delusional bikin film pendekmu gagal dan membuatmu menyiksa diri dengan kegagalanmu:

1. Bikin dulu baru mikir

Jangan dipikirin. Ada kamera, ada temen. Bikin aja. Bikin apa? Yah apa kek. Yang kita pengen aja. Ajak aja temen-temen. Ada tugas kuliah, ya bikin. Galau, ya bikin. Bikin aja dulu. Niscaya nanti kebanyakan akan jadi sampah di harddisk.

2. Pilih temen yang ga bisa komit.

Masih mending punya temen. Daripada nggak. Pelacuran sosial ada kunci kekecewaan dan pembullyan publik. Nggak usah milih-milih temen. Ujungnya nanti di credit title banyakan nama kamu daripada nama kru, karena trust issue.


3. Nggak usah diukur, hajar bae

Males baca, males riset, nggak ngerti. Cuma mau bikin film aja. Gampang tinggal record. Edit belajar dari youtube. Nggak usah workshop. Kan cinta itu buta. Bikin film yang penting jadi, kayak nikah ta’aruf. Bisa-bisa aja, mungkin aja berhasil, bisa aja ada keajaiban. Toh, dari 7 milyar orang di Bumi, nabi cuma 25. Dapatkan mukzizat syuting. Kurangi kerja dan riset, perbanyak ibadah.


4. Bikin film aja, nggak perlu skill lain

Iya dong. Kan filmmaker, bukan anymaker. Jadi ga perlu bisa copywriting, ga perlu bisa graphic design, nggak perlu bisa bikin press kit, apa itu canva? Mainan anak magang itu. Pitching ke investor? Showcase? Ah itu tugasnya agen. Serahkan semuanya pada semesta, karena kalau filmmu bagus, niscaya akan di pick up, mungkin nanti 3000 tahun lagi, oleh para alien yang sedang riset arkeologi, dan menemukan filmmu teronggok di sebuah artefak Harddisk berisi 30 persen filmmu dan 70 persen pornografi.

5. Riset bikin mumet, kan ada pengalaman hidup, ngapain riset lagi?

Curhat! Saya cuma mau curhat! Penonton harus lihat curhat saya. Gak perlu riset, saya ngerti banget hidup saya. Hidup orang? Hidup karakter? Meh! Semua mesti berpusat pada diri sendiri saja. Kan director, filmmaker, harus dong punya ego gede. Kalau sampe kalah di festival, yang salah festivalnya, meminggirkan saya.

6. Kata Sartre, orang lain itu neraka, jadi jangan banyak gaul

Nggak suka ke festival, nggak suka nongkrong sama filmmaker lain. Sirik lihat kawan di sosmed yang filmnya jelek tapi official selection. Saya mah introvert. Terus kalo dikritik marah, terus berhenti deh bikin film. Gampang sakit hati. Gampang depresi biar ada alasan buat healing. Rasakan sensasinya.

7. Nggak boleh gagal, jangan sampai kecewa! Harus sempurna! Tapi kirim ke semua festival gratis, ga usah dicek.

Nggak harus tahu penonton yang diincer siapa, ntar juga ada yang nyangkut. Tapi entah dimana nyangkutnya, mungkin di festival abal-abal. Bodo amat festival sembarangan, bodo amat filmnya diapain. Ah, kalah terus di festival. Pasti karena film saya terlalu impactful.

8. Buatlah film paling sempurna!

Jangan dibikin. Pikirin aja. Kata Plato kesempurnaan ada di pikiran.

Jadi penderitaan mana yang mau kau dustakan?

***

Data Buku

“Aku bikin film pendek sekarang aku harus ngapain cuk”

Pengarang: Clarissa Jacobson ; alih bahasa, Edo Wulia, Rayhan Dharmawan, Shara Octaviani ; penyunting, Fransiska Prihadi

Penerbit: Yayasan Kino Media, Denpasar, Bali. 2022.

Buku, Kurasi/Kritik, Racauan, Workshop

5 Produser Yang Bikin Nggak Produktif di Filmmaking

Setelah aktor dan sutradara, kini saatnya bahas soal produser. Produser adalah motornya sebuah film. Film sebagai sebuah barang adalah milik produser–ide nya milik sutradara. Tanpa produser, film hanya akan jadi angan-angan sutradaranya. Semua orang bisa jadi sutradara, tapi jarang yang benar-benar bisa jadi produser, karena dia butuh skill untuk membuat film “terjadi”. Karena kalo produsernya bagus, seringkali tanpa sutradara pun filmnya juga bisa jadi. Tapi tanpa produser, sutradara harus jadi produser biar filmnya jadi.

Tapi kasihan banget kalau sebuah film produsernya nggak produktif. Semua orang jadi susah, komunikasi jadi sulit, dan kalau sampai filmnya jadi, produsernya kemungkinan adalah orang lain atau tenaga gaib di film itu. Berikut adalah 5 produser gak produktif yang sebaiknta kamu hindari kalau diajakin proyekan.

1. Produser Tapi PA

Produser kayak gini sukanya melayani sutradara dan yes-yes aja tanpa bisa jadi sparing partner dalam argumen dan pengembangan ide. Dia nggak punya leadership dan seringkali cuma jadi bonekanya sutradara aja. Dia ga bisa bikin jembatan komunikasi antara sutradara dan kru lain, sehingga kalau dia dapat sutradara yang komunikasinya jelek, atau yang kurang dewasa, produksi filmnya bisa berantakan.

