English, Film/Video, Memoir, Racauan

Filmmaking, Journalism, and the Relentless Pursuit of Building Things That Matter



For a long time, I struggled to define what I do. Am I a filmmaker? A journalist? An educator? A producer? A self-abusive project manager who somehow ended up doing all of the above?

The truth is, I build things—stories, communities, ecosystems, and sometimes, existential crises in the minds of my students. My work sits at the intersection of film production, journalism, and education, not because I’m indecisive, but because storytelling, at its core, is about understanding people, systems, and power structures. And you can’t do that from just one perspective.

So, I write, I direct, I teach, I produce. And somehow, I keep finding myself in the middle of things that grow bigger than I ever planned.


Between Film and Journalism: The Chaos That Keeps Me Going

I started in film. I liked the idea of creating something visually beautiful and narratively haunting. But early on, I realized I wasn’t interested in just making films—I wanted to dig deeper into stories that disrupt, unsettle, and rewire the way people think. That’s how I ended up in journalism and documentary filmmaking, where the challenge isn’t just crafting a story, but fighting for its survival in a world that is full of misinformation and selective memory.

Right now, I’m a Senior Digital Content Producer at BenarNews, Washington DC, working on digital journalism projects that blend investigative reporting, visual storytelling, and narrative filmmaking. It’s an industry where deadlines are violent, the stakes are high, and the job is, quite literally, to question everything. It keeps me stressed but sharp. It keeps me struggling and critical. And it reminds me that storytelling, when done right, is an act of defiance.

But journalism has limits. It informs, but it doesn’t always build. Which is why I created MondiBlanc Film Workshop—because if I wanted to see real change in the film industry, I had to stop waiting for it and start engineering the infrastructure myself.



MondiBlanc: The Accidental Revolution

MondiBlanc started as a simple idea: teach filmmaking in a way that actually prepares people for the industry, not just for theoretical debates about “auteurship.” What I didn’t expect was for it to grow into one of Indonesia’s most inclusive and community-driven film education platforms, training over 1,200 future filmmakers, actors, producers, and directors online, and hundreds of offline students in less than 10 years.

Along the way, G20 ICONIC (2022) and UNESCO’s “Backstage” (2021) recognized MondiBlanc’s work in accessible and sustainable film education—which is great for credibility, but more importantly, it proved something I’ve always believed:

Good filmmakers don’t come from expensive film schools. They come from strong ideas, sharp execution, and communities that actually give a damn.

So that’s what MondiBlanc became: a place where people learn by doing, fail fast, fail forward, and emerge better than before. And if they survive my teaching style? They’ll survive the industry just fine.


Filmmaking as a Weapon (and Sometimes a Mirror)

Some films entertain. Some disrupt. The best ones do both.

One of my most notable projects, Xabi: A Phantasmagoric Adventure, was a surrealist dive into mental illness in Indonesia, a subject people would rather ignore or romanticize. The film won the Jury Prize at The International NGO Film Festival 2022, proving that audiences do engage with difficult stories—if you tell them in ways that make it impossible to look away.



Beyond this, I’ve produced and edited award-winning short films and investigative documentaries, collaborating with organizations like Outpost New York, Hivos, LBHM, and the World Bank to craft stories that challenge power, provoke thought, and occasionally, make people very uncomfortable.

Because the job of a filmmaker—at least the kind worth paying attention to—isn’t to play it safe. It’s to poke, prod, and create something that lingers in people’s minds long after the credits roll.



The Future: An Industry That Works for More Than Just the Privileged Few

Right now, my focus is on expanding MondiBlanc into something bigger than just a workshop. The goal is to engineer an ecosystem where independent filmmakers can thrive without begging for scraps from big studios and broken funding systems.

That means:
– Building real industry connections, not just LinkedIn flexes.

– Teaching filmmakers how to navigate the business side, so they stop getting exploited.

– Creating a sustainable network of talent, because the best projects come from collaboration, not isolation.

I’m done waiting for the industry to change. It won’t. So we’ll build something better.


What I Actually Believe (And What I’ll Never Apologize For)

I believe that working and learning are inseparable—because if you’re not constantly questioning, evolving, and making peace with the fact that you know nothing, you’re probably becoming irrelevant.

I believe that there are no bad ideas—only lazy executions. The difference between a good film and an unwatchable one isn’t budget; it’s who had the patience to refine the raw idea into something sharp, urgent, and necessary.

I believe the film industry is overdue for a full-system reboot, and if no one else wants to press the reset button, I’ll do it myself.

And above all, I believe that good storytelling is an act of war against mediocrity, silence, and comfortable narratives.

So yeah. I build things. I teach. I create. And I keep learning.

If you’re a filmmaker, writer, or creator who gives a damn, let’s connect. Because the best stories?

They’re the ones we create together.

MalesBelajar, Racauan

Menghadapi Rasa Bersalah

Disclaimer: Ini adalah teks yang dibuat oleh ChatGPT dari perusahaan OpenAI berdasarkan percakapan publik di grup diskusi MalesBelajar yang diinisiasi oleh MondiBlanc Film Workshop. ChatGPT digunakan sebagai asisten copywriting, untuk mencatat sejarah diskusi-diskusi penting di antara anggota komunitas MalesBelajar.

Guilt atau rasa bersalah merupakan topik yang menarik untuk dibahas. Diskusi ini dimulai oleh Nosa Normanda dari komunitas Males Belajar di MondiBlanc. Ada anggapan bahwa rasa bersalah semakin memburuk seiring bertambahnya usia seseorang. Namun, mungkin hal ini tergantung pada banyak faktor seperti jumlah pilihan hidup yang tersedia di usia yang lebih tua. Beberapa orang berpendapat bahwa otak kita menjadi kurang plastis seiring bertambahnya usia, sehingga semakin sulit untuk mengatasi perasaan bersalah.

Namun, ada pula pendapat yang berbeda. Beberapa anggota komunitas mengatakan bahwa mereka merasa lebih baik di usia yang lebih tua. Mereka berhasil mengoptimalkan potensi yang dimilikinya dan tidak lagi terjebak dalam rasa penyesalan.

Perasaan bersalah dan penyesalan memang dapat menghantui seseorang, terutama ketika mereka merasa semakin terbatas dalam mencapai tujuan hidup mereka di usia yang lebih tua. Namun, jika seseorang mampu menerima keputusan dan tindakan yang diambil di masa lalu, maka mereka dapat menghindari perasaan bersalah yang berlebihan.

Namun, terkadang hal ini lebih mudah diucapkan daripada dilakukan. Beberapa orang mungkin merasa terbebani dengan penyesalan di masa lalu dan merasa kesulitan untuk mengubahnya di masa depan. Ada juga anggota komunitas yang mengungkapkan bahwa orang tua mereka mengalami kesulitan dalam menghadapi perasaan penyesalan di masa tua mereka.

Namun, ada juga cara untuk mengatasi perasaan bersalah, yaitu dengan berpikir positif dan berfokus pada solusi di masa depan. Jika seseorang merasa terbebani dengan keputusan di masa lalu, mereka dapat mencoba memikirkan kemungkinan hasil yang berbeda jika mereka memilih jalur yang berbeda. Namun, yang terpenting adalah menerima keputusan yang telah diambil dan berfokus pada masa depan yang lebih baik.

Dalam diskusi ini, terdapat berbagai pendapat mengenai perasaan bersalah dan penyesalan di masa tua. Namun, yang terpenting adalah bagaimana seseorang dapat menghadapinya dengan positif dan berfokus pada solusi di masa depan.

***

Website ini non profit dan jalan dengan sumbangan untuk membiayai hosting dan servernya. Jika kalian suka dengan tulisan di website ini, silahkan traktir kopi buat admin/manager/kurator di website ini dengan mengklik tombol di bawah ini:

Buku, Kurasi/Kritik, Racauan, Workshop

5 Produser Yang Bikin Nggak Produktif di Filmmaking

Setelah aktor dan sutradara, kini saatnya bahas soal produser. Produser adalah motornya sebuah film. Film sebagai sebuah barang adalah milik produser–ide nya milik sutradara. Tanpa produser, film hanya akan jadi angan-angan sutradaranya. Semua orang bisa jadi sutradara, tapi jarang yang benar-benar bisa jadi produser, karena dia butuh skill untuk membuat film “terjadi”. Karena kalo produsernya bagus, seringkali tanpa sutradara pun filmnya juga bisa jadi. Tapi tanpa produser, sutradara harus jadi produser biar filmnya jadi.

Tapi kasihan banget kalau sebuah film produsernya nggak produktif. Semua orang jadi susah, komunikasi jadi sulit, dan kalau sampai filmnya jadi, produsernya kemungkinan adalah orang lain atau tenaga gaib di film itu. Berikut adalah 5 produser gak produktif yang sebaiknta kamu hindari kalau diajakin proyekan.

1. Produser Tapi PA

Produser kayak gini sukanya melayani sutradara dan yes-yes aja tanpa bisa jadi sparing partner dalam argumen dan pengembangan ide. Dia nggak punya leadership dan seringkali cuma jadi bonekanya sutradara aja. Dia ga bisa bikin jembatan komunikasi antara sutradara dan kru lain, sehingga kalau dia dapat sutradara yang komunikasinya jelek, atau yang kurang dewasa, produksi filmnya bisa berantakan.

Namanya produser tapi kelakuan kayak PA (production assistant). Padahal tugas dia yang utama adalah mencari jalan supaya dia bisa gabut di set pas syuting karena semua berjalan baik. Perilaku PA-nya ini membuat ketika syuting, bisa jadi dia malah kalang kabut ngurusin semua yang ga keurus karena skala produksi salah perhitungan, atau komitmen kru nggak bisa dijaga.

Etos kerja produser tipe ini dihargai, tapi salah konteks. Mungkin harus belajar lagi ngikut produser lain, atau nyobain jadi sutradara, biar sekali-sekali punya visi.

2. Produser Bossy

Bossy itu berlagak boss tapi ga ada kharismanya. Nggak ngerti konsep, nggak ngerti hierarki, nggak ngerti teknis, terus petantang-petenteng nyuruh orang ini itu. Atau ambil kebijakan yang bakal punya konsekuensi produksi yang bikin rugi banget secara waktu dan uang dan hasil footage.

Hubungan dengan kru nggak terjaga karena komunikasi jelek, dan dia nggak sadar kalau komunikasi jelek karena merasa, well, dia boss. Dia rasa semua baik-baik saja karena dia boss yang maunya tahu beres. Nggak, boy. Produser nggak tahu beres, sebaliknya harus selalu curiga kalau sesuatu beres-beres aja. Minimal jadi punya plan B and plan C sampe Z.

Seringkali ini terjadi karena kurang pengalaman: produser dikerjai oleh sutradara atau kru yang lebih jago jualan daripada dia, sehingga dia terbawa suasana aman dan nyaman, dan nggak bikin planning yang rapih, nggak kritis dalam sebuah produksi. Mungkin cocoknya produser macam ini jadi executive produser saja.

3. Produser nggak gaul

Modal utama produser itu bukan duit tapi pergaulan dan managemen konflik. Dia harus kenal orang banyak yang cukup dekat hingga bisa dia pitch ide-idenya, atau ide sutradaranya. Dia pun harus jago milih teman mana yang mau diajak produksi.

Karena bukan cuma komitmen yang dibutuhkan tapi juga skill, dan skill nggak ada gunanya kalau ga ada komitmen. Produser yang gak gaul biasanya bukan orang yang berkomitmen, karena kalau dia penuh komitmen, maka dia akan punya banyak temen yang ngutang sama dia dan rela bantuin filmnya setengah mati.

Ketidakmampuan managemen konflik dan pergaulan sosial ini jadi masalah sangat besar, karena produksi adalah soal mengatur dan mendesain flow kerja. Produser yang cenderung menghindari konflik, tidak bisa mendamaikan pihak-pihak yang berfriksi, dan tidak bisa menjadi mediator, sebaiknya jangan jadi produser.

Karena kenikmatan produksi film adalah hasil kerja keras pra produksi, ketika semua konflik sudah teratasi, semua orang tersedia, semua fasilitas mencukupi, hingga ketika syuting, semua orang bisa menanggung penderitaan bersama dengan rela dan bahagia.

Syuting yang baik seperti seks yang enak: sakit-sakit-nikmat. Produser keren bisa bikin semua orang orgasme, dan orgasme butuh hubungan dan komunikasi yang enak.

