Buku, Kurasi/Kritik

8 Cara Delusional untuk Bikin Film dengan Mudah – dan Gagal

Sebuah review terbalik tanpa spoiler dari buku “Aku Bikin Film Pendek, Sekarang Aku Harus Ngapain Cuk?” Tulisan Clarissa Jacobson.

“Semua orang bisa bikin film, tapi nggak semua orang bisa bikin film bagus.”

“Film yang bagus adalah film yang jadi.”

“Semua film ada penontonnya.”

Semua jargon di atas cuma omongan saja, dan terlalu abstrak buat dilakukan. Itu sama sekali nggak jelasin apa itu film bagus, nggak ada rumus pastinya. Belum lagi mereka yang ngomong,”ngapain bikin film bagus kalo ga laku?” Atau yang sebaliknya, “film yang bagus nggak harus laku!”

Ah! Kenapa kita nggak bikin film bagus yang laku sih?

Karena susah. Perlu proses, metodologi, pengukuran, penelitian, peer review, development, nyari modal, dan lain-lain. Semua yang susah itu ada di buku “Aku Bikin Film Pendek, Sekarang Aku Harus Ngapain Cuk?” Tulisan Clarissa Jacobson. Ini buku soal distribusi film pendek yang lengkap, lugas, padat, mudah dimengerti, dan susah dikerjakan.

Kalau kalian niat jadi filmmaker dan suka penderitaan yang lebih efektif, kudu baca banget buku ini, tapi nggak harus. Karena saya udah satu dekade lebih jadi filmmaker tanpa buku ini, bisa-bisa aja. Bisa gila. Nggak ada arah, disorientasi, kebanyakan eksperimen, sampai mental saya campur aduk penuh tempe dan ramen. Jadinya temperamental. Jangan, ya. Kalau mau menderita, rencanakan dengan baik. Karena penderitaan yang cukup, adalah sumber kenikmatan, kata para psikonalisis dan peneliti seksual.

Saya nggak akan kasih bocoran bukunya di artikel ini, biar kalian punya pilihan soal penderitaan panjang tanpa buku ini. Sebaliknya, saya cuma akan kasih 8 hal yang mudah, yang bisa kamu lakukan kalau kamu ingin “bikin film aja”, dan menuju ke masa depan suram filmmaker yang saya dan banyak teman-teman saya alami–kebanyakan dari kami gagal, karena kami nggak ada buku kayak gini dulu. Untungnya saya masih bertahan, karena cinta. #eaaa

Inilah, 8 Cara delusional bikin film pendekmu gagal dan membuatmu menyiksa diri dengan kegagalanmu:

1. Bikin dulu baru mikir

Jangan dipikirin. Ada kamera, ada temen. Bikin aja. Bikin apa? Yah apa kek. Yang kita pengen aja. Ajak aja temen-temen. Ada tugas kuliah, ya bikin. Galau, ya bikin. Bikin aja dulu. Niscaya nanti kebanyakan akan jadi sampah di harddisk.

2. Pilih temen yang ga bisa komit.

Masih mending punya temen. Daripada nggak. Pelacuran sosial ada kunci kekecewaan dan pembullyan publik. Nggak usah milih-milih temen. Ujungnya nanti di credit title banyakan nama kamu daripada nama kru, karena trust issue.


3. Nggak usah diukur, hajar bae

Males baca, males riset, nggak ngerti. Cuma mau bikin film aja. Gampang tinggal record. Edit belajar dari youtube. Nggak usah workshop. Kan cinta itu buta. Bikin film yang penting jadi, kayak nikah ta’aruf. Bisa-bisa aja, mungkin aja berhasil, bisa aja ada keajaiban. Toh, dari 7 milyar orang di Bumi, nabi cuma 25. Dapatkan mukzizat syuting. Kurangi kerja dan riset, perbanyak ibadah.


