Gender, Memoir, Racauan

Monogami: sebuah Imajinasi

Buat yang ingin tahu, dan bukan yang ingin percaya.

Sudah lama aku tahu, bahkan sebelum pernikahanku yang pertama, bahwa pernikahan itu tidak pernah soal cinta. Hubungan manusia tidak ada yang tak retak, tapi yang merekatkan sepasang suami istri, jelas bukan cinta. Yang memisahkannya juga bukan perselingkuhan, kebencian atau pengkhianatan. Yang membuatku lumayan kesal adalah, tesis yang akan kupaparkan pada kalian adalah tesis lamaku. Ternyata setelah sekali menikah dan gagal, tesis ini tetap tegak.

Dalam tesis ini, pernikahan adalah kontrak sosial, politik, dan profesional. Bukan kontrak kesetiaan atau kontrak percintaan. Cinta bisa hilang dalam perkawinan, cinta bisa tetap ada setelah perceraian, cinta bisa menyatukan dan memisahkan. Demi cinta kita bisa bersatu dan demi cinta pula, kita rela melepaskan yang kita cinta.

Kontrak sosial berarti persatuan hubungan sosial dua individu. Di dalamnya ada keluarga, teman dan sahabat. Kontrak politik adalah persatuan dua unit kuasa, agama, atau institusional yang dimungkinkan dengan aturan negara atau agama. Kontrak profesional adalah persetujuan soal pembagian kerja, penyatuan finansial, dan hak atas aktualisasi diri. Artinya, sebuah pernikahan akan bertahan (bukan akan bahagia, bukan akan ideal, tapi bertahan), jika ketiga kontrak tersebut tidak dilanggar.

Ketiga kontrak tersebut adalah syarat mutlak dua individu bisa menikah, tak perlu cinta. Kompatibilitas dalam komitmen ketiga kontrak itu adalah segalanya. Sepasang yang beda agama bisa menikah ketika hukum negaranya memperbolehkan dan kedua keluarga setuju bahwa anak mereka akan (1) menikah dengan mempertahankan agama masing-masing, atau (2) salah satunya pindah agama mengikuti yang lain. Tapi jika salah satu keluarga tidak setuju dan keras menentang, maka kawin lari, pengusiran,pemutusan hubungan, dan tragedi bisa terjadi. Bisakah pasangan tersebut menikah? Bisa saja, dengan konsekuensi ketimpangan yang tinggi, ketika salah satu individu tidak lagi punya keluarga inti.

Kontrak sosial juga berarti komitmen keintiman antar individu dengan individu, antar keluarga dengan keluarga, dan dalam lingkaran sosial pasangan tersebut. Hubungan sosial yang terlalu renggang atau terlalu rapat bisa menciptakan keterjebakan. Akibatnya bisa jadi tindakan-tindakan pemberontakan, seperti perselingkuhan atau kecanduan. Secara sosial, perselingkuhan merusak cinta dan kepercayaan pasangan. Tapi selama perselingkuhan masih rahasia dan tidak disebarkan ke lingkaran di luar keluarga inti, maka pernikahan bisa tetap ada dengan konsekuensi hubungan yang rusak dan harus diperbaiki. Jika sampai menyebar, maka tali pertama yang putus bukanlah tali perkawinan sepasang suami istri, tapi tali hubungan kedua keluarga.

Secara politik, pernikahan bisa gagal kalau relasi kuasanya jomplang–bukan timpang. Bedakan ini. Jomplang berarti ada kekuatan kuasa dimana satu pihak menekan pihak lain, dalam konteks dimana pihak yang ditekan sebenarnya punya alat-alat perlawanan seperti hubungan sosial atau hukum negara. Jomplang bisa dipecahkan dengan mediasi atau perceraian. Sementara itu, timpang tetap bisa membuat rumah tangga jalan, karena dalam ketimpangan, biasanya yang dirugikan tidak sadar bahwa ia dirugikan. Ketimpangan juga menutup kemungkinan cerai–misalnya dengan budaya dan agama di wilayah tertentu di dunia, yang mana cerai tidak ada dalam hukum dan kosakatanya. Ketimpangan dapat membuat pernikahan bertahan sampai dipisahkan kematian, namun tidak indah sama sekali, seperti meminum racun setiap hari tanpa pernah mati.

