Film, Kurasi/Kritik, Racauan

Kalau Bangsanya Bener, Filmnya Bakal Bagus dengan Sendirinya

Setelah kerja di industri media sejak tahun 2005, saya memutuskan untuk fokus ke pendidikan soal film dengan basis produksi–artinya saya akan bikin film sambil belajar dan mendidik sampai saya mati. Dari film-film kita yang bikin “Indonesian Fever” di berbagai festival internasional dunia, kita bisa melihat bangsa kita berkembang. Padahal ini baru di tahap di mana masyarakatnya belum semaju itu. Ada yang keracunan MBG, ada orang hilang lagi, tapi banyak film bagus yang terjadi, dengan dana yang sebenarnya nggak bisa dibandingin sama Korea Selatan apalagi Holywood, namun penceritaan, teknis dan kolaborasinya punya bentuk-bentuk yang keren.

Yang Diceritakan dan Yang Dilarang

Cerita sebuah bangsa tidak hanya soal kisah apa yang ditulis, tetapi juga kisah apa yang dilarang. Film selalu berhadapan dengan batas: apa yang boleh, apa yang tabu, apa yang harus disamarkan dalam simbol. Di Iran, sutradara menyelipkan kritik sosial lewat metafora anak kecil atau perjalanan sehari-hari. Di Cina daratan, penyensoran bekerja bahkan sebelum kamera dinyalakan—sejak praproduksi naskah. Larangan inilah yang sering justru memunculkan lapisan artistik yang canggih: bagaimana menyampaikan hal-hal yang tidak boleh diucapkan dengan bahasa visual dan sinematik.

Indonesia tidak seketat itu dalam hal sensor ideologis, tapi problemnya lain: cerita sering tunduk pada selera pasar. Yang laku diulang, yang menantang pasar jarang diberi kesempatan layar. Maka industri lebih sering mengikuti, ketimbang membentuk.

Teknologi: Siapa yang Punya Akses?

Film juga adalah soal teknologi. Kamera, lensa, perangkat editing, hingga efek visual. Teknologi menentukan standar estetika global: bagaimana sebuah gambar dianggap “cinematic,” bagaimana suara terdengar “bersih.” Pertanyaan pentingnya: siapa yang punya akses?

Negara besar menyediakan teknologi mutakhir bagi para filmmaker mereka. Negara berkembang sering hanya bisa mengejar, atau menambal dengan kreativitas. Ada film-film Indonesia yang secara teknis bisa menyamai standar Hollywood—jernih, presisi, mahal. Tapi jumlahnya masih terbatas, dan sering kali hanya terjadi karena adanya sokongan finansial ekstra, bukan karena sistem yang terbangun.

Kolaborasi Adalah Ruwet

Sisi paling krusial justru ada di sini: kolaborasi. Film adalah kerja kolektif. Tidak ada film yang lahir dari satu orang saja, meski nama sutradara sering dikultuskan. Di balik satu film, ada ratusan, bahkan ribuan negosiasi: sutradara dengan produser, penulis dengan aktor, kru dengan investor, pekerja lapangan dengan birokrasi perizinan.

Di negara dengan sistem produksi rapih, kolaborasi ini terasa militan: disiplin, efisien, tidak redundant. Tapi di banyak tempat, termasuk Indonesia, kolaborasi justru sering berantakan. Tidak ada standar yang konsisten, pendidikan film masih timpang, SOP longgar, regulasi tidak berpihak pada pekerja, dan struktur industri lebih sering diatur oleh kekuasaan informal ketimbang sistem formal.

Film sebagai Barang Mewah

Maka benar jika film adalah barang mewah. Ia hanya bisa lahir ketika ketiga sisi itu—cerita, teknologi, kolaborasi—bertemu dalam proporsi seimbang. Jika salah satu timpang, hasilnya akan terlihat. Film dari negara berkembang bisa saja kaya cerita dan kolaborasi, tapi teknologinya terbatas. Atau teknisnya sempurna, tapi ceritanya kosong karena tunduk pada pasar.

Indonesia punya potensi besar. Akses ke teknologi ada. Kreativitas cerita pun melimpah. Tapi tanpa keseimbangan yang serius—cerita yang berani bicara representasi, teknologi yang merata, serta kolaborasi yang terstruktur dengan SOP, pendidikan, dan dukungan legal—jangan harap industri ini bisa benar-benar maju.

Film adalah cermin peradaban. Kalau film kita masih berantakan, mungkin itu juga cermin dari bagaimana kita mengelola bangsa.

Film, Gender, Kurasi/Kritik, Memoir, Racauan

Quo Vadis, Henricus Pria?

Tulisan ini buat mbak yang komen di IG cinemapoetica. Ya, saya patriarki. Itu ideologi yang dipakai semua orang hari ini. Dan saya feminis, karena saya melawan ideologi itu, termasuk melawan diri dan privilise saya sendiri sebagai lelaki heteronormatif, yang berusaha untuk terus evaluasi diri. Yes, thank you, saya tidak kenal kamu tapi saya menghormatimu. Semoga bahagia dan sehat-sehat, ya.

Ketika rumah produksi Penyalin Cahaya menyebarkan kabar bahwa penulis naskahnya dicoret dari kredit karena menjadi terduga pelaku pelecehan seksual, saya sangat galau. Saya sedang ada di tengah project film panjang pertama saya, 6 film pendek yang saya eksekutif produser sedang jalan post produksi dan satu sedang distribusi, dan saya sudah melabeli diri saya sebagai pembuat film aktivis, arus pinggiran, khusus NGO dan misi humanitarian, plus saya self proclaimed feminist, tapi… Saya anxious dipenuhi rasa bersalah!

Karena faktanya, saya adalah laki-laki heteroseksual yang dibesarkan di dalam budaya patriarki, dan saya belajar soal seksualitas dan feminisme ketika saya kuliah, untuk lebih mengerti ibu saya yang seperti gambarannya Betty Friedan dan gebetan saya yang seperti Helene Cisoux. Itu pun, dalam masa-masa kuliah dan pasca kuliah yang rock and roll (saya punya 2 album rock and roll dan pernah punya groupies), saya bergaul dengan lumayan banyak perempuan. Dan seremnya, saya takut ada yang saya lecehkan tapi saya nggak sadar karena saya bias patriarki. Karena seperti kata Hannah Arendt, kejahatan itu banal. Anwar Congo nggak merasa bersalah membantai Komunis, sampe dia dipersalahkan zaman Baru yang melihat pembunuhan sebagai pembunuhan. Dan kebanyakan boomer yang melecehkan perempuan menganggap bahwa hal yang mereka lakukan normal- normal saja pada masanya. Intinya, banyak pelecehan terjadi karena kebodohan dan kekurangan kemanusiaan. Sejarah seringkali tidak bersifat linear, tapi paralel dan komparatif: seperti ditemukannya perbudakan manusia di jaman ini di rumah Bupati Langkat. Atau pemikiran beberapa aliran puritan Islam yang tidak mau hidup dengan teknologi karena tidak sesuai dengan cara hidup rasul.

Untuk memastikan saya tidak melecehkan mantan-mantan pacar, gebetan atau FWB, saya menjaga hubungan baik dengan kebanyakan dari mereka. Nggak semua soalnya ada yang sudah kawin, beranak, berbahagia dan suaminya insecure, jadi saya nggak hubungi lagi. Anyway, kasus Penyalin Cahaya bikin saya ga bisa tidur dan saya bikin draft tulisan yang isinya nama dan peristiwa dimana saya mungkin saja pernah melecehkan perempuan. Saya berusaha mengevaluasi diri karena takut nanti pas film saya jadi, ada yang mengadukan saya karena saya pernah tolol aja waktu muda. Tapi pas saya tulis, saya malah ketrigger sendiri—secara saya banyak dibikin nangis sama perempuan. Sad boi gitu, tapi mabok dan ngeblues, maklum belom jamannya Emo jadi saya terhindar dari punya poni banting.

Saya sedih diputusin tapi saya nggak pernah dilecehkan. Saya cuma not good enough to be their man. Saya juga nggak merasa melecehkan, karena toh saya bener-bener sayang sama mereka semua, dan saya sangat terbuka untuk tanggung jawab dan minta maaf pada mereka kalau mereka bilang saya menyakiti mereka. Tubuh saya penuh luka yang pantas saya dapatkan karena membuat mereka patah hati. Beberapa ada yang mereka kasih karena mereka kesal saya selingkuh terus jujur, tapi kebanyakan luka saya toreh atau saya pukul sendiri karena saya merasa bersalah menyakiti hati orang yang sayang sama saya. Ah, sudah ah. Sedih.

Akhirnya tulisan itu jadi draft aja yang entah kapan bakal saya keluarkan. Dan saya coba bikin kritik Penyalin Cahaya sebagai filmmaker saja. Tapi setelah saya tonton dua kali, saya langsung bosan dengan filmnya. Filmnya well crafted, bagus banget secara visual dan naratif, tapi nggak mengulik intelektualitas saya kayak film-filmnya Joko Anwar, misalnya. Penyalin Cahaya yaudah gitu aja. Paling kalo mau dikritisi, filmnya ga mengandung keistimewaan feminist secara visual: cewek-cewek di film itu tetap aja tereksploitasi dan jadi fetish buat cowok-cowok yang suka sama cewek feminist. Yes, seperti ada cowok-cowok fetish sama nenek-nenek, orang kerdil, anak kecil, dan perempuan cantik, ada juga cowok-cowok yang fetishnya sama dominatrix atau feminist. Kalau cowok-cowok yang fetish feminist ini adalah masokis, itu lebih baik daripada Penyalin Cahaya. Karena, dan ini simpulan saya sama Penyalin Cahaya:

Penyalin Cahaya secara visual dan naratif memberikan sebuah orgasme pada para lelaki patriarki dominan yang fetish pada feminist, bahwa pada akhirnya para perempuan yang melawan ini mereka kuasai, sistemnya kuasai. Di visual filmnya tubuh, punggung, dan ranah privat sudah diekspos ke penonton, memberikan kenikmatan. Dan cerita-cerita terfotokopi hanya sekedar buang-buang kertas ke jalanan. Secara visual keren, kertas kuning melayang di udara, tapi secara subtansi cuma jadi sampah di jalanan. Long live patriarchy.

Maka kesimpangsiuran kasus Henricus Pria, dan banyak pelecehan lain cuma menambah kuat statement film ini: cerita-cerita pelecehan itu sampah yang buang-buang kertas aja. Toh angka penonton dan penjualan di Netflix tetap tinggi, dan cerita korban berkeliaran seperti gosipan lambe turah saja.

Dan saya tetap tidak bisa tidur. Bukan karena saya merasa bersalah seperti ketika film ini tercekik wacana dan jadi trending dulu, tapi karena kasusnya seperti tulisan di pasir yang tersapu ombak waktu. Saya tidak bisa tidur memikirkan para perempuan yang trauma, terluka, dan melanjutkan hidup seperti veteran perang yang sengaja dibuat kalah dan traumatis. Saya tidak bisa tidur memikirkan, apa yang bisa saya lakukan besok, biar saya, murid-murid saya, generasi masa depan, tidak mengulang pelecehan yang sama. Karena bikin film soal pelecehan seksual, yang menang banyak penghargaan dan sempat bikin Peraturan Menteri no. 30 jadi hits, nggak bisa membuat korban diurus dengan lebih baik. Saya merasa helpless sebagai filmmaker.

Taik kucing semua kertas fotokopian itu. Saya akan bikin pendidikan film gratis aja buat filmmaker perempuan. Jadi mereka ga motokopi cerita, MEREKA SYUTING SENDIRI! Kalau kamu merasa kamu berbakat jadi sutradara, penulis, atau produser perempuan, tapi ga bisa sekolah film, daftar MondiBlanc!


Terima kasih sudah membaca tulisan ini. Website ini jalan dengan donasi. Jika kamu suka dengan yang kamu baca, kamu boleh sebarkan tulisan ini. Dan jika kamu mendukung saya untuk bisa terus konsisten menulis, boleh klik tombol di bawah ini dan traktir saya segelas kopi. Terima kasih.

Buku, Kurasi/Kritik, Racauan, Workshop

5 Produser Yang Bikin Nggak Produktif di Filmmaking

Setelah aktor dan sutradara, kini saatnya bahas soal produser. Produser adalah motornya sebuah film. Film sebagai sebuah barang adalah milik produser–ide nya milik sutradara. Tanpa produser, film hanya akan jadi angan-angan sutradaranya. Semua orang bisa jadi sutradara, tapi jarang yang benar-benar bisa jadi produser, karena dia butuh skill untuk membuat film “terjadi”. Karena kalo produsernya bagus, seringkali tanpa sutradara pun filmnya juga bisa jadi. Tapi tanpa produser, sutradara harus jadi produser biar filmnya jadi.

Tapi kasihan banget kalau sebuah film produsernya nggak produktif. Semua orang jadi susah, komunikasi jadi sulit, dan kalau sampai filmnya jadi, produsernya kemungkinan adalah orang lain atau tenaga gaib di film itu. Berikut adalah 5 produser gak produktif yang sebaiknta kamu hindari kalau diajakin proyekan.

1. Produser Tapi PA

Produser kayak gini sukanya melayani sutradara dan yes-yes aja tanpa bisa jadi sparing partner dalam argumen dan pengembangan ide. Dia nggak punya leadership dan seringkali cuma jadi bonekanya sutradara aja. Dia ga bisa bikin jembatan komunikasi antara sutradara dan kru lain, sehingga kalau dia dapat sutradara yang komunikasinya jelek, atau yang kurang dewasa, produksi filmnya bisa berantakan.

Namanya produser tapi kelakuan kayak PA (production assistant). Padahal tugas dia yang utama adalah mencari jalan supaya dia bisa gabut di set pas syuting karena semua berjalan baik. Perilaku PA-nya ini membuat ketika syuting, bisa jadi dia malah kalang kabut ngurusin semua yang ga keurus karena skala produksi salah perhitungan, atau komitmen kru nggak bisa dijaga.

Etos kerja produser tipe ini dihargai, tapi salah konteks. Mungkin harus belajar lagi ngikut produser lain, atau nyobain jadi sutradara, biar sekali-sekali punya visi.

2. Produser Bossy

Bossy itu berlagak boss tapi ga ada kharismanya. Nggak ngerti konsep, nggak ngerti hierarki, nggak ngerti teknis, terus petantang-petenteng nyuruh orang ini itu. Atau ambil kebijakan yang bakal punya konsekuensi produksi yang bikin rugi banget secara waktu dan uang dan hasil footage.

Hubungan dengan kru nggak terjaga karena komunikasi jelek, dan dia nggak sadar kalau komunikasi jelek karena merasa, well, dia boss. Dia rasa semua baik-baik saja karena dia boss yang maunya tahu beres. Nggak, boy. Produser nggak tahu beres, sebaliknya harus selalu curiga kalau sesuatu beres-beres aja. Minimal jadi punya plan B and plan C sampe Z.

Seringkali ini terjadi karena kurang pengalaman: produser dikerjai oleh sutradara atau kru yang lebih jago jualan daripada dia, sehingga dia terbawa suasana aman dan nyaman, dan nggak bikin planning yang rapih, nggak kritis dalam sebuah produksi. Mungkin cocoknya produser macam ini jadi executive produser saja.

3. Produser nggak gaul

Modal utama produser itu bukan duit tapi pergaulan dan managemen konflik. Dia harus kenal orang banyak yang cukup dekat hingga bisa dia pitch ide-idenya, atau ide sutradaranya. Dia pun harus jago milih teman mana yang mau diajak produksi.

Karena bukan cuma komitmen yang dibutuhkan tapi juga skill, dan skill nggak ada gunanya kalau ga ada komitmen. Produser yang gak gaul biasanya bukan orang yang berkomitmen, karena kalau dia penuh komitmen, maka dia akan punya banyak temen yang ngutang sama dia dan rela bantuin filmnya setengah mati.

Ketidakmampuan managemen konflik dan pergaulan sosial ini jadi masalah sangat besar, karena produksi adalah soal mengatur dan mendesain flow kerja. Produser yang cenderung menghindari konflik, tidak bisa mendamaikan pihak-pihak yang berfriksi, dan tidak bisa menjadi mediator, sebaiknya jangan jadi produser.

Karena kenikmatan produksi film adalah hasil kerja keras pra produksi, ketika semua konflik sudah teratasi, semua orang tersedia, semua fasilitas mencukupi, hingga ketika syuting, semua orang bisa menanggung penderitaan bersama dengan rela dan bahagia.

Syuting yang baik seperti seks yang enak: sakit-sakit-nikmat. Produser keren bisa bikin semua orang orgasme, dan orgasme butuh hubungan dan komunikasi yang enak.

4. Produser sotoy

Sotoy di industri film Indonesia ada di mana-mana. Bayangkan film sebagai media termutakhir saat ini: dia mengandung sastra, teater, seni rupa, seni lukis, seni musik, dan seni-seni lain. Produser yang mau jualan ide dan filmnya harus ngerti luar dalam apa yang dia jual. Tapi kalau dia kalah intelek sama sutradara, production designer, scriptwriter, dll, dia bisa salah jual barang dan ujung-ujungnua dianggap penipu.

Sotoy buat sutradara bisa berujung gak dipake orang lagi, ga ada yang mau kerja sama dia lagi. Tapi sotoy buat produser lebih parah: dia bahkan bisa masuk penjara! Sotoy soal budget, bisa jadi overbudget, sotoy soal konsep bisa dituntut sama eksekutif produser dan investor, sotoy soal seni yang dipakai di filmnya, bisa kena pasal Hak Cipta.

Produser kerjaan yang berat dan kudu teliti dan hati-hati. Orang sotoy di Indonesia punya kesempatan dan tempat buat dipercaya orang lain, tapi hasilnya bisa jadi buruk banget. Jadi produser adalah soal trust dan tanggung jawab. Nama dia akan jelek selama-lamanya kalau filmnya keluar dengan banyak masalah yang membuntutinya.

5. Produser power player

Dia humoris, jago bergaul, jago ngatur budget, jago jualan, tapi dia sering menggunakan posisinya untuk bermain kuasa dengan memeras orang lain baik dengan cara halus, atau dengan modal sosialnya. Dia bisa memeras orang dengan rayuan dan ancaman, dari deal soal harga sampai deal soal seks.

Produser kayak gini baiknya dipenjara saja selama-lamanya. Perilaku patron yang pervert, sudah saatnya hengkang dari muka bumi. Jadi sebelum kerja dengan produser manapun, sejago-jagonya dia, pastikan kalian minta kontrak yang jelas, atau referensi terpercaya sebelum kerja dari kawan-kawan lain kalau memang callingannya harian.

Kalau ketemu produset macam ini, jangan takut untuk cerita dan melawan balik. Cari temen-temen deket dulu, bikin asosiasi, atau masuk asosiasi. Produser kuat dan serem kayak gini harus dihajar dengan persatuan dan kesatuan!

***

Terima kasih sudah baca sampai habis. Blog ini dibiayai oleh sumbangan kalian, lumayan mahal biaya tahunannya. Kuy! Klik tombol di bawah ini:

Film/Video, Portfolio

Sejak Dini | Film Pendek Keluarga untuk Mendidik Anak Peduli Lingkungan Sejak Dini

Kalau kamu bingung bagaimana cara menyelamatkan dunia yang hampir kiamat karena kerusakan lingkungan, ini adalah film buat kamu.

Ini adalah film pendek hasil kolaborasi MondiBlanc Film Workshop dan WWF Indonesia yang saya sutradarai. Proses pembuatannya cukup lama dari mulai workshop sampai eksekusi dan post produksi, demi menghadirkan pesan yang jelas namun tetap menghibur, sebagai sebuah film keluarga.

Selamat menyaksikan.