4. Bikin film aja, nggak perlu skill lain

Iya dong. Kan filmmaker, bukan anymaker. Jadi ga perlu bisa copywriting, ga perlu bisa graphic design, nggak perlu bisa bikin press kit, apa itu canva? Mainan anak magang itu. Pitching ke investor? Showcase? Ah itu tugasnya agen. Serahkan semuanya pada semesta, karena kalau filmmu bagus, niscaya akan di pick up, mungkin nanti 3000 tahun lagi, oleh para alien yang sedang riset arkeologi, dan menemukan filmmu teronggok di sebuah artefak Harddisk berisi 30 persen filmmu dan 70 persen pornografi.

5. Riset bikin mumet, kan ada pengalaman hidup, ngapain riset lagi?

Curhat! Saya cuma mau curhat! Penonton harus lihat curhat saya. Gak perlu riset, saya ngerti banget hidup saya. Hidup orang? Hidup karakter? Meh! Semua mesti berpusat pada diri sendiri saja. Kan director, filmmaker, harus dong punya ego gede. Kalau sampe kalah di festival, yang salah festivalnya, meminggirkan saya.

6. Kata Sartre, orang lain itu neraka, jadi jangan banyak gaul

Nggak suka ke festival, nggak suka nongkrong sama filmmaker lain. Sirik lihat kawan di sosmed yang filmnya jelek tapi official selection. Saya mah introvert. Terus kalo dikritik marah, terus berhenti deh bikin film. Gampang sakit hati. Gampang depresi biar ada alasan buat healing. Rasakan sensasinya.

7. Nggak boleh gagal, jangan sampai kecewa! Harus sempurna! Tapi kirim ke semua festival gratis, ga usah dicek.

Nggak harus tahu penonton yang diincer siapa, ntar juga ada yang nyangkut. Tapi entah dimana nyangkutnya, mungkin di festival abal-abal. Bodo amat festival sembarangan, bodo amat filmnya diapain. Ah, kalah terus di festival. Pasti karena film saya terlalu impactful.

8. Buatlah film paling sempurna!

Jangan dibikin. Pikirin aja. Kata Plato kesempurnaan ada di pikiran.

Jadi penderitaan mana yang mau kau dustakan?

***

Data Buku

“Aku bikin film pendek sekarang aku harus ngapain cuk”

Pengarang: Clarissa Jacobson ; alih bahasa, Edo Wulia, Rayhan Dharmawan, Shara Octaviani ; penyunting, Fransiska Prihadi

Penerbit: Yayasan Kino Media, Denpasar, Bali. 2022.

Film, Film/Video, Kurasi/Kritik, Portfolio, Workshop

Memperkenalkan Film Pertama MondiBlanc Film Workshop: Santri Santri Silat

sss2rm
Poster oleh Rizqi Mosmarth

Berawal dari kesibukan super hectic pasca pulang dari US, serta berbekal rasa kesal karena nggak sempet lagi berteater malam-malam, dan band Wonderbra yang tak kunjung berkumpul untuk latihan, saya mengajak beberapa kawan dan junior untuk kongkow bareng di akhir pekan dan membuat video-video iseng.

Setelah dua film improvisasi dan tiga episode tutorial teater, Agung Setiawan, asisten dosen di departemen Filsafat UI, mengajukan ide cerita yang sangat menarik untuk menjadi sketsa sederhana–ide cerita yang membuat saya merasa sayang bahwa filmnya hanya akan jadi sketsa dan tidak digarap terlalu serius. Maka saya mengajak seorang kawan, DoP Koda Aksomo, untuk membantu pembuatan film horror berjudul “Perempuan, Wanita dan Belenggu di Antara Mereka.” Saya sendiri menyutradarai film ini. Film ini masih dalam tahap post-produksi dan membutuhkan kerja yang cukup panjang–apalagi dilakukan oleh para relawan yang sehari-harinya sudah sangat sibuk.

Di tengah-tengah penantian penyelesaian film tersebut, kawan kami Maftuh Ihsan, wartawan salah satu media bisnis, mengajukan sebuah ide untuk membuat film silat. Sebagai wartawan dan orang teater yang sama sekali belum pernah bersentuhan dengan dunia film (seperti kebanyakan anak-anak di workshop tersebut), Maftuh mengajukan sebuah naskah yang sangat teatrikal dan tidak mungkin untuk diproduksi jadi film pendek–terlalu banyak dialog dan plot yang ngejelimet.