Namanya produser tapi kelakuan kayak PA (production assistant). Padahal tugas dia yang utama adalah mencari jalan supaya dia bisa gabut di set pas syuting karena semua berjalan baik. Perilaku PA-nya ini membuat ketika syuting, bisa jadi dia malah kalang kabut ngurusin semua yang ga keurus karena skala produksi salah perhitungan, atau komitmen kru nggak bisa dijaga.

Etos kerja produser tipe ini dihargai, tapi salah konteks. Mungkin harus belajar lagi ngikut produser lain, atau nyobain jadi sutradara, biar sekali-sekali punya visi.

2. Produser Bossy

Bossy itu berlagak boss tapi ga ada kharismanya. Nggak ngerti konsep, nggak ngerti hierarki, nggak ngerti teknis, terus petantang-petenteng nyuruh orang ini itu. Atau ambil kebijakan yang bakal punya konsekuensi produksi yang bikin rugi banget secara waktu dan uang dan hasil footage.

Hubungan dengan kru nggak terjaga karena komunikasi jelek, dan dia nggak sadar kalau komunikasi jelek karena merasa, well, dia boss. Dia rasa semua baik-baik saja karena dia boss yang maunya tahu beres. Nggak, boy. Produser nggak tahu beres, sebaliknya harus selalu curiga kalau sesuatu beres-beres aja. Minimal jadi punya plan B and plan C sampe Z.

Seringkali ini terjadi karena kurang pengalaman: produser dikerjai oleh sutradara atau kru yang lebih jago jualan daripada dia, sehingga dia terbawa suasana aman dan nyaman, dan nggak bikin planning yang rapih, nggak kritis dalam sebuah produksi. Mungkin cocoknya produser macam ini jadi executive produser saja.

3. Produser nggak gaul

Modal utama produser itu bukan duit tapi pergaulan dan managemen konflik. Dia harus kenal orang banyak yang cukup dekat hingga bisa dia pitch ide-idenya, atau ide sutradaranya. Dia pun harus jago milih teman mana yang mau diajak produksi.

Karena bukan cuma komitmen yang dibutuhkan tapi juga skill, dan skill nggak ada gunanya kalau ga ada komitmen. Produser yang gak gaul biasanya bukan orang yang berkomitmen, karena kalau dia penuh komitmen, maka dia akan punya banyak temen yang ngutang sama dia dan rela bantuin filmnya setengah mati.

Ketidakmampuan managemen konflik dan pergaulan sosial ini jadi masalah sangat besar, karena produksi adalah soal mengatur dan mendesain flow kerja. Produser yang cenderung menghindari konflik, tidak bisa mendamaikan pihak-pihak yang berfriksi, dan tidak bisa menjadi mediator, sebaiknya jangan jadi produser.

Karena kenikmatan produksi film adalah hasil kerja keras pra produksi, ketika semua konflik sudah teratasi, semua orang tersedia, semua fasilitas mencukupi, hingga ketika syuting, semua orang bisa menanggung penderitaan bersama dengan rela dan bahagia.

Syuting yang baik seperti seks yang enak: sakit-sakit-nikmat. Produser keren bisa bikin semua orang orgasme, dan orgasme butuh hubungan dan komunikasi yang enak.

4. Produser sotoy

Sotoy di industri film Indonesia ada di mana-mana. Bayangkan film sebagai media termutakhir saat ini: dia mengandung sastra, teater, seni rupa, seni lukis, seni musik, dan seni-seni lain. Produser yang mau jualan ide dan filmnya harus ngerti luar dalam apa yang dia jual. Tapi kalau dia kalah intelek sama sutradara, production designer, scriptwriter, dll, dia bisa salah jual barang dan ujung-ujungnua dianggap penipu.

Sotoy buat sutradara bisa berujung gak dipake orang lagi, ga ada yang mau kerja sama dia lagi. Tapi sotoy buat produser lebih parah: dia bahkan bisa masuk penjara! Sotoy soal budget, bisa jadi overbudget, sotoy soal konsep bisa dituntut sama eksekutif produser dan investor, sotoy soal seni yang dipakai di filmnya, bisa kena pasal Hak Cipta.

Produser kerjaan yang berat dan kudu teliti dan hati-hati. Orang sotoy di Indonesia punya kesempatan dan tempat buat dipercaya orang lain, tapi hasilnya bisa jadi buruk banget. Jadi produser adalah soal trust dan tanggung jawab. Nama dia akan jelek selama-lamanya kalau filmnya keluar dengan banyak masalah yang membuntutinya.

5. Produser power player

Dia humoris, jago bergaul, jago ngatur budget, jago jualan, tapi dia sering menggunakan posisinya untuk bermain kuasa dengan memeras orang lain baik dengan cara halus, atau dengan modal sosialnya. Dia bisa memeras orang dengan rayuan dan ancaman, dari deal soal harga sampai deal soal seks.

Produser kayak gini baiknya dipenjara saja selama-lamanya. Perilaku patron yang pervert, sudah saatnya hengkang dari muka bumi. Jadi sebelum kerja dengan produser manapun, sejago-jagonya dia, pastikan kalian minta kontrak yang jelas, atau referensi terpercaya sebelum kerja dari kawan-kawan lain kalau memang callingannya harian.

Kalau ketemu produset macam ini, jangan takut untuk cerita dan melawan balik. Cari temen-temen deket dulu, bikin asosiasi, atau masuk asosiasi. Produser kuat dan serem kayak gini harus dihajar dengan persatuan dan kesatuan!

***

Terima kasih sudah baca sampai habis. Blog ini dibiayai oleh sumbangan kalian, lumayan mahal biaya tahunannya. Kuy! Klik tombol di bawah ini: