Anthropology, Ethnography, Film, Filsafat, Gender, Racauan

Ibu Kita Lonte, Lalu Mau Apa? Kajian Legenda Kelam Malin Kundang dan Pangku untuk Indonesia

Disclaimer: Tulisan ini mengandung spoiler.

Pengantar untuk yang malas baca atau terlalu sibuk bekerja

Kita mulai kisah ini dengan fiksi bertema ekofeminisme:

Sejak zaman kolonial, ibu pertiwi kita, Indonesia, dianggap lonte. Ia dieksploitasi habis-habisan lewat kolonialisme yang membawa industrialisasi dan modernitas ke tanah ini, memperbudak anak-anaknya, anak-anak lonte, nenek moyang kita. Ketika kita merdeka, anak-anak pertama ibu, penggagas kemerdekaan, berniat menaikkan harkat martabat ibu kita dengan mengatur sendiri bagaimana harusnya ibu kita melonte: memilih pelanggan yang mana untuk ibu, supaya keluarga kita bisa hidup lebih layak. Mas Nono adalah nama kakak kita yang menjadi pemimpin keluarga, ketika bapak kolonial kita sudah kabur ke negaranya.

Pergumulan kekuasaan antara adik-kakak, dengan dukungan beberapa pelanggan ibu yang kebapakan dengan ideologinya masing-masing, membuat saudara bunuh saudara, saling menggulingkan, saling fitnah untuk kekuasaan: anak lelaki mana yang bisa menguasai dan mengatur bagaimana ibu kita melonte, siapa saudara yang dapat lebih banyak uang dari tubuh ibu. Pada akhirnya Mas Nono lengser dan diambil alih oleh Mas Toto. Mas Toto berkuasa 32 tahun untuk menjadi mucikari Ibu. Mas Toto membayangkan ibu yang terhormat dengan propaganda “ibuisme negara”, dan memaksa anak-anak perempuan ibu untuk melonte hanya untuk suaminya—terlepas suaminya toksik atau diam-diam menjual istrinya demi bisnis, istri/ ibu yang baik menjaga rahasia opresi rapat-rapat, kata Mas Toto. 32 tahun kemudian anak-anak ibu bertengkar lagi, karena ibu kelelahan kerja dan tidak ada uang masuk. Anak-anak kelaparan dan lagi-lagi kekuasaan bergulir, minta tolong tetangga, minta tolong menir IMF untuk bayar hutang, nyonya World Bank untuk menolong keluarga lonte yang anaknya banyak dan entah bapak yang mana yang mau tanggung jawab.

Ibu sering lelah dan tak bisa kerja, atau kadang marah sampai menangis dan mengamuk karena anak-anaknya yang durhaka. Ketika itu terjadi, air mata ibu menjelma tsunami dan banjir bandang, kemarahan ibu menjelma gunung meletus, kebakaran hutan, dan gempa bumi. Anak-anak ibu yang paling bungsulah korbannya–termasuk adik-adik mereka yang masih dalam kandungan ibu yang terpaksa diaborsi. Anak-anak korban amarah ibu adalah yang tinggal paling dekat dengan ibu, dan sering disuruh kakak-kakaknya untuk melihat ibu diperkosa. Lalu kakak-kakak yang hidup akan mengubur adik-adik yang mati dekat ibu. Ada yang mengubur dengan menangis dan tersedu-sedu dan rindu dendam; ada juga yang mengubur karena takut sama ibu, tapi sebenarnya tidak peduli. Kakak yang tak peduli itulah yang sesungguhnya menunggu dirinya dewasa untuk bisa bersetubuh dengan ibu, seperti bapak-bapak yang membayarnya sebagai mucikari.

Tapi ada juga kalanya, anak-anak Ibu sayang sama Ibu. Ibu dilihat apa adanya, ibu dirawat, adik-adik dirawat, rumah dirawat, dibersihkan dan direnovasi di mana yang perlu. Tidak sembarang robohkan dan ganti seenaknya. Tubuh ibu dimandikan air kembang, ibu dimasakkan makanan enak, dan ibu bangga pada anak-anaknya yang nilai sekolahnya bagus. Dipuji tetangga bahkan sampai bisa merantau ke luar negeri. Anak-anak ini mengasuh dan mengayomi adik-adik kita yang muda dan bodoh, berusaha untuk membuat kerja Ibu semakin ringan. Sayangnya, anak-anak baik ibu semakin hari semakin sedikit–karena rumah tangga kita terpengaruh oleh kebijakan kampung global. Perang antar rumah tangga, dan bapak-bapak di rumah tetangga yang suka jajan di rumah kita, membuat anak-anak ibu yang paling jahat, seringkali berkuasa di rumah kita ini. Dan siklus kehancuran kembali dimulai.

Legenda Kelam Malin Kundang (LKMK) dan Pangku, adalah dua film Indonesia tahuh ini yang bicara soal Ibu yang Lonte. Ibu kita semua, orang Indonesia, orang terjajah. Kedua film punya dua tokoh ibu lonte di dunia yang berbeda. Pengantar untuk orang malas ini adalah buat mereka yang tidak punya daya baca, atau tidak punya waktu. Tapi jika sedang niat baca dan ada waktu, jika kalian telusuri blog ini, berikut yang akan kalian temukan: 

Di bagian pertama, Tentang Dua Film, saya akan menjelaskan kenapa saya memilih dua film ini, yang dibuat oleh sutradara rintisan, dalam ekologi film Indonesia hari ini yang menguasai 65% pasar film di negara kita. Film-film ini dibuat oleh sutradara-sutradara lelaki yang paham isu gender, berpikiran kritis, dan didukung oleh filmmaker dan kru yang paling mutakhir di Indonesia. Dan kesamaan kedua film ini secara tematis, membuat saya terdorong sekali untuk menulis kajian komparasi soal keduanya.

Di bagian kedua, Citra Tubuh Perempuan, saya menjelaskan bahwa nilai moral di masyarakat, ditentukan dari bagaimana masyarakatnya memaknai tubuh perempuan atau yang feminin (termasuk di dalamnya alam). Semakin parah pemaknaan terhadap tubuh perempuan, maka semakin jatuh moral sebuah masyarakat: parah artinya tubuh perempuan dianggap bukan tubuh manusia yang punya keinginan, punya kecerdasan, dan bisa mengambil keputusan sendiri. Kedua film melihat tubuh perempuan dengan cara berbeda, dan para perempuan mengambil keputusan dengan cara berbeda. Apa implikasinya? Silakan baca sendiri. 

Di bagian ketiga, saya bicara tentang Anak Lelaki Pelacur dalam Superstruktur Minang dan Pantura. Saya melihat kedua film digarap dengan baik, beberapa kru adalah orang lokal yang mengerti budayanya, atau melibatkan orang lokal sebagai bagian dari riset. Di sini saya akan menjabarkan bagaimana kedua film mempresentasikan moda produksi kebudayaan dalam memaknai pelacuran. Satu film melihat dari sudut pandang feminis radikal, dimana pelacuran adalah eksploitasi; film lain melihat dari sudut pandang feminis materialisme, dimana pelacuran adalah kerja buruh. Ini menghasilkan status berbeda pada anak lelakinya: yang pertama adalah anak pelacur tanpa status; yang kedua adalah anak kampung yang punya jejaring. 

Di bagian keempat, saya bicara soal Politik Estetika yang dipakai kedua film. Film pertama memakai impressionisme horor, untuk menyelami pikiran individu dan memberikan ketakutan dari dalam diri. Film kedua memakai realisme sosial untuk memaparkan relasi sosial dan memberikan ketakutan dari luar: negara, kapitalisme, pemerintah yang sama sekali tidak berperan kecuali merepotkan mereka yang kerja keras. Politik estetika bergerak dalam penentuan distribusi estetis: apa yang boleh dan tidak boleh di lihat, siapa yang boleh membuat dan boleh menontonnya, dan lain-lain. Saya berargumen bahwa kedua film memiliki rezim estetikanya sendiri, tapi sedang terancam oleh usaha negara yang buta fim tapi haus kepentingan untuk membuat kebijakan “membantu film Indonesia.” yang hendak memaksakan rezimnya (lagi) dalam film Indonesia–sesuatu yang kita semua harus waspadai.

Di setiap akhir halaman, saya akan kasih tombol “traktir yang nulis kopi,” buat yang ingin kasih saya bantuan reimbursement kopi-kopi sekeliling Yogyakarta selama JAFF 2025, yang habis buat bikin tulisan panjang ini–hanya untuk mereka yang sedang kelebihan rejeki dan tidak diteror pinjol tiap bulan. Selamat membaca!

Klik di sini untuk menuju halaman berikutnya: Tentang Dua Film.

Daftar Isi

Film, Kurasi/Kritik

7 Jebakan Vina Sebelum 7 Hari

Seperti pembuka film Vina Sebelum 7 Hari, saya akan kasih disclaimer:

Saya telah menonton film ini dan sempat masuk ke salah satu jebakan Batman yang saya tulis ini. Tapi jika pembaca yang budiman berharap saya akan memberikan spoiler film, mengklarifikasi gosip yang snowballing di twitter dan sosmed lain, atau mendapatkan sebuah kritik estetik dari film ini, pembaca sekalian membaca tulisan yang salah. Saya menolak menceritakan pengalaman menonton, karena setelah menonton film itu, saya harus maraton film-fiilm Jordan Peele dan Ari Aster, plus film-film pendek random dari Mubi, hanya untuk mengembalikan harapan bahwa masih ada masa depan untuk film berkemanusiaan di bumi ini. Tidak ada konten film yang akan dibahas di essay ini, hanya ada konteksnya.

Untuk menulis essay ini, saya bahkan harus menghubungi kritikus-kritikus hebat yang saya kenal, yang namanya baiknya tidak saya tulis di sini biar mereka tidak kena jebakan batman. Tulisan ini adalah hasil konsultasi dengan tiga orang kritikus film yang belum menonton filmnya, maka secara etis, mereka menjaga untuk tidak bicara film yang belum mereka tonton. Saya ambil tanggung jawab penuh secara pribadi dalam menulis ini. Kawan-kawan kritikus ini seperti para psikolog yang sedang mendengarkan masalah-masalah saya dan memberikan rekomendasi terapi. 

Maka saya hanya akan membantu tugas filmmaker dan korporasi bioskop, untuk menambah disklaimer buat penonton yang akan jadi korban. Karena disklaimer di film cuma pembenaran filmmaker untuk bikin film, kita yang menonton tidak dipikirin kecuali beli tiketnya. Berikut adalah Vina Sebelum 7 Hari, dan 7 Jebakannya.

Jebakan 1: Film ini bukan biopik, ini horor biasa yang tidak ada trigger warning terhadap adegan sadisnya.

Buat kebanyakan orang, jebakan film horor ini seringkali dikesampingkan, karena kebanyakan penonton film horor berharap mendapatkan adrenalin kencang, jump scare, darah dan gore, serta adegan kesurupan. Tapi film ini dipromosikan sebagai horor mistik biopik, jadi harapannya adalah adanya ruang drama di film ini. Mistik biopik ini sudah dibikin sama The Conjuring, misalnya. Tapi karena mistik adalah subjektif, nama korban bukan nama asli dan tidak melibatkan realitas sosial seperti perkosaan.

Ini jebakan yang hadir di banyak film horor Indonesia, karena filmmaker kurang peka dan inklusif, serta belum ada peraturan dan perundang-undangannya yang mengharuskan trigger warning di awal film model begini. Kalah sama bungkus rokok. Ingat, terakhir kali ada horor biopik berjudul Pembalasan G30S PKI, muncul banyak kekerasan dan intimidasi ke banyak orang tak bersalah. Padahal walau darah itu merah, Jawa bukanlah kunci dan Aidit bukanlah perokok.

Jebakan 2: Film ini dapat mengaktivasi trauma untuk penyintas Kekerasan Seksual

Film ini harusnya mengandung activation warning keras, bahwa adegan kekerasan seksual, yang jikapun dibuat dengan melibatkan intimacy coordinator (koordinator keintiman untuk menjaga syuting tetap etis), dan dilakukan dengan shot-shot “aman” yang tidak mengandung ketelanjangan, tidak menggambarkan secara langsung orang berhubungan, dengan cara cut-to-cut shot close up antara tokoh pelaku dan tokoh korban, tetap bisa mengaktivasi trauma. 

Sumber: Linimassa publik.

Jebakan 3: Film ini memakai orang yang marah setelah nonton jadi iklan gratis

Jujur, setelah nonton saya sempat marah. Tapi saya tahu, marah tidak akan menyelesaikan masalah, malah filmnya akan semakin berkibar. Maka secara personal saya ungkapkan perasaan saya ke kawan-kawan dekat yang lebih objektif dan tenang. Tidak saya bawa ke publik karena selain saya terdidik secara akademis, alhamdulilah saya juga berpengalaman secara psikologis, khususnya soal sosmed. Kalau pakai I-message, teknik yang saya pelajari dari psikolog dan ditekankan kembali di film Dua Hati Biru, saya jadi bisa bilang, “Saya marah dan kesal, karena film ini tidak berpikir dari sudut pandang korban-korban kekerasan seksual dan malah mengeksploitasi korban yang sudah meninggal dari sudut pandang maskulin dan patriarkis. Saya kesal karena beberapa kawan-kawan dekat saya selamanya akan membawa trauma mereka, dan film ini memperparah kondisi itu. Maka saya dengan niat baik mau mencegah film semacam ini dibuat lagi.

Jebakan 4: Film ini bisa membuat orang yang marah tanpa nonton, jadi kehilangan akal, dan agensi iklan gratis.

Jika kamu sudah cukup umur dan dewasa, kamu harus berpikir logis sebelum mengadili sebuah produk budaya yang terbit dengan keterlibatan banyak unsur: dari PH, lembaga sensor, dan bioskop. Kalau belum menonton filmnya, baiknya kamu menggunakan data sahih yang tersilang referensi untuk menentukan kebijakan atau opinimu. Jika tidak, jangan mengadili sebuah film atau produk budaya yang kamu tidak tonton. Baiknya bicarakan hal-hal fenomena yang kamu saksikan dan terverifikasi.

Sumber: Linimassa publik

Jebakan 5: Film ini membuat orang yang nggak kritis, jadi berbahaya

Mereka yang tidak kritis adalah sasaran pertama film ini. Mereka membawa anak-anak untuk ikut nonton, atau mereka menonton untuk melihat sensasi dan berkomentar tidak senonoh soal korban, atau mereka yang melihat film ini sebagai film horor biasa dan bukan biopik (mewakili kejadian nyata), atau mereka, yang ini paling parah, yang membenarkan perkosaan dan merasa itu wajar atau bilang mau menirunya. 

Sumber: linimassa publik.
Seperti banyak film horor 17+ lain, bioskop tidak pedulu dan takut dimarahi pembeli tiket. Sumber: Dokumentasi pribadi.

Jebakan 6: Film ini bisa membuat orang yang kritis jadi krisis

Film ini kebal-kritik, artinya secara estetik film ini tidak bisa dibahas karena konteksnya sudah salah dari awal. Boikot akan membuat film ini semakin laku, dan kita akan menemukan copycat-copycat di masa depan yang dapat membuat film yang modelnya sama, tanpa kena akibat apa-apa. Seperti para kepala daerah yang mulai menyusun strategi bansos pork barrel untuk kampanye, yang mereka pelajari dari Pilpres kemarin. Artinya, kita benar-benar harus konsolidasi, dan membuat penawaran rancangan kebijakan melalui diskusi-diskui publik agar film seperti ini tidak bisa dibuat lagi.

Jebakan 7: Film ini dibuat oleh ahli kontroversi dan troll kebudayaan

K.K. Dheraj adalah salah satu produser paling evil jenius di Indonesia. Dia sudah biasa dicaci maki, dikutuki, dan selalu selamat dari masalah. Dia membuat film-film dengan gimmick bintang porno seperti Terra Patrick dan Sasha Grey. Dia juga pernah memakai sembarangan Intelectual Property Rowan Atkinson untuk jadi gimmick di film Mr. Bean Kesurupan Pocong. Dan dia adalah produser yang dua kali membuat film soal Jokowi (tanpa ijin Jokowi tentunya). Dan seperti Jokowi yang berhasil memenangkan anaknya menjadi wapres dengan bermain MKMK, Bansos, dan hukum yang legal, begitulah pula K.K. Dheraj menjadi filmmaker yang mampu mengubah cancel culture menjadi iklan gratis.


Terima kasih telah membaca sampai habis. Website ini jalan dengan sumbangan, iklannya tak menghasilkan, dengan lisensi Creative Commons, Atribution, Non commercial. Kamu boleh pakai konten ini selama memberikan link sumber dan bukan untuk tujuan komersial. Kalau kamu suka dengan yang kamu baca, silahkan traktir saya kopi murah.

Film, Kurasi/Kritik

Ibu Arkaik dan Bapak Yang Mati di Pengabdi Setan dan Perempuan Tanah Jahanam

Era pasca Reformasi membawa ide-ide baru, ideologi dan teknologi: MTV, Internet, Friendster, HP tidak cerdas, Oligarki Media, dan kebangkitan film Indonesia. Seperti dijelaskan oleh Kusumaryati (2011), Paramaditha (2012), dan Pangastuti (2019) ada sebuah pergeseran ideologi yang menyebabkan gelombang dalam naratif teks-teks kebudayaan, termasuk dan khususnya, film. 

Pergeseran tersebut ditunjukkan dari bagaimana perempuan direpresentasikan baik di Industri dan dalam isi film. Buktinya adalah munculnya produser-produser dan sutradara-sutradara perempuan dalam sebuah industri yang biasanya didominasi lelaki dan patron-patron pria. 

Perempuan-perempuan ini, seperti Mira Lesmana dan Nan T. Achnas, adalah bagian dari pergerakan sinema baru di Indonesia pasca Reformasi yang menyutradarai film omnibus Kuldesak (1998). Mengutip Intan Paramaditha:

Not only are they privileged with cosmopolitan perspective of the world, but they are also exposed to the global flows of images that started to proliferate in the 1990s with the emergence of satellite TV. This is also the generation that grew up watching mainly Hollywood films… (Paramaditha, 2012, p. 80) 

Mereka tidak hanya diberkati dengan perspektif kosmopolitan dunia, tapi mereka juga terekspos dengan aliran citra global yang muncul di tahun 1990 dengan hadirnya TV satelit. Mereka juga adalah generasi yang tumbuh menonton kebanyakan film Holywood. 

Kosmopolitanisme memainkan peran besar dalam mode produksi dan kolaborasi para filmmaker pasca Reformasi. Ide-ide baru yang dibawa para mahasiswa Indonesia di luar negeri, internet, dan kembalinya film-film cult Indonesia, telah membuka pintu ke deterriteriolisasi global. Deterriteriolisasi adalah “hilangnya hubungan ‘alami’ antara budaya dengan wilayah geografi dan sosial” (Tomlinson dalam Normanda, 2021: hal. 9) atau dengan kata lain, sebuah dunia imajinasi kolektif dalam bentuk teks kultural dalam dunia data. 

Untuk saya pribadi, ada seorang sutradara yang paling menonjol dalam tanah deterritorialisasi di sinema Indonesia pasca Reformasi: Joko Anwar. Menurut kritikus film Ekky Imanjaya, Anwar adalah orang yang “menemukan kembali film-film B secara global” di awal tahun 2000an yang sempat hilang dari lalulintas kebudayaan Indonesia (Imanjaya, 2016, hal 28).

Saya menyebut Anwar sebagai sutradara-aktivis-selebriti. Dengan 1.7 juta follower di twitter, dan 271 ribu follower instagram, Anwar menerbitkan buah pikirannya beberapa kali sehari, mempromosikan filmnya, film kawan-kawannya, tips membuat film, dan aktivisme sosial. 

Dalam wawancara di tahun 2010, Anwar bilang, “… Saya merasa bahwa saya tidak akan diterima di Indonesia karena satu atau dua alasan. Kalau saya kasih tahu kamu alasannya, orang akan mikir saya terlalu self absorbed. Filmmaker di negeri ini merasa mereka hebat, tapi mereka belum pernah keluar negeri dan melihat orang yang lebih hebat… Saya cuma mau tahu posisi saya di sinema global” (Anwar dalam Nurmanda, 2010, hal 238).

Hari ini, dengan 9 film panjang, sebuah serial HBO, sebuah miniseri HBO, dan banyak film pendek, Anwar tidak lagi membayangkan dunia deterritorialisasi Sinema; dia hidup dalam dunia tersebut. 

Saya akan mendiskusikan secara singkat dua film terakhir Joko Anwar: Pengabdi Setan (2017) dan Perempuan Tanah Jahanam (2019). Saya memilih dua film ini karena ide-idenya tentang protagonist perempuan dan tentang keibuan yang dapat dilihat sebagai sebuah tantangan baru terhadap ideologi patriarki dalam film Indonesia, terutama dengan film-film bergenre serupa yang bicara tentang konflik keluarga dan horor. 

Saya berargumen bahwa dua film tersebut menarasikan aparatus global tentang kebenaran politis (political correctness) dalam isu gender dan penolakan terhadap hukum sang Bapak dari teori Freudian/Lacanian–dan dalam konteks Indonesia, sebuah hempasan pada maskulinitas Orde Baru. 

Bapak yang Menghantui

Jacque Lacan, seorang psikoanalis Prancis, menyatakan bahwa bahasa adalah awal dimana seorang anak memasuki Orde Simbolik, dimana ia belajar hukum sang Bapak dan mulai menginternalisasi bagaimana cara berhasrat dalam hukum tersebut, maka memisahkan ia dari ibunya. (Zizek, 2005). Dalam konteks rezim Orde Baru, kita harus bicara tentang Bapakisme dan Ibuisme, dimana relasi gender dikontrol oleh heteronormativitas negara (Paramaditha, 2012, hal 71.) 

Secara sederhana, Orde Baru melihat Bapak sebagai pemimpin rumah tangga dan ibu sebagai pengasuh. Posisi seorang perempuan ditentukan dari posisi suaminya. Dalam sudut pandang Orde Baru, perempuan dewasa adalah perempuan yang menikah, dan perempuan yang tidak menikah atau tidak punya anak dianggap hina (Abject). 

Sedikit penjelasan logika ini dalam film Indonesia, dalam film Ketika Iblis Menjemput (Tjahjanto, 2018) dan Lampor (Soeharjanto, 2019) menceritakan seorang Ayah yang membuat perjanjian dengan setan atau mengerjakan ritual untuk mendapatkan kekayaan, mengorbankan istri dan anak pertamanya, menikah lagi, jadi depresi, bertobat, mati dan dimaafkan oleh istri atau anak perempuan yang dizalimi untuk kesuksesannya. 

Walaupun kedua film punya protagonist perempuan, keduanya juga punya stereotipe perempuan nakal, dalam bentuk pendaki kelas sosial atau pezina. Kedua film membandingkan perempuan baik-perempuan buruk. Perempuan baik: pemaaf, penyayang, altruistik; perempuan buruk: cantik, licik, ambisius. Walau bapak mati, amal baik bapak atau arwahnya menang dan dimaafkan, walaupun masalah yang ia timbulkan sangat banyak. 

Sementara itu, dalam film Joko Anwar, ketika bapak mati, ya bapak mati. 

Hilangnya Kebapakan

Dalam Pengabdi Setan, cerita berputar di sekitar Rini (Tara Basro) dan tiga adik lelakinya yang berjuang untuk hidup mandiri setelah ibunya meninggal. Bapak mereka harus kerja di kota karena mereka terlilit hutang.  