Kontrak ketiga, profesionalitas. Ini berhubungan dengan distribusi kerja dan ekonomi. Ekonomi artinya pengaturan rumah tangga, artinya bagaimana moda produksi sebuah rumah tangga dijalankan oleh keluarga. Di sini pasangan harus sepakat tentang distribusi kerja; siapa yang mengurus anak atau rumah ketika yang lain mencari nafkah; bagaimana mendukung profesi pasangan di saat yang sama memastikan kontrak sosial (keintiman dengan pasangan, keluarga dan teman) dan politik (komunikasi dan pembagian kuasa) tetap terjaga dan stabil. Rumah tangga akan rusak atau disfungsional ketika pasangan tidak bisa mendukung atau terlalu mendukung profesi pasangannya. Tidak bisa mendukung artinya ia tidak setuju sama sekali dengan pekerjaan yang dipilih pasangannya dan membuat pasangannya tertekan, depresi, dan irrelevan di dunia profesionalnya. Terlalu mendukung bisa membuat pasangannya lupa dengan dua kontrak yang lain: kontrak sosial dan kontrak politik dari sebuah perkawinan.

Sains sudah mengajarkan bahwa Cinta adalah hormonal dan zat kimia yang dibentuk dari referensi pengalaman yang membuat preferensi seksual dan sosial. Cinta bisa hilang, bisa habis dan menguap dengan waktu dan konteks yang berbeda. Sebagai primata, manusia tidaklah tercipta sebagai mahluk monogami. Manusia tidak memiliki musim kawin, tidak seperti banyak mamalia lain. Artinya pernikahan yang satu, kemonogamian, adalah sebuah cerita yang dikarang manusia untuk sedapat mungkin dijalankan dan ditepati. Pernikahan monogami seperti kontrak dibuatnya negara, kontrak transaksional politik atau komitmen sosial, yang mengikat dua individu primata poliamoris, yang memaksakan kisah monoamoris dalam hidupnya. Kisah yang pasti gagal dalam rasa, namun bisa berhasil dalam logika politik, sosial, dan profesional.

Pada akhirnya manusia cuma ingin teman, companionship. Sebuah impian untuk berbagi kehidupan, karena dalam kematian, kita takkan pernah bersama. Maka apapun asal hubungan romantismemu, hubungan yang lama ditentukan oleh relasi-relasi di luar cinta. Itu kenyataannya, kepercayaanmu tidak penting.

Tapi sebagai mahluk kreatif, bolehlah kamu mengarang cerita atau membuat strategi untuk terus menyalakan bara asmara, selama trinitas sosial, politik, dan profesional terjaga.

Memoir, Racauan

Fragmen Masa Kecil

Original photo by Eseinosa

Buat Gilang.

Ingatan terjauh masa kecil saya adalah ulang tahun saya yang ke lima. Saya ingat meniup lilin di atas kue black forest. Mungkin juga saya ingat detail hari itu, karena ada foto saya dipangku Mama di depan kue black forest berlilin angka lima. Saya memakai baju garis-garis horizontal biru-putih, sementara Mama memakai blazer warna ungu-hijau-hitam dengan shoulder pad khas tahun 1990-an, dan rambut panjang diblow. Saya ingat adik lelaki saya berumur 2.5 tahun, dengan rambut tipis jigrak, berpakaian garis horizontal kuning putih.

Saya ingat setelah ulang tahun adik saya yang ke tiga, saya sempat menggandengnya untuk bermain dan ia terjatuh tapi masih saya seret. Bibirnya luka dan harus dijahit. Itu yang membuat hingga sekarang, bibirnya lebih tebal dari bibir saya. Saya juga ingat di umur itu, adik saya pernah mencontoh permainan tolol saya menggoda kucing dengan menginjak buntutnya. Saya injak lalu menghindar dari cakaran, sementara adik saya menginjak lalu dicakar hingga kakinya berdarah. Aih, saya kakak yang sangat buruk.

Ketika umur saya 7 tahun dan adik 5 tahun, saya ingat di suatu malam kami berdua ada di bawah pohon belimbing wuluh di depan rumah. Adik saya duduk di atas sepeda roda tiga, sementara saya berdiri, memperhatikan ke dalam rumah. Di dalam rumah Mama dan Papa bertengkar karena Mama pulang terlalu malam, dan jarang bertemu anak-anak. Mama mulai banyak proyek yang memberikan keluarga kami mobil baru, tapi ia memang jadi selalu pulang malam. Saya ingat dari luar, saya melihat Papa melempar gelas beling ke arah tembok karena kesal.

Saya ingat di usia itu juga pernah penasaran mengancam bunuh diri dengan pisau dapur di depan pembantu karena nonton sebuah film dengan adegan yang sama. Saya ingat pernah melempar sandal ke om saya yang sedang tidur hanya karena ingin tahu reaksinya. Tentunya saya dijewer habis.

Saya ingat pernah bermain peran jadi satria baja hitam dengan anak-anak tetangga, dan karena tidak ada yang mau jadi monster jadi banyak satria baja hitam berduel satu sama lain setelah henshin bersama. Saya ingat papa membangun sebuah kolam ikan di depan rumah dekat pohon belimbing, mengisinya dengan ikan emas yang sering dimakan kucing, hingga suatu hari diputuskan untuk makan ikan bakar saja dan kolamnya dikosongkan.

Sebagai keluarga kecil, kami selalu berpindah-pindah kontrakan dan tidak punya rumah sendiri. Kami mulai membangun rumah ketika saya beranjak SMA. Tapi itu cerita lain.

Ingatan masa kecil. Apakah itu sebuah memori, atau imajinasi? Entahlah. Tapi mumpung teringat ada baiknya diabadikan. Tak banyak yang tersisa dari masa kecil, selain fragmen-fragmen.

Main di kali yang bertaik di dekat sekolah. Meminyaki tutup panci, mengibaskannya di got untuk mendapatkan nyamuk untuk makanan ikan. Berburu hantu dengan teman-teman lalu pulang dengan memar sabetan merah di punggung. Mencari biji karet dengan berjalan jauh ke lapangan terbang halim perdana kusuma di minggu pagi. Dipukuli anak yang lebih besar di samping mobil tetangga. Menonton vcd porno bersama teman-teman dan heran kenapa mbak di film itu minum pipis masnya. Bertengkar dengan kawan karena egois tidak mau gantian main super nintendo.

Fragmen. Hanya fragmen. Apakah bisa menjadi bahan analisis kepribadian? Atau semacam pencarian jati diri, sebelum saya mati?

***

Terima kasih sudah membaca memoir ini sampai habis. Jika kamu suka yang kamu baca, traktir saya kopi biar semangat nulis.

Memoir, Musik, Panggung, Portfolio

Crossing The Railroad: Sebuah doa penyembuh angst pada dewa rock

Semua generasi akan punya angst, atau kecemasannya sendiri. Ini masalah krisis eksistensial karena tekanan-tekanan. Dari tekanan keluarga, sosial, politik, psikologi, hingga romantisme. Maka itu, angst adalah perasaan takut dan cemas yang dialami banyak orang, tapi konteks dan hasilnya beda-beda. Untuk saya, Tera, Asep, Kuyut dan Edy, hasilnya adalah Crossing The Railroad. Sebuah album kecil rock and roll tentang kegelisahan generasi kami.

Album ini adalah salah satu titik hidup dari mengolah sakit-sakit yang khas generasi kami: transisi analog ke digital dan masa kini yang tak kami pahami membuat kami berkiblat ke masa yang kami pikir puncak peradaban anak muda: masa beat generation dengan musik blues, rock and roll, dan Psychedelic. Ekspresi menjadi segalanya, dan di atas panggung, berapapun penontonnya, kami bermain dengan ekspresi dan rasa itu. Yang penting ada alat musik dan beberapa orang yang melihat kami.

Setiap lagu adalah hasil kehidupan. Sebagai penulis kebanyakan lagu di Wondebra, saya yang suka mendengar curhat, menulis tentang saya sendiri afau masalah kawan-kawan saya.

Die die baby die adalah lagu tentang kekesalan pada diri sendiri yang sepertinya suka sekali disakiti cinta.

Crossing the railroad ditulis Thera sebagai cara untuk move on, disimbolkan dengan jalan ke kampus, menyebrang rel kereta tanpa palang yang sudah mengambil banyak nyawa kawan kami.

Dig it deep tentang kenyataan dibalik permukaan seorang gebetan yang mengecewakan. Kami memanggil fans kami dulu dengan kata “digger” karena kami ingin kita semua menggali lebih jauh tentang apapun, dan tidak tertipu permukaan.

Ode to Lady Janis, jelas sebuah persembahan untuk Janis Joplin, Dewi Rock and Roll kami.

Obituary persembahan kami untuk Nietzsche dan Tim Burton, tentang kuburan Tuhan yang kita sembah-sembah.