Namun keberadaan Noer Faryza Sani dan Rasikh Fuadi yang memang bisa silat, dan Kevin Darius yang menjadi penata gerak, membuat kami sangat bersemangat untuk membuat ceritanya jadi mungkin untuk diproduksi. Akhirnya setelah brainstorming dan diskusi berhari-hari, suatu pagi buta lahirlah naskah film pendek yang diberi judul “Santri-Santri Silat”–judul yang diberikan oleh celotehan Rifqi “Ogi” Hasfi, editor di workshop kami yang sedang sibuk menggarap post-produksi film Perempuan, Wanita dan Belenggu di Antara Mereka. 

Sebagai sebuah workshop, saya dan Mike Julius bertindak sebagai kameramen (belum pantas menyebut kami DoP di film ini karena kami pun terlalu sibuk untuk bisa mengikuti praproduksi film ini secara pantas–haha). Saya sendiri memproduseri dengan membuat desain produksinya. Saya dan Mike berusaha menjaga aura belajar di workshop ini, dan berusaha memberikan ruang bagi setiap orang untuk membuat terobosan yang tak terduga termasuk juga kesalahan-kesalahan awam. Kami juga menahan segala ego kami tentang apa yang harusnya ada dan tidak ada dalam sebuah produksi film. Saya dan Mike berusaha untuk menjaga standar dasar dari film ini, minimal storyline dan penyampaian harus jelas–namun permasalahan teknis seperti banyaknya shot yang harus diambil serta konsep sinematografinya kami coba buat sesederhana mungkin yang bisa diikuti non-profesional.

Di tengah-tengah kesibukannya, musisi Avrila Bayu Santoso meluangkan 8 jam waktunya untuk membuat scoring (3 jam) dan sound effect (foley) (5 jam). Film ini dikerjakan cukup terburu-buru, dengan tiga kali latihan fighting, seminggu editing, dan 8 jam scoring, karena keinginan MondiBlanc untuk mengikutkannya ke dalam sebuah lomba. Saya pikir, hitung-hitung film pertama, tak apalah dicoba-coba. Banyak hal yang tidak bisa diperbaiki di Post-pro yang singkat; bahkan ada beberapa shot yang menurut saya harus disyuting ulang jika ada dana dan waktu yang cukup untuk semua orang. Tapi itu masalah belakangan. Jangankan post produksi, aktor kami saja belum sembuh benar dari luka-luka produksi ketika film ini selesai.

Ya, syuting satu hari menghasilkan banyak luka-luka. Aktor Rasikh Fuadi mengalami gegar otak setelah 12 kali take shot ia dibanting. Aktris Noer Faryza sempat lumpuh tak bisa jalan seharian setelah syuting karena banyaknya luka-luka akibat beradu tendangan. Kami belajar begitu banyak dari produksi film ini, dan benar kata Jackie Chan: yang diperlukan dalam sebuah film bela diri bukan masalah skill, tapi masalah kesabaran, waktu dan uang. Untuk satu shot, Jackie bisa menghabiskan 120 take, agar ia mendapatkan aksi yang ia inginkan,”Karena penonton tak mau tahu masalah produksimu, begitu film dirilis, ia akan selama-lamanya menjadi catatan sejarah.”

Apapun hasilnya film ini, inilah hasil kerja keras dalam waktu yang singkat. Saya pribadi tidak menyesal sama sekali melewati semuanya bersama MondiBlanc. Nantinya, waktu dan jam terbang toh akan meningkatkan kualitas film mereka ke depannya; juga kualitas saya sebagai pengajar–sejauh ini saya merasa masih sangat bodoh. Yaah, sepuluh film lagi laah.

Maka dengan ini saya persembahkan film keempat MondiBlanc, namun yang pertama kali kami rilis di Youtube, “Santri-Santri Silat.”

Selamat menikmati dan jangan lupa untuk dukung kami dengan subscribe, like dan comment di akun Youtubenya.