Ibu mereka adalah mantan penyanyi dan semenjak ia sekarat, banyak kejadian aneh terjadi. Setelah ia meninggal, kejadian supernatural makin sering terjadi. Nenek mereka mati di sumur, dan gebetan protagonis meninggal mengenaskan ketika mengantarkan pesan kebenaran kepada sang protagonis. 

Di akhir film, terbuka bahwa ibu mereka telah mengikat janji pasa setan dan sektenya untuk bisa punya anak, dan dia harus memberikan anak terakhirnya kepada setan ketika usia anak itu 7 tahun. 

Yang paling menarik, dalam film yang memecahkan rekor sebagai film horor terlaku dalam sejarah film Indonesia ini, adalah kematian seorang Ustadz–yang adalah bapak dari gebetan si protagonis. 

Pada masa Orde Baru, film horor harus menggambarkan kehadiran agen agama sebagai deux ex Machina dalam memecahkan masalah supernatural. Hal ini hilang semenjak film Jelangkung (Mantovani, 2001) dibuat. (Kusumaryati, 2011:208). Dalam Jelangkung, tokoh dukun mati ketika mencoba mengusir setan. Di Lampor, makhluk Supernatural juga mengambil si Dukun. Walau tidak diakhiri dengan tokoh religius, kedua film tersebut masih sejalan dengan logika Orde Baru untuk menghukum orang kafir yang kepercayaannya di luar kepercayaan yang disetujui Orde Baru. Hanya dalam Pengabdi Setan, seorang Ustadz bisa depresi dan dibunuh oleh zombie. Naratif ini adalah hantaman keras untuk menolak hukum bapak Orde Baru. 

Film terakhir Anwar sebelum pandemi adalah Perempuan Tanah Jahanam (2019), yang bercerita tentang Maya/Rahayu (Lagi-lagi dimainkan Tara Basro), yang, setelah hampir mati, menemukan bahwa ia mewarisi rumah di sebuah kampung bernama Harjosari.  

Bersama temannya, Dini (Marisa Anita), Maya pergi untuk mengambil warisannya. Kampung tersebut dikutuk karena mantan kepala desa yang juga seorang dalang bernama Ki Donowongso, menggunakan ilmu Hitam untuk menyelamatkan anaknya Rahayu, yang lahir tanpa kulit. Semenjak saat itu, semua bayi yang lahir di kampung itu, lahir tanpa kulit. Cerita latar ini agak panjang dan harus diceritakan melalui momen trans si protagonis tentang patriark di kampung tersebut yang semuanya berakhir mati di akhir film. Dan tokoh Nyi Miskin (Christine Hakim) yang bunuh diri demi anak lelakinya, tetap menghantui. 

Protagonis Perempuan VS Ibu Arkaik

Protagonis dalam kedua film itu adalah perempuan dengan karakteristik yang berbeda. Rini hidup di kampung pada tahun 1980-an dan memiliki kualitas keibuan untuk adik-adiknya: melakukan pekerjaan domestik, merawat ibu yang sakit, dan memasak di dapur. Sementara itu, Maya adalah perempuan Urban kelas menengah bawah di tahun  2000an yang berjuang secara finansial. Kontekstualisasinya cocok, ideologinya tidak: dan itu baik ketika kita punya pernyataan politik. 

Kedua perempuan muda itu terjebak dalam situasi sosial yang aneh, dalam setting yang ambigu. Dari awal, Pengabdi Setan dimulai dengan sekaratnya sang Ibu; sementara Perempuan Tanah Jahanam dengan percobaan pembunuhan protagonis. Dalam dua film tersebut kedua protagonis tidak memiliki keistimewaan apa-apa. 

Tapi mereka harus menghadapi Ibu Arkaik; seorang ibu yang menuntut, ambisius, tidak subur, jahat, berkuasa, dan hina (Creed, 1993). Ada tiga jenis ibu dalam Pengabdi Setan: pertama, ibu yang mati, kedua hantu/zombie ibu yang beda karakter dan kesadaran, dan ketiga nenek/hantu sang nenek yang hadir dari sumur/kamar mandi; tempat mengambil air dan buang air.  