Midnight song, lagu tentang mimpi me jadi bintang rock yang bijaksana, bukan yang selebritas. Menjadi musisi yang mendapatkan pencerahan dengan kabur dari tuntutan hidup yang opresif.

Dan Hell’s kitchen, sebuah deskripsi tentang kacaunya Jakarta waktu itu: pelacuran dimana-mana, macet, panas, tak ada transportasi publik, nyawa murah. Itulah tempat kami hidup.

Angst kami menunjukkan zeitgeist kami: bahwa kini kami semua ada di jalan berbeda-beda, dengan tujuan hidup berbeda-beda, tapi toh masih dalam sebuah kerinduan dan harapan, bahwa kami akan berkumpul lagi sebagai sebuah keluarga senasib sepenanggungan.

***

Terima kasih sudah membaca sampai habis. Semoga kamu sempat mampir dan mendengar musik-musik kami ini.

Website ini jalan dengan sumbangan. Jadi kalau kamu suka yang kamu baca, bolehlah traktir saya kopi dengan menekan tombol di bawah ini:

Memoir, Racauan

Kepengecutan adalah insting bertahan hidup

Pada dasarnya, kita semua pengecut. Dan dalam kepengecutan kite menemukan kehidupan. Kita berhenti sebentar dan bersembunyi dari apa yang kita takutkan. Mencari cara biar kita bisa selamat, mengikuti insting bertahan hidup. Pertanyaannya apakah kepengecutan adalah insting bertahan hidup?

Fear fight flight fuck, adalah empat f yang terdapat di amygdala kita, bagian otak yang juga disebut otak kadal. Tapi perkembangannya sangat kompleks dan dipengaruhi oleh faktor internal seperti genetika dan hormon, juga faktor dari luar seperti posisi geografis, keluarga, parenting, kawan-kawan, pendidikan dan referensi dari buku, social media, dan sobat AI. Mungkin untuk lebih menyempitkan diskusi ini, kita bisa bicara tentang generasi baru di kota hari ini, yang lahir sebagai digital native, penuh dengan masalah penyakit mental, mudah patah, suicidal, dan sering bingung.

Bayangkan kalau kamu adalah digital native yang sejak kecil sudah terpapar internet. Social media menjadi kawan yang lebih dekat dari kawan dekat. Impian-impian dan trend pikiran orang dikonsumsi dengan rakus, tanpa henti, addiktif, manipulatif dan kamu lupa bagaimana caranya untuk jadi kontemplatif. Semua informasi massif membuat seakan segalanya permisif.

Yang terjadi adalah banyak eksistensial krisis yang membuat banyak orang menjadi narsis, atau nadinya ingin diiris, atau gabung dengan ISIS. Dan kita jadi kecut terhadap kehidupan. Mencari cara untuk berani menghadapi masalah dan mengambil keputusan. Untuk bicara yang kita percaya saja sulit karena kita sendiri seringkali tidak percaya diri.

Maka dalam kepengecutan kita mengorbankan sahabat, atau orang yang kita tahu sayang pada kita hanya karena kita pengecut untuk bilang bahwa kita tidak bisa membantu, atau kita perlu pergi. Hari ini kebanyakan orang memilih hilang daripada pamitan, patah daripada tumbuh.

Nietzsche bilang dalam the Genealogy of Moral, bahwa yang baik adalah menjadi berani. Tapi semakin hari ramalan-ramalan Nietzsche semakin jauh dari kenyataan aksi reaksi logisnya. Agama selalu relevan dan orang semakin pengecut. Manusia sudah sampai ke titik nadirnya, dan overman tetap menjadi impian saja.

Saya sendiri bahkan takut untuk mengakhiri tulisan racauan ini, karena akhirnya seperti tidak bisa kasih simpulan, tidak ada penutup yang sopan, lingkaran sempurna. Yang ada hanya sebuah kerinduan akan diri-diri yang lebih berani menerima kenyataan pahit, lebih berani hidup dan berjuang. Tentunya itu pasti ada di luar sana. Keberanian hadir ketika kekhawatiran dikalahkan nafas, niat, dan tindakan logis. Keberanian bukan kenekatan. Tapi seperti kebahagian, ia jarang. Kebanyakan orang takut, pengecut, dan akhirnya nekat saja. Ecce hommo!

***

Tulisan ini otentik racauan saya. Jika kamu suka yang kamu baca, boleh kiranya traktir yang menulis kopi dengan menekan tombol di bawah ini. Terima kasih sudah membaca.