4. Produser sotoy

Sotoy di industri film Indonesia ada di mana-mana. Bayangkan film sebagai media termutakhir saat ini: dia mengandung sastra, teater, seni rupa, seni lukis, seni musik, dan seni-seni lain. Produser yang mau jualan ide dan filmnya harus ngerti luar dalam apa yang dia jual. Tapi kalau dia kalah intelek sama sutradara, production designer, scriptwriter, dll, dia bisa salah jual barang dan ujung-ujungnua dianggap penipu.

Sotoy buat sutradara bisa berujung gak dipake orang lagi, ga ada yang mau kerja sama dia lagi. Tapi sotoy buat produser lebih parah: dia bahkan bisa masuk penjara! Sotoy soal budget, bisa jadi overbudget, sotoy soal konsep bisa dituntut sama eksekutif produser dan investor, sotoy soal seni yang dipakai di filmnya, bisa kena pasal Hak Cipta.

Produser kerjaan yang berat dan kudu teliti dan hati-hati. Orang sotoy di Indonesia punya kesempatan dan tempat buat dipercaya orang lain, tapi hasilnya bisa jadi buruk banget. Jadi produser adalah soal trust dan tanggung jawab. Nama dia akan jelek selama-lamanya kalau filmnya keluar dengan banyak masalah yang membuntutinya.

5. Produser power player

Dia humoris, jago bergaul, jago ngatur budget, jago jualan, tapi dia sering menggunakan posisinya untuk bermain kuasa dengan memeras orang lain baik dengan cara halus, atau dengan modal sosialnya. Dia bisa memeras orang dengan rayuan dan ancaman, dari deal soal harga sampai deal soal seks.

Produser kayak gini baiknya dipenjara saja selama-lamanya. Perilaku patron yang pervert, sudah saatnya hengkang dari muka bumi. Jadi sebelum kerja dengan produser manapun, sejago-jagonya dia, pastikan kalian minta kontrak yang jelas, atau referensi terpercaya sebelum kerja dari kawan-kawan lain kalau memang callingannya harian.

Kalau ketemu produset macam ini, jangan takut untuk cerita dan melawan balik. Cari temen-temen deket dulu, bikin asosiasi, atau masuk asosiasi. Produser kuat dan serem kayak gini harus dihajar dengan persatuan dan kesatuan!

***

Terima kasih sudah baca sampai habis. Blog ini dibiayai oleh sumbangan kalian, lumayan mahal biaya tahunannya. Kuy! Klik tombol di bawah ini:

Memoir, Racauan

Cara Menemukan Tujuan Hidup

Galau ditinggal pacar? Kerjaan kamu nggak enak? Pengangguran? Sering bengong dan mempertanyakan, kamu hidup buat apa? Buat siapa? Kemana setelah mati? Apa arti kehidupan? Apakah upil terbuat dari aibon? Kalau iya, apakah kita bisa mabok menjilat atau menghirup upil sendiri? Ini semua adalah pertanyaan eksistensial, dan harus dijawab biar hidupmu lebih berkualitas. Kita kecilkan dulu pertanyaan besarnya dengan sebuah pertanyaan sederhana:

Apa yang kamu mau di hidup ini?

Kalau sudah tahu, bagus. Kalau nggak tahu, wajar. Kebanyakan orang nggak tahu kok makanya gampang kemakan iklan. Diiming-imingi sesuatu yang kita butuh padahal nggak butuh. Dan satu keinginan dari iklan itu merembet ke banyak keinginan lain. Tepu-tepu kapitalisme!

Kebanyakan orang tidak tahu dia ingin apa, atau merasa tahu tapi tidak bisa menjelaskan. Padahal untuk hidup maksimal, kita perlu untuk punya keinginan jangka panjang, yang kita gapai dengan tindakan-tindakan jangka pendek. Dan ini kerennya: kalian nggak perlu tahu atau punya tujuan besar dalam hidup, kalian selalu bisa go with the flow dengan melakukan tiga cara ini: imitasi, kolaborasi, lalu inovasi.

Semua orang belajar hidup dengan mengimitasi orang lain. Kita belajar bahasa hingga perilaku dan membuat cita-cita dari orang lain. Kebanyakan imitasi ini didapat dari keluarga, dan keluarga juga yang membantu kita (secara sadar atau tidak sadar) dalam memilih jalan hidup kita.

Ada keluarga yang sangat mengontrol anak-anaknya, dan berusaha untuk menentukan tujuan hidup si anak dari hal yang mereka tahu saja, lalu membatasi karir si anak. Misalnya, keluarga polisi berusaha membuat semua anaknya jadi polisi, polwan, atau minimal istri polisi. Begitupun keluarga dokter, bahkan filmmaker dan Seniman. Ini juga ada hubungannya dengan jaringan sosial keluarga. Bahwasannya, seseorang bisa aman jika mengikuti jaringan sosial yang dibangun keluarganya.

Di sisi lain, ada orang-orang yang tidak mampu atau tidak sudi mengimitasi keluarga terdekatnya, entah karena trauma, atau karena memang tidak diarahkan untuk menjadi seperti orang tuanya. Si anak harus mencari model sendiri, mau apa dia ke depannya, mau jadi apa dia, siapa yang mau dia imitasi kalau bukan keluarganya?

Saya pribadi, tidak mengimitasi keluarga dengan penuh. Hidup saya adalah campuran dari imitasi-imitasi dari orang-orang yang saya kagumi, yang membuat profesi saya juga tidak jelas-jelas amat, dan banyak kepribadian saya yang tidak nyambung dengan keluarga saya. Saya pembaca akut dan entah itu darimana. Tapi dalam kehidupan saya mengikuti orang-orang yang saya kagumi dan membuat diri saya sendiri tanpa ada yang mengarahkan atau menyuruh saya.

Dan semua skill itu saya dapatkan dengan cara kolaborasi dengan orang lain. Saya minta diajarkan untuk membantu proyek orang, begitupun sebaliknya. Banyaknya ngobrol, observasi, partisipasi dan imitasi membuat saya banyak sekali dapat ilmu yang akhirnya bisa saya kombinasikan menjadi sebuah manifes penting. Misalnya: MondiBlanc Film Workshop.

Mondi adalah gabungan dari dua imitasi. Imitasi pertama atas kawan-kawan saya di New York dan di Muntilan untuk mewujudkan  sebuah tempat belajar yang gratis dan siswanya dibayar, dan imitasi kedua ide kawan saya Tito Imanda yang punya impian bikin kampus gratis. Saya coba bikin workshop ini dengan kolaborasi dan kami berhasil mencapai lebih dari 150 orang alumni, dengan karya dan aliran yang beda-beda. Di sini saya berinovasi dengan semua yang sudah saya imitasi dalam hidup saya. Dan saya sudah nekat: saya sudah tinggalkan pekerjaan tetap saya untuk fokus di MondiBlanc dan eseinosa ini.

Tujuan besar saya yang lain adalah sebuah inovasi. Saya ingin membuat film panjang saya sendiri dari institusi yang saya buat sendiri. Jadi sambil bikin film panjang, saya mau membuktikan bahwa institusi saya berhasil membuat orang-orang hebat.

Maka tujuan besar saya sudah jelas dan tujuan kecil-kecilnya sudah dan sedang dilaksanakan. Dan ketika tujuan besar tercapai, saya akan cari tujuan besar lain. Menolak Oscar, misalnya. Keren kan, menang aja jauh banget, tapi kalau menang maunya nolak. Biar keren aja gitu kayak Marlon Brando. Tapi mari kita lihat saja. Karena tujuan besar bisa berubah-ubah disebabkan keadaan dan kenyataan. Dan itu tidak apa-apa, selama kita bersandar pada apa yang ada, dan kita rawat dan kembangkan tanpa terjebak pada hal yang besar-besar. Semua dimulai dari hal kecil. Seperti upil, yang nyangkut di hidung saya. Membuat saya agak mabuk. Mungkin benar, ia terbuat dari aibon.

***

Hai, Terima Kasih sudah membaca post ini sampai habis. Buat yang belum tahu, website ini dibiayai donasi dan hostingnya lumayan mahal. Jika kamu ada rejeki, bolehkah traktir yang nulis kopi gula aren murahan? Klik tombol di bawah ini ya…