Dalam Perempuan Tanah Jahanam, Ibu Arkaik adalah Nyi Misnih, pelayan/dukun yang mau mengontrol anaknya dan melindunginga dari kesedihan, patah hati, dan ketidakberdayaan. 

Konflik di kedua film dimulai dari tekanan sosial. Dalam Pengabdi Setan, Ibu bergabung dengan sekte setan supaya bisa punya anak. Sementara dalam Perempuan Tanah Jahanam, Nyi Misnih terperangkap struktur sosial ketika anak lelakinya berselingkuh dengan istri Tuannya. Ibu Arkaik berjuang untuk mempertahankan kuasa, dan dengan waktu dan kebenaran, kekuasaannya runtuh. 

Kedua film membunuh atau mengesampingkan tokoh bapak, mengangkat perempuan polos yang dengan intuisi dan improvisasinya mampu melawan ibu arkaik. Naratif ini datang dari seorang sutradara laki-laki yang hadir di Indonesia Pasca Soeharto, dengan kesadaran akan trend political correctness global dan gerakan perempuan. Keterlibatan produser perempuan, kru, dan aktor dengan visi yang sama, juga mengubah lanskap film Indonesia untuk menjadi lebih representatif terhadap perempuan, di dalam dan di luar filmnya. 

***

Terima kasih sudah membaca sampai selesai. Blog ini dibiayai dengan donasi, dan nulis butuh waktu dan energi yang banyak. Kalau kalian mampu, boleh traktir saya kopi dengan klik tombol di bawah. Thank you for reading!

Bibliografi

Zizek, S. (2005). Woman is One of the Names-of-the-Father, or How Not to Misread Lacan’s Formulas of Sexuation . Retrieved May 18, 2020, from lacan.com: https://www.lacan.com/zizwoman.htm

Shanty Harmayn, A. L. (Producer), Anwar, J. (Writer), & Anwar, J. (Director). (2019). Impetigore [Motion Picture]. Indonesia.

Gope T. Samtani, S. S. (Producer), Anwar, J. (Writer), & Anwar, J. (Director). (2017). Satan’s Slaves [Motion Picture]. Indonesia.

Creed, B. (1993). The Monstrous Feminine: Film, Feminism, Psychoanalysis. New York: Routledge.

Imanjaya, E. (2016). The Cultural Traffic of Classic Indonesian Exploitation Cinema . Thesis submitted for the degree of Doctor of Philosophy . University of East Anglia School of Art, Media and American Studies .

Kusumaryati, V. (2011). Hantu-hantu Dalam Film Horor Indonesia. (E. Imanjaya, Ed.) Mau Dibawa Kemana Sinema Kita? Beberapa Wacana Seputar Film Indonesia

Nurmanda, N. (2012). Dolanan Globalisasi: Kajian Antropologi Globalisma Seni Gunung. Thesis to be submitted for Master Degree in Anthropology . Indonesia: Universitas Indonesia.

Nurmanda, N. (2011). Tiga Film Pertama Joko Anwar: Kebebasan Kreasi di Perfilman Indonesia Pasca-Soeharto. (E. Imanjaya, Ed.) Mau Dibawa Ke Mana Sinema Kita? Beberapa Wacana Seputar Film Indonesia .

Poernomo, J. (Producer), & Mantovani, R. (Director). (2001). Jelangkung.

Pangastuti, A. (2019). Female Sexploitation in Indonesian Horror Films: Sundel Bolong (A Perforated Prostitute Ghost, 1981), Gairah Malam III (Night Passion III, 1996), and Air Terjun Pengantin (Lost Paradise – Playmates in Hell, 2009). A thesis submitted to Auckland University of Technology in partial fulfilment of the requirement for the degree of Master of Communication Studies . Auckland, New Zealand: Auckland University of Technology.

Paramaditha, I. (2012). Cinema, Sexuality, and Censorship in Post-Soeharto Indonesia. (T. Baumgartel, Ed.) Southeast Asian Independent Cinema .

Soeharjanto, G. (Director). (2019). Lampor [Motion Picture].

Tjahjanto, T. (Director). (2018). May The Devil Take You. Indonesia: Netflix.